Kimirsuki Chapter 1.4 Bahasa Indonesia





XxxX
“Aku berpikir untuk menyuruhmu melakukan ini, Takuya-kun,” kata Mamizu, tertawa sedikit malu. Senyumnya terlihat kekanak-kanakan.
“… Hah?”
Aku tidak bisa menerima apa yang dia katakan.
“Aku ingin kamu menggantikanku melakukan hal-hal yang ingin aku lakukan sebelum aku meninggal . Dan kemudian kamu datang ke sini dan memberi tahuku kesanmu tentang pengalaman-pengalaman itu. ”
“Itu gila …” kataku, heran. Ada seratus tanda tanya mengambang di dalam kepalaku.
Apa gunanya itu? Jika itu aku, aku pasti merasa kesal jika ada orang lain melakukan hal-hal yang ingin kulakukan tepat di depan mataku, pikirku. Tapi sepertinya Mamizu tidak berpikir begitu.
“Lagi pula, apa boleh buat, kan?Aku tidak diizinkan keluar. Tidak ada jalan lain. Bukankah kamu pikir itu ide yang bagus? ”Kata Mamizu, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Dia mungkin ingin melakukan hal-hal ini sendiri. Dia akan mempertimbangkan itu dulu. Tapi fakta bahwa ada beberapa keadaan yang mencegahnya melakukan hal itu ,dengan cara, sesuatu yang dapat aku pahami.
“… Yah, aku mengerti apa yang ingin kamu katakan. aku hanya harus melakukan apa yang ingin kamu lakukan, bukan? Jadi, ceritakan padaku apa yang ingin kau lakukan, ” kataku seraya merenungkan idenya.
“Bagus sekali.” Tampak bahagia karena suatu alasan, Mamizu tersenyum.
“Tidak baik memulai dengan yang berat. aku kira kita akan melakukan nya dengan yang ringan terlebih dahulu. Aku bertanya-tanya mana yang harus aku pilih? ”Katanya, membuka buku catatannya dan menatapnya dengan tatapan serius.
Dan kemudian dia tiba-tiba tersenyum. “Baiklah, aku sudah punya permintaan …”
Sejujurnya, aku hanya punya firasat buruk tentang ini
“Aku selalu ingin pergi ke taman hiburan sebelum aku meninggal.”
Menurut Mamizu, dia hanya pernah sekali ke taman hiburan ketika dia masih kecil, bersama orang tuanya. Dia tertarik dengan taman hiburan seperti sekarang karena dia lebih sadar tentang dunia di sekelilingnya.
Karena itu adalah sesuatu yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggal, aku mengharapkan sesuatu yang lebih spektakuler. aku sudah siap untuk sesuatu seperti salah satu mimpinya untuk masa depan yang belum pernah terpenuhi. Tapi keinginannya seperti anak kecil, seperti seseorang di kelas menengah kebawah. Jadi Aku sedikit kecewa pada awalnya.
“Hah? … Itu artinya … ”Berpikir tentang hal itu dan mengingat fakta bahwa orang yang melakukan ini adalah aku, aku merasa bingung.
“Jadi Takuya-kun yang akan pergi ke taman hiburan untuk menggantikan diriku.”
“Tidak, tunggu sebentar! … Kau bercanda kan?”
“Aku serius, loh?” Kata Mamizu tanpa tanda-tanda rasa malu, dan kemudian tertawa nakal.

uuu

Seminggu kemudian, untuk beberapa alasan, aku datang ke taman hiburan yang terkenal di luar prefektur.
Tentu saja, sendirian.
Betapa menyedihkannya seorang pria seusiaku harus datang ke taman hiburan sendirian?
Taman hiburan adalah tempat yang harusnya dikunjungi oleh keluarga dan kekasih.Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Tidak ada yang mau datang ke sini sendirian.
Dan ini adalah Golden week *. Ada lebih banyak orang, orang, dan orang-orang, sejauh mata memandang.Tentu saja, mereka berkelompok, seperti pasangan, keluarga, dan teman. Tentu saja, aku tidak bisa menemukan siapa pun yang datang sendirian seperti diriku.
(TN : golden week adalah periode di akhir bulan April hingga minggu pertama bulan Mei di Jepang yang memiliki serangkaian hari libur resmi. Normalnya antara 29 April sampe 5 mei)
Dan malangnya, aku terlalu mencolok. Yah, Itu sudah bisa diduga. Tidak aneh jika aku terlalu banyak menarik perhatian. Orang-orang yang lewat di dekat ku bisa melihat ekspresi gelap di wajahku sebelum akhirnya pergi.Ada sesekali orang yang dengan terang-terangan mencibirku, dan orang-orang nakal menunjuk dan tertawa. aku benar-benar menjadi pusat perhatian.
Aku ini bukan orang gila!
Aku ingin meneriakkannya dengan pengeras suara. Apa di sini ada tempat untuk membeli toa? apa mungkin karyawan di sana tau tempatnya?
Maaf, aku ingin membeli toa, di mana aku bisa membelinya?
Tunggu! aku bukan orang yang mencurigakan. aku tidak gila! Tunggu!
Namun, aku punya rencana. aku datang ke sini bukan untuk bermain. Yah, memang bermain sih, tapi ini bukan hanya demi diriku.
Tujuan pertamaku adalah rollercoaster.
Dalam suasana suram, aku membeli tiket dan berbaris untuk roller coaster. Sudah satu jam menunggu . Ah, aku ingin pulang. Aku sudah benar-benar muak dengan ini.
Kebetulan, aku benci naik wahana. aku pernah satu kali waktu kecil, dan tidak pernah lagi sejak itu. Aku tidak mengerti tujuan mereka.Apa menyenangkannya tentang mengendarai mesin yang terbuka saat meluncur di tempat tinggi dengan kecepatan yang gila? Aku tidak mengerti sama sekali. Bukan karena aku takut naik , pasti bukan, tapi … bagaimana pun, aku tidak ingin menaikinya jika aku punya pilihan.
uuu
Aku ngga bakal mau menaikinya lagi.
Itu adalah alat bermain terburuk yang pernah dibuat dalam sejarah kemanusiaan, pikirku.
Setelah turun dari roller coaster, aku berjalan perlahan, merasakan rasa lelah yang tak bisa di gambarkan. Perutku mual. Aku merasa ingin membuang roti panggang yang kumakan tadi pagi. Aku merasa sakit.Semangatku berada di titik terendah sepanjang waktu.
Meski begitu, urusanku di sini belum selesai.
Aku terus melanjutkan, menuju toko yang telah ditentukan Mamizu. Itu adalah sebuah kafe di dalam taman hiburan yang kebanyakan menjual manisan.Setelah mengantri sekitar tiga puluh menit, aku bisa masuk . Tampaknya dengan semua yang ada di sini, waktu yang kau habiskan mengantri lebih lama dari waktu yang kau habiskan untuk menikmati makanan di sini. 95 persen mereka yang berbaris adalah para pasangan.
Ada banyak karyawan berjalan di sekitar toko, mengenakan pakaian terbuka yang dirancang untuk menekankan pada dada mereka. Seragam ini dikatakan salah satu dari dua spesialisasi dari toko ini, dan banyak yang menggemari toko ini karena seragam karyawannya. Salah satu karyawan membawa menu ke arahku, tapi tanpa melihatnya, aku sudah memutuskan pesananku seolah meludahkan kata-kata.
“Tolong beri aku parfait ‘Our First Love’!”
Bagian dalam toko menjadi bising.Mereka begitu berisik sampai-sampai aku ingin bertanya kepada mereka apa yang membuat mereka begitu ribut. Seorang pria sendirian, di toko yang penuh dengan pasangan, memesan parfait First Love. Parfait ini adalah menu andalan dari toko ini.
“Apa-apaan dengan orang itu?”
“Dia berbahaya.”
“Dia benar-benar berbahaya.”
Aku bisa mendengar bahwa semua orang berbisik tentang diriku. aku melihat ke langit-langit dan memejamkan mata. aku mematikan kesadaranku sebanyak yang aku bisa.
Hukuman macam apa ini?
Aku ingin menghilang, aku ingin menghilang, aku ingin menghilang.
Ketika mengulangi kalimat ini berulang-ulang untuk diri sendiri di kepalaku. Parfait First Love pun tiba.
Sejumlah besar saus stroberi telah dituangkan ke parfait raksasa. Ada banyak wafer yang dimasukkan ke dalamnya seolah-olah membuatnya terlihat lebih hidup, dan sepotong cokelat berbentuk hati diabadikan di tengahnya. Sepertinya cukup untuk dua atau tiga orang.
Apa aku harus makan ini sendirian …?
Aku mendengar bunyi cekrek dari kamera ponsel.
Aku berbalik dan terkejut bunyi apa itu lalu melihat seorang pasangan di kursi belakangku, mengambil fotoku. Aku melototi mereka diam-diam, tetapi itu tidak terlalu mengancam.
Omong kosong. Ini benar-benar omong kosong.
Bahkan ketika aku memikirkan ini, aku juga mengambil foto parfait .Kebetulan, harga parfait 1.500 yen.Benar-benar payah, pikirku. Pada akhirnya, aku memakannya sendiri, karena aku pikir itu akan mubazir jika tidak dimakan. Saat memakan nya, tawa cekikikan di sekitarku tidak pernah berhenti.

uuu

“Takuya-kun, kamu yang terbaik! Ahahahahaha, Perutku sakit!”
Watarase Mamizu tertawa terbahak-bahak setelah melihat foto parfait First Love dan mendengar tentang ceritaku di taman hiburan. Dia tertawa begitu keras sehingga aku takut apakah itu tidak menggangu orang lain di ruangan ini.
“Lalu, lalu? Apa yang kamu lakukan seterusnya? “Tanyanya.
“Aku pergi ke rumah hantu dan mendapat kejutan oleh para hantu, terkejut oleh anak-anak di komedi putar, kemudian merinding melihat para pasangan di bianglala, dan kemudian aku pulang,” kataku padanya dengan kesal.
“Bagaimana perasaanmu? Apa itu menyenangkan? ”
“Menyenangkan apanya. aku pikir akan lebih baik jika rudal nuklir jatuh di taman hiburan itu. ”
Setelah mendengar itu, Mamizu tertawa terbahak-bahak sekali lagi. Jadi, dia adalah seseorang yang tertawa dengan jujur seperti ini, pikirku, sedikit terkejut.
“Aku mengerti, aku mengerti, terima kasih,” katanya. “Aku rasa taman hiburan bukanlah tempat yang seharusnya kamu datangi sendiri.”
“Ya iyalah…”
Aku ingin bilang , “kau seharusnya sudah tahu itu, ‘kan?” Tapi sebelum membuka mulutku, Mamizu mulai berbicara lagi.
“Kalau begitu, tentang permintaanku selanjutnya,” katanya, sembari menyalakan TV di kamar. Setiap tempat tidur di kamar bersama ini memiliki TV, tapi aku belum pernah melihat Mamizu menontonya sampai sekarang.
Setelah membolak-balik saluran untuk sementara waktu, Dia menemukan program berita malam.
“Yang ini, yang ini!” Mamizu menunjuk ke layar TV, seolah-olah bersemangat tentang sesuatu.
“Aku ingin mencoba menunggu di antrean itu sepanjang malam,” kata Mamizu.
… Aku memutuskan untuk mengabaikannya dan pulang.
“Tunggu! Tunggu, Takuya-kun. ”
“Aku benar-benar tidak mau melakukan itu!”
“Lihat ini dulu.” Mamizu membuka laci di samping tempat tidurnya dan mengeluarkan ponsel. Itu tampak sangat tua; itu adalah ponsel jiplak model lama yang berwarna putih namun warnanya sudah memudar. “aku masih menggunakan ponsel model begini. aku sudah menggunakan ini selama empat tahun, sejak sebelum aku dirawat di rumah sakit. Apa kamu tidak merasa kasihan padaku? ”
Memang benar, jarang sekali ada orang yang masih menggunakan ponsel model lama begitu.
“Aku ingin mencoba menggunakan smartphone sebelum aku mati,” katanya dengan sedih.
“… Tapi itu cukup mahal, loh,” kataku. “Apa kau punya uang?”
“Ta-dah.” Mamizu mengeluarkan buku tabungan dari laci lain.
“Apa itu?” Aku bertanya.
“Tabungan uang Tahun Baru.”
Jadi ada ya orang yang menabung uang itu, pikirku.
“Keluargaku ,seperti kakek dan nenek memberiku setiap tahun, tapi di tempat seperti ini, aku jarang menggunakannya. Jadi, aku menyimpannya. ”
Aku melihat buku tabungan Mamizu yang diserahkan padaku dan melihat bahwa memang ada cukup banyak uang.
“Gunakan itu. aku akan memberi tahumu PIN nya ”katanya, sambil memberi ku kartu tunai juga.
(TN: Kartu tunai semacam kartu kredit)
“Tunggu sebentar,” kataku dengan terburu-buru. “Seharusnya kau tidak boleh memberitahu nomor PIN-mu pada orang lain, kan?”
“Kenapa?” Tanya Mamizu, menatapku dengan bingung.
“Karena bisa saja disalahgunakan.”
“Apa kamu akan menyalahgunakannya, Takuya-kun?”
“Ehh…”
Aku tidak bisa menjawabnya, tapi aku merasa dia melakukan ini dengan sengaja.
“Tidak masalah kalau itu kamu, Takuya-kun.”
Dengan pernyataan tak berdasar ini, Mamizu mendorong buku tabungan itu ke arahku.
uuu
Pada waktu larut malam, saat aku hendak meninggalkan rumah, ibuku memanggil dan menghentikan diriku.
“Kamu mau pergi kemana malam-malam begini? Apa mau bertemu seseorang? ”Ibuku menatapku dengan ekspresi curiga.
Rasanya terlalu menjengkelkan untuk dijelaskan. Aku sedang mencoba mengejar kereta terakhir.
“Aku mau main sebentar,” kataku.
“Itulah yang dikatakan Meiko saat dia pergi.” Ibuku menatapku dengan tatapan serius. “Takuya, kamu takkan mati, kan?”
Ibuku mengatakan kata-kata gila ini padaku. Tapi ini bukan pertama kalinya dia mengatakan hal semacam ini.
“Tidak mungkin aku mati,” jawabku, dengan ekspresi muak.
“ Takuya. Jika kamu mati dengan cara yang aneh juga, aku akan … ”
Aku tidak tahan lagi mendengarnya.
“Meiko hanya mengalami kecelakaan mobil, kan?”
“Tapi…”
Ibuku mencoba mengatakan sesuatu, tapi aku tidak ingin mendengarnya lagi.
“Aku baik-baik saja,” kataku.
Aku segera menghentikan percakapan ini dan pergi keluar.
Aku naik kereta dan menuju antrean untuk smartphone yang diminta Mamizu.
Aku cukup kedinginan menunggu di antrean sepanjang malam, meski ini musim semi. Tampaknya ada banyak orang di dunia ini yang punya banyak waktu luang, ada banyak orang yang mengantri di jalanan distrik bisnis. Sendirian, aku menggigil ketika menunggu pagi datang. Aku sempat memikirkan kembali tingkah laku ibuku sejak Meiko meninggal.
Sejak Meiko meninggal, entah kenapa, ibu selalu memiliki kekhawatiran yang aneh jika aku akan mati juga.
“Ada topan, jadi jangan pergi ke sekolah hari ini.”
Saat aku menanyakan alasannya, dia serius memberikan jawaban seperti,
“Bagaimana jika kamu tertiup angin, lalu kepalamu terbentur sesuatu dan mati?”
Atau,
“Bagaimana jika mobil tergelincir karena hujan dan melaju ke arah mu?”
Serius, jangan terlalu lebay deh. Pikirku
“Bagaimana jika kamu makan sashimi selama musim panas dan mati karena keracunan makanan?”
“Bagaimana kalau kamu tertidur di kamar mandi dan tenggelam?”
“Jika kamu memakai pakaian hitam, kamu akan terbunuh oleh sengatan lebah, kan?”
Dan begitulah, ibuku terlalu mencemaskan pertanda kematian dalam hal-hal yang sepele.
Ada waktu dimana ibuku sering mengunjungi seorang spiritualis yang cerdik. Dia membuatku ikut dengannya. Alasannya adalah sekitar setengah tahun sebelum Meiko meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, pacarnya pada saat itu meninggal dalam kecelakaan lalu lintas dengan cara yang sama. Ibuku telah memikirkan nya dengan serius bahwa dia telah dirasuki oleh roh jahatnya.Singkatnya, ibuku menjadi sedikit gila.Meski tidak mengalami keguguran, dia diberitahu bahwa ia dirasuki oleh roh janin yang keguguran, dan mempercayai hal itu.
Pikiran ibuku sedikit rusak.
Di masa lalu, aku pernah dipaksa untuk menghadiri bimbingan konseling. Setelah Meiko meninggal, akupun cukup tertekan. Tampaknya ini telah membuat ibuku khawatir. Bagaimana jika aku menjadi sakit jiwa dan bunuh diri?
Apa kamu pernah berpikir kalau kamu ingin mati?
Apakah tidurmu nyenyak?
Bagaimana selera makanmu?
Apa ada sesuatu yang mengganggumu belakangan ini?
Aku menjawab semuanya dengan “Aku baik-baik saja, bu.” aku memastikan untuk terus bertingkah ceria selama waktu seperti itu.
Aku baik-baik saja.
Aku normal.
Tidak ada masalah yang terjadi.
Dengan begitu, aku dibebaskan, tapi … walau begitu, sepertinya ibuku masih meragukanku.
Apakah anak ini juga akan mati dalam waktu dekat?
Sepertinya pikiran semacam itu selalu ada di benak ibuku.
Memang benar bahwa kepribadianku menjadi sedikit pendiam setelah kematian Meiko. aku ingat tidak banyak berbicara dengan keluargaku setelah dia meninggal.
Tapi bukankah memang seharusnya begitu? Setidaknya, itulah yang aku pikirkan.
Jika aku mulai tertawa lagi setelah kematian kakak perempuanku, bukannya itu  menjadi pertanda bahwa aku sudah gila?
Aku harap ibuku sendiri yang harus pergi ke bimbingan konseling.

uuu

Mamizu bereaksi berlebihan saat aku membawakanya smartphone yang aku beli.
“Yay! aku akhirnya bagian dari peradaban ini juga. ”
Sebelum menyerahkan kepadanya, aku mencoba memberitahu betapa melelahkannya mengantri sepanjang malam, lebih dari kebencian terhadap apa pun. Tapi saat aku masih di tengah penjelasan, Mamizu mulai membuka bungkus smartphonenya.
“Oi … Bukannya kau tertarik dengan mengantri sepanjang malam, kau cuma pengen smartphone-nya aja, ‘kan?”
“tidak juga, kok?” Kata Mamizu tersenyum sembari memegang smartphone di depan matanya. “Wow,” dia berdecak kagum, matanya berbinar-binar.
“Dengan ini, akan lebih mudah untuk berhubungan denganmu, kan, Takuya-kun?” Ucapnya dengan gembira.
Aku benar-benar terkejut.
Setelah itu, Mamizu memintaku untuk menunjukkan cara menggunakan fungsi dasar, dan aku mencatat nomor ku di sana.
Beberapa hari kemudian, pendaftaran ponsel Mamizu yang dia minta ke ibunya untuk diurus telah selesai, dan smartphone-nya akhirnya terhubung ke internet. Lalu, ada satu pesan yang dikirim darinya.
> Terima kasih
Itu saja yang tertulis di dalamnya.
Mungkinkah dia terlalu malu untuk mengatakannya sendiri?  Tanpa ragu-ragu, aku membalasnya dengan, “Sama-sama.”

uuuu

Saat makan siang di sekolah, entah kenapa, Kayama memegang perlengkapan Othello, dan mengajakku bermain  sambil makan. Sebelum aku bisa mencoba menolak, Ia segera di kursi depan mejaku dan mulai menyiapkan papan Othello dan mengambil bento-nya.
Pada akhirnya, aku tidak punya pilihan selain menjadi lawan Kayama sambil makan roti yang aku beli sebelumnya.
“Okada. Kapan pertama kali kau naksir? ”
Kayama bertanya tiba-tiba, di tengah-tengah permainan Othello kami.
“4 SD. Gadis kursi sebelahku, ” Jawabku.
“kalau aku kelas 6.. Jadi, apa yang terjadi selanjutnya? ”
Aku samar-samar mengingat wajahnya. aku tidak tahu di mana atau apa yang dia lakukan.
“Yah, aku sudah berhenti peduli padanya,” kataku.
Aku bahkan tidak mendekatinya dengan cara khusus atau menembaknya; hubungan kami dan cinta samarku telah berakhir secara alami saat kenaikan kelas. Tapi aku pikir itulah kisah cinta pertama bagi kebanyakan orang.
“Kau tahu, aku pikir hal-hal kecil tidak benar-benar berubah. Hal-hal seperti makanan favorit kita, cara kita makan, berapa banyak tisu yang kita gunakan ketika kita meniup hidung kita, ” kata Kayama sembari memakan bentonya.
“Kamu menggunakan satu tisu, kan?”
“Aku dua.”
Kayama mengambil kesempatan. Pion putihku semuanya terbalik.
“Tapi menurutku semakin penting perasaan itu, maka semakin mudah mereka terbalik, seperti pion Othello ini,” kata Kayama.
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Ia katakan.
“Tapi kau tahu, aku sebenarnya benci itu,” lanjutnya.
Dia berbicara seperti ini dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, aku tidak tahu apa yang Ia coba katakan.
“… Kalau dipikir-pikir , aku baru-baru ini mengunjungi Watarase Mamizu lagi, seperti yang kau sarankan,” kataku.
Saat aku mengatakan itu, tangannya yang memegang sumpit berhenti sesaat. Dan kemudian Ia menatap wajahku.
“Apa ?” kataku.
“… Lalu?” Tanya Kayama.
“Yah, dia kelihatan sehat. Aku tidak tahu rinciannya, tapi sepertinya dia takkan meninggal dalam waktu dekat”
Aku berpikir untuk menjelaskan berbagai hal, tapi memutuskan untuk tidak melakukannya. Fakta bahwa aku pernah bertemu dengannya berkali-kali setelah itu, dan daftar hal-hal yang ingin Mamizu lakukan sebelum dia meninggal. aku tidak tahu apakah itu baik-baik saja untuk menceritakannnya pada orang lain.
Dan aku sedikit marah pada Kayama, yang terus menyembunyikan alasan untuk membuatku pergi dan menemui Mamizu. Aku juga tidak berpikir kalau aku punya kewajiban untuk memberitahunya.Dan faktor yang paling penting adalah bahwa menjelaskan semua hal yang aneh dan tidak bisa dimengerti ini akan merepotkan.
“Kayama, apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan padanya?”
“Kalau begitu, tiga ukurannya.”
“Tanyakan padanya sendiri sana.”
Kayama memenangkan permainan Othello ini. Meski Ia sendiri yang mengajak, tapi ia kehilangan minat di tengah permainan dan berdiri sebelum berakhir.
“Apa kau tidak ingin pergi melihatnya?” Tanyaku padanya saat ia hendak pegi.
“… Belum waktunya,” katanya setelah berpikir sejenak. “Lagian, aku tidak kekurangan wanita sekarang.” tambahnya.
“Apa kau berencana untuk mengincarnya?” Aku bertanya sambil tertawa. aku kira Ia sedang bercanda.
Tapi Kayama menatapku diam untuk sesaat tanpa membuat pernyataan lagi, dan kemudian kembali ke tempat duduknya sendiri, pada akhirnya ia tidak mengatakan apa-apa lagi .
Apa-apaan dengan sikapnya itu? aku terheran, menemukan ini semakin aneh.




Permainan Othello :

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama