Kimitsuki Chapter 1.2 Bahasa Indonesia





Dan begitulah, hari Minggu itu, aku terpaksa mengunjungi seorang gadis yang sama sekali tidak kukenal.
Rumah sakit yang merawat Watarase Mamizu bertempat di pemberhentian stasiun kereta terakhir. Setelah terguncang selama sekitar tiga puluh menit di dalam kereta yang berlawanan arah dari yang biasa kunaiki untuk pergi ke sekolah, aku akhirnya sampai di stasiun yang menjadi tujuanku.
Dari stasiun, Aku langsung menuju ke rumah sakit, dan kemudian menuju lantai empat melalui lift. Aku berjalan menyusuri koridor yang tertutupi dengan linoleum* dan mencapai pintu ke sebuah kamar rumah sakit.
(TN : Linoleum adalah bahan pelapis lantai yang terbuat dari minyak biji flax (linseed oil) dicampur dengan tepung kayu atau serbuk gabus dengan backing dari kain berserat kuat atau kanvas.)
Aku masuk ke dalam untuk menemukan ruang bersama. Para pasien di dalam ruangan tersebut semuanya perempuan; selain dua wanita, ada seorang gadis muda yang sedang membaca buku. Dia mungkin Watarase Mamizu. Aku perlahan-lahan mendekatinya. Seakan menyadari kehadiranku, dia mengalihkan tatapannya dari bukunya dan menatapku.
Dalam sekilas, Aku merasa terkejut.
Dia memang gadis yang sangat cantik.
Dia begitu cantik, tapi aku tidak bisa memikirkan orang lain yang mirip dengannya. Tatapan matanya begitu tajam. Mata hitam gelapnya dibingkai dengan bulu mata panjang yang alami dan kelopak mata yang elegan, membuat mereka terlihat lebih mengesankan. Dan kulitnya sangat putih.
Mungkin karena kulit ini, yang tidak memiliki satu tanda pun tersentuh oleh sinar matahari, suasana di sekitarnya sama sekali berbeda dengan gadis-gadis lain di kelasku. Seolah-olah dia lahir dan dibesarkan di negara lain.
Lekukan hidung yang begitu indah, pipinya terbentuk dengan mulus dan bibir kecil, saling berpadu satu sama lain. Bertubuh ramping, punggung yang agak lebar serta badan seimbang. Rambutnya yang berkilau terjatuh di depan dadanya.
Dia tidak terlihat suka berbohong. Lebih tepatnya blak-blakan.
"Watarase-san?" Aku memanggilnya dengan agak canggung.
"Benar," katanya. "Dan kamu?"
“Okada Takuya. Mulai musim semi ini, aku teman sekelasmu,”jawabku, secara singkat memperkenalkan diriku sendiri.
"Begitu ya. Senang bertemu denganmu, aku Watarase Mamizu. Katakanlah, Takuya-kun, aku ingin meminta sesuatu padamu,”katanya, tiba-tiba memanggilku dengan nama depan. “Aku ingin kamu menggunakan nama depanku dan panggil aku Mamizu.”
Aku tidak pernah memanggil orang dengan nama depan mereka, jadi aku menemukan permintaannya ini terlihat aneh. “Kenapa?” Tanyaku.
“Karena nama keluarga adalah sesuatu yang bisa berubah dengan cepat,” katanya.
Apa orang tuanya bercerai? Tapi aku merasa ragu untuk tiba-tiba menyentuh topik yang seperti ini.
“Lalu kurasa aku akan memanggilmu Mamizu.”
"Terima kasih. Aku lebih suka dipanggil dengan nama depanku,” katanya, memberikan senyum tersipu. Saat Dia melakukannya, gigi putihnya bisa terlihat seakan mengintip keluar dari mulutnya. Aku sedikit terkejut melihat betapa putihnya gigi itu. Cara dia mengatakan kata “suka” entah mengapa terdengar akrab.
“Jadi, Takuya-kun, mengapa kamu datang ke sini hari ini?”
"Ah. Sebenarnya, aku punya beberapa lembaran dan barang untuk diberikan padamu, serta surat bersama juga. Sensei bilang kalau kau mungkin akan lebih bahagia jika salah satu siswa memberikannya secara langsung kepadamu,” kataku.
“Aku senang, aku senang.”
Aku menyerahkan Mamizu sebuah amplop. Dia mengeluarkan surat bersama berwarna dari amplop dan mulai menatap itu dengan penuh minat.
“Bukannya pesanmu itu sedikit tak berperasaan, Takuya-kun?” Tanyanya.
Aku buru-buru  mengintip surat bersama yang dipegangnya. Pesan yang kutulis berada di sudut kertas berwarna.
Kuharap penyakitmu segera membaik. Okada Takuya.
"Benarkah? …"
Aku tidak berpikir bahwa itu adalah pesan yang terlalu mengerikan. Namun pastinya itu terlalu pendek, dan mungkin karena ketidakjelasan kalimat yang ditulis dalam tiga detik itu bisa terlihat. Dan mungkin berarti Mamizu tidak cukup bodoh untuk tidak bisa menyadari itu.
"Mungkin begitu. Maaf.” Aku berhenti mencoba menghindari masalah dan meminta maaf dengan sungguh-sungguh.
Mamizu menatapku dengan ekspresi sedikit terkejut. “Aku tidak terlalu berpikir bahwa itu begitu dingin sampai kau harus meminta maaf,” katanya.
Dia memiliki cara berbicara yang aneh, pikirku.
“Takuya-kun, mungkinkah sebenarnya kamu tidak ingin datang?” Tanyanya. “Mungkin Sensei memaksamu?”
Mungkin rasanya tidak terlalu peka bila aku jujur dan bilang, “Sebenarnya, Kayama yang seharusnya datang.” Aku teringat kalimat, “Keadaan mungkin membenarkan kebohongan.”
“Tidak,” kataku. “Aku datang ke sini atas keinginanku sendiri.”
"Benarkah? Itu bagus,”kata Mamizu, terlihat benar-benar lega.
Dia tampak cerdas, tapi dia tipe orang yang mengekspresikan emosinya dengan cara yang mudah dipahami, pikirku.
“Apa ini?” Tanyaku, ingin merubah topik.
Sebuah bola kaca yang tampak seperti kristal telah ditempatkan di meja samping tempat tidur. Jika dilihat lebih dekat, aku bisa melihat bahwa ada miniatur rumah di dalamnya. Itu adalah rumah kayu bergaya barat. Cahaya menembus melalui jendela yang membuatnya terlihat seperti ada seseorang yang tinggal di dalamnya.
“Ah, ini disebut bola salju. Aku sangat menyukainya. Ayo sini,”kata Mamizu, meletakkan kertas berwarna dan mengundangku untuk mendekat.
"Lihat. Ada salju di sini.”
Aku menatap kedalam dan melihat bahwa permukaan tanah di sekitar rumah yang berada didalam bola kaca tertutupi oleh sesuatu seperti taburan kecil yang menirukan salju.
“Begitu ya,” kataku.
“Bukan itu saja. Jika aku mengguncangnya seperti ini ...”
Mamizu mengguncang bola salju. Saat dia selesai, taburan kecil di dalam gelas tiba-tiba mulai menari. Melalui beberapa trik, taburan kecil tersebut mulai tersebar di sekitar dan jatuh perlahan.
"Gimana? Ini seperti salju, bukan?”
Memang, ini mirip seperti salju.
“Ayahku membelikan ini untukk ... tapi, Aku tidak bisa menemui ayahku lagi. Itu sebabnya aku menghargai ini,”kata Mamizu.
Jadi, orang tuanya benar-benar bercerai? pikirku, tapi aku tidak bisa bertanya padanya.
“Aku melihat itu dan mulai membayangkan,” lanjut Mamizu. “Aku membayangkan bahwa aku tinggal di sebuah negara bersalju, dan ketika musim dingin tiba, salju pun turun. napasku akan selalu putih. Aku menghabiskan waktuku dengan membaca buku sembari di hangatkan oleh perapian. Aku menikmati membayangkan itu.”
Salju terus turun didalam bola kaca.
Mamizu terus berbicara. Mungkinkah dia mencari seseorang untuk diajak bicara? Caranya berbicara membuat pemikiran seperti itu terlintas di dalam kepalaku. Namun aku tidak membencinya. Percakapan itu sendiri tidak membosankan, dan aku senang mendengarnya berbicara.
Percakapan akhirnya terhenti saat malam tiba. Aku memutuskan bahwa sudah waktunya untuk pulang.
“Hei, Takuya-kun,” ucap Mamizu ketika aku hendak pergi. “Apa kamu mau datang bermain lagi nanti?”
Aku merasa bingung. Tetapi melihat ekspresinya yang kesepian, aku tidak bisa mengatakan, “Tidak, aku tidak punya niat untuk datang lagi.”
"Secepatnya, mungkin."
Aku memberinya jawaban yang samar.
“Dan aku punya permintaan,” kata Mamizu.
“Apa itu?” Tanyaku.
“Aku ingin memakan Pocky Almond Crush,” katanya, tampak sedikit malu.
"Pocky?"
“Sebenarnya, aku hanya diperbolehkan makan makanan rumah sakit. Dan ibuku adalah orang yang ketat, jadi dia tidak akan membelikannya untukku bahkan jika aku memintanya. Pocky tersebut tidak dijual di toko yang berada di rumah sakit ini. Aku tidak mempunyai siapapun untuk kuminta.”Mamizu menatapku dengan mata sedikit menengadah. “apakah aku terlalu banyak meminta?”
“Mmm, yah, baiklah,” jawabku tanpa terlalu memikirkan hal tersebut, dan kemudian meninggalkan ruangan.




BOLA SALJU :













Pocky :

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama