Kimitsuki Chapter 3.6 Bahasa Indonesia





Hujan turun keesokan harinya, jadi aku pergi ke rumah sakit dengan membawa payung. Tempat payung sudah penuh dengan payung pengunjung lain. Tumben sekali ada banyak pengunjung? Aku tidak mau repot-repot, jadi aku memasukkannya ke tempat yang terdekat dan masuk ke dalam. Saat ruangan Mamizu menjadi ruangan pribadi, dia pindah dari lantai empat ke lantai enam. Tapi aku bahkan tidak bisa menunggu lift.Aku menjadi tak sabaran. Ada bola salju di dalam tasku. Aku menaiki tangga, satu demi satu. Aku mulai berkeringat sedikit. Rasanya seperti semacam pelatihan ringan.
Aku akan mengatakannya dengan jelas.
Hari ini, aku akan mengatakannya sekali lagi.
Entah bagaimana aku berhasil naik ke lantai enam dan tiba di depan kamar Mamizu.
Ada semacam tanda yang tergantung di pintu.
Pengunjung dilarang masuk
Itulah yang tertulis.
Pundakku bergetar. Rasanya ada benda tumpul yang memukulku dari belakang kepala. Tulang belakangku membeku. Tidak mungkin, pikirku.
Karena tidak bisa berdiri dengan tegak, aku jatuh terduduk. Napasku menjadi tersenggal-senggal seolah kehabisan nafas. Dunia tampak berputar. Aku merasa ingin muntah. Aku berjongkok di sana untuk sementara waktu.
Apa yang sedang terjadi di dalam?  Tapi kalaupun aku masuk ke dalam, aku tidak bisa melakukan apapun. Jika itu menyebabkan kondisi Mamizu memburuk, itu akan menghancurkan maksud tujuanku ke sini. Tapi aku ingin mengetahui situasi Mamizu sekarang.
Aku pergi menuju ke pusat perawat untuk menemui Okazaki-san. Baru kemarin aku berada di sini, tapi jarak pusat perawat terasa berbeda sekali. Entah bagaimana rasanya sangat jauh. Padahal tidak ada yang berubah, tapi begitulah yang aku rasakan.
"Permisi, aku ingin bertanya tentang Watarase Mamizu. Bagaimana situasinya saat ini? "Tanyaku.
Tapi Okazaki-san tidak ada di sana. Dia tidak bertugas atau sibuk di tempat lain.
"Maaf, anda siapa?" Tanya perawat yang sedang berjaga.
Aku berhenti sejenak, bingung. Apa hubunganku dengan Mamizu? Aku tidak bisa memikirkan kata yang tepat untuk mendefinisikan hubungan kita.
Aku…
"Kenalannya," kataku.
"Kalau begitu, Watarase-san tidak boleh menerima pengunjung sekarang. Silakan datang berkunjung lain hari. "
Setelah mendengar jawaban yang dangkal begitu, aku membalikkan badanku, lalu melangkah tidak berdaya.
Tapi aku tidak bisa pulang begitu saja.
Aku duduk di bangku dan menatap lantai di depan ruangan Mamizu.
Aku penasaran, apakah  Okazaki-san akan datang dan memanggilku jika aku duduk di sana seperti itu. Tapi akhirnya, dia tidak pernah muncul.
Aku sangat cemas serta tak berdaya sampai-sampai kupikir aku akan mati.
Tanpa aku sadari, waktu sudah menunjukkan jam delapan malam.
"Waktu berkunjung sudah selesai, jadi ..." kata salah satu perawat lainnya, menyuruhku pulang.
Aku bahkan tidak memiliki keinginan untuk meresponnya. Aku melangkah ke lift dengan langkah kaki yang berat.
Dalam perjalanan pulang, aku mengirim sekitar dua puluh pesan kepada Mamizu dari ponselku.
> Apa ada yang salah?
> Apa kau baik-baik saja?
> Apa kau tidak baik-baik saja?
> Kau hidup, ‘kan?
> Kau baik-baik saja, bukan?
> Tolong katakan padaku kalau kau baik-baik saja
> Hei
> Oi
> Jangan mati
> Kau tidak bisa mati
> Kau masih punya beberapa hal yang kau ingin aku lakukan, bukan?
> Masih ada banyak, ‘kan?
> Mati itu membosankan, lo
> Karena rasanya hampa [ç„¡]
> Ini benar-benar membosankan
> Ayo main
> Aku sedang makan mie cup di minimarket sekarang
> Aku merasa lapar bahkan saat aku sedih
> Fakta itu sangat menyedihkan
> Kapan-kapan, ayo menyelinap keluar dari rumah sakit dan pergi ke suatu tempat
> Seharusnya kita melakukan itu lebih cepat
> Iya, ‘kan?
> Ayo kita nikmati hidup ini
> Kau masih hidup, kan?
> Tolong jangan mati
> Tolong
> Aku mohon padamu
> Hiduplah
Tidak ada tanda kalau pesan yang telah dibaca. Mamizu benar-benar diam.
Aku tidak bisa mengedipkan mata sedikitpun, dan pagi pun menjelang. Aku merasa seolah-olah bisa hidup tanpa pernah tidur lagi. Aku merasa mual, jadi aku muntah. Itu adalah mie cup yang aku makan tadi malam. Aku ingin menjadi sakit untuk menggantikan Mamizu. Atau mati menggantikan dirinya. Aku belum mempersiapkan diri untuk hidup di dunia ini tanpa Mamizu.
Aku merasa tidak bisa tidur jika aku terus berada di rumah, dan aku juga tidak ingin pergi ke sekolah, jadi aku pergi ke luar. Pikiranku terasa samar-samar karena aku kurang tidur, tapi pada saat yang bersamaan,  juga jernih. Ketika dimasukkan ke dalam kata-kata seperti itu, keduanya terdengar kontradiksi, namun kekaburan dan kejernihannya tersebut memang benar ada di dalam diriku.
Tidak ada orang di sekitar area perumahan. Itu membuatku merasa kesepian. Aku bahkan tidak tahu kapan aku menjadi sangat lemah terhadap kesendirian. Meski aku pernah berpikir kalau orang lain hanyalah menyebalkan. Manusia bisa berubah dengan cepat ya, pikirku dengan tenang.
Aku naik kereta, pergi ke distrik bisnis dan menembak zombie di pusat permainan. Tidak peduli berapa banyak yang aku bunuh, para zombie terus menyerangku. Mereka memiliki begitu banyak HP,pikirku. Pada akhirnya, aku dimakan oleh para zombie, jadi aku pindah ke game balapan. Meski hancur karena tabrakan, aku masih hidup. Aku abadi. Tidak peduli apa yang aku lakukan, aku tidak mati.
Setelah itu, aku mengambil purikura sendiri. Menatap wajahku sendiri dan tertawa saat melihat mataku semakin lebar dan lebar. Aku pergi keluar dan membakar semuanya. Aku mengisap tiga batang rokok pada saat bersamaan. Asap rokoknya menyengat mataku. (TN:kalau di Indonesia  photo box)
Ada sesuatu yang terbesit dibenakku saat melintasi penyeberangan pejalan kaki, jadi aku naik taksi yang terparkir di dekat jalan.
"Tolong bawa aku ke laut," kataku.
Aku tidak tahu apakah aku memiliki cukup uang, tapi aku tidak terlalu peduli.
Semuanya akan menyenangkan jika Mamizu bersamaku, tapi bila melakukan sesuatu ini sendiri,  membuatku sedih.
Aku sampai di tepi laut. Uangku pas-pasan. Tapi masalahnya, aku tidak tahu bagaimana caraku bisa kembali. Nah, semuanya mungkin akan berhasil. Palingan nanti aku akan menumpang. Bukan berarti aku belum pernah melakukan itu.
Tanpa diduga, ada beberapa orang di pantai. Aku mengubur diriku ke dalam pasir. Sesekali, ada orang yang berjalan melewatiku, menatapku seakan-akan aku ini orang gila. Aku tidak peduli sama sekali. Aku berguling-guling di atas pasir seolah-olah itu adalah karpet rumahku sendiri. Perasaan waktuku mulai menjadi lumpuh. Mungkin aku tidur sebentar, mungkin juga tidak. Bahkan jika aku melakukannya, itu hanya untuk beberapa detik. Itu menjadi malam, dan malam hari.
Tanpa aku sadari, ada petugas polisi yang datang untuk memeriksaku.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya.
"Aku baik-baik saja ... aku masih normal," jawabku dengan monoton.
Dan kemudian ponselku berdering. Aku langsung menjawabnya tanpa melihat layar.
"Maaf. Aku tidur kemarin. Apa-apaan dengan pesan itu? Apa kamu mengkhawatirkanku? "
Suara Mamizu bisa terdengar. Walau kedengarannya lemah.
"Ya. Maaf. Aku hanya merasa sedikit cemas, "kataku.
"Takuya-kun ?! Apa kamu menangis? "kata Mamizu, terdengar terkejut.
"Berisik. Aku nggak menangis, kok. "Hanya itu saja yang bisa aku katakan.

uuu

Keesokan paginya, saat aku mengunjungi ruangan Mamizu di rumah sakit, lengannya dikelilingi tabung tabung aneh. Meski begitu, Mamizu tampak sangat ceria. Saat aku memasuki ruangan, dia bangkit dan langsung menyambutku.
"Belakangan ini aku selalu mengantuk, jadi aku sering tidur," katanya.
Apa Mamizu tidak tahu kalau kemarin aku datang ke sini?
Yah, aku tidak peduli tentang itu.
"Aku senang kau hidup." Begitulah perasaanku. Aku hampir merasa seperti tertawa.
Jika Mamizu sehat, mungkin aku bisa memikirkan lebih banyak hal mengenai dirinya.
Misalnya, ingin bersamanya seperti begini lagi.
Atau ingin disukai olehnya.
Atau ingin diperlakukan baik olehnya.
Atau ingin dia tidak berbohong padaku.
Tapi semua itu telah terkelupas layaknya kulit buah, satu demi satu, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah sebuah perasaan bahwa semuanya baik-baik saja selama dia masih hidup.
Ya, semuanya baik-baik saja selama dia masih hidup.
"Ada apa, Takuya-kun?"
Aku menutup mataku sesaat untuk menahan perasaan ini.
"Jangan diam saja," kata Mamizu.
"Aku tidak punya uang," ucapku.
"Hah? Apa kamu meminta uang dariku? "
"Bukan begitu. Kemarin, Aku pergi ke pantai dengan taksi dan semua uangku sudah habis, jadi aku dalam masalah. "
"Kenapa kamu pergi ke pantai?"
"Kupikir aku akan pergi berenang, tapi kelihatannya terlalu dingin, jadi aku menyerah. Setelah itu, seorang polisi mengira kalau aku ini semacam orang yang mencurigakan, jadi aku diinterogasi. "
"Apa kamu bodoh?" Tanya Mamizu.
"Mungkin saja. Jadi, aku meminjam uang di pos polisi untuk pulang, "balasku.
"Membuat perjalanan kembali merepotkan, ya."
"Memang, jaraknya cukup jauh juga."
"Takuya-kun, ayo sini dengarkan." Mamizu tiba-tiba memanggilku.
"Baiklah." Aku mendekati tempat tidur Mamizu.
Aku sedikit gugup.
Mamizu mengulurkan tangannya untuk meraih lenganku dan menarikku kuat-kuat.
Aku jatuh ke dadanya.
Aku bisa merasakan sensasi lembut.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyaku. Aku dipegang erat-erat. "Bukannya tadi kau bilang, 'dengar?'"
"Ya. Dengarkan suara detak jantungku. "
Aku mendengarkan dengan saksama, dan aku bisa mendengarnya dengan jelas.
"Ini masih berdetak kencang, bukan?" Kata Mamizu.
Aku perlahan memeluknya.
"Wah, hei, aku susah bernafas, nih!" Mamizu tertawa, wajahnya tampak memerah. "Lepaskan aku, dasar cabul, hentai!"
Aku tidak mau melepaskannya.
"Takuya-kun, hatiku sakit," kata Mamizu, mendorongku pergi. Tangannya masih memiliki tenaga di dalamnya. "Hei, coba bayangkan. Jika orang yang kamu cintai meninggal, rasanya akan menyakitkan. Ini akan melelahkan. Kamu takkan bisa melupakan mereka. Kamu tidak menginginkan itu, ‘kan? Aku mencoba membayangkannya. Aku pikir itu mustahil untuk hidup terus.Jadi, ayo hentikan ini, oke? Ayo kita berhenti di sini. "
"Diam," kataku sambil menatap matanya. "Aku tidak peduli apakah itu menyakitkan atau melelahkan. Aku takkan pernah melupakanmu."
"Itu menyusahkanku," kata Mamizu sambil mengalihkan tatapannya dan menutupi wajahnya.
"Aku mencintaimu."
Aku akan berhenti melarikan diri dari perasaanku, pikirku. Aku tidak bisa melepaskan diri dari rasa ini.
Aku ... kita , tidak bisa lepas dari perasaan ini.
"Justru itu yang menyusahkanku," katanya sambil berpaling dan menarik diri dariku. Dia meringkuk seakan-akan takut pada sesuatu, seolah-olah dia takut akan hal itu.
"Mengapa?” Aku bertanya.
Mamizu terdiam untuk beberapa lama. Aku tidak menengok jam, jadi aku tidak tahu berapa detik atau menitnya, tapi kami berdua tetap diam, seolah-olah dunia masih berjalan. Namun, kami tidak bergerak.
Lalu Mamizu menatapku.
Dia terus menatapku dalam diam.
Aku tidak memalingkan muka.
Kami saling menatap untuk waktu yang lama.
Aku takkan berpaling, pikirku. Aku merasa,  ada sesuatu yang akan rusak jika aku berpaling pada saat ini.
Mamizu menatapku seolah dia marah.
Matanya begitu cantik, pikirku.
Air mata mengalir dari mata itu.
Seperti bendungan yang meledak, begitu air matanya mulai mengalir, mereka mulai mengalir tanpa henti.
Meski begitu, aku terus menatapnya tanpa bergerak sedikit pun.
Lalu, dia akhirnya mengucapkan sesuatu.
"Karena aku juga mencintaimu, Takuya-kun."
Aku berharap, waktu akan berhenti pada saat ini.

uuuu

Terkadang, saat aku merenungkan fakta kalau Mamizu akan segera meninggal, membuatku merasa kalau sebaiknya  aku juga mati.
Semua manusia akan meninggal suatu hari nanti. Cepat atau lambat, mereka pasti mati.
Jika begitu, apakah aku meninggal sekarang atau nanti, tidak masalah, bukan? Pemikiran seperti itu kadang melintas di kepalaku.
Sepertinya aku tidak bisa menghadapi kenyataan yang kejam, bahwa dunia ini akan terus berlanjut bahkan setelah Mamizu pergi. Aku mungkin merasa baik-baik saja jika semua umat manusia lahir pada saat bersamaan dan meninggal pada saat bersamaan, pikirku.
Aku pikir dunia ini sangat kejam.
Aku tidak tahu makna di balik kehidupan. Ini bukan sesuatu yang baru saja dimulai; Aku sudah lama memikirkan hal ini.
"Akhir-akhir ini kau terlihat mengerikan," ejek Kayama padaku pas waktu istirahat makan siang.
"Jangan sembarangan," kataku.
"Kau tidak sedang memikirkan sesuatu yang aneh, kan?"
"Apa maksudmu, 'sesuatu yang aneh?'"
Kayama terdiam.
"Apa wajahku terlihat seperti aku akan lari ke gedung DPR sambil membawa bom atau semacamnya?" Tanyaku.
"Ya. Sepertinya Kau ingin menyerbu sekolah khusus perempuan. "
"Apa kau mau melakukannya bersamaku?"
"Aku akan bergabung denganmu kapan saja."
Aku tertawa sedikit.
Kayama pun ikut tertawa.
"Terima kasih, Kayama," kataku.
"Bagaimana dengan Watarase Mamizu?" Tanya Kayama.
"Tidak ada yang akan terjadi." Jawabku dengan jujur.
"Lalu lakukanlah sesuatu. Kau ini cowok, ‘kan? "
Aku ingin menyanggah, "Ini bukan masalah menjadi cowok atau cewek, bukan?" Tapi sepertinya ini hanya akan menghasilkan percakapan tanpa tujuan, jadi aku tidak mengatakannya.
"Apa yang harus aku lakukan?" Tanyaku, tidak mengharapkan jawaban.
"Kau hanya perlu berada di sisinya dan mendengarkannya." Balasan Kayama adalah sesuatu yang sangat jelas. Itu seperti kepingan nasihat yang biasa diberikan untuk pasangan normal.
"Kurasa begitu," jawabku singkat.

uuuu

Mamizu dan aku terus menghitung hari saat kami menghabiskan waktu bersama. Kondisinya sering berubah-ubah, kadang kala membaik dan terkadang juga semakin parah. Ada kalanya dia tidak boleh dikunjungi, sama seperti sebelumnya. Meski begitu, saat keadaannya membaik, kami bisa melakukan percakapan seperti biasa. Mamizu tidak memintaku melakukan 'hal-hal yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggal' lagi.
"Apa kau tidak ingin melakukan sesuatu?" kataku di hari tertentu.
"Kalau begitu ... aku ingin mencoba berciuman," kata Mamizu.
"Itu berarti, seperti biasa, aku harus pergi ke suatu tempat dan mencium seseorang untuk menggantikan tempatmu, ‘kan, Mamizu?"
"Betul. Kamu hanya perlu pergi ke luar dan mencium siapa pun yang ingin kamu cium, Takuya-kun! Hei, tunggu, ah! "
Aku mencoba mendorong Mamizu ke bawah dan menciumnya dengan paksa. Dia berjuang dan menolak.
"Tunggu! Ini terlalu awal!"
Dia berjuang keras sampai segitunya jadi aku berhenti.
"Aku mencintaimu, Takuya-kun. Aku minta maaf atas segalanya sampai sekarang, "kata Mamizu, seolah menghiburku karena tidak bisa menciumnya. "Hei, mungkin kita seharusnya jujur seperti ini? Sekarang sudah agak terlambat, ya? "
"Yah ... tapi itu penting buat kita. Jika hal seperti ini tidak terjadi, hubungan kita pasti berbeda. Kita mungkin takkan saling mengenal. Jadi tidak apa-apa seperti ini, "kataku.
"Seperti bola salju yang tidak menarik itu?" sindir Mamizu, menunjuk bola salju di samping tempat tidurnya. Bola salju yang aku buat ulang dengan memakai botol kaca. Miniatur rumah kayu yang sama ada di dalamnya.
"Apa kau tidak menyukainya?"
"Bentuknya sedikit berbeda, tapi ... kurasa aku bisa merasakan cinta di dalamnya."

uuu

Belakangan ini, aku merasa sulit untuk tidur.
Jadi, sebagai gantinya aku tertidur di kelas. Aku tidak melakukan apapun kecuali tidur di siang hari, jadi gaya hidupku berubah menjadi nokturnal.
Aku terbangun di malam hari. Aku melihat jam yang menunjukkan pukul 2 dinihari. Kurang dari satu jam telah berlalu sejak aku tertidur. Aku mencoba tidur lagi, tapi sepertinya mustahil.
Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku mulai bersih-bersih kamar.
Aslinya, kamarku tidak perlu dibersihkan; Ini hanya pengalihan selama aku bisa membenamkan diri di dalamnya dan berada dalam keadaan tidak berpikir.
Kamarku penuh dengan hal-hal yang tidak aku butuhkan. Kurasa aku akan membuang semuanya, pikirku.
Ada tali di dalam laci mejaku saat aku ingin membersihkan meja.
Itu adalah sesuatu yang kuambil dari kamar kakakku Meiko dan tersembunyi di kamarku sendiri.

rrr
Meiko sering melamun setelah pacarnya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas.
Meski begitu, aku pikir dia mencoba bersikap ceria saat di hadapanku.
Saat itu aku baru masuk sekolah SMP, dan mungkin dari sudut pandang Meiko, aku ini masih terlalu kecil untuk  seseorang yang bisa di ajak curhat mengenai masalahnya.
Begitulah sifat Meiko, tapi aku mengkhawatirkannya.
Suatu hari, saat aku tak sengaja masuk ke kamarnya, Meiko sedang melakukan sesuatu yang aneh.
Dia mengikat seutas tali yang berbentuk lingkaran.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyaku.
"Kamu harus belajar mengetuk, Takuya," Ucap kakakku dengan marah.
"Apa yang akan kau lakukan dengan itu?"
"Anggap apa yang sudah kamu lihat hari ini tidak pernah terjadi. Pastikan kamu merahasiakannya, bahkan dari ibu, oke? "
"Kenapa?"
"Karena, martabat seseorang tergantung padanya."
Waktu itu, aku sama sekali tidak mengerti arti di balik kata-kata Meiko.
Tapi, ekspresi Meiko sangat serius sehingga aku tidak punya pilihan selain menjawab, "Baiklah."
Aku tidak tahu maksud perkataannya, tapi bukan berarti aku tidak tahu arti di balik tali itu.
Keesokan harinya, sebuah mobil menabrak Meiko saat dia sedang menyeberang jalan, dan dia meninggal.
Dikatakan bahwa dia mencoba berlari melintasi jalan tanpa ada lampu lalu lintas atau semacamnya, di mana mobil sering bolak-balik dengan kecepatan tinggi.
Tidak ada yang tahu mengapa dia bertindak sembrono begitu.
Tapi sebelum diadakannya pemakaman Meiko, aku teringat tali itu. Aku masuk ke dalam kamar Meiko, mengambil tali itu dan menyembunyikannya di kamarku sendiri. Aku tidak pernah memberitahu siapa pun tentang hal itu. Aku punya firasat kalau itu adalah sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan pada siapa pun.
Sekarang, aku merasa bisa memahami arti 'martabat' yang telah disebutkan Meiko.
Setelah mengenang masa lalu, aku mencoba melewati kepalaku melalui lingkaran yang dibuat Meiko dengan tali itu.
Aku memejamkan mata sedikit dan berbaring.
Aku merasa bahwa aku mungkin bisa bertemu dengan Meiko dalam mimpiku jika aku melakukan itu.

uuuu

Aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku di maid kafe. Karena aku benar-benar tidak dapat berkonsentrasi, aku selalu menyebabkan masalah bagi semua orang. Tapi, alasan terbesarku adalah karena aku ingin menghargai waktu yang bisa aku habiskan bersama Mamizu.
Tapi saat aku memberi tahu Owner kalau aku akan berhenti, mendadak aku merasa sangat sedih. Hargailah hari-hari yang tersisa. Aku merasa bila berhenti dari pekerjaan part-time karena alasan itu, sama saja dengan aku sudah menerima kematian Mamizu. Aku merasa sedikit lelah saat pemikiran itu terlintas di kepalaku.
Setelah shift terakhirku selesai, aku bersama Riko-chan-san dalam perjalanan pulang seperti biasa.
"Apa kamu baik-baik saja?" Riko-chan-san bertanya kepadaku. Ini sudah ke-30 kalinya dia bertanya sejak kami mulai berjalan. Rasanya menjadi sedikit menjengkelkan.
Tapi menyadari kalau aku mungkin membuat wajah yang tidak terlihat baik, aku tidak ingin menjawabnya. Sebenarnya, perasaan bersalahku terjadi sebelum rasa jengkelku.
"Aku baik-baik saja," kataku.
Lampu berubah dari hijau menjadi merah. Aku tidak memperhatikannya. Tanpa kusadari, aku sudah mengembangkan kebiasaan berjalan dengan kepala menghadap ke bawah.
Riko-chan-san lebih dulu menyeberangi persimpangan, lalu berbalik, dan memanggilku."Okada-kun, berbahaya kalau kamu tidak berjalan cepat dan menyeberang."
Aku melihat ke sekeliling dan melihat bahwa lalu lintasnya jarang. Hanya ada satu mobil yang mendekat.
"Aku baik-baik saja," kataku.
Tubuhku entah bagaimana kehilangan kekuatannya, dan aku menatap mobil yang mendekat dengan linglung.
Aku perhatikan bahwa itu adalah model mobil yang sama yang pernah menabarak kakakku, Meiko.
Pada saat itu, aku merasakan sebuah sensasi aneh yang masuk ke dalam kesadaranku.



Aku merasa, jika aku berdiri di sana sedikit lebih lama, aku akan mengerti perasaan Meiko.



Aku tidak bisa melangkah sedikit pun.
Rasanya seperti berada dalam keadaan sleep paralysis.
Riko-chan-san meneriakkan sesuatu, menyeretku kembali ke akal sehatku. Saat aku sadar, dia ada di depanku. Dia menempatkan dirinya di antara diriku dan mobil.
"BERHENTI!"
Mobil tersebut langsung menginjak rem dan berhenti tepat pada waktunya sebelum menabrak Riko-chan-san. Riko-chan-san menarikku dengan paksa ke jalan seberang.
Dia memelototiku dengan tatapan mengerikannya. Kupikir dia akan mengatakan sesuatu padaku. Kupikir tidak apa-apa kalau dia mengatakan sesuatu padaku. Tapi nyatanya dia hanya diam.Dia mengangkat tangannya. Kupikir dia akan menamparku, tapi ternyata tidak. Sebagai gantinya, tangannya menyentuh pipiku.
Riko-chan-san menangis.
Kenapa kau menangis? Pikirku.
"Okada-kun, hatimu hancur," kata Riko-chan-san, dan setelah itu, dia berbalik memunggungiku dan berjalan pergi.
Aku berdiri dengan linglung di jalan setapak untuk waktu yang lama.


 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama