Three Days Happiness Chapter 10 Bahasa Indonesia



Chapter 10  -  Untuk Satu-satunya Teman Masa Kecilku

Aku hampir tidak mengingat apapun yang kubicarakan dengan Himeno setelah kami bertemu kembali. Bahkan, aku tidak mengingat bagaimana Himeno terlihat atau bertingkah. Aku begitu bahagia hingga aku bicara tanpa berpikir.
Tapi tidak masalah apa isi percakapannya. Aku hanya perlu mengatakan sesuatu dan direspon oleh Himeno, hanya itu yang kuperlukan.

Nampaknya dia tidak datang untuk festival. Dia kesini untuk sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan mobilnya memang diparkir di dekat kuil, jadi dia berjalan melewatinya. Dia menghindari pertanyaan apa yang dia kerjakan saat ini. Himeno hanya memberitahuku kalau itu adalah pekerjaan “dari-orang-ke-orang”.
“Aku ingin terus mengobrol, tapi aku harus bangun lebih pagi,” katanya, ingin segera pergi, jadi aku mengundangnya pergi minum atau melakukan apapun beberapa saat kemudian.
Alkohol tidak mungkin, tapi tentu, kami bisa makan, Himeno setuju.
Berjanji akan menemuiku untuk makan malam lusa, dan akhirnya berpisah.

Aku benar-benar sangat senang hingga melupakan Miyagi untuk beberapa saat.
 “Itu bagus,” kata Miyagi.
“Aku sendiri tidak menyangka sesuatu seperti ini akan terjadi.”
“Aku juga. Benar-benar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.”
“Ya… aku rasa itu terkadang bisa terjadi.”

Aku akan bertemu lagi dengan Himeno dalam dua hari. Aku perlu mempertimbangkan pertunjukan utamanya, menurutku. Jadi aku perlu bersiap sebelumnya.
Kembali ke apartemen, aku mencoret Himeno dari Hal yang harus kulakukan sebelum meninggal, dan saat aku sudah siap untuk tidur, aku memberitahu Miyagi.
“Aku punya permintaan yang aneh untukmu.”
“Aku tidak minum.”
“Bukan itu. Ini untuk besok. Aku ingin sangat yakin untuk bertemu Himeno. Untungnya, aku punya dua hari, jadi aku bisa menggunakan besok untuk bersiap. Dan ingin kau membantuku menyiapkan diri.”
“Menyiapkan dirimu?”.
“Aku tahu tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu darimu, jadi aku akan jujur. Selama dua puluh tahun, aku tidak pernah berinteraksi dengan gadis, tidak pernah. Jadi kalau aku bertemu Himeno begitu saja, aku pasti akan membuatnya bosan dan mengacau. Untuk menguranginya, aku ingin pergi ke kota besok dan berlatih.”
Wajah Miyagi tampak kosong selama beberapa detik.

“Bila aku tidak salah… kamu ingin aku memainkan peran sebagai Himeno-san?”
“Benar, apa kamu mau?”
“… Sebenarnya, itu bukan masalah, tapi kurasa akan ada banyak masalah…”
“Oh, maksudmu dengan hanya aku yang bisa melihatmu?”
“Ya, itu,” jawab Miyagi.
“Itu bukan masalah. Kenapa aku harus peduli dengan apa yang orang-orang pikirkan? Yang paling penting adalah fokus pada bagaimana membuat Himeno merasa nyaman denganku. Kurasa meskipun semua orang mengejekku, selama Himeno menyukaiku sedikit, aku sudah puas dengan itu.”
Miyagi tampak terkejut. “Kau berubah begitu saja ketika menyangkut Nona Himeno, bukan. .. tapi kurasa ada masalah lain. Seperti yang kamu tahu, aku hanya tahu sedikit tentang bagaimana perempuan dalam generasiku berpikir. Karena itu, kurasa kamu tidak bisa mempertimbangkanku sebagai pengganti yang pantas. Apa yang mungkin memuaskan Himeno-san bisa membuatku kesal, apa yang membosankan untuk Himeno-san bisa jadi seru untukku, apa yang kasar untuk Himeno-san bisa saja sopan untukku – bisa ada banyak perbedaan. Jadi, mencari contoh lain dari perempuan berumur 20…”
“Kamu cepat merendah  jika membicarakan dirimu, bukan,” selaku. “TIdak ada masalah. Selama ini, kamu tidak begitu berbeda dari gadis lainnya. Kecuali bagian dimana kau agak manis.”
“… Baiklah, kalau bukan masalah,” jawab Miyagi dengan gugup.
****
Keesokan harinya, aku memesan salon dan pergi ke kota untuk membeli pakaian dan sepatu. Aku tidak bisa bertemu Himeno menggunakan jeans biru lusuh dan sepatu kets kotorku. 
Mencari toko yang sesuai dengan seleraku dan mengikuti saran Miyagi, aku membeli kaos polo Fred Petty, celana Chino, sabuk yang serasi, dan kemudian di toko sepatu, membeli sepatu berwarna coklat-padang pasir.
“Kurasa kamu tidak perlu mengenakan pakaian yang terlalu mewah. Selama terlihat bersih, itu sudha cukup.”
“Bisakah aku mengartikannya sebagai “kamu terlihat tampan apapun yang kamu pakai?”, tanyaku.
“Kamu boleh mengartikannya sesukamu.”
“Oke. Aku akan melakukannya. Tampak seperti pujian untukku.”
“Tak perlu mengungkapkan setiap pikiranmu.”
Setelah selesai belanja, kami pergi ke salon agak sedikit lebih cepat dari janji yang sudah kubuat. Seperti saran Miyagi, aku hanya menjelaskan “Aku akan pergi bertemu seseorang yang penting besok.” Perempuan pemotongnya memberiku senyum yang puas dan dengan semangat memotong rambutku, memberiku banyak tips praktis untuk hari besarku.
Menggunakan pakaian baru dan rambut yang rapi, aku jelas terlihat seperti orang yang berbeda. Rambut suramku dan pakaian kummel sepertinya mempengaruhi penampilanku lebih dari yang kukira. Sekarang dengan hilangnya itu semua, aku tampak seperti pria muda yang baru keluar dari video musik pop.


“Kenapa, kau tampak seperti orang yang berbeda dari kemarin,” kata Miyagi kepadaku.
“Yaps, aku benar-benar tidak terlihat seperti pria yang hidupnya hanya berharga 10,000 yen setahun, huh?
“Memang. Seolah kau memiliki masa depan yang bahagia.”
“Terima kasih. Kamu sendiri tampak seperti peri perpustakaan saat tersenyum.”
“… Kau menjadi lebih banyak bicara hari ini, Kusunoki-san.”
“Sepertinya.”
“Jadi apa maksudmu dengan “peri perpustakaan”?”
“Maksudku adalah perempuan yang anggun dan cerdas.”
“Tolong simpan itu untuk Himeno-san, oke?”
“Tapi dia berbeda denganmu. Aku bicara tentang dirimu, Miyagi.”
(Tl note : wuuaahh MC nya ngegombal terus nih -,- mau naikkin ‘flag’ Miyagi?)

Ekspresinya masih sama, dia perlahan menundukkan kepalanya. “Kalau begitu, terima kasih. Kamu dan aku hampir tidak berharga sebgai manusia, bagaimanapun. Sesuai dengan penilaian yang kita terima.”
“Cukup aneh,” jawabku.
Kami sampai di restoran itali di samping jalan, dan tentu saja percakapan kami terdengar seperti aku bicara sendiri. Ada pasangan paruh baya yang melirikku dan berbisik dengan pasangannya.
Setelah kami makan, kami meninggalkan jalan utama, menuruni tangga di sisi jembatan, dan berjalan menyusuri sungai.
Aku benar-benar mabuk saat itu, jadi aku memegang tangan Miyagi sembari mengayunkannya kedepan dan kebelakang saat kami berjalan. Miyagi tampak khawatir, dan aku terus menariknya. Orang lain mungkin hanya melihatku berjalan dengan aneh, dan aku tidak peduli. Lagipula aku tidak pernah berada di jajaran orang baik.
Jadi mungkin sekalian saja membuatku menjadi aneh. Semua akan lebih mudah.


Setelah Miyagi terbiasa memegang tanganku, dia bicara dengan wajah yang jelas, “Sekarang, Kusunoki yang mabuk, coba pikirkan aku sebagai Himeno-san dan rayu aku.”
Aku berhenti dan menatap Miyagi tepat dimatanya. “Kau muncul didekatku adalah hal terbaik yang pernah terjadi di hidupku. hal yang terburuk adalah ketika kamu pergi dari pandanganku… dan tergantung jawabanmu sekarang, aku mungkin bisa menjadi yang terbaik atau yang terburuk.”
“Itu cukup mulus untuk rayuan yang berbelit-belit. Aku terkesan.”
“Jadi bagaimana Himeno akan menjawab menurutmu?”
“Ah, sebenarnya, kalau itu Nona Himeno,” Miyagi berpikir dengan tangan di mulutnya.
“… Mungkin dia akan mengatakan “Omong kosong apa yang kamu bicarakan?” dan mencoba menertawainya.”
“Huh. Bagaimana kalau itu Miyagi?”
“… Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Bercanda. Jangan memikirkannya,” aku tertawa sendiri.
“Apa kamu orang seperti itu, Kusunoki-san? Orang yang suka bercanda.”
“Aku juga tidak yakin. Aku tidak begitu mempercayai kata seperti “personalitas” atau “karakter” atau “watak”. Itu selalu berubah sesuai keadaan. Melihatnya dalam jangka panjang, apa yang membedakan orang dengan orang lain adalah situasi yang sering mereka hadapi. Orang selalu percaya pada konsistensi, tapi itu mungkin jauh lebih dangkal dari yang kebanyakan orang pikirkan.”
“Aku tidak menyangka kamu mengatakan sesuatu seperti ini.”
“Semua orang selalu berpikir mereka adalah pengecualian ketika ada statistik yang menyedihkan.”
Miyagi menghela perlahan. “Kurasa itu benar,” katanya setuju dengan pernyataanku.
Saat kami lelah berjalan, kami naik bis. Ada beberapa penumpang, tapi aku tetap bicara pada Miyagi tentang ingatanku dengan Himeno. Kami pindah bis dan turun di tempat melihat pemandangan, tempat kencan yang terkenal di kota. Ada sekitar sepuluh pasangan yang memeluk satu sama lain dan diam-diam berciuman, tapi aku tetap bicara dengan Miyagi bagaimanapun. Anehnya, aku tidak merasakan begitu banyak orang yang mengawasiku. Semua orang sibuk dengan diri mereka sendiri.
“Himeno ada disana saat aku pertama kali tiba. Pegangan di atas tangga spiral itu tepat tingginya untuk anak yang ingin pergi keatas. Jadi Himeno mencoba untuk naik, tapi aku melihat celah yang ada di pegangan saat Himeno hendak jatuh ke tanah. Kalau aku tidak ada disana untuk menghentikannya, dia mungkin akan naik. Dia bertingkah pintar, tapi kadang juga bisa bodoh. Seperti kamu tidak bisa meninggalkannya sendirian. Aku bergegas untuk menggapainya, tapi untuk hari itu,  dia  tidak biasanya menjadi baik…”
Miyagi tampak khawatir padaku saat aku menjadi lebih suka berbicara, seolah sedang menghapus rasa gelisahnya. Dia tahu lebih dariku saat itu. Dia hanya tidak memberitahuku sesuatu yang penting. Tempat pemandangan itu mungkin adalah tempat yang tepat untuk menjelaskannya, tapi dia tidak mengatakannya.
Mungkin dia berpikir untuk membuatku bermimpi selama mungkin.

****

Hari itu akhirnya tiba. Itu adalah sore dengan hujan, dan stasiun dipenuhi dengan orang-orang yang membawa payung. Melihat alun-alun dari lantai dua, payung dalam semua warna bergerak sesuka mereka. Aku menunggu di depan toko buku hingga pukul 5 malam, tapi lebih 10 menit. Himeno masih belum tiba. Tidak perlu tergesa-gesa, kataku. Semuanya tersendat karena hujan, dan tidak sepertiku, dia mungkin sibuk. Meski begitu, aku melihat jam tiga kali setiap menitnya.
Dua puluh menit berlalu seperti sejam atau dua jam. Apa aku menunggu di tempat yang salah? Atau Himeno? Dia mengatakan di depan toko buku dan ini adalah satu-satunya toko buku disini, jadi aku tidak tahu. Setelah dua puluh tujuh menit, saat aku hendak pergi dan mencari Himeno, aku melihatnya melambai dan berjalan kearahku. Aku mulai memikirkan janjinya kemarin hanya alasan agar dia bisa pergi,  jadi aku benar-benar lega.
Meskipun Himeno bukan seseorang yang sudah sangat kunanti selama satu dekade, aku masih harus mengatakan kalau dia menyinarkan keindahan hari itu.
Setiap lekuk tubuhnya tampak dibuat dengan sangat hati-hati. Tidak ada yang terlalu berlebihan; seolah tiap bagian tubuhnya mengetahui tugasnya.

Kalau aku seseorang yang tidak memiliki hubungan dengannya, aku mungkin akan merasakan sakit di dadaku dengan sekali lihat. Dia meninggalkan lubang di dadaku yang ingin kuisi.
“Dia tidak mungkin menjadi milikku, bukan. … jadi bukankah hidupku sia sia?”, itu mungkin yang kupikirkan.
Jadi aku beruntung kalau aku adalah orang terdekat darinya dibandingkan dengan orang-orang yang ada di stasiun. Aku benar-benar sangat bahagia karenanya.

“Bisnya terlambat karena hujan,” jelas Himeno. “Maaf membuatmu menunggu. Aku akan mentraktirmu sesuatu.”
“Jangan, biar aku saja. Aku mengundangmu kali ini, jadi lupakan mentraktriku.”
Aku sadar bukan hanya penampilanku yang berubah, tapi suaraku juga berubah. Suaraku terdengan setengah oktaf lebih tinggi, dan terdengar bagus, seolah itu adalah suara asliku.
“Hmm. Jadi kau mengharapkan “lain kali”?”, tanyanya dengan wajah yang tidak peduli tapi menyimak.
“Ya. Dan lain kali, mungkin aku mengharapkan sesuatu seperti itu.”
“Untung kamu jujur,” katanya sambil terkekeh.
Itu jelas sesuatu yang akan dikatakan Himeno, bisikku pada diriku sendiri. Dia tidak berubah dalam 10 tahun. Dia masih sarkastik, tapi bicara dengan kehangatan.
Kami pergi melewati terowongan, dan saat sampai di akhir  aku membuka payungku, Himeno dengan cepat mengambilnya dariku dan memegangnya diantara kami.
“Kau selalu lupa membawa payungmu, Kusunoki, jadi aku harus selalu membagi milikku denganmu.”
“Benar,” jawabku, mengambil payungnya kembali dan memegangnya di dekat Himeno. “Jadi bukankah bagus jika terbalik mulai dari sekarang?
“Aha.”

Kami berjalan bersama dalam satu payung.
“Oh ya, apa yang kmau lakukan disana kemarin?”, Tanya Himeno.
“Mencarimu, Himeno,” jawabku.
“Pembohong,” kata Himeno, mendorong bahhuku.
“Aku tidak berbohong,” kataku sambil tertawa.

Aku merasa semuanya baik-baik saja.
Aku memberitahunya Himeno perasaanku, dan dia menunjukkan perasaannya kepadaku.
Itu yang ingin kupercayai, dan aku tidak meragukannya.
Aku tidak benar-benar ingin tahu apa yang dipikirkan Himeno saat itu, jauh di dalam hatinya.

Sekarang, bagaimana jika kita membandingkan jawaban
Saat aku duduk di depan Himeno di restoran dan bicara dengannya, aku membuat kesalahan yang tidak bisa dipercaya. Lebih tepatnya, itu bukan sebuah kesalahan. Kalau aku diberikan banyak kesempatan untuk mengulang kejadian itu, aku akan membuat pilihan yang sama setiap kalinya. Tidak ada pilihan lain. Selain itu, alasan kenapa aku memilih “kesalahan” itu bukan sesuatu yang muncul dari pertemuan itu, tapi sesuatu yang perlahan muncul sejak lebih awal.
Tetap saja. Saat itu, aku benar-benar membuat kesalahan. Tapi bagaimanapun, hasil dari “kesalahan itu” datang untuk menyelamatkanku. Dan disaat yang sama, aku mengerti kenapa Miyagi mencoba menghentikanku untuk bertemu Himeno.
Setelah memesan, aku tersenyum ke Himeno, untuk menunjukkan perasaanku. Dia juga tersenyum. Himeno meminum air es dari gelasnya dan berkata, “Aku ingin tahu apa saja yang kamu lakukan selama ini, Kusunoki.”
“Aku ingin mendengar tentangmu dulu,” jawabku, tapi dia tetap bersikeras, “Mari mulai dari Kusunoki dulu.”
Aku mendahului dengan “Kau tahu, ini tidak akan begitu menarik,” kemudian aku mulai dengan saat bearada di SMP dan SMA. Itu benar-benar tidak menarik. Aku perlahan mulai tidak rajin belajar sejak kelas 2 SMP. Betapa sempurnanya ingatanku saat berumur 10 tahun dengan cepat memburuk setiap tahunnya. Bagaimana aku pergi ke SMA terbaik disini, tapi berhenti belajar di tengah jalan, jadi sekarang aku masuk ke universitas yang biasa-biasa saja. Bagaimana aku membujuk orangtuaku – yang berpikir tidak ada gunanya masuk universitas jika tidak terkenal – untuk membayar kuliahku, tapi harus membayar kelas dan pengeluaranku sendiri.
Dan bagaimana aku tidak penah menyentuh kuas sejak musim dingin saat berumur 17.
Aku selesai kurang dari 5 menit. Tidak ada banyak hal yang bisa dibicarakan dari hidupku.
“Huh, jadi kamu menyerah di seni… sayang sekali. Aku menyukai lukisanmu, Kusunoki,” kata Himeno. Berbeda dengan seseorang yang kukenal, pikirku.
“Kamu selalu menggambar setiap saat. Dan membuat lukisan yang indah, dan menakjubkan semudah membalik tangan. Aku selalu iri karena tidak bisa melakukannya, kamu tahu.”
“Kau tidak pernah mengatakan sesuatu seperti itu dulu.”
“Karena aku benar-benar antagonis kepadamu dulu. Bakatku hanya di belajar, jadi aku tidak ingin mengakui bakatmu yang lain. Tapi… kamu mungkin tidak pernah menyadarinya, tapi kadang aku membawa lukisanmu ke rumah dan memandanginya, Kusunoki,” kata Himeno, matanya sedang memandang jauh.
“Yeah, aku juga antagonis. Kita sama dalam bidang akademik, tapi pujian dari orang-orang dewasa selalu menuju kepadamu, Himeno. Aku merasa tidak adil kalau seseorang bisa menjadi murid yang pandai sekaligus cantik.”
“Siapa yang menyangka seseorang seperti dirinya harus keluar dari SMA,” kata Himeno seolah itu hal yang biasa.
“Keluar?” kataku dengan keterkejutan yang dibuat-buat.
“Jadi kamu tidak tahu,” dia menurunkan alisnya dan tersenyu. “Aku mengira rumor akan muncul di reuni atau sejenisnya.”
“Aku tidak pernah pergi ke reuni kelas. Karena kurasa kamu juga tidak akan pergi, Himeno.”
“Hmm. … Um, aku tidak akan mengatakan ini terlalu menarik juga, tapi…”
Himeno menjelaskan semuanya hingga dia dikeluarkan. Tapi, dia menghilangkan bagian dimana dia hamil yang sudah dikatakan oleh Miyagi. Himeno hanya mengatakan “Aku menikahi senior yang sudah lulus dan keluar, tapi konflik muncul, dan kami bercerai.”
“Kupikir aku terlalu kekanak-kanakan,” kata Himeno dengan senyum yang dipaksa. “Aku hanya tidak bisa menerima hal sesuai dengan hakikatnya. Kurasa aku tidak bisa menerima ketidaksempurnaan dan mengacau sejak awal. Tidak ada yang berubah di kepalaku sejak musim semi sepuluh tahun lalu, ketika aku berpisah denganmu. … aku yakin aku masih gadis pintar seperti dulu. Tapi itu membuatku berpikir aku tidak perlu menjadi dewasa lagi. Dan aku tidak begitu berbeda dari pemimpi berumur 10 tahun, sementara semua orang terus berubah.”
Himeno menatap tangannya di meja dengan mata seperti gadis kecil yang terluka.
“Jadi bagaimana denganmu, Kusunoki? Aku yakin kamu berubah selama 10 tahun ini bukan?”
Sampai disini, aku mulai kehilangan ketenanganku.
“Kamu bukan satu-satunya yang tidak berubah Himeno,” jawabku. “Aku juga sama sejak kita berpisah. Tahun yang berlalu tanpa tujuan, hari-hari kesepian serta tidak ada gunanya. Rasanya seolah dunia ada hanya untuk mengecewakanku. Mungkin aku sudah mati, kurang lebih. Itulah kenapa beberapa hari yang lalu –“
Aku tahu apa yang kubicarakan saat ini. Aku mengira-ngira bagaimana itu akan terdengar di telinga Himeno. Dan aku mengerti betapa bodohnya melakukan ini. Tapi itu tidak akan menghentikanku.
“… Aku menjual sisa hidupku. dengan harga 10,000 yen pertahunnya.”
Wajah Himeno pucat dan terkejut, tapi tidak mungkin aku menghentikan diriku sendiri. Aku mengeluarkan semua unek-unek yang ada di kepalaku. Aku melanjutkan dari satu hal ke hal yang lain. Toko yang membeli sisa hidup. Berpikir akan mendapatkan beberapa yen pertahun ketika hanya mendapat 10,000 saja, harga minimal. Putus asa dengan masa depan dan menjual semua dengan hanya menyisakan tiga bulan. Dan diikuti oleh pengawas yang tidak kasat mata sejak saat itu. Aku mengoceh seolah mencari simpati.
“Kamu tidak bisa melihatnya, Himeno, tapi pengawasku ada disini sekarang,” kataku, menunjuk Miyagi. “Disini, tepat disini. Dia adalah gadis bernama Miyagi. Dia bicara dengan blak-blakan, tapi kalau kamu bicara dengannya dia sebenarnya sangat…”
“Hey, Kusunoki? Aku tidak bermaksud menyinggung, tapi… apa kau tahu betapa tidak nyatanya apa yang kamu katakan?”, Tanya Himeno dengan meminta maaf.
“Yeah, aku yakin betapa anehnya kedengarannya.”
“Benar, itu aneh … tapi kamu tahu Kusunoki, meski begitu, aku tidak bisa menganggapnya kebohongan. Bukan bagian tentang tidak memiliki waktu banyak, atau ada gadis disampingmu yang mengawasimu. Kita sudah mengenal satu sama lain begitu lama hingga kalau kau berbohong padaku, aku akan langsung mengetahuinya. Meskipun sulit, aku percaya kamu tidak bohong tentang menjual sisa hidupmu.”
Sulit menjelaskan betapa bahagianya aku saat itu.
“… Maaf aku harus menghentikanmu, tapi aku juga sebenarnya menyembunyikan sesuatu…”
Himeno batuk dan menempatkan sapu tangan ke mulutnya, kemudian berdiri.
“Maaf. Kita akan melanjutkannya setelah makan malam,” kata Himeno, kemudian pergi.
Dia pergi ke kamar mandi, jadi aku membiarkannya. Makanan kami tiba, dan aku berharap Himeno akan segera kembali. Aku harus mendengar apa yang ingin dia katakan.
Tapi Himeno tak pernah kembali.
Karena dia begitu lama, aku khawatir Himeno pingsan karena anemia atau sesuatu dan meminta tolong pada Miyagi.
“Maaf, bisakah kamu memeriksa kamar mandi perempuan? Mungkin sesuatu terjadi pada Himeno?”
Miyagi mengangguk perlahan.
Miyagi kembali beberapa menit kemudian dan memberitahu kalau Himeno sudah pergi.
Aku berjalan kesekitar restoran tapi tidak menemukan Himeno.

Aku kembali ke kursiku dan menempatkan diriku di depan makanan dingin. Aku kehilangan semua tenagaku. Aku merasakan sesuatu yang berat dan tidak enak di perutku.
Tenggorokanku kering dan sakit. Aku mencoba memegang gelasku, tapi fokusku hilang dan aku menumpahkan airnya di meja.

Aku memakan pasta dinginku perlahan.
Setelah beberapa saat, Miyagi duduk di depanku dan mulai memakan pasta Himeno.
“Cukup enak meskipun dingin,” katanya.
Aku tidak menjawab.
Setelah selesai makan, tidak yakin bagaimana rasanya, aku bertanya ke Miyagi.
“Hey, Miyagi. Jujurlah padaku. Kenapa menurutmu Himeno pergi.”
Miyagi menjawab. “mungkin karena dia merasa kau gila.”
Yang mana memang benar.

Tapi kenyataannya lebih kompleks, dan Miyagi juga mengetahuinya.
Dan dia menyembunyikannya, untukku.
Setelah membayar di kasir dan pergi, aku mendengar seseorang memanggilku dari belakang. Aku berbalik melihat pelayan berlari memberikan sesuatu kepadaku.
“Perempuan yang datang denganmu memintaku memberikan ini kepadamu.”
Itu adalah surat, yang tampaknya hasil dari robekan buku catatan.

Aku membacanya. Dan setelah aku membacanya, aku mengerti kalau Miyagi sudah membohongiku selama ini.
“Kamu tahu semua ini dan tidak memberitahuku?”
Miyagi menjawab dengan menundukkan kepalanya.
“Iya. Maafkan aku.”
“Tidak perlu minta maaf. Kamu membuatku bisa menikmati mimpi indahku.”
Akulah yang seharusnya minta maaf. Tapi aku tidak punya tenaga untuk mengakui kesalahanku sendiri.
“Dalam dalam hidupku yang asli, Himeno berhasil mencapai tujuannya. Bukan?”
“Benar,” kata Miyagi. “Himeno-san… melakukannya tepat di depan matamu, Kusunoki-san.”

Untuk menunjukkannya kepadaku.
Untuk menyelesaikan kebencian selama bertahun-tahun.



Aku membaca suratnya lagi.
Ini yang ditulis di dalamnya.
Untuk satu dan satu-satunya teman masa kecilku.
Aku ingin mati dihadapanmu.
Di tempat melihat pemandangan, aku ingin menunggumu turun kebawah dan jatuh tepat disampingmu.
Mungkin kamu tidak pernah menyadari, tapi aku selalu membencimu. Tidak pernah merespon permintaan bantuanku, kemudian tiba-tiba muncul dihadapnku, aku tidak bisa lebih membencimu lagi.
Jadi sekarang setelah aku tidak berguna untukmu, aku berpikir untuk membunuh diriku sendiri. Tapi sepertinya kamu jadi lebih gila dibanding diriku 10 tahun terakhir ini.
Sepertinya tidak akan ada gunanya membalas dendam kepadamu saat ini.
Jadi aku akan menghilang diam-diam.
Selamat tinggal.
Aku berharap apa yang kau katakan tentang hanya memiliki sedikit waktu itu benar.
Aku benar-benar bodoh.
Aku hidup sendiri untuk menghindari perasaan seperi ini.
Aku seharusnya selalu mempercayai diriku.

Aku pergi ke jembatan di dekat stasiun, perlahan membentuk surat Himeno menjadi pesawat kertas, dan melemparnya ke sungai yang memantulkan cahaya dari bangunan. Pesawat itu bergerak di udara beberapa saat, tapi akhirnya menyentuh air dan tenggelam.
Kemudian aku mengambil amplop berisi uang yang hendak kuberikan ke Himeno, dan membagikannya lembar demi lembar ke orang yang lewat.
Reaksi orang-orang beragam. Ada yang melihatku dengan curiga, ada juga yang berterima kasih kepadaku dengan senyum merendahkan dan mengambilnya. Ada yang menolaknya dan mengembalikannya kepadaku, ada juga yang meminta lebih.
“Kau harus menghentikan ini,” kata Miyagi yang biasanya acuh, menarik lenganku.
“Aku tidak menggangu siapapun, bukan?” jawabku, lalu menangkis tangannya.
Uangnya hilang dengan cepat. Aku bahkan mengambil uang dari dompetku. Aku memberikan semuanya hingga pecahan 1000 yen terakhirku. Aku tidak memiliki uang lagi, aku berdiri di tengah jalan. Orang-orang melihatku dengan tidak nyaman.

Aku tidak punya uang untuk membayar taksi, jadi aku pulang berjalan. Miyagi mengeluarkan payung biru dari tasnya dan membukanya. Aku sadar aku meninggalkan payungku di restoran, tapi tak lagi peduli apakah aku basah atau terkena flu.
“Kamu akan basah kuyup,” kata Miyagi, memegang payungnya tinggi. Dia mengajakku ikut dengannya.
“Seperti yang kau lihat, aku sedang ingin basah-kuyup,” jawabku.
“Jadi seperti itu,” katanya, menutup payung dan mengembalikannya ke tasnya.
Miyagi berjalan di belakangku. Kami berdua basah kuyup.
“Kau tidak perlu basah juga,  tahu.”
“Seperti yang kau lihat, aku sedang ingin basah-kuyup,” jawab Miyagi sambil tersenyum.
Lakukan semaumu, pikirku, berbalik memunggungi Miyagi lagi.
Aku menemukan halte bis yang bisa menjauhkanku dari hujan dan bernaung disana. Ada lampu jalan yang bengkok diatas, yang terkadang berkedip seolah mengingatkan diri untuk terus menyala. Saat aku duduk, aku merasa sangat ngantuk. Pikiranku lebih ingin beristirahat dibanding tubuhku.
Kurasa aku hanya tertidur selama beberapa menit. Dingin di sekujur tubuhku dengan cepat membangunkanku lagi.
Miyagi tidur disampingku. Dia memegangi lututnya, mencoba menghangatkan dirinya sendiri. Aku benar-benar kasihan padanya harus mengawasi tindakan egois dari idiot sepertiku.
Aku berdiri perlahan agar tidak membangunkan Miyagi, dan mengitari area sekitar, dan menemukan gedung rekreasi kosong. Aku tidak akan menyebutnya bersih, tapi di dalam masih ada listrik, dan pintu depan serta ruangannya tidak dikunci. Aku kembali ke bangku, mengangkat Miyagi, dan memindahkannya ke dalam. Jelas itu akan membangunkan gadis yang tidurnya lebih ringan dibanding tidurku. Tapi Miyagi pura-pura tidur saat kupindahkan.
Ruangannya berbau matras tatami. Ada tumpukan bantal di sudut. Setelah memeriksa serangga, aku mengumpulkan beberapa di lantai dan membaringkan Miyagi. Aku melakukan hal yang sama untuk tempat tidurku. Ada beberapa obat nyamuk di dekat jendela yang mungkin sudah ada disana selama beberapa dekade, tapi tetap kunyalakan.
Rintik hujan seakan berubah menjadi lagu pengantar tidur.
Aku mulai melakukan hal yang biasa kulakukan sebelum tidur.
Aku membayangkan pemandangan terbaik yang bisa kugambar di balik kelopak mataku.
Aku memikirkan setiap detil kecil dunia yang ingin kutempati.
Aku dengan mudah menggambar “ingatan” yang tidak pernah kumiliki, “tempat” yang tidak pernah kukunjungi, dan “hari” yang bisa saja masa lalu atau masa depan.

Ini selalu kulakukan setiap malam semenjak umur 5 tahun. Mungkin kelakuan kekanak-kanakan ini yang membuatku tidak pernah terbiasa dengan dunia. Tapi aku yakin ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa melakukan kompromi.
Mungkin apa yang kupikirkan adalah bangun ditengah malam benar-benar mimpi yang dibentuk oleh harapan, di saat-saat sedih.
Kalau itu mimpi, maka itu adalah mimpi yang memalukan.
Kalau itu kenyataan – sebenarnya, tidak akan ada hal lain yang membuatku lebih bahagia.

Aku mendengar seseorang berjalan di atas matras. Aku tahu Miyagi sedang berjongkok di samping bantalku karena baunya. Bahkan di musim panas, Miyagi tercium seperti pagi di musim dingin yang cerah. Aku tetap menutup mataku. Aku tidak tahu kenapa, tapi merasa lebih baik tetap malakukannya. Dia menyentuh kepalaku dan perlahan mengelusnya. Dia mungkin tidak melakukannya lebih dari satu menit. Miyagi tmapaknya membisikkan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya karena hujan.
Masih dalam ngantuk, aku berpikir: betapa banyak Miyagi membantuku? Betapa tersudutnya aku jika Miyagi tidak disana? Tapi itulah kenapa aku tidak boleh membuatnya khawatir – begitulah yang kukatakan pada diriku sendiri. Dia ada disini karena pekerjaannya. Jadi dia baik kepadaku karena aku akan segera mati. Itu tidak berarti dia memiliki perasaan kepadaku.

Aku tidak boleh memiliki harpaan kosong lagi. Bukan hanya itu tidak membuatku senang, itu juga akan membuatnya kesal. Aku memberinya beban kesalahan ekstra, memberikan kematianku sisa rasa pahit. Aku akan mati perlahan. Aku akan kembali ke diriku yang biasa, hidup sederhana dan tercukupi dimana aku tidak bisa mengandalkan siapapun. Seperti seekor kucing, aku akan mati diam-diam dan secara tersembunyi. Aku diam-diam bersumpah.
Keesokannya, aku terbangun oleh panas yang luar biasa. Aku mendengarkan anak SD melakukan senam radio diluar. Miyagi sudah bangun, menyiulkan “I Wish I Knew” milik Nina Simone dan merapikan bantalnya. Aku masih merasa mengantuk, tapi kami tidak bisa tinggal disini lagi.
“Ayo pulang,” kata Miyagi.
“Baiklah,” jawabku.




close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama