Kimitsuki Chapter 3.2 Bahasa Indonesia


{XxxxX}

Shizusawa Sou adalah seorang penulis otobiografi dari masa sebelum perang. Dia tidak terkenal di khalayak publik, tapi rupanya, dia memiliki penggemar setia. (TN : Otobiografi bisa di cek di sini)

Karyanya yang paling terkenal adalah 'One Ray of Light,' dikenal sebagai kepingan khas sastra sanatorium. Literatur sanatorium mengacu pada karya yang menggambarkan kehidupan pasien yang dirawat di dalam sanatorium. 'One Ray of Light' menggambarkan kehidupan seorang protagonis yang menderita penyakit luminesensi. Shizusawa Sou adalah seorang penulis otobiografi, dan otobiografi biasanya adalah cerita yang ditulis berdasarkan pengalaman yang sebenarnya. 
Shizusawa Sou sendiri menderita penyakit luminesensi dan meninggal pada usia dua puluhan.

Aku tidak bisa memahami gambaran karyanya hanya dari deskripsi di internet, jadi aku memutuskan untuk meminjam buku dari Mamizu dan membacanya.

Sewaktu aku sedang membaca 'One Ray of Light' di kursiku sendiri saat jam istirahat, Kayama memanggilku.

“Apa yang kau baca itu?” Tanyanya.

“Ah, ini hanya ...”

Ini adalah sebuah buku tua; sastra kuno yang bergaya metafora, sehingga butuh waktu cukup lama untuk membacanya. Jujur saja, ini seperti pekerjaan kecil, dan aku takkan pernah membacanya dalam hidupku jika Mamizu tidak membacanya.

“Itu buku yang Watarase Mamizu suka, bukan?”

Aku terkejut.

Apa Kayama tahu sesuatu?

“Oh, benarkah?” Aku pura-pura tidak tahu. Bukankah ini cara yang terlalu jelas untuk berpura-pura? pikirku.

“Sebenarnya, Aku juga menyukainya,” kata Kayama.

Itu adalah fakta yang tak terduga. Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa membayangkan bahwa itu hanya sebuah kebetulan. Aku bisa mengerti jika itu adalah novel yang terkenal, tapi ini bukan hanya kebetulan kalau Kayama menyukai buku tak jelas seperti ini.

“Aku belum selesai membacanya, jadi jangan beri spoiler,” kataku.

“Pada akhirnya, dia meninggal,” kata Kayama, segera memberikan spoiler.

Tapi aku tahu bahwa ending-nya akan seperti itu, jadi aku tidak merasa marah.
'One Ray of Light' bukanlah buku yang terlalu tebal, hanya sekitar 200 halaman saja. Aku selesai membacanya dalam sehari. Jujur saja, aku tidak menemukan apanya yang menarik. Yah walaupun ada bagian yang menarik, tapi cerita ini tampaknya memiliki beberapa fitur penebusan di mataku. Mungkin karena ini adalah karya dimana sang penulis tahu bahwa dia sedang sekarat dan menggambarkan apa yang dia pikirkan tentang kematiannya sendiri. Ini memiliki nuansa melankolis dan membawa suasana hati yang gelap.

Keesokan harinya, kelas kami memiliki kunjungan pendidikan. Ini sudah diputuskan bahwa kelas kami akan pergi ke museum cerita rakyat. Aku bisa  membayangkan sedikit, akan seperti apa museum cerita rakyat. Benda apa saja yang akan dipajang? Tembikar? Beruang?


****


Sekarang pukul sembilan pagi, setelah aku melewati gerbang tiket di stasiun dekat museum yang menjadi tujuan kami. Aku datang lebih awal, tapi aku bertemu dengan Kayama, yang juga tiba lebih awal. Hampir tak ada siswa lain yang sudah tiba.

“Hei, mau ikut membolos?” saran Kayama. Tentu saja hanya Kayama yang akan menyarankan sesuatu seperti ini.

Aku memutuskan untuk bergabung dengannya, karena aku tidak terlalu tertarik dengan asal-usul kota kami.

“Aku ingin mengunjungi makam Shizusawa Sou,” kataku.
Kayama tampak sedikit terkejut, tapi ia dengan cepat mengembalikan ketenangannya. “Kalau begitu, ayo kita pergi,” katanya. “Kami mau pulang dulu,” katanya kepada salah satu teman sekelas kami yang baru saja.

Kami pergi melalui gerbang tiket dan naik kereta. Aku mencari di internet dan menemukan bahwa makam Shizusawa Sou berada jauh di pegunungan di perbatasan prefektur. Ini akan memakan waktu sekitar satu jam setengah dengan kereta api untuk sampai ke sana, tapi kemudian kita harus mendaki gunung setelah itu.

“Kayama, apa kau bisa mendaki gunung?” Aku bertanya, khawatir tentang kakinya.

“Yah, aku akan mengurusnya entah bagaimana. Jika aku tidak bisa, Kau akan menggendongku ‘kan, Okada,” kata Kayama dengan nada yang sulit ditafsirkan apa dia serius atau bercanda.

Percakapan kami berhenti di situ.

Jam sibuk sudah berlalu, jadi hanya ada beberapa orang di dalam kereta dan rasanya sangat tenang.

Sekarang aku baru kepikiran, kami berdua tidak pernah pergi ke suatu tempat bersama-sama. Kami bahkan tidak membicarakan hobi atau topik percakapan yang normal. Aku tidak bisa membayangkan bahwa kita akan memiliki percakapan yang meriah selama perjalanan kami.

"Tentang Watarase Mamizu," kata Kayama.

Tidak, itu benar. Hanya itu topik pembicaraan yang kami miliki.

“Aku menyukainya,” kata Kayama.

“Aku tahu,” kataku, tidak berpura-pura lagi kali ini.

“Kurasa kau memang sudah tahu,” kata Kayama, tidak berpura-pura juga.

Dan kemudian, Kayama mulai menceritakan mengapa dia bisa menyukai Mamizu.


****


Pertama kalinya Kayama bertemu Mamizu ialah saat di tempat berkumpul untuk ujian masuk untuk sekolah SMP.

Sekolah kami adalah gabungan sekolah SMP dan SMA, sehingga ujian masuknya dianggap cukup sulit. Rupanya, saat itu Kayama tengah menderita demam tinggi karena influenza. Dia demam pada hari ujian. Meski gelisah, Kayama berhasil menjalani ujian. Tapi penglihatannya mulai kabur dan kakinya goyah. Ditambah pula dia merasa sangat mual. Meski telah berhasil bertahan selama ujian, ia langsung menuju ke toilet dan muntah selama istirahat.

Ketika Kayama kembali ke kelas untuk ujian berikutnya, ia sudah berada di batasnya. kakinya tak sanggup lagi dan dia pun roboh ke lantai. Saat itulah Mamizu bergegas ke arahnya.

"Apa kau baik baik saja?"

Kayama mengatakan bahwa Mamizu tampak seperti malaikat saat ia memanggil Kayama.

“Ayo pergi ke ruang kesehatan. Aku akan memabawamu ke sana,”kata Mamizu dengan lembut.

"Tidak. Aku ingin mengikuti ujian tidak peduli apa,”jawab Kayama.

“Kalau begitu ... mari kita melakukan yang terbaik. Ayo kita lalui ujian ini bersama-sama dan pastikan untuk bertemu di upacara masuk.”

Rupanya, Kayama tersentuh oleh kata-kata yang kuat dari “ayo kita pastikan” bukan “Aku harap” atau “Aku berharap bisa melihatmu di sana.” Dan Kayama melakukan yang terbaik di ujian masuk, merasa terdorong oleh kata-kata itu.

Dan, Kayama berpikir bahwa ia ingin menjadi seseorang yang akan membantu orang lain di saat mereka membutuhkan, sama seperti gadis itu.

Kayama melihat Mamizu pada upacara pintu masuk. Tapi dia berada di kelas yang berbeda. Mereka berdua tidak melakukan kontak satu sama lain. Setelah itu, Mamizu selalu ada di pikiran Kayama.

Ia entah bagaimana berhasil mengumpulkan keberanian dan pergi untuk berbicara dengannya, tapi saat itu juga Mamizu berhenti datang ke sekolah. Kayama mendengar rumor bahwa tubuhnya dalam kondisi yang buruk karena penyebab yang tidak diketahui. Ternyata, selama hari terakhir di sekolah, dia telah membaca 'Satu Ray of Light' sendirian di perpustakaan. Dia tampaknya telah terserap ke dunia dalam buku, dan tidak menyadari tatapan Kayama. Mengawasinya dari jauh seperti itu merupakan hari terakhir Kayama melihatnya.

Setelah itu, Kayama menunggu hari dimana Mamizu akan kembali ke sekolah, tapi hari yang dinantikannya tak kunjung datang.

Selama homeroom pertama kami di SMA, ketika diputuskan bahwa seseorang harus mengunjungi Watarase Mamizu, Kayama berpikir bahwa ini adalah kesempatannya. Tapi ia merasa bahwa ia terlalu kotor untuk menemui Watarase Mamizu saat itu. Dan begitu, ia memutuskan untuk memintaku memeriksa banyak hal sebagai gantinya.
Ia ingin aku membuat beberapa kesamaan di hari ketika dia akhirnya pergi mengunjunginya sendiri.

Kayama mengungkapkan semua ini padaku.


****


Makam Shizusawa Sou berada di tempat yang cukup terpencil. Ini mungkin merupakan cerminan dari sifat anti-sosial, kepribadian eksentrik yang dia milliki saat dia masih hidup, seperti karakter dalam bukunya.

“Ternyata cukup sulit juga.” Butir-butir keringat sudah terbentuk di dahi Kayama ini.
Aku sedikit khawatir tentangnya, tapi aku tidak bisa mengatakan, “Bagaimana kalau kita kembali?” Sambil bercakap-cakap, kami terus berjalan.

Dan kemudian kami akhirnya tiba di hadapan makam Shizusawa Sou.

“Ini semacam ... apa ini benar tempatnya? Ini makam yang kesepian, bukan?” Kayama mengeluh.

Mungkin dari awal, makam adalah sesuatu yang kesepian, tapi meski begitu, seperti yang Kayama katakan, kuburan ini memiliki pemandangan yang sangat sepi. Itu berbeda dengan kuburan biasa; Tidak ada kuburan orang lain. Hanya ada satu kuburan, berdiri di sana, sendirian. Kuburan itu ditutupi jamur dan lumut, dan sudah lapuk secara signifikan. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang yang mengunjunginya. Sulit membayangkan bahwa inilah kuburan seseorang yang telah mencapai tingkat kesuksesan tertentu sebagai penulis. Menurut sumber tertentu, dijelaskan bahwa Shizusawa Sou tidak memiliki saudara pada saat kematiannya.

Karakterisitik khas kuburan tidak menuliskan namanya di nisan. Nama pena maupun nama aslinya tidak terukir di atasnya. Hanya ada satu karakter saja yang diukir di dalamnya.


ç„¡

(TLN: kanji ini dibaca “mu” dan kalau diterjemahkan artinya “kosong/tidak ada.”)

Itulah yang tertulis di batu nisan Shizusawa Sou. Tentu saja, aku sudah mencari informasi di internet terlebih dahulu, jadi aku sudah tahu ini, dan tidak salah lagi bahwa ini adalah kuburan dari Shizusawa Sou, tapi melihatnya secara langsung, aku mendapatkan kesan bahwa ini kuburan yang cukup eksentrik.

“ 'ç„¡ ,' ya. kuburan yang sangat aneh,” kata Kayama, memberikan pendapatnya secara terus terang.

Ternyata, kuburan aneh ini telah dibuat sesuai dengan wasiat dari Shizusawa Sou. Konon, ketika seseorang bertanya kepadanya tentang makna di balik kata itu saat dia masih hidup, dia menjawab dengan satu kalimat: “Itu adalah pandangan hidupku.” 
Hal ini juga tertulis di internet.

Memang, ketika manusia mati, mereka menjadi tidak ada. Mereka tidak pergi ke surga atau kemana pun. Tidak ada yang tersisa setelah itu.

Itu mungkin kebenarannya.

Aku mengambil ponselku dan mengambil beberapa foto untuk ditunjukkan pada Mamizu.

Kami menyusuri jalan yang barusan kami tempuh dan menuruni gunung.

“... Aku akan mengakui perasaanku pada  Watarase Mamizu,” kata Kayama padaku dengan nada serius saat kami menaiki kereta kembali.

'Aku juga menyukai Watarase Mamizu. Aku sudah mengaku padanya. Tapi dia menolakku.'

Aku tidak bisa mengatakan kata-kata sederhana ini pada Kayama.

“Lain kali , ayo kunjungi Mamizu bersama-sama,” Sebagai gantinya, Aku menyarankan ini padanya.







close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama