Nee-chan wa Chuunibyou Vol.1 Chapter 02 Bahasa Indonesia

Chapter 02 - Vampir Yang Sedang Sekarat di Sebelah Sana
Si gadis kecil, Mutsuko, menatap Yuichi dengan penuh perhatian.
Teras rumah bergaya Jepang tradisional adalah tempat mereka duduk saat ini. Rumah tempat mereka tinggal ketika Yuichi masih kecil di pedesaan.
Hari sudah malam, namun beranda masih terang berkat cahaya bulan purnama yang menggantung.
Saat itu akhir musim panas. Di kala keheningan malam meredam, diam mebisu tanpa suara. Hanya terdengar suara jangkrik sebagai alunan melodi.
“Ibu dan Ayah tidak akan berhasil.”
Yuichi tidak mengerti apa yang kakaknya maksud, namun sebagai anak kecil, dia menebak bahwa itu adalah sesuatu yang gawat.
Jika itu kakak perempuannya yang luar biasa, yang mengetahui segalanya dan mampu melakukan segalanya, berkata demikian, maka itu pasti benar.
“Kenapa tidak?” Tanya Yuichi.
“Suatu hari nanti, akan ada sebuah perubahan besar… sebuah bencana. Ibu dan Ayah tidak akan bisa mengatasinya. Orang dewasa tidak akan pernah mampu. Mereka tidak diperlengkapi untuk menghadapi perubahan besar dalam hidup mereka.”
Yuichi berubah pucat, air mata mengalir di pipinya. Dia terisak. Ketakutan tidak bisa bertemu kedua orang tua tercintanya lagi membuat dadanya sakit.
Mutsuko melanjutkan dengan nada muram. “Kakak tahu sakit mendengarnya, tapi kakak hanya boleh memberitahu beberapa orang. Dan kakak memilihmu.” Dia jelas tidak bercanda.
“Yori.. gimana Yori?” Yuici menatap celah pintu geser di belakang mereka, dimana Yori adik mereka tengah tertidur berselimut kain terrycloth.
“Yori… mungkin dia tidak akan berhasil juga.” Kata Mutsoko dengan nada getir.
“Tidak mungkin! Kenapa kakak bisa bilang begitu? Dia masih sangat kecil! Itu tidak adil!”
“…Kakak hanya berpikir dia tidak akan mampu mengatasinya… ”
“Jangan cemas! Yuichi akan mengalahkan si Cana bodoh itu… Ben-Cana bodoh itu! Yuichi akan melindungi kakak dan Yori dan ayah dan ibu dan semua orang!” Yuichi melompat di teras, mengarahkan tinjunya ke udara sambil bersumpah.
Mata Mutsuko berkaca-kaca, tergerak oleh janji berani adiknya.
“Ya… itu benar. Ini tidak sepertiku… aku bukan tipe orang yang membatu dalam menghadapi keputusasaan. Baiklah! Serahkan saja pada kakakmu ini! Kakak akan membuatmu… ”
Dan saat itulah dia bangun.
“Itu… sebuah mimpi kan?” Yuichi berpikir telah mengingat sesuatu, namun segera lupa di saat ia terbangun… Memorinya sekarang sudah kabur…lenyap ke dalam kabut.
Dia duduk dan melihat keluar jendela. Di luar masih gelap.
Dia telah berguling-guling di kasur selama berjam-jam, dan akhirnya bisa tertidur. Namun sekarang ia bangun, itu tidak bagus. Dia tidak bisa tidur kembali. Dia memilih berjalan menuju lorong, menuju pintu kamar kakaknya, dan mengetuknya. Dia adalah satu-satunya orang yang Yuichi bisa ceritakan penyebab insomnianya: yakni “Penglihatannya”.
Sebagian dari dirinya berharap kakaknya sudah tidur, tetapi ia langsung menjawab ketukannya.
Mutsuko mengenakan pakaian Cina yang dikenal sebagai pao – biasa disebut sebagai “pakaian kung-fu” – yang tampaknya dikenakannya sebagai piyama.
“Apa sudah waktunya kita membicarakan tentang game eroge kakak perempuan?”
“Tidak! Dan kenapa kakak malah ingin itu?”
“Yah, aku cemas jika koleksi game yang kamu punya itu tentang adik perempuan.”
“Bukan keduanya!”
“Oh, gitu. Ayo masuk!”
Mutsuko mempersilahkan Yuichi masuk, ia pun mengambil tempat duduk di kotatsu sekali lagi. Kamarnya berantakan seperti biasanya.
“Hei… bisa ingatkan aku kembali apa arti ‘bencana’ itu?
“Itu adalah sebuah teori matematika. Digunakan untuk menggambarkan sistem teratur yang terganggu oleh fenomena kekacauan yang tiba-tiba. Itu juga mengacu pada perubahan yang menyebabkan malapetaka dalam kehidupan sehari-hari… Apa kamu datang kemari hanya untuk menanyakan itu?”
“Oh, tidak, itu tidak penting. Yang ingin kutanyakan itu…. apa namanya, Pembaca Jiwa? Aku mulai melihat hal-hal yang lebih aneh… ”
Yuichi menceritakan hari pertamanya di sekolah.
Tentu saja, dia menyembunyikan pertemuannya dengan “Pembunuh Berantai”, Natsuki Takeuchi. Pernyataannya bahwa dia akan membunuh semua orang di sekolah sangat membebani Yuichi. Dan mengingat kejadian sarapan pagi tadi, Yuichi ragu bahwa kakaknya akan menjaga rahasia. Tidak mungkin ia bisa memberitahunya.
“Sangat menarik!” Mata Mutsuko berbinar.
“Eh, bisa tolong jangan menyebutnya menarik?”
“Jadi, labelnya berubah ya?”
“Ya. Awalnya hanya tertulis ‘Teman Sekelas,’ tapi kemudian mulai berubah menjadi sesuatu seperti ‘Ace Striker.'”
“Dan kemudian matamu mulai terasa sakit, dan kamu mulai melihat hal-hal mengerikan seperti ‘Zombie’ dan ‘Vampir’? Lalu alien, penjelajah waktu, atau esper?”
“Kalau yang itu belum…”
“Yah, kamu bisa bertemu mereka tidak lama lagi!”
“Aku harap tidak…Jadi, apa kakak tahu sesuatu?”
“Pertanyaan bagus. Berdasarkan yang kamu katakan sebelumnya, tulisan itu sepertinya menjelaskan hubungan seseorang denganmu, tetapi.. ”
“Aku sama sekali tidak melihat adanya keterkaitan antara ‘Penyihir’ dan ‘Vampir’ denganku.”
Tentunya, “Kakak Perempuan” dan “Teman” menggambarkan hubungan mereka dengan Yuichi, namun kebanyakan label tidak cocok dengan pola tersebut.
“Aku mengerti… Itu artinya kita akan menuju tahap 2! Kamu telah level up dan mencapai tingkatan baru dari kemampuanmu! Adapun untuk maksud dari label-label itu… Hmmm, kuharap kita bisa mendapatkan sampel yang lebih luas… Itu hampir seperti isi dari jiwa mereka… kepribadian mereka atau semacamnya.” Mutsuko mulai ternggelam dalam dunianya sendiri sekali lagi
“Hey, jangan abaikan aku.”
“Oh, maaf. Apa label yang tertulis di atas kepalaku sekarang? Apa sama seperti sebelumnya?”
“Masih ‘Kakak Perempuan’.”
“Apa apaan itu? Bisakah kamu setidaknya memberiku label yang lebih menarik?”
“Bukan aku yang memutuskannya!”
“Aku akan memikirkan lagi maksud dari Pembaca Jiwa itu… tapi tetap hati-hati! Kamu mungkin akan mulai melihat hal-hal yang orang lain tidak ingin kamu melihatnya. Dan jika orang itu tahu kalau kamu melihatnya, orang itu mungkin akan mengincarmu.”
Yuichi menelan ludah. Dia langsung teringat si “Pembunuh Berantai”, Natsuki Takeuchi.
“Ayolah, yang benar saja. Bukan berarti mereka benar-benar seorang zombie atau pun penyihir kan? Jadi kenapa mereka mengincarku?”
“Apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Hah? Eh itu, hubungan sosial tidak akan berjalan jika mahluk-mahluk aneh seperti itu ada di sekitar kita kan…?” Yuichi mencoba mengatakan itu untuk meyakinkan dirinya sendiri, namun kata-kata itu terasa hampa baginya.
“Benarkah? Kurasa itu bisa saja, selama identitas mereka tidak ketahuan.”
Natsuki telah mengatakan hal seperti itu juga. Kalau tanpa penglihatan aneh milik Yuichi, siapa yang akan tahu?
“Yah, mungkin itu bukan sesuatu yang perlu kamu cemaskan. Selama kamu tidak memberitahu siapapun apa yang kamu lihat, orang-orang yang menyembunyikan identitas mereka tidak akan mengincarmu!”
Yuichi tertegun ke dalam keheningan. Natsuki sudah mendatanginya, dan dia tahu tentang Pembaca Jiwa miliknya…
“Ada apa?”
“Ah, tidak ada. Aku paham. Aku tidak akan memberitahu siapapaun.”
Yuichi kembali ke kamarnya.
Membutuhkan waktu lama sebelum ia kembali tertidur.
Beberapa hari telah berlalu semenjak hari pertamanya di sekolah.
Yuichi menghadiri kelas seperti biasa.
Dia melihat sekeliling meja. Label-labelnya masih terlihat sama.
“Protagonis Simulasi Kencan” dan “Simulasi Kencan Teman Masa Kecil” begitu lengket seperti biasanya. “Pembunuh Berantai,” “Vampir” dan “Penipu” sedang asyik membicarakan sesuatu. “Anthromorph,” si gadis kaya itu, sedang dikerumuni oleh sekelompok orang yang menjilat padanya. Si “Penyihir” sinting sedang memandang “Kekasih Penyihir. ”
Kepanikan Yuichi karena melihat hal-hal aneh sudah menjadi kesehariannya. Dengan kata lain, tidak ada yang terjadi. Tidak ada insiden yang mencurigakan sama sekali.
“Pembunuh Berantai” Natsuki Takeuchi tidak memburunya, dan interaksi mereka tidak lebih dari senda gurau antara teman sekelas biasa. Hubungan mereka tidak lebih dari itu.
“Vampir”, “Zombie,” dan “Anthromorph” tampaknya hanya siswa biasa juga.
Meskipun sifat sejati mereka terlihat jelas oleh Yuichi, tapi sepertinya itu tidak berpengaruh pada interaksi mereka. Sepertinya aturan “Hidup berdampingan” memang berlaku disini.
Jadi, aku satu-satunya orang yang hidup dalam ketakutan karena Pembunuh Berantai, huh?
Itu tidak masuk akal. Segalanya begitu damai di sekitar Yuichi, namun karena ia tidak bisa berhenti melihat label-label itu, ia tidak bisa berpikir begitu.
Shota mendekati Yuichi saat dia tenggelam dalam lamunan. “Hey, kakak perempuanmu ternyata sangat manis!” Suaranya penuh dengan kegembiraan. Dia pasti telah melihat Mustuko saat ia dan Yuichi berangkat sekolah bersama.
“Yah, orang-orang juga bilang begitu sih.” Tapi sebelum Yuichi bisa menambahkan bahwa dia tidak benar-benar setuju dengan ini, dia merasakan seseorang tengah menatapnya.
Dia melirik kursi sebelah kiri dan depannya. Tatapan itu milik si “Penyihir,” An Katagiri. Menusuk tajam diantara celah poni lebarnya. Dia tidak mencoba berbuat sesuatu padanya, tapi ditatap seperti itu dari waktu ke waktu masih membuatnya merinding.
Tolong beri aku waktu istirahat! Aku sudah cukup bermasalah dengan Pembunuh Berantai!
Untungnya (Yah, untuk Yuichi), perhatian gadis itu biasanya tertuju pada Takuro yang duduk di sebelahnya. Yuichi melepaskan tatapannya dan melihat ke depan lagi.
Dia ingin menolong Takuro, tapi dia khawatir kalau ikut campur mungkin akan menyebabkan lebih banyak masalah. Dan lagipula, gadis itu tidak melakukan sesuatu yang mengerikan pada Takuro sejauh yang ia lihat. Yang dilakukannya cuma menatap Takuro, sesekali berbicara dengannya, dan memberinya kotak makan siang.
Yuichi sesekali melirik makan siang mereka untuk melihat apakah ada sesuatu yang mencurigakan, tapi tidak ada. Tidak ada kadal bakar atau boneka jerami. Hanya makan siang buatan tangan biasa. Jadi untuk saat ini, dia hanya akan menonton dan menunggu.
Tentu saja, jika Takuro benar-benar dalam bahaya, dia akan turun tangan… tapi untuk sekarang, ini hanya antara sepasang “kekasih”. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk ikut campur.
“Hei… apa-apaan cewek itu?” Shota berbisik pada Yuichi, sepertinya ia menyadari tatapan An juga.
“Mana kutahu?” Dia merasakan hal yang sama, tapi itu tidak membuatnya lebih mudah untuk dijawab.
Setelah kelas berakhir, Yuichi pergi ke atap, memandang halaman yang diapit empat gedung sekolah di bawah, sambil tenggelam dalam pikirannya. Pemandangan itu entah kenapa membuatnya tenang. Mungkin karena semua tanaman hijau itu.
Orang-orang tidak terlalu sering ke atap, jadi ini merupakan tempat yang sempurna untuk mencari ketenangan dalam berpikir. Dan seperti biasanya, hal yang selalu menjadi beban pikirannya adalah Natsuki Takeuchi.
Gadis itu pernah bilang tidak akan membunuh orang-orang yang ia kenal, tapi dia juga bilang ia membunuh orang setiap hari. Bagaimana jika dia membunuh seseorang baru-baru ini?
Yuichi bukan orang yang sangat baik, tapi sepertinya tidak benar untuk membiarkan hal ini terjadi.
Gadis itu pernah bilang kalau identitasnya ketahuan, dia akan membunuh semua orang dan menghilang. Jadi bagaimana jadinya jika dia ketahuan dengan cara yang lain? Yuichi perlu melakukan tindak pencegahan jika hal semacam itu muncul.
Namun pertanyaan sebenarnya adalah… bagaimana caranya menghentikan seorang pembunuh berantai?
Jika dia hanya siwi SMA biasa, Yuichi mungkin bisa mengalahkannya dalam pergulatan. Tapi jelas dia lebih dari sekedar itu.
Sehari setelah Natsuki melompat keluar jendela, Yuichi memeriksa dinding di luar kamar mandi, ada ukiran memanjang disana, mengarah dari jendela ke tanah. Natsuki pasti menancapkan sesuatu disana untuk memperlambat ia turun. Tidak ada siswi SMA normal yang melakukan itu.
Yuichi tidak bisa melihat seluruh gambarannya. Natsuki menusuk punggungnya dengan sejenis benda tajam, jadi dia mengasumsikan kalau itu sebuah pisau, tapi itu juga bisa sesuatu yang lain.
Mungkinkah aku harusnya memberitahu Mutsuko tentang ini… ?
Salah satu teman sekelasnya adalah seorang pembunuh berantai. Apa yang akan dikatakan Mutsuko jika dia mengatakan itu padanya?
Yah, tentu saja dia akan menyeringai dan mengajukan berbagai pertanyaan. Dan sudah jelas apa yang selanjutnya akan terjadi: Dia ingin Yuichi melawan pembunuh berantai itu.
Yuichi tidak mau melakukan itu. Meski begitu, tetap menyembunyikannya sendirian itu sangat sulit. Dia menginginkan orang yang bisa ia andalkan.
Yuichi merenungkan siapa yang ideal menjadi orang kepercayaannya. Orang yang bisa menjaga mulutnya, dan mempunyai kekuatan bertarung seandainya pembunuh berantai itu mengincarnya.
Memangnya orang seperti itu bakal jatuh dari langit napa… ?
Siapa memangnya yang akan percaya ada seorang pembunuh berantai di kelas mereka? Tidak ada seorang pun kecuali kakak perempuannya.
Pikiran Yuichi terus berputar-putar.
Sesaat kemudian, dia melihat sebuah label yang melayang di halaman
Itu terbaca “Vampir” dan bergerak. Yuichi belum pernah melihat sebuah label bergerak-gerak seperti itu sebelumnya.
Yuichi memicingkan matanya sampai ia bisa melihat sosok buram di bawah label itu, yang pada akhirnya ia menyadari kalau itu adalah seseorang. Lebih tepatnya, seorang gadis.
Dia adalah Aiko Noro, seorang gadis dari kelasnya. Yuichi akhirnya sadar.
Sulit mengetahui apa yang sedang dia lakukan pada jarak ini, namun ada sesuatu yang aneh. Dia tampak sedang berlari mengelilingi halaman. Dugaan pertamanya mungkin ia sedang latihan, akan tetapi akhirnya sadar bahwa itu sesuatu yang aneh mengingat gadis itu mengenakan seragam sekolahnya sekarang. Dia juga terlihat sangat putus asa.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Yuichi menarik sebuah teropong dari tasnya. Itu adalah teropong militer dengan pengaturan night-vision. Dia membawa benda ini bukan karena keinginannya. Ini merupakan salah satu barang yang kakaknya, Mutsuko bersikeras agar Yuichi menerimanya.
Yuichi menggunakan teropong untuk memperdekat pandangan.
Ekspresinya pucat, wajahnya mengkerut ketakutan. Aiko terus melirik ke belakang seolah sedang dikejar sesuatu, meskipun Yuichi tidak bisa melihat apapun di belakangnya.
Tiba-tiba, sesuatu menangkap kakinya, dan ia terjatuh. Genangan darah mulai menyebar di sekitarnya.
“Hah ?!” Yuichi mengambil tasnya dan berlari keluar.
✽✽✽✽✽
Aiko terbaring di tanah, berteriak kesakitan.
Darah mengalir dari kakinya dan membentuk genangan di tanah.
Sesosok kerangka yang mengenakan pakaian compang-camping bangkit dari bawah tanah. Tangannya berlumuran darah. Pasti itu yang telah melukai Aiko.
Sekolah telah usai. Aiko berlari di halaman, diserang oleh sesosok monster kerangka. Hari masih sore, namun langit sudah gelap gulita. Suasana yang mencekam hanya menambah perasaan tidak berdayanya.
Aku harus lari.
Dia bahkan tidak bisa berdiri, Aiko berusaha bergerak mati-matian dengan merangkak.
Satu serangan saja yang seperti itu akan langsung membunuhnya. Namun entah kenapa, serangan itu tidak datang.
Mungkinkah dia sudah aman? Aiko mendongak sekali lagi, ia berdoa.
Ada empat sosok kerangka di sana: Yang satu baru saja bangkit dari dalam tanah, sedangkan tiganya lagi yang mengejarnya. Mereka tidak melakukan apapun kecuali berdiri disana, menatap Aiko dengan lubang mata mereka yang kosong.
Seorang anak laki-laki yang setahun atau dua tahun lebih tua darinya tengah berdiri di belakang mereka.
Anak itu seputih lembaran kertas, dan entah kenapa, ia tampak ketakutan. Mungkin karena genangan darah di sekitar Aiko.
“A-apa yang sebenarnya terjadi? Bukan ini kesepakatannya!” Anak itu berteriak marah pada anak kucig hitam yang berada di pundaknya. Kucing itu mengeong sebagai tanggapan, pertanyaan itu sepertinya benar-benar salah alamat.
“Mungkinkah dia hanya manusia? Tapi itu artinya…. ”
Mata mereka bertemu untuk sesaat. Dimana Aiko memohon untuk berhenti.
Namun gerakan itu hanya memulihkan keberaniannya. Anak itu melihat bahwa mata Aiko berubah menjadi merah.
“Ah-ha! Aku paham. Jadi kau benar-benar bukan manusia! Baik, apa kau akan menunjukan jati dirimu yang sebenarnya?”
Namun Aiko tidak melakukan apapun. Matanya yang berwarna merah bukanlah kesengajaan. Itu tidak menunjukan adanya aliran kekuatan yang bangkit. Itu cuma regenerasi vampirnya yang aktif saat ia kehilangan banyak darah.
Aiko ketakutan. Seseorang akan membunuhnya untuk alasan yang tidak dia mengerti. Rasanya seperti mimpi buruk, dan yang ingin dilakukannya saat ini hanyalah bangun.
Keraguan anak itu telah hilang, dan tatapan kebencian darinya membuat Aiko membatu. Tidak ada jalan untuk lari. Aiko tidak tahu cara menggunakan kekuatan vampirnya. Hanya akan menjadi sebuah angan-angan jika kekuatannya bangkit secara ajaib.
“Monster tetaplah monster. Mereka harusnya mati saja. Tidakkah kau setuju?”
Bersamaan dengan itu, para kerangka mengelilingi Aiko. Tangan mereka berubah menjadi bentuk pisau. Benar-benar tidak ada jalan untuk lari kali ini.
Aiko memejamkan matanya erat-erat. Dia tidak bisa menghadapi kematian dengan berani. Dia tidak ingin mati.
Namun yang datang selanjutnya bukanlah guncangan karena diserang. Seseorang melingkarkan lengan di pinggang Aiko, mengangkatnya, lalu menggendongnya.
Aiko perlahan membuka matanya, memiringkan kepalanya, lalu mendongak.
Itu adalah seorang anak laki-laki. Dia memegang sebuah tas di salah satu tangannya, dan tangan yang satunya lagi digunakan untuk memangkunya.
✽✽✽✽✽
Yuichi melompat ke sisi Aiko, mengangkatnya dengan satu tangan, dan mulai berlari.
“Apa yang sebenarnya terjadi disini?”
Langit yang berubah gelap. Mahluk aneh yang menyerang Aiko. Tidak ada satupun yang masuk akal disini. Namun fokus utamanya untuk sekarang adalah lari. Aiko sedang terluka. Dia harus segera membawanya ke tempat aman terlebih dahulu.
Yuichi mengira jika ia berlari lurus, itu akan langsung membawanya ke gedung sekolah, namun ia malah kembali ke tengah halaman.
Jadi begitu.
Itu menjelaskan kenapa Aiko tampak berlari mengelilingi halaman. Dia berusaha melarikan diri, namun tak bisa.
Yuichi berhenti.
Dalam gelapnya halaman itu berdirilah empat sosok kerangka dengan pakaian compang-camping. Mereka tampak kaku, dan tangan mereka, menyerupai pisau, menancap ke tanah.
Mereka benar-benar tidak terlihat seperti cosplayer. Mereka sepenuhnya mampu berdiri, meskipun tidak memiliki otot atau daging yang melekat pada tulang mereka. Sendi mereka bahkan tidak terhubung. Jelas ada fenomena supranatural yang bekerja disini.
Berdiri di belakang kerangka-kerangka itu adalah seorang anak laki-laki dengan seragam sekolah. Dia memiliki poni lebar yang menyembunyikan wajahnya, sepasang sarung tangan hitam di kedua tangannya, lalu seekor anak kucing hitam di pundaknya.
Siapa orang ini? Yuichi bertanya-tanya. Namun tak membutuhkan waktu lama ia segera mendapat jawabannya.
“Pemburu Monster Magang.”
Itu adalah label diatas kepala anak itu, sebuah label yang belum pernah Yuichi lihat sebelumnya.
“Pemburu Monster Magang” sedang mengejar Aiko, si “Vampir”. Ada logika sederhana yang bermain disini.
Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa meninggalkan Noro seperti ini, tapi jika mereka mencoba melakukan sesuatu yang aneh…
“Mustahil… Bagaimana kau bisa kesini? Aku sudah memasang penghalang…. manusia harusnya tidak bisa masuk…. ”
Saat Yuichi tenggelam dalam pikirannya sendiri, anak itu mulai berbicara kepada anak kucing di pundaknya.
“Mundur?! Kenapa?… Sialan! Baik!” Anak itu mengumpat kecewa, lalu berlari ke arah gedung sekolah secepat kakinya bisa membawanya.
Yuchi melihatnya pergi dalam kebingungan, namun akhirnya memutuskan untuk membaringkan Aiko di tanah untuk memeriksa keadaannya.
Aiko perlahan menatap Yuichi dengan mata merahnya yang tidak fokus.
Hah? Yuichi mencoba membuang rasa terkejutnya. Ini bukan waktunya untuk memperdulikan warna matanya. Wajah Aiko begitu pucat dan dipenuhi keringat dingin. Napasnya tidak teratur. “Syok hipopolemik”1 adalah yang terpikirkan oleh Yuichi.
Darah mengalir dari paha Aiko. Tingkat kehilangan darahnya menunjukan kerusakan pada alteri femoralis.2
Untungnya, Yuichi memiliki sebuah tourniquet3 di dalam tasnya, dan beberapa pengetahuan pertolongan pertama secara kasar.
Dia mengangkat rok Aiko.
“Hei! Apa yang kau lakukan?” Aiko membuyarkan tatapannya dengan suara panik.
“Menghentikan pendarahan. Aku harus fokus, jadi tolong diam sebentar.”
Yuichi memeriksa lukanya. Lukanya terlalu dalam sehingga membuat Yuichi kesulitan untuk menekan pendarahannya, namun entah kenapa, pendarahan itu sepertinya melambat. Itu aneh, namun Yuichi tetap melanjutkan pekerjaannya, mengikatkan tourniquet ke pahanya.
Hal berikutnya yang ia tahu, langit yang sebelumnya gelap telah terang kembali.
“Yah, itu memang prosedurnya. Apa kau baik-baik saja, Noro?”
Langit yang tiba-tiba gelap dan terang kembali tentunya merupakan hal yang aneh, namun setidaknya bahaya sudah berlalu.
“Kau Sakaki…kan?” Aiko bertanya, seolah ingin memastikan. Yuichi tiba-tiba teringat bahwa mereka belum pernah bercakap-cakap sebelumnya.
“Benar, itu aku. Kau Noro, kan? Apa yang terjadi disini?”
“Em… Maaf. Aku juga tidak yakin.” Aiko tiba-tiba bergidik saat mengingat pengalaman mengerikan sebelumnya.
Yuichi ingin memberi Aiko waktu untuk menenangkan diri, namun ia tahu mereka tidak punya banyak waktu. Yuichi harus segera membawanya ke dokter untuk mengobati lukanya.
Sekarang nampaknya Aiko sudah cukup tenang, Yuichi lanjut berbicara.
“Bisa bergerak? Kita harus pergi ke rumah sakit. Luka itu sepertinya sangat dalam…apakah sakit?”
Yuchi tiba-tiba menyadari ada yang aneh — Aiko bertingkah tidak normal. Luka seperti itu harusnya sangat sakit kan? Namun Aiko tampak sangat tenang.
“Hah? Y-ya, tentu ini sakit. B-benar juga, rumah sakit! Kita pergi ke rumah sakit!” Aiko bangkit dan duduk, lalu memalingkan wajahnya berusaha agar mata mereka tidak bertemu.
Yuichi mengangkat roknya sekali lagi untuk memeriksa apakah ia harus melonggarkan tourniquetnya. Tidak baik jika membiarkannya kencang terlalu lama.
“Hey.. Kau benar-benar tidak berencana mengintip rokku, kan?” Tanya Aiko.
Yuichi bertindak tanpa punya waktu untuk ragu dan malu. “Kau terluka di bagian ini. Memangnya apa lagi yang kulakukan?” Yuichi hanya berpikir ia harus membetulkan tourniquet yang ia pasang sebelumnya, dan saat itulah ia tersentak kaget melihat pemandangan baru dari luka Aiko. Lukanya hampir sepenuhnya tertutup.
“Noro… apa yang terjadi?”
Ini jelas tidak wajar. Bahkan goresan kecil pun tidak akan sembuh secepat ini.
“Em….” Aiko memalingkan matanya dari Yuichi. Wajah pucatnya sudah kembali normal, dan napasnya sudah stabil. Dia sudah benar-benar pulih.
Setelah beberapa saat berpikir, Yuchi sekilas ingat tentang warna mata Aiko sebelumnya. Warna yang semerah darah. Sudah kembali normal sekarang, namun ia ingat betul. Akan sulit melupakan sesuatu yang mengejutkan itu.
Jadi dia benar-benar …
“Kurasa kau tidak perlu pergi ke rumah sakit sama sekali.”
“E-eh, kelihatannya seperti itu, ya? Kurasa itu sudah sembuh… Oh! Tapi masih ada hal-hal aneh yang tersisa.” Aiko dengan cepat mengubah topik pembicaraan, menunjuk ke belakang Yuichi.
“Hah?… Baik, mahluk apa mereka sebenarnya?”
Keempat kerangka itu masih berdiri disana. Tidak ada lagi nuansa kebencian di sekitar mereka. Dengan kepergian tuan mereka, saat ini mereka hanya dalam mode siaga.
“Apakah mereka hantu atau semacamnya?”
“Aku tidak tahu. Aku pikir mereka tidak akan pergi….”
Mungkin akan buruk jika seseorang menemukan mereka. Yuichi mengaduk-aduk isi tasnya dan mengeluarkan botol kecil. Dia membawanya mendekati mereka dan memercikan isinya pada kerangka-kerangka itu.
“…Tidak ada efek sama sekali.”
“Apa itu?”
“Air suci…. mungkin sih. Yah, mungkin hanya bekerja jika kau seorang kristiani.”
Yuichi berpikir untuk menjatuhkan salah satu dari mereka, namun mahluk-mahluk itu begitu kotor, pikirannya memberontak agar tidak menyentuh mereka.
“Hmmm, apa lagi yang bisa aku coba? Sang… Bodhi….sattva… A…va…lo…ki..te…sva..ra.. se…dang ..ber…sama…dhi.” Yuichi mulai melantunkan Sutra Hati. Mungkin saja mereka akan kehilangan jiwa yang diperlukan untuk membuat mereka bergerak atau semacamnya.
“Eek!”
Dia berbalik untuk memeriksa jeritan di belakangnya dan melihat Aiko yang mengernyit.
“Hah?”
“Hei! Apa yang kau lakukan?” Aiko berjalan mendekati Yuichi, tiba-tiba marah.
“Apa yang ku…. oh. Apakah vampir juga tidak menyukai sutra atau semacamnya? Maaf.”
Tiba-tiba Aiko membatu.
“Ah.” Yuichi tiba-tiba sadar ia mengatakan kata “vampir” dengan begitu mudahnya. Apa aku bodoh?! Pertama aku berurusan dengan Pembunuh Berantai, dan sekarang Vampir juga?
“A-a-apa yang kau katakan?!” Aiko jelas panik.
“Hah? P-pertanyaan bagus! Apa yang baru saja kukatakan?”
Tidak seperti Natsuki Takeuchi, Aiko bukan tipe orang yang akan mengancamnya perihal identitasnya, jadi Yuichi mencoba seberapa jauh ia bisa berpura-pura bodoh.
“B-benarkah? Mungkin aku cuma salah dengar! Ahahaha! Y-yah, aku harus segera pulang!” Aiko berbalik, seolah bersiap-siap untuk pergi.
“Tunggu sebentar!”
“Ap-Apa?”
“Apa kau akan pulang dengan keadaan seperti itu?”
Penampilan Aiko begitu mengerikan. Ia berlumuran darah dari kepala sampai ujung kakinya.
“Oh… tidak.. ” Aiko terkulai sedih saat ia menyadari keadaan dirinya.
“Ini, kenakan ini.” Yuchi melepaskan blazzer miliknya dan memberikannya pada Aiko. Akan membantu jika sesuatu menutupinya, setidaknya.
“U-Um, terima kasih.”
“Bisakah setidaknya aku membawamu ke klinik? Mereka mungkin paling tidak memiliki pakaian ganti disana.”
“Aku tidak tahu… jika ada orang lain yang melihatku… ” Aiko tidak tampak senang dengan gagasan itu.
“Kalau begitu… bagaimana kalau mampir ke rumahku? Jaraknya dekat, dan kau bisa meminjam sesuatu dari saudara perempuanku.”
“T-tidak, tak usah. Rumahku juga tidak jauh kok. Terima kasih sudah meminjamiku jaketnya. Aku akan mencucinya dan mengembalikannya lagi padamu! ”
Aiko mulai berjalan lagi, namun sebelum melangkah jauh, ia berhenti, memutar balik, dan mendekati Yuichi.
“Hei.”
“Ya apa?”
“Kau benar-benar tidak mengatakan vampir kan?”
“…Aku? Apa kau yakin aku benar-benar mengatakan itu?” Yuichi mencoba mengelak sekali lagi. Dirinya berasumsi Aiko lebih suka berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi, tapi sepertinya dia tidak setuju. “Kenapa kau mengatakan itu? Apa yang membuatmu berpikir aku seorang vampir?”
Yuuchi menyadari itu sia-sia, jadi dia putuskan untuk mengaku saja. “Yah, lukamu sembuh begitu cepat…”
“Erk!”
“Matamu juga berwarna merah …”
“…T-tapi itu bukan alasan untuk memanggil orang lain vampir kan?”
“Aku tahu. Maafkan aku. Aku harusnya tidak boleh memanggilmu vampir hanya karena itu. Aku menyesal. Dan aku tidak akan memberitahu siapapun tentang kejadian hari ini. Apa itu cukup?”
“Tidak, itu tidak cukup… Bolehkah aku datang ke rumahmu? Kupikir kita perlu bicara.”
Alasan yang Yuichi berikan pastinya membuat Aiko menyadari ada yang ganjil disana.
Dan selanjutanya, mereka menuju rumah Yuichi bersama-sama.

Catatan:
1Syok Hipovolemik merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan cairan tubuh atau darah yang menyebabkan jantung tidak mampu memompakan cukup darah ke seluruh tubuh sehingga perfusi jaringan tubuh menjadi terganggu. Keadaan ini bersifat emergensi dan dapat menyebabkan seluruh organ gagal berfungsi dan lebih parah lagi, dapat menimbulkan kematian organ. Hipovolemia berbeda dengan dehidrasi, dimanapada hipovolemia biasanya terjadi penurunan sodium dalam darah, sedangkan pada dehidrasi tidak. (sumber:http://seberkas-cahaya-langit.blogspot.com/2014/02/syok-hipovolemik-hypovolemic-shock.html?m=1)
2Arteri femoralis adalah istilah umum yang terdiri dari beberapa arteri besar paha. Ujungnya mulai daripada ligamentum inguinalis (kepala femoralis) dan berakhir tepat di atas lutut pada kanal adduktor atau kanal Hunter melintasi luasnya tulang femur. (sumber:https://id.m.wikipedia.org/wiki/Arteri_femoralis)
3Tourniquet adalah alat untuk mengerutkan (constricting) dan menekan (compressing). Saat digunakan tourniquet berfungsi untuk mengontrol aliran darah pada vena atau arteri dengan cara menekan dan melepas dalam rentang waktu tertentu. (sumber:http://www.indramuhtadi.com/abn-group-blog-page/tourniquet)
close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama