Chapter
04 – Musim Abadi
Kupikir aku takkan pernah
datang ke taman bermain untuk kedua kalinya, tapi disinilah aku.
Tatapan pengunjung lain sama
sekali tidak menggangguku.
Aku langsung menuju antrean
tiket.
Sekarang adalah hari kerja,
jadi taman hiburan sedang tidak ramai.
Aku bilang pada petugas
karyawan kalau aku akan membayar harga untuk dua orang dan meminta mereka untuk
membiarkan tempat duduk di sampingku kosong. Pada awalnya mereka menentang,
tapi aku menjelaskan situasiku kepada mereka dengan sopan dan jujur, dan akhirnya
mereka mengizinkannya.
Rollercoaster perlahan
mencapai puncak. Aku merasa keadaan tidak menyenangkan yang tidak biasa. Nampaknya
aku tak pernah menyukai rollercoaster
dalam hidupku.
Pada saat berikutnya, rollercoaster mulai meluncur ke bawah
dengan kecepatan tinggi.
Aku pun langsung menjerit.
“Dear
Okada Takuya-sama.
Aku
ingin tahu apa yang kamu rasakan saat mendengarkan rekaman suara ini. Aku
bahkan tidak bisa membayangkannya. Sebenarnya, aku ingin menulis surat atau
membuat rekaman video, tapi aku sama sekali tidak punya tenaga untuk
melakukannya, jadi itu tidak mungkin. Aku memilih rekaman suara karena aku
masih bisa merekam suaraku sambil berbaring.
Aku
benar-benar ingin pergi ke suatu tempat bersamamu, hanya kita berdua. Tapi kupikir
itu akan menyakitimu jika aku mengatakannya langsung. Tidak, pasti aku
sendirilah yang tersakiti, jadi aku terlalu takut untuk mengatakannya.
Takuya-kun,
aku ingin pergi ke taman bermain bersamamu. "
uuu
Saat itu, aku sedang
mengerjakan barang kecil.
Usai kejadian di atap rumah
sakit, aku menerima buku catatan yang berisi semua hal yang ingin dilakukan
Mamizu sebelum dia meninggal. Dia mengaku, alasan kenapa buku itu diberikan
kepadaku karena rasanya memalukan jika orang tuanya melihatnya nanti. Ketika aku
pulang ke rumah dan melihatnya lagi, aku melihat ada beberapa hal yang tertulis
yang belum pernah aku lakukan. Ada satu hal yang benar-benar menarik perhatianku.
Aku ingin membuat bola salju
baru.
Yang seperti ini
↓↓↓
Di dalam buku catatan tersebut
ada gambar doodle yang menggambarkan
adegan kehidupan tertentu. Sulit untuk menyebutnya artistik, tapi aku sangat
menyadari seperti apa gambar itu.
Aku membeli tanah liat dan
mencoba membuatnya menurut gambaran Mamizu, tapi karena aku tidak mahir
kerajinan tangan, jadi tidak berjalan dengan baik. Aku terus mencoba lagi dan
lagi, didorong oleh keinginaN untuk mewujudkannya.
Saat itulah terjadi.
Larut malam, aku menerima
panggilan dari Makoto-san.
Beberapa hari yang lalu,
Makoto-san sudah tidak takut lagi pada penagih utang dan sekarang menghabiskan
banyak waktu dengan Mamizu. Sebagian karena kematian Mamizu sudah dekat. Dan
alasan terbesar mengapa beliau takut pada penagih utang karena Ia mengira
penagih itu beralih menagih ke ibu Mamizu yang membiayai pengobatan Mamizu.
Oleh karena itu, Makoto-san mulai sering mengunjungi Mamizu, dan sementara aku
merasa lega, aku juga memiliki emosi yang sedikit bertentangan. Karena ini juga
menunjukkan seberapa dekat kematian Mamizu.
"Mamizu bilang kalau dia
ingin bertemu denganmu untuk yang terakhir kalinya," kata Makoto-san.
Aku buru-buru naik taksi dan
menuju ke rumah sakit.
Tapi aku terlambat.
Pada saat aku tiba, Mamizu
sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Jadi, mereka benar-benar menaruh kain
putih di atas orang yang meninggal, ya, aku berpikir seperti orang idiot.
"Beberapa saat yang lalu
dia masih sadar," Makoto-san berkata dengan suara pilu.
"Aku sudah sering
berbicara dengannya saat dia masih hidup," Ucapku setelah menenangkan
pikiran dan mentalku.
Aku meminta Makoto-san dan
Ritsu-san untuk menunjukkan wajah Mamizu.
Dia tersenyum.
Sungguh sulit dipercaya.
Mungkin mataku melihat ilusi optik.
Tapi aku bisa saja menggambarkannya
sebagai orang yang terlihat damai.
"Mamizu menyuruhku untuk
memberikan ini padamu, Takuya-kun." Makoto-san memberiku perekam suara
dengan ekspresi lumayan rumit. "Mungkin, sekitar sepuluh hari yang lalu? Dia
mulai merekam, sedikit demi sedikit. Dia bilang, dia ingin kau mendengarkannya.
"
Aku sama sekali tidak tahu
tentang hal ini. Aku tak ingat kalau dia pernah menggunakan perekam suara ini
di depanku.
Aku berpamitan dengan
Makoto-san dan Ritsu-san, lalu meninggalkan kamar.
Saat aku di luar rumah sakit,
waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Bahkan di jalan di depan rumah sakit, tidak
ada mobil yang lewat.
Rumahku lumayan jauh dari sini;
Biasanya butuh satu jam setengah atau lebih untuk sampai ke rumah dari rumah
sakit. Tapi aku ingin berjalan, jadi aku mulai melangkahkan kakiku. Mungkin
pagi akan segera menjelang dan matahari akan terbit saat aku berjalan.
Tidak ada mobil di jalan.
Mendadak, ide gila terlintas dibenakku, jadi aku berlari dari trotoar, dan langsung
ke tengah jalan.
Di jalan raya empat jalur yang biasanya
ada banyak mobil yang bolak-balik, namun sekarang, hanya ada aku di jalanan
yang sepi ini.
Dan begitulah, aku terus
berjalan menyusuri jalan utama dengan langkah kaki yang lebar.
Aku memegang perekam suara,
memasang earphone yang pernah
diberikan Mamizu kepadaku sebagai hadiah, dan mencoba mendengarkan suaranya.
Anehnya, tidak ada air mata yang
keluar. Dalam pikiran kosong, kupikir mungkin terlalu dini bagiku untuk
menangis.
"Sekarang,
aku masih memiliki beberapa 'hal yang ingin aku lakukan sebelum meninggal'. Meninggalkan
rekaman suara ini adalah salah satunya. Apa kamu merasa terganggu? Jika iya,
mohon dengarkan baik-baik. Kupikir aku akan mengumumkannya sekarang. Tadaaah!
Ini adalah permintaan pertama. Saat aku meninggal, tolong kremasi tubuhku di
malam hari. "
Setelah mendengarkan sejauh
ini, aku segera menelpon Makoto-san dan menjelaskan situasinya. Kenapa kau tak bilang ke keluargamu dan
malah ke diriku, sih? pikirku. Mungkin Mamizu ingin aku panik seperti ini,
atau mungkin dia sedikit malu untuk menjelaskan Shizusawa Sou 'One Ray of Light' kepada keluarganya.
Ada banyak orang yang datang ke
pemakaman Mamizu. Suasana hatiku agak jernih. Teman sekelas yang biasanya tidak
pernah aku lihat ada di sana, menangis dengan tersedu-sedu.
Aku sendiri belum menangis.
"Okada, apa kau dekat
dengan Watarase-san?" Salah satu teman sekelasku bertanya dengan penuh
minat, setelah melihatku berbicara akrab dengan Makoto-san dan Ritsu-san.
"Dia adalah pacarku."
"Apa ?!" Teman
sekelas aku berseru kaget.
"Suaramu terlalu
keras," kataku.
"Kamu
harus menghadiri pemakamanku. Aku merasa kalau kamu akan melewatkan hal seperti
itu, Takuya-kun.”
"Dan
tolong beritahu semua orang bahwa aku adalah pacarmu. Aku ingin tahu apa aku ini
pacarmu? Kita tidak pernah mengkonfirmasikannya dengan kata-kata, jadi aku
tidak percaya diri untuk bilang begitu.”
"Jika
kamu tidak berpikir begitu, lalu, tolong jadikanlah aku pacarmu sekarang.
Karena aku ingin kamu memamerkan kepada semua orang bahwa, bahkan gadis malang
yang meninggal terlalu dini begini memiliki pacar yang luar biasa. Dan aku
ingin kamu pamer kalau kamu punya pacar cantik sepertiku, Takuya-kun. "
Tentu saja, krematorium
biasanya tidak buka di malam hari. Tapi tak disangka, pihak krematorium sering menerima
permintaan semacam ini. Pasien yang menderita penyakit luminesensi terkadang
menulis di dalam wasiatnya bahwa mereka ingin jenazahnya dikremasi pada malam
hari. Jadi, pihak krematorium membuat pengecualian.
Biasanya, hanya kerabat dekat
yang diizinkan menghadiri proses kremasi, tapi aku mengundang Kayama. Tentu
saja, Makoto-san sudah memperbolehkan Kayama untuk datang.
Bukannya menunggu untuk mengumpulkan
abu Mamizu, kami malah pergi keluar sesaat sebelum waktu pembakaran dan mendaki
sebuah bukit yang bisa melihat jelas tiang asap dari gedung kremasi.
Awalnya area sekitar sini
terasa hening. Tapi dari waktu ke waktu, kami bisa mendengar mobil lewat di
jalan yang jauh dari sini.
Dan kemudian kremasi Mamizu
dimulai.
Ada bulan purnama yang
menggantung di langit.
Tubuh Mamizu terbakar, menjadi pilar
asap yang menari-nari di atas udara. Ada cahaya samar-samar di sekeliling asap
putih pucat itu.
Diterangi oleh bulan, asap tersebut
menjadi sinar cahaya yang naik ke langit.
Bersaman langit malam yang tak
berawan sebagai latar belakangnya, asap dari tubuh Mamizu bersinar dengan
cahaya pucat.
Hari-hari yang kuhabiskan
bersama Mamizu tiba-tiba terlintas di dalam pikiranku dan menghilang lagi
dengan kecepatan yang luar biasa.
Asap itu adalah mayat Mamizu.
Sulit mempercayai bahwa
kejadian ini terjadi dalam kenyataan.
Mungkin ini kesan yang tidak
mengenakkan, tapi ... cahaya itu jauh lebih indah daripada aurora yang bersinar
atau pelangi yang berkilauan. Itu sangat indah sampai-sampai menggetarkan
tulang belakangku.
Melihat cahaya itu larut di
langit malam, aku mengambil keputusan.
Aku memutuskan untuk takkan
melupakan adegan ini selama sisa hidupku.
Aku ingin menunjukkan pada
Mamizu pemandangan ini, tapi tersadar bahwa itu mustahil.
"Ini lebih indah dari apa
yang kubayangkan," kata Kayama, terlihat terpukau.
"Ini lebih indah ketimbang
“One
ray of light," kataku.
Kami berdua merokok bersama.
Kami masih berdiri disana, sampai cahaya itu hilang. Kami tidak ingin
berbicara. Dalam hidup, terkadang ada situasi dimana kita sebaiknya tidak
berbicara. Inilah salah satu situasi tersebut.
Setelah itu, kami memutuskan
untuk pulang.
Kayama datang ke sini dengan naik
sepeda, jadi kami berdua memutuskan untuk pulang ke rumah bersama-sama.
"Tolong
buatlah teman yang banyak. Pada
akhirnya, aku tidak punya seseorang yang bisa aku panggil teman dekat. Aku
ingin punya teman. Tolong buatlah banyak teman demi diriku, Takuya-kun. "
Rumahku cukup jauh dari rumah
Kayama. Meski begitu, Kayama mengantarku sampai ke dekat rumahku. Aku
mengucapkan terima kasih dan turun dari sepeda.
"Sampai jumpa," ucap
Kayama singkat, lalu Ia berputar seperti huruf U dan melaju. Ia memang jenis
laki-laki seperti itu.
Saat aku berpikir begitu,
Kayama tiba-tiba berbalik. Ini mungkin pertama kalinya Kayama berbalik saat
kami berpisah. Secara naluriah aku mempersiapkan diri untuk sesuatu. Namun,
Kayama tidak mengatakan apa-apa. Kupikir, Ia mungkin sedang mencoba mengatakan sesuatu tapi tidak bisa
mengatakannya.
"Hei, Kayama!"
Teriakku, setelah menjadi tidak sabar.
Apa yang harus dikatakan pada
jarak puluhan meter jauhnya? Apa itu sesuatu yang tidak bisa dikatakan pada
jarak yang normal? Aku memikirkan hal ini, lalu aku berkata, "Kita ini
teman, ‘kan?"
Kayama menatapku tanpa ekspresi.
Matanya tampak menatapku dengan tajam. "Tentu saja," katanya.
"Jangan menanyakan sesuatu yang memalukan begitu!" Tambahnya setelah
berdiam diri sebentar.
Kayama tertawa dan mulai
mengayuh sepedanya lagi. Dan Ia tidak berbalik lagi.
"Kalau
dipikir-pikir, bagaimana keadaan Kamenosuke? Pastikan untuk memberinya makan
dengan benar. Biarkan dia hidup lama. Tolong beri dia cintamu dan manjakan dia.
"
Baru belakangan ini aku sadar
kalau Kamenosuke benar-benar nakal.
Dia sering kali kabur.
Entah bagaiama caranya, dia
berhasil keluar dari tangki air tanpa sepengetahuanku dan berkeliling ke
berbagai tempat di dalam rumah. Setiap kali hal itu terjadi, ibuku dan aku merasa
kewalahan untuk menemukannya. Tapi, biasanya dia sering ketemu di bak mandi.
"Aku penasaran apa dia
ingin kembali ke laut," kata ibuku, seolah-olah ide tersebut mendadak
muncul di pikirannya.
"Ada seseorang yang
mengatakan sesuatu yang serupa," kataku.
"Apa aku harus mempersiapkan
mobil?" Usul ibuku, menyuarakan idenya yang lain.
Pada akhirnya, aku setuju
dengan sarannya, dan kami berdua ditambah dengan kura-kura pergi ke garasi.
"Sudah lama sejak kita
berdua keluar, bukan? Mungkin kita belum melakukan ini sejak Meiko meninggal,
"kata ibuku.
"Yah, memang tidak biasa
untuk pergi keluar bersama ibumu saat sudah seusiaku."
Sekarang masih musim dingin,
jadi suhunya dingin. Tapi langit terlihat jernih. Kami tiba di pantai yang sama
pernah aku tuju. Tidak banyak pantai di dekat daerah sini, jadi apa boleh buat.
Ibuku membawa tikar pantai. Dia
meletakkannya di atas pasir, dan kami pun duduk di atasnya. Lalu kami membawa
Kamenosuke keluar dari tangkinya dan membiarkannya keluar ke pantai berpasir.
Dia mulai berjalan dengan langkah kaki yang tenang. Dia tampak sangat
bersemangat.
"Takuya, beberapa hari
yang lalu kamu menghadiri pemakaman teman sekelasmu, ‘kan?" Tanya ibuku.
"Ya."
Aku masih belum memberitahu
ibuku tentang Mamizu secara rinci. Sebagian karena aku merasa malu, tapi sebagaian
lagi juga karena sulit memberitahu semua kejadian yang sebenarnya terjadi.
"Apa dia seseorang yang kamu
kenal?"
"... iya."
"Begitu ya."
Ibuku tidak menanyakan hal
lain. Itu sedikit tak terduga.
"Bu…."
"Hmm?"
"Kau tahu, aku sangat
menyukai Meiko," kataku.
Ibuku menatapku sambil
tersenyum. "Aku tahu," katanya pelan.
"Aku bukanlah orang yang
dingin." Aku merasa suaraku mulai bergetar. Aku berusaha untuk menghentikan
hal itu terjadi.
Tapi ini mustahil.
Aneh sekali.
Air mataku mulai keluar dan
tidak mau berhenti.
Aku tidak tahu kenapa aku tidak
bisa menangis pada waktu yang tepat, dan menangis pada saat yang bukan waktunya.
"Aku tahu, Takuya,"
kata ibuku sambil membelai kepalaku.
Aku terus duduk di sana,
dihibur oleh ibuku.
Setelah itu, ibuku tiba-tiba
berdiri dan meletakkan tangannya di dekat mulutnya. Dia meletakkan tangannya ke
dalam bentuk megafon dan mendadak berteriak.
Aku langsung terkejut. Bukan
hanya aku; Kamenosuke, yang telah berjalan menuju laut, berbalik terkejut.
"Apa-apaan itu?"
Tanyaku.
"Bukan apa-apa."
Hanya suara ombak yang bisa
didengar. Aku bisa mencium aroma garam yang berasal dari air laut.
"Bagaimana kalau kita
pulang?" Kata ibuku.
Aku menatap Kamenosuke, yang
masih berjalan dengan langkah kakinya yang kecil. "Apa kita harus meninggalkan
Kamenosuke di sini?" Ucapku mengajukan saran.
"Takuya. Jangan mengatakan
hal konyol begitu. "
"Aku bercanda kok."
Aku mengambil Kamenosuke dan
masuk ke mobil.
"Bu, nanti berhenti di
toko peralatan yang di pinggir jalan ya," pintaku pada ibu saat perjalanan
pulang.
"Untuk apa?"
Tanyanya.
"Aku berpikir untuk
membantu Kamenosuke mendapatkan pacar," kataku sambil melihat tangki air
di belakangku.
Kamenosuke menatapku penuh rasa
ingin tahu.
"Aku
ingin menikah, dan jika mungkin, bisa mempunyai tiga anak. Aku ingin anak
perempuan, tapi aku pikir anak laki-laki juga imut. Aku tak keberatan meski
kecil, tapi aku ingin rumah dengan kebun. Tapi pepatah bilang bahwa rumah
adalah tempat kamu membuatnya, jadi kupikir aku benar-benar akan bahagia dengan
apapun ukurannya.
"Aku
tak pernah memikirkan hal ini sampai sekarang. Maksudku, bukannya itu sudah
jelas? Mana mungkin manusia yang berharap bahwa dirinya tidak pernah lahir akan
berpikir untuk menginginkan anak, bukan? Tapi aku memikirkan itu sekarang.
"
Waktu pun terus berlalu,
liburan musim dingin berakhir dan ada sedikit berita di awal tahun baru.
Yoshie-sensei akan segera
menikah, dan dia akan mengundurkan diri pada akhir semester.
Menurut desas-desus yang
beredar, dia menemukan pasangannya melalui wawancara pernikahan.Dia baru saja
berkencan dengan Kayama sampai setengah tahun yang lalu, jadi aku sedikit
terkejut dengan betapa cepatnya hal itu terjadi.
Di sisi lain, sepertinya Kayama
tidak benar-benar terkejut. "Calon suaminya adalah pegawai perusahaan
reguler. Tapi, saat aku melihat foto calonnya, Ia sangat jelek sampai-sampai aku
ingin tertawa, "katanya.
Siapa yang menyebarkan foto
seperti itu? pikirku, tapi ketika aku melihat foto yang dikirim Kayama padaku, aku
melihat pria itu memiliki kepala botak mengkilap, menyerupai seorang Nurarihyon
dari cerita rakyat.
Beberapa hari setelah itu, saat
jam pertama adalah kelas bahasa nasional Yoshie-sensei, aku masuk ke kelas di
pagi hari dan melihat ada seseorang yang menulis di papan tulis.
Yoshie-chan,
selamat atas pernikahanmu
Di samping kata-kata itu ada
potret pria Nurarihyon itu dan gambar
hati, yang digambar dengan kapur tulis.
Bel berbunyi pun berbunyi, saat
Yoshie-sensei masuk, melihat ini dan buru-buru menghapusnya dari papan tulis
dengan wajah yang tampak malu. "Hei, siapa yang menulis lelucon
begini!" Katanya, tapi sepertinya dia sama sekali tidak marah; justru, dia
tampak sedikit bahagia
Hanya ada satu orang di kelas ini
yang akan melakukan lelucon bodoh semacam itu, dan Yoshie-sensei mungkin juga mengetahui
hal ini.
"Ternyata kau pandai
menggambar ya, Kayama," ucapku dengan nada menggoda.
"Apa yang kau bicarakan?"
Katanya, berpura-pura tidak mengerti apa yang aku maksud.
Namun, aku menyadari ada debu
kapur di lengan seragamnya. Akan tetapi, aku mengabaikan itu dan berpura-pura
tidak melihatnya.
"Ada
banyak hal yang ingin aku lakukan untukmu. Aku ingin melakukan segala macam hal
untuk dirimu. Aku hanya membuatmu melakukan sesuatu untukku, namun aku tidak
bisa melakukan sebaliknya, ‘kan, Takuya-kun? Aku minta maaf karena sudah
menjadi pacar yang tidak baik.
"Tapi
alangkah baiknya jika kamu bisa segera menemukan pacar baru. Seorang cowok
harus bisa move-on dari mantan pacarnya. Tapi kalau bisa, kamu tak keberatan
‘kan kalau terus mengingatku? "
Pernah sekali, aku melihat
Riko-chan-san.
Pada hari Minggu, saat aku
berjalan di dekat maid kafe, aku melihatnya dari seberang jalan.
Riko-chan-san sedang berjalan
dengan cowok jangkung, dan lengan mereka saling bergandengan.
Aku berpikir untuk
memanggilnya, tapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya.
Adegan itu entah bagaimana
tampak sangat menyenangkan bagiku. Riko-chan-san memiliki senyum lebar di
wajahnya saat ia berbincang dengan pria itu. Aku tidak ingin menghancurkan
adegan itu.
Aku ingin momen itu berlangsung
selamanya. Aku mengharapkan itu. Dan kemudian aku merasa sedikit cemburu.
Setelah itu, aku tidak pernah
melihat Riko-chan-san lagi.
uuu
Hari ke-49 berlalu, dan
setengah tahun kemudian, aku mengunjungi makam Mamizu. Makoto-san mengundangku
untuk pergi dan mengunjungi makam bersamanya. Awalnya, kupikir aku akan pergi
mengunjunginya sendiri nanti, karena aku merasa sedikit malu karena berbagai
alasan.
(TLN: Ada layanan Buddhis yang diadakan 49 hari setelah kematian
seseorang.)
Tapi aku merasa jika aku
melakukan itu, aku tak akan jauh berbeda dari diriku yang dulu.
Bila
seseorang yang kita cintai mati,
kita
harus bunuh diri
Puisi itu, yang ditulis oleh
Nakahara Chuuya, sebenarnya masih ada lanjutannya setelah itu.
Saat itu, aku tidak membacanya
sampai akhir, tapi ketika aku membacanya lagi tempo hari, ada sesuatu yang lain
yang tertulis di sana.
Dan kelanjutannya adalah
seperti ini...
Tapi
jika kita terus melanjutkan hidup,
Diakhirat
nanti,
Ayo
kita berjabat tangan dengan ritme yang baik.
Awalnya, aku penasaran dengan
makna di balik puisi itu. Tapi, kemudian aku menyadari bahwa puisi itu tidak
memiliki banyak makna bagiku untuk memikirkannya secara mendalam. Mungkin arti
dari puisi itu adalah manusia yang hidup seharusnya bergaul dengan manusia lain
yang masih hidup juga.
Bagaimanapun, dalam keadaan
seperti itu, aku mengundang Kayama dan pergi ke depan stasiun, tempat kami
sepakat untuk bertemu. Semuanya sudah diatur, jadi kami berdua menunggu
Makoto-san datang dan menjemput kita disana.
"Apa itu?" Kayama
bertanya dengan heran saat melihatku.
Aku membawa Kamenosuke dan
kekasihnya ke dalam ember yang dipenuhi air.Kebetulan, aku belum memberi nama
kura-kura kedua. Tapi aku berencana untuk segera memberikannya.
"Yah, aku hanya ingin
membawa kura-kura ini," kataku.
"Manusia normal mana yang membawa
kura-kura bersama mereka saat pergi mengunjungi kuburan."
Saat kami melakukan percakapan
ini, mobil Makoto-san tiba.
"Lama tak jumpa,"
katanya.
Rupanya, Makoto-san sudah ganti
pekerjaan sekarang. Dia bekerja dalam bidang penjualan, dan auranya telah berubah
sedikit. Dia mulai berpakaian agak lebih cerdas juga. Dia terlihat tidak
terkejut saat melihat Kamenosuke dan kura-kura lainnya.
"Lama tak jumpa, ya,
Takuya-kun?" Kata Ritsu-san, yang sedang duduk di kursi penumpang. Dia dan
Makoto-san belum rujuk kembali, tapi nampaknya mereka lebih sering bertemu
daripada sebelumnya.
Kalau dipikir-pikir, ini adalah
pertama kalinya Ritsu-san memanggilku dengan namaku, pikirku.
"Bagaimana kabarmu?" Tanya
Makoto-san, memulai percakapan seperti seorang ayah yang melihat anaknya
setelah sekian lama tidak bertemu.
"Belakangan ini aku main skateboard," jawab Kayama, yang
duduk di kursi belakang bersamaku.
Ia benar-benar mulai bermain skateboard, dan punya banyak luka kecil
karena sering terjatuh. Aku tidak tahu apanya menyenangkan tentang hal itu,
jadi aku tidak ingin bergabung dengannya, tapi aku tidak memiliki perasaan
negatif saat melihat Kayama melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Setelah mendengar
ini, Makoto-san terus berbincang dengan Kayama dan tertawa, terlihat menikmati
diri mereka sendiri.
"Takuya-kun, apa kau juga
mulai melakukan sesuatu?" Makoto-san bertanya padaku.
"Aku juga akan memulai
sesuatu," kataku.
Aku tidak tahu apa itu, tapi aku
pikir sudah cukup lama bagiku untuk bisa memulai sesuatu.Jika aku terlalu lama
berdiam diri, Mamizu akan merasa kecewa. Tidak, bukannya kecewa, dia merasa
bosan dan gelisah. Itulah yang aku pikir.
Kalau tidak salah, masih ada
beberapa hal dalam buku catatan Mamizu yang belum pernah aku lakukan. Aku
mengingatnya dan menertawakan tulisan, "Aku ingin menyentuh dagu pada sikuku
sendiri sebelum mati."
"Hei, Kayama, apa kau bisa
menyentuh dagumu dengan sikumu sendiri?" Tanyaku.
"... Bukankah itu mustahil?"
Kayama mencoba beberapa saat, dan kemudian dengan cepat menyerah.
Makoto-san mencoba ikut
melakukan itu saat mengemudi, jadi kami buru-buru menghentikannya. Itu sangat
sulit; Kelihatannya mungkin, namun, itu mustahil. Mungkin saja ini adalah
masalah yang lebih sulit daripada perkiraan Poincaré.
"Kalau dipikir-pikir lagi,
aku ingin menamai kura-kura baru yang aku beli. Apa ada yang punya ide bagus?
"Tanyaku pada semua yang ada di mobil.
"Sakura," ucap
Makoto-san, sambil memandang luar jendelanya pada bunga sakura yang belum mekar.
"Jangan-jangan saat Anda
menamai Mamizu ..." Aku merasa tidak enak saat mulai mengajukan
pertanyaanku.
"Tentu saja, saat itu aku
sedang minum air. "
"Jadi, bagaimana jika Anda
meminum teh saat itu?" ucap Kayama menanyakan hal yang tidak perlu.
"Kalau itu teh hijau, mungkin
aku akan menamakannya 'Midori,'" kata Makoto-san.
"Anda mempunyai selera
nama yang buruk," kataku sambil tertawa terbahak-bahak.
(TLN: 桜(sakura) adalah bahasa Jepang
untuk 'bunga sakura'. Kata みず (mizu) dalam nama Mamizu berarti
'air.' みどり(midori) berarti 'hijau'.)
"Takuya-kun, kelihatannya
kau sudah lebih ceria, ya?" kata Makoto-san, melihat ekspresiku dari balik
cermin.
"Aku berjabat tangan
dengan ritme yang baik," kataku.
Makoto-san tampak bingung. Yah,
tentu saja beliau tidak mengerti maksudku.
Lalu, ada orang idiot bersiul
dan mengulurkan tangannya ke arahku. Tentu saja itu Kayama.
"Untung saja kau ini orang
idiot," kataku sambil menjabat tangannya.
Are pemakaman berjarak sekitar
dua puluh menit jika dengan mobil. Itu adalah
area pemakaman luas yang menghadap ke kuil dan terkadang juga digunakan
sebagai tempat wisata.
"Wow, ini sangat
mengkilap. Rasanya seperti baru, "kata Kayama saat melihat kuburan Mamizu,
memberikan kesan tololnya terhadap makam Mamizu.
Makoto-san tertawa, dan aku
menatapnya lalu menyadari bahwa Ia mengenakan syal sekarang. Dia mungkin
memakainya saat kita keluar dari mobil. Itu adalah syal yang telah dirajut oleh
Mamizu.
"Anda masih memakai syal
meski ini masih musim semi," kataku.
Makoto-san tersenyum malu.
Sekarang sudah akhir bulan Maret, jadi suhunya lumayan dingin, tapi hanya
Makoto-san yang memakai syal. Yah, mungkin cuma aku sendiri satu-satunya cowok
yang membawa kura-kura.
Aku mengeluarkan bola salju yang baru saja aku selesaikan,
dan meletakkannya di samping makam Mamizu.
Di dalam bola salju, ada dua
orang yang berdiri berdekatan, mengenakan gaun pengantin dan tuksedo.
Seakan-akan waktu telah berhenti di dalamnya.
(TN: Tuxedo, setelan jas hitam, biasanya digunakan dalam acara
pesta/pernikahan)
Dan kemudian kami berempat
menempelkan kedua tangan kami dan memejamkan mata di depan kuburan.
Segera, musim semi akan tiba.
Musim di mana aku pertama kali
bertemu dengan Mamizu.
Tapi aku tidak ingin mati.
Aku bahkan sangat menantikan
bunga sakura yang bermekaran.
Aku mengambil perekam suara
dari sakuku dan mennempatkan earphone ke telingaku.
Aku memejamkan mata dan
mendengarkan sekali lagi suara Mamizu, mengucapkan kata-kata yang telah aku
dengarkan berulang-ulang.
"Ayahku
memanggilmu lewat telepon. Aku yakin saat-saat terakhirku akan segera tiba. Ini
adalah permintaan terakhirku yang asli.
"Aku
mencintai kebahagiaan. Aku sangat takut mati; Aku sangat ketakutan sehingga aku
merasa hatiku akan berhenti karena takut. Tapi sekarang aku tidak takut lagi.
"Aku
senang. Bagaimana denganmu, Takuya-kun? Tolong lakukan yang terbaik untuk
bahagia demi diriku. Aku berdoa untuk kebahagiaanmu dari lubuk hati.
"Ini
akan menjadi komunikasi terakhir dari Watarase Mamizu.
"Selamat
tinggal. Aku mecintaimu. Aku mencintaimu. Sangat sangat sangat mencintaimu."
Kuburan Mamizu tidak memiliki tanda
'無' pada nisannya seperti
Shizusawa Sou.
Namun, Ini mudah dibaca,
Watarase Mamizu
Seperti
ini pun terlihat bagus juga, pikirku.
[TAMAT]
Asli cerita ini seru... Cukup Novel seperti ini Bagus....
BalasHapusYup, sayang aja banyak yg ngga suka nNovel genre beginian
BalasHapus