Kimitsuki Chapter 3.7



XxxX

Mamizu sedikit demi sedikit mulai jarang berbicara. Aku menduga kalau berbicara terasa melelahkan baginya.
Dia mulai mengomel dan berdebat denganku tentang hal-hal sepele. Saat itu terjadi, dia akan mengatakan hal seperti "Kamu seharusnya jangan datang ke sini," dan "Selamat tinggal." Ini sudah menjadi ungkapan standar miliknya. Dan aku mengabaikan semua apa yang dikatakannya.
Tidak seperti dulu, Mamizu sering menangis belakangan ini. Mungkin saja dia sudah berusaha semaksimal untuk tidak menangis di hadapanku sampai sekarang. Mungkin saja dia memukulku karena dia ragu menunjukkan kelemahannya. Meski begitu, anehnya, aku tidak memiliki perasaan negatif tentang hal itu.
"Mati karena penyakit akan terasa menjengkelkan, jadi mungkin aku ingin kamu membunuhku, Takuya-kun," kata Mamizu.
Dia dalam suasana hati yang baik serta ceria di hari itu. Dia banyak berbicara, yang mana hal itu jarang terjadi belakangan ini.
"Aku masih tidak ingin dipenjara dulu," kataku.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita bunuh diri bersama-sama? Takuya-kun, apa kamu mau mati bersamaku? " ucap Mamizu, membuat candaan yang tak lucu sama sekali.
"Oke," kataku. "Jadi, bagaimana kau ingin kita melakukan bunuh diri?"
"Bunuh diri karena tenggelam terlalu biasa, bukan?"
"Apa kau memikirkan hal ini sampai serius gitu?"
"Bagaimana kalau menggantungkan diri?"
Aku mencoba membayangkannya. Dua mayat kami, tergantung di suatu tempat bersama.Itu kelihatan bodoh sekali.
"Lalu bagaimana kalau lompat dari atap gedung?" Saran Mamizu.
Kami berdua akan terbang di udara bersama-sama. Itu juga tampak bodoh. Ini lebih mirip seperti semacam gerakan pertarungan khusus daripada sesuatu yang romantis. Seperti Double apapun Buster, atau sejenisnya.
"Seppuku?" Aku mencoba menyarankan.
"Bukannya itu terlalu habis-habisan?" Kata Mamizu. "Dan cara itu akan membutuhkan seseorang untuk memenggal kepala kita. Salah satu dari kita takkan bisa mati. Rasanya akan menyakitkan kalau kamu gagal mati, loh. Kurasa bunuh diri ganda yang lebih santai akan lebih baik. "
"Bagaimana kalau membeku sampai mati?"
"Tapi di mana kita akan membeku?"
"Gunung bersalju atau semacamnya?"
"Itu terlalu jauh!"
"Bagaimana kalau di dalam lemari es?"
"Apa ada lemari es yang muat dua orang di dalamnya?"
"Lemari es yang berukuran super besar."
"Kita harus menemukan ukuran yang super besar dulu, ‘kan?"
Meski kita berdua saling bertukar lelucon seperti ini, aku sama sekali tidak merasa lebih baik.
Sejujurnya, aku ingin dia mengatakan hal yang lebih mudah dipahami, egois dan penuh candaan.
Aku ingin dia membuatku melakukan sesuatu yang konyol mirip seperti hukuman permainan, lalu menertawakanku saat dia melihatku menderita karena hukuman, seperti yang dia pernah lakukan dulu.
"Apa kau tidak punya 'hal yang ingin kau lakukan sebelum meninggal' lagi?" Tanyaku.
"Kalau begitu, ini yang terakhir," kata Mamizu, menatapku langsung.
Kata "terakhir" membuatku sediki kaget.
"Aku ingin tahu apa yang terjadi setelah kematian," kata Mamizu.
Mendengar hal itu, sebuah pemikiran mendadak terlintas di kepalaku.
Bayangan dimana Kayama menyelamatkanku mulai memenuhi pikiranku.
Sejak hari itu, hari dimana aku tidak mati, selalu ada di sana.
Aku selalu merasa seperti sudah mati, bahkan saat aku hidup.
Jadi, aku memikirkan cara yang baik.
"Mamizu. Aku akan mengunjungimu lagi malam nanti, "kataku, lalu aku meninggalkan ruangannya.
Mamizu memiliki ekspresi penasaran di wajahnya. Itu adalah ungkapan yang berbunyi, "Aku tidak mengerti."
Kau pasti akan segera mengerti, pikirku.

uuu

Aku pulang ke rumah, menenangkan diri dan memikirkan gagasanku. Tapi ini bukanlah gagasan yang tiba-tiba muncul. Itu sebabnya aku tidak goyah. Aku pikir ini adalah ide terbaik.
Aku menempelkan kedua tanganku di depan butsudan Meiko.
(TN: Sekedar mengingatkan, butsudan adalah altar kecil yang ada di rumah-rumah, biasa digunakan untuk mengenang orang yang sudah meninggal)
Meiko-neechan.
Setelah kau meninggal, aku selalu penasaran mengapa kau meninggal. Aku memikirkannya berulang-ulang sampai ratusan kali. Tapi aku sama sekali tidak mengerti perasaanmu. Kupikir, kau ini hanya orang idiot. Aku sama sekali tidak bisa mengerti bagaimana rasaya mati. Aku bahkan menyerah untuk memahaminya, berpikir kalau kita adalah dua orang berbeda, meski kita berdua adalah saudara kandung. Tapi tetap saja, itu masih terngiang di dalam pikiranku.
Jika kau meninggal karena pacarmu meninggal, maka mustahil aku bisa memahami perasaanmu saat itu. Aku tidak pernah menyukai orang lain atau mengalami masalah serius atas kematian seseorang yang berharga bagiku.
Tapi akhirnya aku mengerti.
Aku mengerti makna di balik keputusasaan itu.
- Bila orang yang kita cintai meninggal, kita harus bunuh diri.
Beberapa hari yang lalu, aku mencoba menabrakkan diri ke sebuah mobil juga, dan hampir tertabrak.
Pada saat itu, kurasa aku memahaminya.
Kupikir, aku akhirnya mengerti perasaanmu.
"Hei, mau sampai kapan kamu akan berdoa untuk Meiko?"
Aku ditarik kembali ke kenyataan oleh suara ibuku. Kulihat dia sibuk menyiapkan makanan di meja makan.
"Aku akan membantu," balasku, berdiri di samping ibuku.
"Tumben sekali," katanya.
Makan malam hari ini adalaha nasi kari. Ini adalah hidangan yang disukai Meiko. Bahkan setelah Meiko meninggal, ibuku terus melakukannya setiap minggu.
"Menu kari malam ini kok rasanya aneh?" Kataku.
Ibuku membuat ekspresi yang benar-benar terkejut.
"Maksudku, ini ‘kan kari seafood," aku melanjutkan. "Biasanya ‘kan pakai daging? Apa ini cocok dengan selera Meiko-neechan? "
Ibuku tertawa. "Sebenarnya, aku sendiri yang suka," katanya. Dia tidak pernah mengatakan hal itu sebelumnya. "Ayahmu tidak menyukai kari, kan? Jadi, sulit menaruhnya di meja makan sampai Meiko lahir. Tapi usai Meiko lahir. Dia menyukai kari seafood. Begitulah aku mulai bisa menaruhnya di atas meja dengan percaya diri. "
"Jadi, dengan kata lain, Ibu selalu membuatnya hanya karena Ibu ingin memakannya sendiri?"
"Tepat sekali," kata ibuku sambil tersenyum nakal.
"Nambah lagi, bu," kataku, meski jujur aku sudah kenyang.
"Cobalah untuk ambil sendiri," kata ibuku sambil membawakanku makanan kedua.
"Kau tahu, Bu," kataku sambil makan. "Aku baik-baik saja sekarang."
Sesaat, ibuku membuat ekspresi yang menunjukkan bahwa dia tidak tahu apa yang sedang aku bicarakan. Namun, berangsur-angsur memahami apa yang sedang kubicarakan.
Ada banyak kalimat yang ingin kukatakan di pikiranku, tapi hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
"Benarkah?" Kata ibuku, terlihat sedikit senang.
Dadaku terasa sakit, seolah-olah ada yang menusuk saat aku menatapnya.
"Ya. Aku baik-baik saja."
Setelah itu, aku mandi, menggosok gigi dan mengganti menjadi kaos putih.
Aku pergi ke beranda dan menelepon Kayama.
"Apa yang kau inginkan?" Kata suara Kayama di ujung telepon.
"Aku pindah sekolah," kataku. Pada akhirnya, aku tidak bisa menceritakan semuanya.
"Hah? Mendadak sekali. "
"Ayahku pindah kerja."
"Kemana?" Tanya Kayama.
"Menurutmu?"
"Luar negeri?"
"Tepat sekali," kataku, seolah mengatakan bahwa aku terkesan karena Ia tahu.
"Rasanya akan sepi nanti."
"Kayama, terima kasih untuk semuanya sampai sekarang."
Ada keheningan sesaat setelah aku mengatakan itu.
"Kau berbohong, ‘kan?" Ucap Kayama dengan jelas. "Okada, dimana kau sekarang?"
Aku mengakhiri panggilan dan mematikan ponselku.
Setelah itu, aku memberi makan banyak Kamenosuke. Kamenosuke sedang mondar-mandir di sekitar tangkinya, menatapku dengan ekspresi riang tapi mengantuk. Jika aku bisa terlahir kembali, aku ingin menjadi kura-kura, pikirku, meski kupikir mana ada yang namanya reinkarnasi.
Aku meninggalkan rumah pukul 10 malam.
"Kamu mau kemana malam-malam begini?" Tanya ibuku dengan nada khawatir, menghentikanku. Mungkin dia telah menyadari sesuatu.
"Cuma jalan-jalan, tidak jauh," kataku.
Kemudian, aku meninggalkan rumah.

uuu

Di tengah malam, aku menyelinap ke kamar Mamizu. Saat aku masuk, Mamizu sudah menungguku.
"Kamu terlambat, Takuya-kun," katanya.
Aku mengambil kursi roda di sudut ruangan dan memindahkannya ke samping tempat tidur.Tubuh Mamizu sangat lemah sampai-sampai dia hampir tidak bisa berjalan.
"Kemana kita pergi?" Tanyanya.
"Atap," jawabku.
"Hei, liftnya hanya bisa ke lantai tujuh, jadi kita tidak bisa sampai ke atap," balas Mamizu, itu artinya kita tidak bisa menggunakan kursi roda. "Apa kamu mau menggendongku?"
Dia terdengar sedikit senang. Jadi, aku juga merasakan hal yang sama.
Aku belum pernah menggendong seorang gadis di punggungku, jadi aku kurang percaya diri, tapi ini bukan waktunya untuk bimbang atau membuat kesalahan. Dengan tenang aku bersandar di dekat tempat tidur dan memberi isyarat agar dia bisa menuju punggungku.
Mamizu membuat keributan kecil saat dia melompat ke punggung seolah merangkulku. Awalnya, kupikir kalau dia sedang main-main, tapi aku segera menyadari kalau dia tidak lagi memiliki kekuatan untuk perlahan mendekatkan dirinya ke punggungku dan mengistirahatkannya berat badannya dengan lembut padaku.
Aku membuka pintu dan keluar menuju koridor.
Tidak ada tanda-tanda musuh, para perawat yang akan menggagalkan rencana kita. Oke, tidak ada masalah, semuanya aman.
Aku berbelok di ujung koridor dan mendekati tangga. Aku hati-hati menaiki anak tangga satu per satu.
Mamizu berpegangan padaku, tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Aku pikir ini adalah kebahagiaan tertinggi.
Aku sama sekali tidak sedih.
Aku bahkan merasa kalau alasanku lahir ke dunia adalah untuk momen saat ini.
Sembari menghargai periode waktu yang sangat singkat ini, aku menaiki tangga menuju atap.
Dan kemudian kami berdua tiba.
Ini adalah atap rumah sakit yang belum kami kunjungi sejak kejadian melihat bintang.

uuu

"Gelap sekali, ya?" Mamizu berbisik di dekat telingaku, terdengar seperti sedang bersenandung.
Langit malam yang jelas dan tak berawan terbentang di atas. Bulan dan bintang berkilauan dalam kegelapan. Mungkin karena musim gugur, bulan tampak lebih indah dari sebelumnya.
Aku terus berjalan, langkah demi langkah, melintasi lantai beton di atap.
"Ah." Mamizu membuat suara terkejut.
Pada saat yang sama, aku merasakan cahaya di punggungku.
"Aku benar-benar bersinar, ya?"
Aku mengintip dari balik bahuku dan melihat tubuhnya yang bersinar cemerlang.
Dengan fenomena bercahaya di tubuh manusia yang merupakan ciri khas dari penyakit luminesensi, tubuh penderita akan bersinar saat terpapar di bawah sinar rembulan, dan seiring perkembangan penyakit, cahaya tersebut akan menjadi lebih kuat. Tubuh Mamizu memancarkan cahaya sedemikian kuat bila di bandingkan saat kita berdua melihat bintang dulu.
"Aku cantik seperti kunang-kunang, ‘kan?" Ucap Mamizu dengan malu-malu.
"Kau orang yang paling cantik di alam semesta," kataku.
Aku membuat Mamizu duduk di bangku.
"Anginnya terasa enak, bukan?" Katanya. Rambut panjangnya melambai-lambai, tidak bisa menahan angin. "Aku senang bisa bertemu denganmu, Takuya-kun."
Dalam kegelapan ini, hanya ekspresi Mamizu yang bisa kulihat dengan jelas. Aku bisa melihatnya lebih jelas daripada bulan dan bintang yang jauh.
"Aku tidak punya penyesalan lagi," katanya, ada ekspresi puas di wajahnya.
Ini adalah wajah seseorang yang benar-benar menerima kematian, pikirku.
"Aku juga sama, "kataku. Dengan jujur menyatakan apa yang kurasakan sekarang.
"Kamu berbeda dariku, Takuya-kun."
"Bukan begitu."
Hidupku sudah menjadi kosong [ç„¡].
" Jadilah berbeda," Mamizu memohon, dengan ekspresi sedih.
Aku memejamkan matanya dengan jariku.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya.
"Lakukan saja seperti yang aku katakan. Terus tutup matamu sampai aku menyuruh membukanya. Oke?"
"... iya."
Dan sekarang, pertunjukkan yang sebenarnya akan dimulai.
Aku langsung berjalan menuju sudut atap. Dengan sekali lompat, aku melewati pagar pembatas yang ada di sana untuk mencegah orang jatuh. Kegelapan malam terentang di depanku. Aku berada di atap gedung berlantai sembilan. Jadi sudah pasti. Lantai dua bangunan tidak bisa dibandingkan dengan ini.
Jika aku melangkah beberapa langkah lagi, aku bisa melakukan lompatan yang brilian.Aku bisa melakukan lompatan sejati dibandingan apa yang Kayama dulu. Aku berjalan sampai ke tepi.
Begitu sampai di tepi, aku berbalik dan menengok ke belakang. "Kau bisa membuka matamu sekarang, Mamizu!"
Mamizu membuka matanya. Dan kemudian dia menatapku dengan bingung. "Apa yang kamu ... lakukan?" Dia menatapku, tercengang.
"Aku akan mati sekarang."
Apa aku gila? Tentu saja tidak, pikirku. Yang gila adalah dunia ini, dunia dimana Mamizu akan meninggal.
"Aku akan memberitahumu apa yang terjadi setelah kematian," kataku.
"... apa kamu bodoh?"
"Aku akan mengajarimu bahwa kematian itu tidak menakutkan."
"Mana mungkin itu tidak menakutkan," kata Mamizu, suaranya bergetar. "Mana mungkin itu tidak menakutkan! Tentu saja menakutkan! Bahkan bagiku; Aku masih sangat takut pada kematian! "
"Aku jauh lebih takut untuk hidup," kataku. "Aku takut kalau hanya diriku yang  terus hidup dan melupakanmu. Aku takut pada diriku yang mulai mengingat kata-kata bahasa Inggris, nama teman sekelas yang tidak aku sayangi, bagaimana cara sampai ke tempat baru dan memberi orang kartu bisnisku dan bukanlah mengingat suaramu, caramu tertawa, caramu mengekspresikan emosimu dan caramu bernafas. Jika aku terus hidup bahkan setelah kau meninggal, mungkin ada waktu ketika aku berpikir bahwa hidup ini tidak seburuk yang kubayangkan. Aku takut akan hal itu. "
"Jadi, itu sebabnya kamu melakukan ini?"
"Aku selalu merasa bersalah."
Selalu….. sejak Meiko meninggal.
"Bukannya kau pikir dunia ini kejam? Setiap hari, orang meninggal satu demi satu, dan orang baru pun lahir. Semua orang melupakan orang yang telah meninggal dan mengalihkan pandangan mereka ke arah masa depan yang cerah. Orang-orang yang berharga meninggal, namun dunia terus berlanjut. Apakah ada yang lebih kejam dari itu? Aku tidak tahan menghadapi dunia seperti itu, "teriaku. "Aku sama sekali tidak bisa menahannya."
"Itu gila, Takuya-kun."
"Aku ingin kau menyaksikanku mati, dan melihat apa yang terjadi setelah aku meninggal. Kau tertarik pada kematian, bukan? Aku pun merasakan hal yang sama. Mungkin, karena sebab itu aku selalu tertarik padamu. Aku ingin mati sebelum dirimu. "
Setelah mengucapkan itu, aku berbalik membelakangi Mamizu.
Mataku mulai terbiasa dengan kegelapan malam.
Aku menunduk dan melihat lantai beton jauh di bawah. Lantai Sembilan ternyata cukup tinggi juga,pikirku. Jika jatuh dari sini, kematian tak bisa dihindari.
Kayama.
Aku akan melakukan lompatan yang jauh lebih hebat darimu.
Aku pikir dengan begini, aku bisa memahami perasaan sejati  Meiko.Kupikir aku bisa menjadi lebih dekat dengannya.
Kakiku gemetar.
Aku mendengar suara logam di belakangku.
Kedengarannya seperti pagar logam yang digoncang.
Aku berbalik terkejut.
Aku tercengang, tidak bisa mempercayai apa yang sudah kulihat.
Mamizu berada tepat di seberang pagar.
Harusnya dia tidak bisa berjalan lagi.
Dia pasti menggunakan semua kekuatannya yang tersisa untuk merangkak agar sampai ke sana.
"Aku tidak peduli," katanya lirih. "Aku sama sekali tidak peduli apa yang terjadi setelah kematian."
Aku sangat bingung.
Kau tidak peduli?
Mana mungkin kau tidak peduli, ‘kan?
Kau ini akan mati, Mamizu. Wajar saja jika hal itu menjadi sesuatu yang ingin kau ketahui. Semua orang pun sama. Bahkan untuk orang sehat seperti diriku. Kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kematian, dan kita takut akan hal itu.
"Aku sadar kalau aku tidak peduli. Aku selalu merasa ingin mengetahui itu. Tapi aku salah. Terima kasih, akhirnya aku menyadari itu berkatmu, "kata Mamizu.
Kupikir dia berbohong. Mamizu sedang berbohong. Dia hanya ingin menghentikanku.
"Aku tahu kalau kamu mengagumiku karena aku akan segera meninggal."
Mamizu menggenggam pagar itu dengan kedua tangannya dan mengangkat tubuhnya dengan goyah. Dia berdiri di atas kakinya, menahan berat tubuhnya di pagar. Dadaku menegang saat aku melihatnya begitu.
"Aku selalu mencemaskanmu. Tapi aku tidak bisa menggapaimu. Karena kupikir aku tidak bisa mengerti keputusasaan orang lain. Keputusasaanmu berbeda dari milikku. Aku pikir bahwa jika keputusasaanku adalah keputusasaan orang yang akan segera meninggal, dan keputusasaanmu adalah keputusasaan seseorang yang terus menjalani hidup. Kupikir kita benar-benar berjauhan.
Aku selalu berusaha untuk menerima kematianku. Kukatakan pada diriku sendiri bahwa ini adalah hadiah ilahi yang diberikan kepada manusia. Tak ada manusia yang tidak mati. Aku ingin menghapus keterikatanku pada kehidupan, satu demi satu. Itu sebabnya aku membuat daftar 'hal yang ingin aku lakukan sebelum meninggal.'
Tapi ini rasanya benar-benar menyakitkan. Kupikir akan lebih baik kalau aku tidak pernah lahir daripada merasakan rasa sakit ini. Terus-menerus, aku selalu berpikir bahwa jika aku akan mati seperti ini, aku seharusnya tidak dilahirkan. Kupikir jika ada Dewa, dia pasti seorang psikopat berdarah dingin atau semacamnya. Dia membiarkanku terlahir dan merasakan berbagai macam, namun pada akhirnya merenggut semuanya dariku lagi dan membunuhku. Kupikir semua nyawa adalah sesuatu yang patut disesali. Aku frustrasi melihat bagaimana kebahagiaan dan kesenangan berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dan menyedihkan. Aku menderita karena itu.
Akan lebih bagus jika hidupku hampa. Hampa dari awal sampai akhir.Jika aku tidak mengetahui tentang kehidupan, aku takkan merasakan sakitnya kematian. Aku selalu ingin menjadi kosong [ç„¡]. Aku selalu ingin menjadi lebih dekat dengan ketiadaan. Aku ingin membuatnya seolah hidupku tidak pernah terjadi. Aku ingin kehilangan minat yang aku miliki di dunia ini.
Tapi ada orang yang mengubahku. Itu kamu, Takuya-kun. Bahkan jika aku menyerah pada segalanya, namun aku takkan menyerah padamu. Meski aku selalu mencobanya. Mungkin aku sudah gila karena berpikir bahwa kamu lebih penting dari diriku sendiri.
Baru saja, aku membayangkan masa depan dunia di mana kamu meninggal. Aku berpikir, 'Itu tidak mungkin terjadi.' Pada saat itu, aku menyadari bahwa aku masih memiliki harapan pada dunia ini. Kupikir bahwa dunia di mana kamu hidup dan dunia di mana kamu meninggal akan sangat berbeda satu sama lain. Dan kemudian aku menjadi sadar akan keinginan yang selalu aku simpan di dalam diriku.
"Aku ingin hidup. Aku ingin hidup, Aku ingin hidup lebih lama. Aku ingin hidup lebih lama lagi. Aku ingin hidup seratus, seribu, atau sepuluh ribu tahun. Aku ingin hidup selamanya. Aku tak peduli apa yang terjadi setelah kematian! Aku hanya ingin hidup. Aku ingin hidup, Takuya-kun. Karena dirimu, aku ingin hidup lebih lama lagi sampai tidak bisa menahan diri. Jadi tolong bertanggung jawablah karena sudah membuat seseorang yang hampir mati merasa seperti ini. "
Suara Mamizu seolah tepat di samping telingaku. Suaranya tersampaikan dengan baik pada malam hari ini. Suaranya seakan transparan.
"Aku, Watarase Mamizu, sekarang akan menyatakan permintaan terakhirku kepada Okada Takuya-kun. Tolong dengarkan, " Tuturnya, ekspresi wajahnya terlihat menawan. "Aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika kamu terus hidup dari sekarang. Aku sangat penasaran bagaiamana dunia akan berlanjut setelah aku meninggal sampai-sampai aku merasa hatiku akan meledak. Itu karena dirimu, aku merasakan ini.
Sebelum bertemu denganmu, kupikir dunia akan berakhir saat aku meninggal. Jika aku meninggal dan tidak menjadi apa-apa [ç„¡], aku takkan  mengetahui apakah dunia itu ada atau tidak. Jadi aku pikir itu akan menjadi akhir dunia.
Tapi berkat dirimu aku sadar bahwa aku salah. Aku sangat penasaran dengan dunia yang indah ini dimana kamu berada, Takuya-kun. Jadi…"
Mamizu menarik napas dalam-dalam, dan melanjutkan.
"Tolong teruslah hidup demi diriku dan ajari aku. Teruslah mencari sampai ke sudut dunia ini. Lihat, dengarkan dan alami segala macam hal. Dan tolong lanjutkan mengajari makna kehidupan untuk diriku yang tinggal di dalam dirimu. "
Tanpa berpikir lagi, seolah-olah terseret medan magnet, aku mendekati pagar dari tepi atap. Aku mendekati hidup, berjalan menjauh dari kematian.
Inilah kekalahanku.
Aku telah dikalahkan oleh Watarase Mamizu.
"Apa kamu mau memenuhi permintaan terakhirku?" bisiknya.
Bibirnya ada di sana.
Tanpa ragu-ragu, aku langsung menciumnya.
Mamizu cepat menarik bibirnya dan menatapku.
Dan kemudian dia menciumku kembali.
Aku mencintaimu.
Aku mencintaimu.
Kukatakan itu padanya berulang kali, lagi dan lagi.

uuu

Hidup Watarase Mamizu hanya tersisa empat belas hari lagi.



close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama