XxxX
Mamizu sedikit demi sedikit mulai jarang
berbicara. Aku menduga kalau berbicara terasa melelahkan baginya.
Dia mulai mengomel dan berdebat denganku
tentang hal-hal sepele. Saat itu terjadi, dia akan mengatakan hal seperti
"Kamu seharusnya jangan datang ke sini," dan "Selamat
tinggal." Ini sudah menjadi ungkapan standar miliknya. Dan aku mengabaikan
semua apa yang dikatakannya.
Tidak seperti dulu, Mamizu sering menangis
belakangan ini. Mungkin saja dia sudah berusaha semaksimal untuk tidak menangis
di hadapanku sampai sekarang. Mungkin saja dia memukulku karena dia ragu
menunjukkan kelemahannya. Meski begitu, anehnya, aku tidak memiliki perasaan
negatif tentang hal itu.
"Mati karena penyakit akan terasa menjengkelkan,
jadi mungkin aku ingin kamu membunuhku, Takuya-kun," kata Mamizu.
Dia dalam suasana hati yang baik serta ceria
di hari itu. Dia banyak berbicara, yang mana hal itu jarang terjadi belakangan
ini.
"Aku masih tidak ingin dipenjara dulu,"
kataku.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita bunuh
diri bersama-sama? Takuya-kun, apa kamu mau mati bersamaku? " ucap Mamizu,
membuat candaan yang tak lucu sama sekali.
"Oke," kataku. "Jadi, bagaimana
kau ingin kita melakukan bunuh diri?"
"Bunuh diri karena tenggelam terlalu
biasa, bukan?"
"Apa kau memikirkan hal ini sampai serius
gitu?"
"Bagaimana kalau menggantungkan diri?"
Aku mencoba membayangkannya. Dua mayat kami,
tergantung di suatu tempat bersama.Itu kelihatan bodoh sekali.
"Lalu bagaimana kalau lompat dari atap
gedung?" Saran Mamizu.
Kami berdua akan terbang di udara bersama-sama.
Itu juga tampak bodoh. Ini lebih mirip seperti semacam gerakan pertarungan
khusus daripada sesuatu yang romantis. Seperti Double apapun Buster,
atau sejenisnya.
"Seppuku?"
Aku mencoba menyarankan.
"Bukannya itu terlalu habis-habisan?"
Kata Mamizu. "Dan cara itu akan membutuhkan seseorang untuk memenggal kepala
kita. Salah satu dari kita takkan bisa mati. Rasanya akan menyakitkan kalau
kamu gagal mati, loh. Kurasa bunuh diri ganda yang lebih santai akan lebih
baik. "
"Bagaimana kalau membeku sampai
mati?"
"Tapi di mana kita akan membeku?"
"Gunung bersalju atau semacamnya?"
"Itu terlalu jauh!"
"Bagaimana kalau di dalam lemari
es?"
"Apa ada lemari es yang muat dua orang di
dalamnya?"
"Lemari es yang berukuran super besar."
"Kita harus menemukan ukuran yang super
besar dulu, ‘kan?"
Meski kita berdua saling bertukar lelucon
seperti ini, aku sama sekali tidak merasa lebih baik.
Sejujurnya, aku ingin dia mengatakan hal yang
lebih mudah dipahami, egois dan penuh candaan.
Aku ingin dia membuatku melakukan sesuatu yang
konyol mirip seperti hukuman permainan, lalu menertawakanku saat dia melihatku
menderita karena hukuman, seperti yang dia pernah lakukan dulu.
"Apa kau tidak punya 'hal yang ingin kau lakukan sebelum meninggal' lagi?" Tanyaku.
"Kalau begitu, ini yang terakhir,"
kata Mamizu, menatapku langsung.
Kata "terakhir" membuatku sediki
kaget.
"Aku ingin tahu apa yang terjadi setelah
kematian," kata Mamizu.
Mendengar hal itu, sebuah pemikiran mendadak
terlintas di kepalaku.
Bayangan dimana Kayama menyelamatkanku mulai
memenuhi pikiranku.
Sejak hari itu, hari dimana aku tidak mati,
selalu ada di sana.
Aku selalu merasa seperti sudah mati, bahkan
saat aku hidup.
Jadi, aku memikirkan cara yang baik.
"Mamizu. Aku akan mengunjungimu lagi
malam nanti, "kataku, lalu aku meninggalkan ruangannya.
Mamizu memiliki ekspresi penasaran di
wajahnya. Itu adalah ungkapan yang berbunyi, "Aku tidak mengerti."
Kau pasti akan segera mengerti, pikirku.
uuu
Aku pulang ke rumah, menenangkan diri dan
memikirkan gagasanku. Tapi ini bukanlah gagasan yang tiba-tiba muncul. Itu
sebabnya aku tidak goyah. Aku pikir ini adalah ide terbaik.
Aku menempelkan kedua tanganku di depan
butsudan Meiko.
(TN: Sekedar mengingatkan, butsudan adalah altar kecil yang ada di
rumah-rumah, biasa digunakan untuk mengenang orang yang sudah meninggal)
Meiko-neechan.
Setelah kau meninggal, aku selalu penasaran mengapa kau meninggal.
Aku memikirkannya berulang-ulang sampai ratusan kali. Tapi aku sama sekali
tidak mengerti perasaanmu. Kupikir, kau ini hanya orang idiot. Aku sama sekali
tidak bisa mengerti bagaimana rasaya mati. Aku bahkan menyerah untuk
memahaminya, berpikir kalau kita adalah dua orang berbeda, meski kita berdua
adalah saudara kandung. Tapi tetap saja, itu masih terngiang di dalam pikiranku.
Jika kau meninggal karena pacarmu meninggal, maka mustahil aku
bisa memahami perasaanmu saat itu. Aku tidak pernah menyukai orang lain atau
mengalami masalah serius atas kematian seseorang yang berharga bagiku.
Tapi akhirnya aku mengerti.
Aku mengerti makna di balik keputusasaan itu.
- Bila orang yang kita cintai meninggal, kita harus bunuh diri.
Beberapa hari yang lalu, aku mencoba menabrakkan diri ke sebuah
mobil juga, dan hampir tertabrak.
Pada saat itu, kurasa aku memahaminya.
Kupikir, aku akhirnya mengerti perasaanmu.
"Hei, mau sampai kapan kamu akan berdoa
untuk Meiko?"
Aku ditarik kembali ke kenyataan oleh suara
ibuku. Kulihat dia sibuk menyiapkan makanan di meja makan.
"Aku akan membantu," balasku,
berdiri di samping ibuku.
"Tumben sekali," katanya.
Makan malam hari ini adalaha nasi kari. Ini
adalah hidangan yang disukai Meiko. Bahkan setelah Meiko meninggal, ibuku terus
melakukannya setiap minggu.
"Menu kari malam ini kok rasanya aneh?"
Kataku.
Ibuku membuat ekspresi yang benar-benar
terkejut.
"Maksudku, ini ‘kan kari seafood," aku melanjutkan.
"Biasanya ‘kan pakai daging? Apa ini cocok dengan selera Meiko-neechan?
"
Ibuku tertawa. "Sebenarnya, aku sendiri
yang suka," katanya. Dia tidak pernah mengatakan hal itu sebelumnya.
"Ayahmu tidak menyukai kari, kan? Jadi, sulit menaruhnya di meja makan
sampai Meiko lahir. Tapi usai Meiko lahir. Dia menyukai kari seafood. Begitulah aku mulai bisa
menaruhnya di atas meja dengan percaya diri. "
"Jadi, dengan kata lain, Ibu selalu
membuatnya hanya karena Ibu ingin memakannya sendiri?"
"Tepat sekali," kata ibuku sambil
tersenyum nakal.
"Nambah lagi, bu," kataku, meski
jujur aku sudah kenyang.
"Cobalah untuk ambil sendiri," kata
ibuku sambil membawakanku makanan kedua.
"Kau tahu, Bu," kataku sambil makan.
"Aku baik-baik saja sekarang."
Sesaat, ibuku membuat ekspresi yang
menunjukkan bahwa dia tidak tahu apa yang sedang aku bicarakan. Namun,
berangsur-angsur memahami apa yang sedang kubicarakan.
Ada banyak kalimat yang ingin kukatakan di
pikiranku, tapi hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
"Benarkah?" Kata ibuku, terlihat
sedikit senang.
Dadaku terasa sakit, seolah-olah ada yang
menusuk saat aku menatapnya.
"Ya. Aku baik-baik saja."
Setelah itu, aku mandi, menggosok gigi dan
mengganti menjadi kaos putih.
Aku pergi ke beranda dan menelepon Kayama.
"Apa yang kau inginkan?" Kata suara
Kayama di ujung telepon.
"Aku pindah sekolah," kataku. Pada
akhirnya, aku tidak bisa menceritakan semuanya.
"Hah? Mendadak sekali. "
"Ayahku pindah kerja."
"Kemana?" Tanya Kayama.
"Menurutmu?"
"Luar negeri?"
"Tepat sekali," kataku, seolah
mengatakan bahwa aku terkesan karena Ia tahu.
"Rasanya akan sepi nanti."
"Kayama, terima kasih untuk semuanya
sampai sekarang."
Ada keheningan sesaat setelah aku mengatakan
itu.
"Kau berbohong, ‘kan?" Ucap Kayama dengan
jelas. "Okada, dimana kau sekarang?"
Aku mengakhiri panggilan dan mematikan
ponselku.
Setelah itu, aku memberi makan banyak Kamenosuke.
Kamenosuke sedang mondar-mandir di sekitar tangkinya, menatapku dengan ekspresi
riang tapi mengantuk. Jika aku bisa terlahir kembali, aku ingin menjadi
kura-kura, pikirku, meski kupikir mana ada yang namanya reinkarnasi.
Aku meninggalkan rumah pukul 10 malam.
"Kamu mau kemana malam-malam begini?"
Tanya ibuku dengan nada khawatir, menghentikanku. Mungkin dia telah menyadari
sesuatu.
"Cuma jalan-jalan, tidak jauh,"
kataku.
Kemudian, aku meninggalkan rumah.
uuu
Di tengah malam, aku menyelinap ke kamar
Mamizu. Saat aku masuk, Mamizu sudah menungguku.
"Kamu terlambat, Takuya-kun,"
katanya.
Aku mengambil kursi roda di sudut ruangan dan
memindahkannya ke samping tempat tidur.Tubuh Mamizu sangat lemah sampai-sampai
dia hampir tidak bisa berjalan.
"Kemana kita pergi?" Tanyanya.
"Atap," jawabku.
"Hei, liftnya hanya bisa ke lantai tujuh,
jadi kita tidak bisa sampai ke atap," balas Mamizu, itu artinya kita tidak
bisa menggunakan kursi roda. "Apa kamu mau menggendongku?"
Dia terdengar sedikit senang. Jadi, aku juga
merasakan hal yang sama.
Aku belum pernah menggendong seorang gadis di
punggungku, jadi aku kurang percaya diri, tapi ini bukan waktunya untuk bimbang
atau membuat kesalahan. Dengan tenang aku bersandar di dekat tempat tidur dan
memberi isyarat agar dia bisa menuju punggungku.
Mamizu membuat keributan kecil saat dia
melompat ke punggung seolah merangkulku. Awalnya, kupikir kalau dia sedang
main-main, tapi aku segera menyadari kalau dia tidak lagi memiliki kekuatan
untuk perlahan mendekatkan dirinya ke punggungku dan mengistirahatkannya berat
badannya dengan lembut padaku.
Aku membuka pintu dan keluar menuju koridor.
Tidak ada tanda-tanda musuh, para perawat yang
akan menggagalkan rencana kita. Oke, tidak ada masalah, semuanya aman.
Aku berbelok di ujung koridor dan mendekati
tangga. Aku hati-hati menaiki anak tangga satu per satu.
Mamizu berpegangan padaku, tidak mengucapkan
sepatah kata pun.
Aku pikir ini adalah kebahagiaan tertinggi.
Aku sama sekali tidak sedih.
Aku bahkan merasa kalau alasanku lahir ke
dunia adalah untuk momen saat ini.
Sembari menghargai periode waktu yang sangat
singkat ini, aku menaiki tangga menuju atap.
Dan kemudian kami berdua tiba.
Ini adalah atap rumah sakit yang belum kami
kunjungi sejak kejadian melihat bintang.
uuu
"Gelap sekali, ya?" Mamizu berbisik
di dekat telingaku, terdengar seperti sedang bersenandung.
Langit malam yang jelas dan tak berawan
terbentang di atas. Bulan dan bintang berkilauan dalam kegelapan. Mungkin
karena musim gugur, bulan tampak lebih indah dari sebelumnya.
Aku terus berjalan, langkah demi langkah,
melintasi lantai beton di atap.
"Ah." Mamizu membuat suara terkejut.
Pada saat yang sama, aku merasakan cahaya di
punggungku.
"Aku benar-benar bersinar, ya?"
Aku mengintip dari balik bahuku dan melihat
tubuhnya yang bersinar cemerlang.
Dengan fenomena bercahaya di tubuh manusia
yang merupakan ciri khas dari penyakit luminesensi, tubuh penderita akan
bersinar saat terpapar di bawah sinar rembulan, dan seiring perkembangan
penyakit, cahaya tersebut akan menjadi lebih kuat. Tubuh Mamizu memancarkan
cahaya sedemikian kuat bila di bandingkan saat kita berdua melihat bintang dulu.
"Aku cantik seperti kunang-kunang, ‘kan?"
Ucap Mamizu dengan malu-malu.
"Kau orang yang paling cantik di alam
semesta," kataku.
Aku membuat Mamizu duduk di bangku.
"Anginnya terasa enak, bukan?"
Katanya. Rambut panjangnya melambai-lambai, tidak bisa menahan angin. "Aku
senang bisa bertemu denganmu, Takuya-kun."
Dalam kegelapan ini, hanya ekspresi Mamizu
yang bisa kulihat dengan jelas. Aku bisa melihatnya lebih jelas daripada bulan
dan bintang yang jauh.
"Aku tidak punya penyesalan lagi,"
katanya, ada ekspresi puas di wajahnya.
Ini adalah wajah seseorang yang benar-benar menerima kematian, pikirku.
"Aku juga sama, "kataku. Dengan
jujur menyatakan apa yang kurasakan sekarang.
"Kamu berbeda dariku, Takuya-kun."
"Bukan begitu."
Hidupku sudah menjadi kosong [ç„¡].
" Jadilah berbeda," Mamizu memohon,
dengan ekspresi sedih.
Aku memejamkan matanya dengan jariku.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya.
"Lakukan saja seperti yang aku katakan.
Terus tutup matamu sampai aku menyuruh membukanya. Oke?"
"... iya."
Dan sekarang, pertunjukkan yang sebenarnya akan
dimulai.
Aku langsung berjalan menuju sudut atap.
Dengan sekali lompat, aku melewati pagar pembatas yang ada di sana untuk
mencegah orang jatuh. Kegelapan malam terentang di depanku. Aku berada di atap
gedung berlantai sembilan. Jadi sudah pasti. Lantai dua bangunan tidak bisa
dibandingkan dengan ini.
Jika aku melangkah beberapa langkah lagi, aku
bisa melakukan lompatan yang brilian.Aku bisa melakukan lompatan sejati
dibandingan apa yang Kayama dulu. Aku berjalan sampai ke tepi.
Begitu sampai di tepi, aku berbalik dan
menengok ke belakang. "Kau bisa membuka matamu sekarang, Mamizu!"
Mamizu membuka matanya. Dan kemudian dia
menatapku dengan bingung. "Apa yang kamu ... lakukan?" Dia menatapku,
tercengang.
"Aku akan mati sekarang."
Apa aku gila? Tentu saja tidak, pikirku. Yang gila adalah
dunia ini, dunia dimana Mamizu akan meninggal.
"Aku akan memberitahumu apa yang terjadi
setelah kematian," kataku.
"... apa kamu bodoh?"
"Aku akan mengajarimu bahwa kematian itu
tidak menakutkan."
"Mana mungkin itu tidak menakutkan,"
kata Mamizu, suaranya bergetar. "Mana mungkin itu tidak menakutkan! Tentu saja
menakutkan! Bahkan bagiku; Aku masih sangat takut pada kematian! "
"Aku jauh lebih takut untuk hidup,"
kataku. "Aku takut kalau hanya diriku yang
terus hidup dan melupakanmu. Aku takut pada diriku yang mulai mengingat
kata-kata bahasa Inggris, nama teman sekelas yang tidak aku sayangi, bagaimana
cara sampai ke tempat baru dan memberi orang kartu bisnisku dan bukanlah
mengingat suaramu, caramu tertawa, caramu mengekspresikan emosimu dan caramu
bernafas. Jika aku terus hidup bahkan setelah kau meninggal, mungkin ada waktu
ketika aku berpikir bahwa hidup ini tidak seburuk yang kubayangkan. Aku takut
akan hal itu. "
"Jadi, itu sebabnya kamu melakukan ini?"
"Aku selalu merasa bersalah."
Selalu….. sejak Meiko meninggal.
"Bukannya kau pikir dunia ini kejam? Setiap
hari, orang meninggal satu demi satu, dan orang baru pun lahir. Semua orang
melupakan orang yang telah meninggal dan mengalihkan pandangan mereka ke arah
masa depan yang cerah. Orang-orang yang berharga meninggal, namun dunia terus
berlanjut. Apakah ada yang lebih kejam dari itu? Aku tidak tahan menghadapi
dunia seperti itu, "teriaku. "Aku sama sekali tidak bisa menahannya."
"Itu gila, Takuya-kun."
"Aku ingin kau menyaksikanku mati, dan
melihat apa yang terjadi setelah aku meninggal. Kau tertarik pada kematian,
bukan? Aku pun merasakan hal yang sama. Mungkin, karena sebab itu aku selalu
tertarik padamu. Aku ingin mati sebelum dirimu. "
Setelah mengucapkan itu, aku berbalik membelakangi
Mamizu.
Mataku mulai terbiasa dengan kegelapan malam.
Aku menunduk dan melihat lantai beton jauh di
bawah. Lantai Sembilan ternyata cukup
tinggi juga,pikirku. Jika jatuh dari sini, kematian tak bisa dihindari.
Kayama.
Aku akan melakukan lompatan yang jauh lebih
hebat darimu.
Aku pikir dengan begini, aku bisa memahami
perasaan sejati Meiko.Kupikir aku bisa
menjadi lebih dekat dengannya.
Kakiku gemetar.
Aku mendengar suara logam di belakangku.
Kedengarannya seperti pagar logam yang
digoncang.
Aku berbalik terkejut.
Aku tercengang, tidak bisa mempercayai apa
yang sudah kulihat.
Mamizu berada tepat di seberang pagar.
Harusnya dia tidak bisa berjalan lagi.
Dia pasti menggunakan semua kekuatannya yang
tersisa untuk merangkak agar sampai ke sana.
"Aku tidak peduli," katanya lirih.
"Aku sama sekali tidak peduli apa yang terjadi setelah kematian."
Aku sangat bingung.
Kau tidak peduli?
Mana mungkin kau tidak peduli, ‘kan?
Kau ini akan mati, Mamizu. Wajar saja jika hal
itu menjadi sesuatu yang ingin kau ketahui. Semua orang pun sama. Bahkan untuk
orang sehat seperti diriku. Kita tidak tahu apa yang terjadi setelah kematian,
dan kita takut akan hal itu.
"Aku sadar kalau aku tidak peduli. Aku
selalu merasa ingin mengetahui itu. Tapi aku salah. Terima kasih, akhirnya aku
menyadari itu berkatmu, "kata Mamizu.
Kupikir dia berbohong. Mamizu sedang berbohong.
Dia hanya ingin menghentikanku.
"Aku tahu kalau kamu mengagumiku karena aku
akan segera meninggal."
Mamizu menggenggam pagar itu dengan kedua
tangannya dan mengangkat tubuhnya dengan goyah. Dia berdiri di atas kakinya,
menahan berat tubuhnya di pagar. Dadaku menegang saat aku melihatnya begitu.
"Aku selalu mencemaskanmu. Tapi aku tidak
bisa menggapaimu. Karena kupikir aku tidak bisa mengerti keputusasaan orang
lain. Keputusasaanmu berbeda dari milikku. Aku pikir bahwa jika keputusasaanku
adalah keputusasaan orang yang akan segera meninggal, dan keputusasaanmu adalah
keputusasaan seseorang yang terus menjalani hidup. Kupikir kita benar-benar
berjauhan.
Aku selalu berusaha untuk menerima kematianku.
Kukatakan pada diriku sendiri bahwa ini adalah hadiah ilahi yang diberikan
kepada manusia. Tak ada manusia yang tidak mati. Aku ingin menghapus
keterikatanku pada kehidupan, satu demi satu. Itu sebabnya aku membuat daftar 'hal yang ingin aku lakukan sebelum
meninggal.'
Tapi ini rasanya benar-benar menyakitkan.
Kupikir akan lebih baik kalau aku tidak pernah lahir daripada merasakan rasa
sakit ini. Terus-menerus, aku selalu berpikir bahwa jika aku akan mati seperti
ini, aku seharusnya tidak dilahirkan. Kupikir jika ada Dewa, dia pasti seorang psikopat
berdarah dingin atau semacamnya. Dia membiarkanku terlahir dan merasakan
berbagai macam, namun pada akhirnya merenggut semuanya dariku lagi dan
membunuhku. Kupikir semua nyawa adalah sesuatu yang patut disesali. Aku
frustrasi melihat bagaimana kebahagiaan dan kesenangan berubah menjadi sesuatu
yang mengerikan dan menyedihkan. Aku menderita karena itu.
Akan lebih bagus jika hidupku hampa. Hampa
dari awal sampai akhir.Jika aku tidak mengetahui tentang kehidupan, aku takkan
merasakan sakitnya kematian. Aku selalu ingin menjadi kosong [ç„¡]. Aku selalu ingin menjadi lebih dekat dengan ketiadaan. Aku
ingin membuatnya seolah hidupku tidak pernah terjadi. Aku ingin kehilangan
minat yang aku miliki di dunia ini.
Tapi ada orang yang mengubahku. Itu kamu,
Takuya-kun. Bahkan jika aku menyerah pada segalanya, namun aku takkan menyerah
padamu. Meski aku selalu mencobanya. Mungkin aku sudah gila karena berpikir
bahwa kamu lebih penting dari diriku sendiri.
Baru saja, aku membayangkan masa depan dunia
di mana kamu meninggal. Aku berpikir, 'Itu
tidak mungkin terjadi.' Pada saat itu, aku menyadari bahwa aku masih
memiliki harapan pada dunia ini. Kupikir bahwa dunia di mana kamu hidup dan
dunia di mana kamu meninggal akan sangat berbeda satu sama lain. Dan kemudian
aku menjadi sadar akan keinginan yang selalu aku simpan di dalam diriku.
"Aku ingin hidup. Aku ingin hidup, Aku
ingin hidup lebih lama. Aku ingin hidup lebih lama lagi. Aku ingin hidup
seratus, seribu, atau sepuluh ribu tahun. Aku ingin hidup selamanya. Aku tak
peduli apa yang terjadi setelah kematian! Aku hanya ingin hidup. Aku ingin
hidup, Takuya-kun. Karena dirimu, aku ingin hidup lebih lama lagi sampai tidak
bisa menahan diri. Jadi tolong bertanggung jawablah karena sudah membuat
seseorang yang hampir mati merasa seperti ini. "
Suara Mamizu seolah tepat di samping
telingaku. Suaranya tersampaikan dengan baik pada malam hari ini. Suaranya seakan
transparan.
"Aku, Watarase Mamizu, sekarang akan
menyatakan permintaan terakhirku kepada Okada Takuya-kun. Tolong dengarkan,
" Tuturnya, ekspresi wajahnya terlihat menawan. "Aku ingin tahu apa
yang akan terjadi jika kamu terus hidup dari sekarang. Aku sangat penasaran
bagaiamana dunia akan berlanjut setelah aku meninggal sampai-sampai aku merasa
hatiku akan meledak. Itu karena dirimu, aku merasakan ini.
Sebelum bertemu denganmu, kupikir dunia akan
berakhir saat aku meninggal. Jika aku meninggal dan tidak menjadi apa-apa [ç„¡], aku takkan mengetahui
apakah dunia itu ada atau tidak. Jadi aku pikir itu akan menjadi akhir dunia.
Tapi berkat dirimu aku sadar bahwa aku salah.
Aku sangat penasaran dengan dunia yang indah ini dimana kamu berada,
Takuya-kun. Jadi…"
Mamizu menarik napas dalam-dalam, dan
melanjutkan.
"Tolong teruslah hidup demi diriku dan
ajari aku. Teruslah mencari sampai ke sudut dunia ini. Lihat, dengarkan dan alami
segala macam hal. Dan tolong lanjutkan mengajari makna kehidupan untuk diriku
yang tinggal di dalam dirimu. "
Tanpa berpikir lagi, seolah-olah terseret
medan magnet, aku mendekati pagar dari tepi atap. Aku mendekati hidup, berjalan
menjauh dari kematian.
Inilah kekalahanku.
Aku telah dikalahkan oleh Watarase Mamizu.
"Apa kamu mau memenuhi permintaan
terakhirku?" bisiknya.
Bibirnya ada di sana.
Tanpa ragu-ragu, aku langsung menciumnya.
Mamizu cepat menarik bibirnya dan menatapku.
Dan kemudian dia menciumku kembali.
Aku mencintaimu.
Aku mencintaimu.
Kukatakan itu padanya berulang kali, lagi dan
lagi.
uuu
Hidup Watarase Mamizu hanya tersisa empat
belas hari lagi.