Roshi-dere Vol.1 Chapter 04 Bahasa Indonesia

Chapter 4

 

“Aku pulang.”

Saat Alisa membuka pintu dan mengucapkan salam, kakak perempuannya, Maria, muncul dari ruang tamu. Berbeda dengan Alisa yang pada dasarnya tanpa ekspresi,  Maria hampir selalu tersenyum sepanjang waktu.

Bahkan sekarang dia masih tersenyum, seolah-olah sedang menaburkan bunga yang tampak lembut dan dengan senang hati menyambut adik perempuannya yang baru pulang sekolah.

“Selamat datang kembali ~, Alya-chan.”

Dengan senyuman menghiasi wajahnya, dia merentangkan kedua tangannya dan mendekati Alisa dan– kanan, kiri, kanan, dia menciumi pipi secara berurutan dan sebagai pamungkas, dia memeluk Alisa dengan erat.

Jika boleh dibilang, ini merupakan pemandangan para pecinta yuri/shoujo ai (para babi) di dunia akan senang melihatnya.

“Aku pulang, Masha.”

Untuk memisahkan dari pelukan kakak perempuannya yang penuh gairah, Alisa menepuk lengan kakak perempuannya. Kemudian, Maria yang selama ini tersenyum hangat, menggembungkan pipinya saat terpisah dari Alisa.

“Ya ampun, padahal sudah kubilang untuk memanggilku 'Onee-chan' saat berada di Jepang, ‘kan?”

“Tidak mau. Sudah terlambat untuk itu.”

Pipi Maria semakin menggembung besar saat menghadapi tatapan dingin Alisa.

Sejak awal, dalam bahasa Rusia, tidak ada panggilan khusus untuk kakak laki-laki atau perempuan seperti "Onee-chan" atau "Nii-san" seperti dalam bahasa Jepang.

Entah itu kakak perempuan atau laki-laki, pada dasarnya mereka akan dipanggil dengan nama mereka. Alisa yang terlahir di Rusia, juga mengikuti kebiasaan itu dan memanggil kakak perempuannya dengan nama panggilan tapi Maria sepertinya suka dipanggil “Onee-chan”, dan terus-terusan meminta Alisa untuk memanggilnya seperti itu.

“Uuu…. Alya-chan terlalu judes…. ”

Begitu menyadari kalau ekspresi cemberutnya tidak berhasil, Maria langsung memasang tampang menyedihkan dan Alisa menatapnya dengan tatapan heran. Ini bukan pertama kalinya hal ini terjadi, tapi setiap kali kakak perempuannya menatapnya seperti ini, dia merasa seperti telah melakukan sesuatu yang buruk.

Namun, apapun yang dikatakan, dia merasa enggan dengan cara memanggil “Onee-chan”. Secara alami, mereka berdua merupakan bersaudara dengan adik perempuan yang punya sifat tegas dan seorang kakak perempuan dengan sifat santai.

Alisa lebih tinggi dari kakaknya dan usia mereka hanya berjarak satu tahun. Sejak dulu, Alisa lah yang harus menjaga Maria.

Oleh karena itu, kesan Alisa terhadap Maria sebagai "kakak perempuan"-nya sudah lemah.

(Lagipula, cara memanggil "Onee-chan" itu sendiri terdengar seperti berperilaku mirip anak manja)

Setidaknya, jika memanggil “Nee-san”, Alisa mungkin masih mempertimbangkannya tapi, karena Maria berkata "Aku tidak mau cara memanggil yang begitu”, jadi mau tidak mau Alisa tetap menolak memanggilnya “Onee-chan”.

Memutuskan untuk tidak mengkhawatirkannya lagi, dia melepas sepatunya dan mengganti sandalnya, dan Maria mengedipkan matanya dan memiringkan kepalanya.

“… .Alya-chan, apa kamu sedang bad mood?”

“….Tidak juga?”

Alisa segera menunjukkan ekspresi ragu untuk menyembunyikan kekacauan batinnya. Namun, tampaknya tipuan seperti itu tidak berhasil pada Maria.

“Reaksi itu… seperti yang diharapkan, apa karena cowok itu lagi? Apa terjadi sesuatu dengan Kuze-kun? ”

Begitu Maria menunjukkan mata berbinar karena penasaran, Alisa menuju kamar mandi sambil dengan perasaan muak.

“Beneran, tidak terjadi apa-apa.”

“Itu bohong, kamu tidak bisa menipu Onee-chan. Hei hei, apa ada sesuatu yang terjadi?”

Bahkan setelah itu, Maria terus mengikuti Alisa seperti anak itik dan terus-menerus menanyakannya.

Alisa menyerah saat mereka akhirnya masuk ke kamarnya. Masih dalam seragamnya dia duduk di kursi dan Maria, yang terus ngotot meminta Alisa untuk berbicara, menjatuhkan diri di atas bantal yang ada di lantai. Seolah-olah ini hal yang merepotkan, Alisa membuka mulutnya.

“Sungguh, itu bukan masalah besar…. Kami baru saja bertengkar.”

“Hee ~~~ bertengkar!”

Kalau dipikir secara normal, kata tersebut bukanlah kata yang dibalas dengan nada riang, tapi entah kenapa Maria tampak gembira karena suatu alasan.

“….Apa?”

“Maksudku… fufuu, tak disangka Alya-chan bisa bertengkar juga, itu benar-benar tidak biasa, ‘kan. Apalagi dengan cowok.”

“Yah, memang sih.”

“Begitu rupanya ~ cowok yang bisa menggerakkan hati Alya-chan akhirnya muncul, ya~”

“Apa yang sedang kamu bicarakan?”

Alisa mengerutkan kening ke arah Maria yang mengatakan sesuatu dengan makna lain. Kemudian Maria membalas dengan sikap sok tahu.

“Kamu menyukainya, ‘kan? Si Kuze-kun.”

“… .Haa?”

Ketika Alisa mengarahkan tatapannya ke wajah Maria seolah mengatakan “Orang ini ngomong apaan sih”, Maria menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Ya ampun”.

“Aku tidak tahu apa kamu salah paham sesuatu, tapi… hubungan kami bukan seperti itu. Benar, kami … ”

Adegan dari istirahat makan siang kemarin terlintas kembali ke dalam benak Alisa. Ekspresi terheran-heran, wajah Masachika yang mengatakan “teman”.

“Itu benar ... Kami berdua hanyalah teman.”

Alisa tersenyum sambil mengenang kenangan itu dan menyatakannya dengan agak bangga. Ekspresi Alisa sepertinya mengatakan "Bagaimana dengan itu?", Maria hanya menanggapi dengan tatapannya yang menjadi lembut.

“Hmmmm~ , begitu ya…. Tapi, bagaimana kalian bisa berteman? Alya-chan, bukannya kamu membenci orang yang pemalas atau tidak serius? ”

“Itu sih….…”

Apa yang dikatakan Maria memang benar. Dan Masachika biasanya tidak termotivasi dan pemalas…. Orang seperti itulah yang dibenci Alisa.

Dan mengapa dia menerima Masachika yang seperti itu sebagai temannya. Alisa teringat kembali pada kenangan masa lalu, yang merupakan titik awal dari semua ini.

 

◇◇◇◇

 

Penghargaan terbaik dalam presentasi kelompok diberikan kepada… .tim B!

Suara tepuk tangan memenuhi seisi kelas. Di antara mereka hanya ada satu orang, seorang gadis muda yang menggigit bibir dan menundukkan kepalanya.

Alisa sudah menjadi anak kelas 4 SD saat itu. Dia bersekolah di sekolah SD tertentu di Vladivostok, Rusia.

Pada saat itulah, Alisa baru menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang-orang di sekitarnya.

Pemicunya ialah… tugas presentasi kelompok yang dilakukan di kelas.

Murid-murid dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari empat atau lima orang. Mereka akan menghabiskan dua minggu untuk meneliti tentang suatu topik, dan mengumpulkan konten yang mereka teliti pada sebuah kertas besar lalu mempresentasikannya.

Topik yang disajikan kelompok Alisa adalah, Pekerjaan di Area Sekitar. Mereka mewawancarai toko-toko di lingkungan sekitar sekolah dan anggota keluarga tentang pekerjaan mereka untuk mengetahui apa yang mereka lakukan dalam pekerjaan mereka. Itu adalah topik sepele yang bisa dikerjakan anak SD.

Namun, apapun isinya, Alisa tidak mengambil jalan pintas.

Semangat kompetitif Alisa sudah mengakar kuat sejak kecil. Bagi Alisa, yang selalu ingin menjadi yang terbaik dalam segala hal yang dilakukannya, tentu saja menjadi yang terbaik dalam presentasi — untuk memenangkan penghargaan terbaik.

Dan kemudian, Alisa melakukan yang terbaik untuk memenangkan penghargaan tersebut.

Setiap sepulang sekolah, dia melakukan serangkaian wawancara di toko-toko di daerah yang ditugaskan kepadanya sampai tiba waktu makan malam. Apa yang dia teliti dalam satu minggu sudah cukup untuk mengisi seluruh buku catatan.

Namun, dia mengharapkan kesempurnaan pada hari pertemuan dengan grup.

Alisa tercengang mendengar pengakuan anggota lainnya di grup.

Ah. Maaf. Aku belum melakukannya

Di sini ada toko roti, dan ini toko pakaian. Eh? Isi pekerjaan mereka? Tentu saja, jika itu toko roti mereka menjual roti, dan jika itu toko pakaian, mereka menjual baju, ‘kan

Maaf, aku baru setengah jalan ~. Tapi, masih ada satu minggu lagi. Aku yakin ini akan baik-baik saja

Terlalu banyak alasan…. Dari sudut pandang Alisa, apa yang mereka lakukan terlalu malas.

Bahkan jika semua informasi yang didapat dari tiga lainnya digabungkan, informasinya bahkan tidak sepadan dengan setengah dari informasi yang telah diteliti Alisa.

Itulah kenyataannya. Tapi yang terpenting, terlepas dari semua ini, bagi mereka bertiga yang tidak menunjukkan tanda-tanda terburu-buru atau meminta maaf, Alisa terkejut dan sangat marah.

Saat mereka bertiga melihat buku catatan yang telah dikumpulkan Alisa, amarahnya meledak.

Whoah, apa-apaan ini. Kamu terlalu serius mengenai tugas ini

Rinci sekali. Pasti kita tak akan menggunakan semuanya, iya ‘kan

Alya… apa boleh tidak membaca, semua ini?

Mereka bertiga saling memandang satu sama lain, dengan mata yang tampak terkejut. Mereka tersenyum kaku seolah-olah mengatakan “Aa ~ aah, dia sudah kelewatan”.

(Eh? Apa ini, salahku?)

Tepat setelah keraguan seperti itu melintas di benaknya, amarah pun mencuat dari dasar perut Alisa.

(Tidak, itu bukan salahku. Aku hanya…… bekerja serius dengan kemampuan terbaikku pada tugas yang sudah diberikan. Aku tidak salah. Merekalah yang salah.)

Kemarahan dan rasa jijiknya meledak secara instan. Alisa masih terlalu muda untuk menekan hal itu.

Hei, kenapa kalian tidak melakukan ini dengan serius?

Matanya melotot. Siswa SD yang emosional bereaksi secara sensitif terhadap kata-kata tajam yang diucapkan dengan nada mencela.

Dari sana, tidak butuh waktu lama untuk memicu perdebatan sengit.

Guru langsung turun tangan karena mereka berada di kelas, tapi dalam waktu singkat itu kerenggangan muncul antara Alisa dan ketiga anggota lainnya, sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk bekerja sama.

Jika kamu tidak terlalu menyukainya, lakukan saja sendiri !!

Kata-kata yang dilontarkan oleh salah satu anggota dalam kelompok tersebut membuat Alisa semakin keras kepala.

Kemudian, dengan waktu yang tersisa, Alisa mencoba membawa isi presentasinya ke level yang paling dia sukai.

Namun, ada batasan untuk apa yang bisa dilakukan satu orang dan presentasi yang dihasilkan tidak mendekati level yang Alisa inginkan. Alhasil, penghargaan  yang diincar Alisa jatuh ke grup lain.

Alisa tidak bisa memahaminya.

Teman sekelas yang tidak menganggap serius tugas yang diberikan. Mereka yang tidak merasa kalah dan justru tertawa dengan bodoh.

(Seandainya semua orang menganggapnya seserius diriku, kita tidak akan pernah kalah. Tidak, jika aku melakukanyya sendiri dari awal, aku pasti akan menang!)

(Aku berbeda dari yang lain. Aku satu-satunya yang serius, dan hanya aku yang menganggap ini serius. Aku benar-benar berpikir untuk menang.)

Ketika dia menyadari hal ini, Alisa berhenti mengharapkan orang lain melakukan hal yang sama.

(Tidak ada yang bisa mengimbangi levelku. Mereka tidak menganggapnya seserius diriku, dengan tingkat keseriusan yang sama.

(Mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Aku tidak akan pernah dikalahkan oleh mereka yang tidak pernah berusaha dan termotivasi. Saat kalian bermain-main, aku akan berada di atas semua orang.)

(Aku tidak butuh kerja sama dengan orang lain. Aku akan melakukan semuanya sendiri. Sebaliknya, terlalu merepotkan berurusan dengan yang namanya niat setengah-setengah atau rasa tanggung jawab.)

Bahkan saat dia tumbuh dewasa, dan memperoleh keterampilan sosial sampai batas tertentu, prinsip hidup Alisa tetap tidak berubah. Tidak, justru itu menjadi semakin kuat setiap tahunnya.

Kurangnya motivasi dari teman-teman sekelasnya, kekecewaan pada orang lain yang terbangun setiap kali dia menyadari betapa rendahnya level mereka, tanpa dia sadari, berubah menjadi sikap merendahkan yang tidak disadari terhadap orang-orang di sekitarnya.

Setelah dia menyadari hal ini, demi menghindari konflik dengan orang-orang di sekitarnya, Alisa mulai membatasi dirinya dalam berurusan dengan orang lain.

Benar-benar menyendiri. Dia memiliki bakat dan semangat kompetitif yang membedakannya dari orang lain. Itulas alasan dibalik sikap acuhnya.

Saat naik kelas 3 SMP, Alisa kembali ke Jepang karena pekerjaan ayahnya.

Atas rekomendasi orang tuanya, dia dipindahkan ke Akademi Seirei. Sekolah bergengsi yang dianggap salah satu sekolah terbaik di Jepang. Jika di sini, mungkin ada seseorang yang bisa bersaing bahu-membahu dengannya dan pada saat yang sama, seseorang yang bisa menemaninya dalam pengabdiannya di studinya. Alisa memiliki harapan samar seperti itu.

Namun, harapan samar Alisa dikhianati dengan kejam ketika dia mengikuti ujian pindahan.

Menempati peringkat pertama di seluruh angkatannya. Di Jepang setelah pergi selama 5 tahun. Seorang siswa pindahan yang tidak tahu apa yang akan diujikan. Bahkan dengan kekurangan ini, dia menduduki peringkat pertama di angkatannya.

(Kurasa level tempat ini juga hanya segini saja. Bahkan di sini, pada akhirnya aku tetap sendirian)

Namun, saat hatinya hampir menyerah, Alisa mengenal cowok itu. Pertemuan pertama mereka terjadi pada hari pertama dia dipindahkan. Pagi tanggal 1 April.

“Kujou-san, bahasa Jepangmu sangat bagus. Apa kamu pernah tinggal di Jepang sebelumnya? ”

“Wow, ini sangat cantik. Ini pertama kalinya aku melihat rambut perak.”

“Kujou-san, apa kamu benar-benar lulus ujian pindahan yang sangat sulit itu?”

Teman-teman sekelasnya membanjirinya pertanyaan dengan rasa ingin tahu yang terbuka. Alisa sedikit muak tapi, dia mencoba untuk tidak terlalu kasar dan memperlakukan mereka sesopan mungkin.

Sebagai seseorang yang meremehkan orang-orang di sekitarnya, menjadi dekat dengan orang lain akan sama-sama tidak baik bagi kedua pihak.

Sikap merendahkannya akan menyinggung pihak lain, dan bahkan Alisa sendiri akan merasakan hal yang sama jika berada dalam situasi yang sama.

Itu sebabnya, dia berniat tak akan dekat dengan siapa pun di sini.

“Aah, belnya.”

“Hah, sudah bunyi bel? Apa boleh buat. Sampai jumpa nanti, Kujou-san ”

“Aku juga ingin mendengar ceritamu di istirahat berikutnya, oke”

“Iya.”

Setelah melihat teman-teman sekelasnya dengan menyesal kembali ke tempat duduk mereka, Alisa melihat ke bangku yang ada di sebelahnya.

“…..…….”

Di sana, terlepas dari semua keributan yang terjadi, dia melihat sosok seorang murid laki-laki, terbaring di mejanya, tidak terganggu sedikit pun.

Rasa penasaran Alisa terpancing oleh sikap murid cowok yang terlalu bebas ini. Tanpa dia sadari, dia mendapati dirinya menggelengkan bahu si murid cowok dengan ringan, dan berbicara dengan teman sekelas itu untuk pertama kalinya.

“Ermm… bel sudah berbunyi, tahu?”

“Mmm… ya?”

Si cowok mengangkat kepalanya saat mendengar suara Alisa. Murid cowok dengan penampilan biasa dan sembrono.

“Aaah ~~ kamu murid pindahan yang berpidato pada upacara pembukaan?”

“Ya, Alisa Mikhailovna Kujou. Senang bertemu denganmu.”

“Ya… aku Kuze Masachika. Senang bertemu denganmu juga.”

Setelah mengatakan itu, Masachika kembali menghadap ke depan dan mengulurkan satu pukulan. Dan kemudian, dengan ekspresi kesadaran di wajahnya, Ia menyolek bagian belakang cowok yang duduk di kursi di depannya.

“Heey ~ Hikaru, kamu juga ada di sini, ya.”

“Ya…. Ngomong-ngomong, Takeshi juga ada di sini, tau? ”

“Oh, kamu benar. Aku barusan tidur jadi tidak menyadarinya.”

Setelah itu, Alisa sedikit tercengang melihat Masachika mulai mengobrol dengan asyik tanpa mempedulikannya.

Alisa sadar dirinya memiliki penampilan yang lebih baik dari kebanyakan orang lain.

Alisa memahami bahwa kecantikan adalah salah satu senjata dalam hubungan interpersonal dan tentunya dia juga berusaha untuk mempercantik diri dalam hal itu. Dia tidak menggunakan riasan karena melanggar peraturan sekolah tapi tetap saja, dia bangga dengan kecantikannya, yang sama sekali tidak kalah dengan selebriti manapun di luar sana.

Alisa tidak tertarik untuk menarik perhatian lawan jenis secara khusus, tapi dia tahu bahwa penampilannya, terutama rambut peraknya, akan menarik perhatian orang.

Karena alasan ini, Masachika, yang hampir satu-satunya tidak menunjukkan minat padanya, meninggalkan kesan kuat pada Alisa.

Namun, ketika sudah mencapai titik di mana dia mulai memperhatikan Masachika, Alisa langsung menyadarinya.

Masachika bukannya tidak tertarik pada gadis maupun orang lain. Ia hanya seorang pria tanpa motivasi untuk segalanya.

Melupakan buku pelajarannya. Tertidur di kelas. Buru-buru menyelesaikan PR-nya di menit-menit terakhir di jam istirahat. Tidak menonjol dan tidak jago dalam berolahraga. Satu ons motivasi tidak bisa dirasakan dari sikapnya yang sembrono.

(Bahkan di sekolah paling bergengsi, ada murid seperti ini di mana-mana, ya)

Oleh karena itu, Alisa kehilangan minat pada tetangga sebelahnya ini. Namun, semua kesannya berubah selama festival sekolah di bulan September.

Festival sekolah terakhir bagi anak kelas 3 SMP. Masa-masa di mana banyak murid disibukkan dengan ujian. Hampir semua siswa di sekolah ini hanya tinggal melanjutkan ke divisi SMA dan oleh karena itu, mereka tidak perlu mati-matian belajar untuk ujian.

Mereka kemudian memutuskan untuk melakukan sesuatu yang besar untuk terakhir kalinya dan atas saran Takeshi yang menjadi anggota panitia penyelenggara festival sekolah, kelas mereka akan membuat rumah hantu untuk acara mereka.

Tapi, mereka hanya bersemangat di awalnya saja. Meski semuanya terlihat bersemangat pada tahap pertemuan perencanaan, begitu tugas untuk menyiapkan acaranya dimulai, kegiatan yang monoton dan kesulitannya membuat motivasi semua orang semakin menurun.

Melihat situasi yang terlihat semakin memburuk, Alisa dengan cepat mempersiapkan diri untuk melakukan sebagian besar pekerjaan.

“Aww!”

Sepulang sekolah. Alisa tetap sendirian di kelas untuk membuat kostum. Dia secara tidak sengaja menusukkan jarinya dengan jarum, lalu secara refleks menarik tangannya.

Dia menyedot dan mensterilkan tetesan darah yang muncul dengan mulutnya, memberikan tekanan kuat untuk menghentikan pendarahan. Supaya darah tidak mengenai kostum yang sedang dia kerjakan, dia memakai plester pada lukanya.

Ini bukan pertama kalinya Alisa melukai jari-jarinya saat menjahit. Plester di sekitar jari Alisa sudah mencapai yang kelima.

Namun, dia tetap melanjutkan pekerjaannya meski jari-jarinya sering ketusuk jarum.

Dia tidak bisa berkecil hati oleh sesuatu yang sepele. Selama dia berpartisipasi, mana mungkin dia akan mengadakan acara dengan niat setengah-setengah. Dengan pemikiran itu, dia sekali lagi mengerjakan kostum itu.

“Ah, seperti yang kuduga, kamu masih di sini, ya.”

Kemudian, pada saat itu, pintu kelas terbuka dengan suara gemerincing, dan Masachika, yang telah menghilang di suatu tempat begitu pelajaran telah usai, memasuki ruangan kelas.

“Kuze-kun…. Apa ada yang salah?”

“Terima kasih atas kerja kerasmu. Nah, aku punya sedikit urusan yang harus dilakukan, lihat.”

Sambil mengatakannya dengan santai, Masachika menatap beberapa dokumen yang ada di tangannya. Alisa tertarik dengan dokumen itu dan melihatnya juga, tapi dia tidak tahu jenis dokumen apa itu.

“Yah, kamu juga harus pulang hari ini juga, Kujou-san. Kita bisa mengerjakan bagian itu lagi dengan semua orang besok.”

Alisa menjadi sedikit kesal kepada Masachika yang mengatakan itu sambil mengangkat bahunya.

(Kamu tak akan pernah selesai jika terus-terusan mengharapkan orang lain ... Lagipula, aku melakukan ini karena tidak ada yang mau melakukannya)

Dia mengubah rasa jengkelnya menjadi bantahan. Dengan memperkuat nadanya, dia menolak sarannya.

“Kamu tidak perlu mencemaskan aku. Setelah sedikit lagi, aku juga akan pulang. Jadi tolong jangan ganggu aku.”

“…. Aaa~ baiklah, oke. ”

Tatapan Masachika mengembara saat duduk di kursinya sendiri. Ia menggaruk kepalanya dan berkata dengan jelas.

“Untuk bagian membuat kostum, aku sudah berbicara dengan klub kerajinan tangan tentang membuat mereka bekerja sama, jadi serahkan saja kepada mereka.”

“Eh….?“

“Dan juga, di sini.”

Alisa terpana saat mendengar kata-kata yang tidak terduga, dan Masachika mengulurkan dokumen yang dipegangnya.

“Ini izin untuk menggunakan gedung asrama. Jika ada acara menginap, hal itu bisa memotivasi orang-orang yang kehilangan motivasi.”

“Wah…, bagaimana…”

“Nnn ~ yah, semuanya berkat OSIS. Mantan wakil ketua OSIS…. Tidak, aku bertanya kepada mantan ketua OSIS. Aku punya sedikit koneksi dengan orang itu.”

Alisa memandang penuh curiga pada Masachika yang tiba-tiba mengatakan itu, tetapi Masachika terus berbicara seolah-olah sedang berusaha menghindari pertanyaan Alisa.

“Ya…. Nah, itulah sebabnya. Anggota cowok dari klub kerajinan tangan setuju untuk membantu. Jika kamu memberi tahu mereka bahwa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kepada gadis mengenai mereka yang bisa diandalkan, beberapa cowok akan dengan senang hati menerimanya. Mengenai persiapan kegiatan lain… yah, kurasa itu sudah menjadi bagian dari Takeshi. ”

“Eh?”

“Pokoknya, kamu bisa pulang sekarang. Tidak ada gunanya jika Kujou-san melakukan semua pekerjaan sendirian, ‘kan? ”

Ucapan santai Masachika membuat emosi terpendam Alisa membludak keluar.

“Apa maksudmu…… tidak ada gunanya?”

Dia berkutat dengan sulaman yang tidak biasa dan merasa stres, dan orang yang biasanya tidak termotivasi di dalam hatinya menawarkan solusi kepadanya, dan kemudian menolak usahanya.

Fakta tersebut menekan benteng terakhir di dalam hatinya.

Tanpa dia sadari, Alisa membanting kostum yang sedang dia kerjakan ke atas meja dengan keras.

Dia berdiri dan menatap tajam ke arah Masachika.

“AKU….! Selama aku berpartisipasi, aku akan memastikan acara ini berjalan dengan lancar dan bagus! Aku tidak mau menyajikan acara yang setengah-setengah di acara festival nanti! Aku benar-benar tidak ingin berkompromi !!”

Alisa sendiri sadar bahwa dia hanya melampiaskan amarah dan kekesalannya pada Masachika, tapi mulutnya tidak bisa berhenti.

“Tapi…. Aku tahu, aku tahu kalau aku ini egois! Semua orang tidak seserius seperti aku, aku tahu itu! Itulah sebabnya, aku mencoba menebusnya! Apa kamu ingin mengatakan kalau apa yang aku lakukan ini salah !? ”

Dia membiarkan emosi menguasai dirinya, dan melampiaskannya pada seseorang. Ini sudah kedua kalinya sejak kejadian SD dulu.

Alisa yang biasanya tidak menunjukkan perasaannya, dalam artian baik atau buruk, menunjukkan emosinya secara terang-terangan.

Masachika membuka lebar matanya dan menaggapi dengan jelas.

“Kamu menempatkan upayamu ke arah yang salah.”

“Eh–?”

Alisa terkejut dengan bantahan yang tidak terduga itu. Masachika melanjutkan dengan tenang, sembari menatap langsung ke arah Alisa.

“Acara festival sekolah bukanlah sesuatu yang kamu buat sendiri. Kita semua harus bekerja sama untuk mewujudkannya, ‘kan? Jika kamu ingin mengadakan acara yang bagus, ketimbang menyerah bahwa semua orang tidak akan melakukannya, bukankah sebaiknya kita memikirkan tentang cara memotivasi semua orang untuk melakukannya?”

“….”

Tatapan yang langsung ke matanya dan argumen yang tidak terbantahkan. Alisa jadi ingin memalingkan muka.

Namun, harga diri Alisa tidak mengizinkannya melakukan itu. Dia balas menatap Masachika setajam yang dia bisa, bertekad untuk tidak dikalahkan dalam diam. Tapi sebelum Alisa bisa mengatakan apa-apa lagi, Masachika membuang muka.

“… .Tapi yah, aku juga akan kesal jika dibilang begitu. Tadi itu memang salahku. Aku tahu kalau Kujou-san sudah melakukan yang terbaik dengan caramu sendiri, dan aku tidak akan menyangkal hal itu.”

“Ah—”

Masachika menundukkan kepalanya sedikit, dan Alisa tidak yakin harus berbuat apa.

Kemarahannya yang dilampiaskan pada Masachika, justru dibalas dengan permintaan maaf. Tangannya yang sudah mengepal erat-erat mulai melemas.

Di tambah lagi dengan ucapan Masachika, “Aku tahu bahwa Kujou-san sudah melakukan yang terbaik dengan caramu sendiri”. Kata-kata tersebut anehnya menembus hatinya sampai-sampai membuatnya tidak bisa bernapas.

“….Aku mau pulang dulu.”

Pada akhirnya, hanya itu yang bisa dilakukan Alisa. Dia mengambil tasnya dan keluar dari kelas dengan cepat.

(Apa-apaan dengan dirinya…? Apa yang salah sih dari cowok itu, ya ampun!)

Dia berjalan menyusuri halaman sekolah sambil mati-matian mencoba menenangkan emosi yang bercampur aduk di dadanya. Berpura-pura tidak menyadarinya, kegembiraan terletak di balik ketidakpuasan dan penyesalannya.

 

◇◇◇◇

 

—Keesokan harinya.

“Kalian semua! Kita diizinkan untuk menginaaaaaaaapppp !!!! ”

Pertemuan untuk festival sekolah dimulai dengan teriakan dari Takeshi yang sangat bersemangat.

Teman sekelas yang lainnya kebingungan dan tidak mengerti apa yang terjadi. Dengan nada bersemangat, Takeshi menjelaskan bahwa Masachika telah mendapat izin menggunakan gedung asrama untuk tempat menginap.

“Sambil melanjutkan persiapan festival sekolah, pada malam hari, kita akan bermain petak umpet di gedung sekolah dan uji nyali! Kita punya semua kegiatan serunya di sini, ini adalah acara pra-pra--festival kita sendiri !! Uuuoooo !! ”

Melihat Takeshi yang heboh sendiri, teman-teman sekelasnya tersenyum pahit sambil berkata “Jauh dari pra-pra-pra, waktunya tinggal seminggu lagi, lho”,  “Jadi yang dipentingin mainnya dulu, bukan masalah persiapan festivalnya?”. Seolah ditarik oleh ketegangan, mereka menunjukkan kesediaan untuk ikut serta.

Tapi tanpa mereka sadari, jadwal untuk hari itu sudah diatur. Ketika pertemuan selesai, semua orang dengan senang hati mendiskusikan kegiatan menginap nanti.

Mereka bahkan lebih bersemangat daripada saat mereka merencanakan acara festival sekolah.

Kemudian hari untuk persiapan menginap tiba. Selain kegiatan di malam hari, para cowok yang terpikat oleh umpan dari masakan rumahan para gadis, bekerja sangat keras dan pekerjaan berjalan dengan sangat cepat.

Semangat tinggi terus berlanjut bahkan setelah menginap, dan pada hari festival sekolah, target Alisa tercapai…. Tidak, acara rumah hantu itu bahkan memiliki kualitas yang lebih tinggi.

Pada akhirnya, jumlah penjualan tiket mereka menjadi yang tertinggi di antara semua acara yang lain dan bahkan menerima penghargaan sebagai acara terbaik.

“Ah….”

“Aah, terima kasih atas kerja kerasmu. Kujou-san ”

Ada pesta penutupan setelah semua acara festival selesai. Saat siswa-siswi menari melingkar di halaman sekolah, Alisa sedang berjalan menuju gedung sekolah ketika dia menemukan Masachika yang sedang duduk di tangga depan pintu masuk.

Masachika sedang duduk dengan mengistirahatkan dagunya di lutut, sambil melihat ke halaman sekolah dengan senyum masam.

Alisa mengikuti tatapannya. Di sana dia menemukan Takeshi, yang sepertinya mencoba mengajak setiap gadis yang bisa Ia temukan, dan Hikaru yang sepertinya diundang untuk menari oleh gadis satu demi satu.

“Haha, mereka benar-benar mendapatkannya.”

“.... Kamu tidak ikut bergabung dengan mereka?”

Dia bertanya pada Masachika, yang tertawa seolah-olah itu urusan orang lain. Masachika mengangkat salah satu alisnya dan mengangkat bahu.

“Hmm? Aku bahkan tidak punya pasangan untuk menari… Tapi, sekolah ini sangat kuno dalam hal ini. Masih mengadakan folk dance di pesta penutupan ... Yah, meski tidak ada api unggunnya sih,”

“…. Boleh aku… duduk di sebelahmu? ”

“Hmm? Aah, silahkan saja, tapi apa kamu tidak menari? Jika itu Kujou-san, aku yakin pasti banyak yang mau jadi pasanganmu, ‘kan? Ah, atau mungkin, kamu tidak tahu cara menarinya?”

“Enak saja. Aku pernah melakukan balet saat masih kecil dulu, tahu? Aku bisa menari seperti itu dalam waktu singkat. Tapi yah, itu merepotkan jadi aku berpura-pura tidak bisa menari dan menolak ajakan mereka.”

Alisa duduk di samping Masachika sambil mendengus dan menyisir rambut ke punggungnya.

“Terima kasih atas kerja kerasmu lagi…. untuk yang tempo hari. ”

“Tapi aku tidak terlalu peduli? Aku sudah terbiasa jadi ini bukan masalah besar.”

“Begitu ya. Putri Penyendiri memang beda.”

“Apa-apaan dengan nama itu?”

Alisa mengerutkan alisnya dengan curiga, Masachika menatapanya dengan terheran-heran.

“Hah? Kamu tidak tahu? Itu sebutan lain Kujou-san baru-baru ini,”

“… .Hmmph~”

“Kamu sepertinya… tidak senang dengan itu ya?”

“Kurasa begitu, aku rasa aku tidak terlalu senang dengan itu.”

“Kenapa? Apakah karena mereka menggodamu sebagai penyendiri?”

“Bukan seperti itu. Juga, bisakah kamu berhenti memandangku seperti orang idiot? ”

“Maaf.”

Masachika menunduk saat menatapnya. "Dia marah", kata Masachika sambil mengacungkan bibir bawahnya sambil bercana. Alisa menghela nafas ke arah Masachika tersebut, lalu berkata.

“Yang tidak aku sukai adalah bagian kata 'Putri"”

“Kenapa? Bukannya itu cuma kata pujian biasa.”

“Kamu pikir begitu? Menurutku, kata itu terdengar seperti seseorang yang hidup dalam mimpi, tidak mengetahui yang namanya kerja keras dan kesulitan.”

“Aaah ~ Begitu rupanya, jadi ada juga sudut pandang yang seperti itu?”

“Memang benar kalau aku dilahirkan dengan penampilan dan bakat lebih dari yang dimiliki kebanyakan orang. Tapi, aku tidak pernah sekalipun bermalas-masalan. Aku tidak suka jika orang lain mengabaikan upayaku selama ini dan hanya melihatku sebagai orang yang lahir beruntung.”

“Begitu ya.”

Masachika menunjukkan pemahamannya bahwa dia tidak senang dengan gagasan itu.

“Baiklah, aku akan mencoba untuk tidak memanggilmu seperti itu.”

“Begitu, ya.”

Setelah mengatakan itu seolah-olah itu sesuatu yang sangat sepele, Alisa berkata pelan sambil tetap melihat ke depan.

“… .Terima kasih, Kuze-kun.”

“Hmm? Untuk apa?”

“Menurutku… ini pertama kalinya aku mengadakan acara festival sekolah dengan perasaan yang begitu bahagia.”

Membuat acara kelas biasanya selalu merepotkan Alisa

Dia selalu menutupi kekurangan anggota lainnya, dan ketika semuanya selesai, dia merasa lelah ketimbang adanya rasa pencapaian.

Tapi kali ini berbeda. Rasanya sangat menyenangkan bisa bekerja sama dengan teman sekelasnya untuk melakukan persiapan.

Rasa pencapaian dari bekerja bersama teman sekelas lebih besar ketimbang rasa pencapaian yang dia lakukan sendirian. Sekarang, ada kegembiraan tertentu di tengah kelelahan itu.

“Seperti yang kamu katakan, aku memang salah. Jika aku mencoba melakukannya sendiri, aku rasa tak akan bisa menikmati festival sekolah dengan perasaan seperti ini…. Dan aku minta maaf. Aku melampiaskan amarahku padamu.”

Ketika Alisa meminta maaf dengan jelas sambil membuang muka, Masachika melambaikan tangannya dengan sikap tidak nyaman.

“Jangan terlalu dipikirkan. Selain itu, aku hanya melakukan beberapa formalitas ringan, dan aku tidak bekerja sekeras Takeshi dan Kujou-san. ”

Memang. Sebenarnya Takeshi yang memimpin dan memotivasi teman sekelas mereka. Tapi, orang yang menggerakkan Takeshi, dan mengatur semuanya adalah Masachika.

Selain itu, meski Ia terlihat tidak termotivasi dan pemalas, pada kenyataannya, Ia mempersiapkan lingkungan terbaik bagi teman sekelasnya untuk melakukan pekerjaan dan terus menerus melakukan dukungan untuk mereka.

Orangnya sendiri mungkin mengatakan kalau Ia tidak melakukan sesuatu yang besar, tetapi Alisa tahu bahwa Masachika-lah yang paling banyak berkontribusi.

“Tapi aku keberatan. Aku ingin melakukan sesuatu untuk meminta maaf karena telah melampiaskan amarahku dan untuk menunjukkan rasa terima kasihku padamu untuk… kali ini. Apa ada sesuatu yang ada dalam pikiranmu? ”

“Terima kasih…. Rasa terima kasih, ya? ”

“Jangan menjawab dengan tidak ada, oke”

“Hmmm ~…”

Alisa telah memblokir semua jalan kabur di depannya. Masachika memutar kepalanya beberapa saat, lalu tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan topik mereka.

“Ngomong-ngomong, kalau tidak salah di Rusia ada kebiasaan saling memanggil dengan nama panggilan khusus, ‘kan? Dan apa nama julukan untuk Alisa di Rusia? ”

“Apa? Ini sangat mendadak.”

“Alisha? Tidak, apa itu Alishika, Alichika? Sesuatu seperti itu adalah julukan di Rusia, bukan? ”

“…. Alya. Semua anggota keluargaku memanggilku Alya ”

“Begitu ya ... Kalau begitu, sebagai balasan atas permintaan maaf dan terima kasih, aku akan memintamu memberiku hak untuk memanggilmu Alya.”

“Apa-apaan itu. Bagaimana hal itu bisa menjadi rasa berterima kasih padamu?”

Saat Alisa mengerutkan kening kebingungan, Masachika menunjukkan senyuman masam.

“Aku akan menjadi satu-satunya cowok yang memanggil idola di kelas yang dikagumi semua orang dengan nama panggilannya. Yeaaahh!”

“Apa kamu ini idiot?”

“Terima kasih banyak!!”

“Menjijikan.”

Alisa melontarkan kalimat itu dengan pandangan jijik ke Masachika, yang tiba-tiba mulai mengatakan sesuatu yang bodoh. Dan di sana, salah satu dari anak cowok yang selalu berkeliaran di sekitar mereka memanggil Alisa.

“Anu, umm, Kujou-san. Apa kamu mau berdansa denganku? ”

“Aah, kamu tidak bisa begitu saja mencuri start! Alisa-san, sejujurnya, aku selalu memikirkanmu sepanjang waktu. Kumohon berdansalah denganku!”

“Bukannya kamu baru saja menembaknya! Kalau begitu, aku juga akan—”

Berawal dari satu cowok memanggilnya, tapi kemudian segerombolan lima atau enam cowok langsung mengerumuni Alisa.

Rupanya, waktunya sudah mendekati jam-jam terakhir untuk dansa jadi para cowok mengumpulkan keberanian mereka untuk mengajak Alisa.

“Maafkan aku. Aku tidak bisa menari.”

“Tidak apa-apa. Aku pandai menari jadi aku akan mengajarimu.”

“Haah? Aku lebih jago menari ketimbang kamu. Hei, bagaimana kalau berdansa denganku?”

“Tidak apa-apa kok, yang harus kamu lakukan adalah menggoyangkan tubuhmu mengikuti alunan musik!”

Meskipun Alisa meminta maaf dan dengan jelas menolak ajakan mereka, para cowok bertekad untuk berdansa dengannya dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur.

Perlahan-lahan, mereka semakin mendekat. Alisa tiba-tiba menyipitkan matanya dan berdiri.

“Kalian—”

Saat Alisa hendak memarahi mereka dengan kata-kata tajam. Tiba-tiba tangan kanan Alisa ditarik seseorang.

“Maaf, tapi kami sudah punya janji sebelumnya. Ayo pergi, Alya ”

Masachika mengatakan ini agar orang-orang akan mendengarnya dan Ia berjalan ke halaman sekolah sambil masih memegangi tangan Alisa.

“Tu-Tunggu…!”

Alisa buru-buru mengikutinya sambil berusaha memprotes Masachika.

Biasanya, dia akan memaksa Masachika untuk melepaskan tangannya dan memberinya tamparan, tapi pada saat itu, Alisa mengikuti Masachika dengan patuh.

Jantungnya berdebar kencang. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari punggung besar Masachika yang ada di depannya.

Ketika dia memikirkan hal tersebut, itu adalah pertama kalinya ada cowok secara paksa memegang tangannya dan menariknya.

(Benar, aku baru pertama kali mengalami hal ini, jadi aku hanya sedikit bingung. Tidak lebih, cuma itu saja!)

Saat Alisa mengatakan ini pada dirinya sendiri, Masachika berhenti di tengah lingkaran siswa. Bersamaan dengan itu, lagu terakhir mulai dimainkan.

“Aah benar, kamu sudah mengatakannya tadi, ‘kan? Kalau kamu dulu pernah menari balet, jadi kamu bisa menari folk dance hanya dengan menonton yang lain.”

“Ya-ya, bagaimana dengan itu?”

Alisa bertanya balik, berusaha mati-matian untuk mendapatkan kembali ketenangannya. Masachika lalu tersenyum provokatif.

“Lalu, bagaimana kalau kamu tunjukkan padaku caranya? Tuan. Pu. Tri? ”

Cara berbicara yang menggoda. Berdasarkan apa yang dikatakan sebelumnya, niatnya jelas.

“… .Kamu punya nyali juga. Lakukan yang terbaik untuk mengikutiku sehingga kamu tidak terlihat seperti orang bodoh, oke,”

“Jangan menginjak kakiku karena terlalu bersemangat, ya? Alya-chan? ”

“Siapa takut!!”

Alisa mengangkat alisnya dan pipinya berkedut saat menatap ke arah Masachika yang tersenyum seolah-olah mencoba memprovokasinya.

Dalam tarian terakhir, yang biasanya merupakan saat di mana dua orang yang saling mencintai menari, mereka berdua saling menantang dengan suasana yang sama sekali tidak memiliki rasa manis apa pun. Awalnya, dia menari seperti yang lain, tapi lambat laun langkahnya menyimpang dari yang lain.

Dengan lengan dan kakinya yang panjang terbentang dengan anggun, Alisa menari dengan tidak serius di halaman sekolah pada malam hari. Meski tariannya sesuai dengan lagunya, itu bukan lagi sesuatu yang bisa disebut folk dance.

Namun, Masachika bergerak menyesuaikan rekannya yang lepas kendali. Gerakannya tidak setara dengan Alisa. Tapi juga tidak terlihat kaku atau aneh.

Ia mencoba mengatakan keluar dari cara partnernya. Terlepas dari semua itu, Masachika juga melakukan tugas yang baik untuk tidak membiarkannya lepas kendali. Pertandingan mereka secara ajaib dibentuk sebagai tarian dengan perbedaan yang jelas antara peran utama dan peran pendukung.

(Ah, itu benar. Kamu …..memang orang yang seperti itu, ‘kan)

Saat mereka menari, ada sesuatu yang menggelitik di dalam Alisa. Tarian ini, kedudukan ini merupakan ciri khas dari Masachika.

Menjauhkan diri dari pusat perhatian dan mendukung orang lain. Tetap dalam bayang-bayang dan membuat orang lain bersinar. Orang seperti itulah cowok yang bernama Masachika.

“Fufu…. Ahahahaha!”

Tanpa dia sadari, Alisa mulai tertawa. Tarian itu dimulai sebagai sebuah kompetisi, tapi tak lama kemudian dia benar-benar menikmatinya.

Namun, waktu tersebut tidak berlangsung lama. Tidak lama setelah itu, lagu berakhir dan dansa pun usai. Dengan enggan, dia melepaskan tangan Masachika dan membungkuk.

“Ya, seperti yang diharapkan, Kamu memang bagus dalam menari, ya. Aku hampir tidak bisa mengikuti.”

“Kurasa, itu menyenangkan.”

Balasan jujur ​​Alisa membuat Masachika berkedip karena terkejut.

“.... Kalau begitu, aku akan kembali dulu.”

“Ara~? Kamu tidak mau terus menemaniku?”

“Yang benar saja. Jika aku melakukan itu, semua cowok yang cemburuan itu akan datang dan membunuhku,”

“Hmmm. Begitu ya, senang bisa mendengarnya.”

Alisa tersenyum pada Masachika yang menundukkan kepalanya dan dengan lembut melingkarkan tangannya ke lengan Masachika.

“Tungg—, apa yang kamu–”

“Jadi, bisakah kamu mengantarku?”

“.... Dengan kata lain, kamu ingin aku mati?”

“Ini hukuman untukmu karena sudah memanggilku seorang putri.”

“Uugh….”

Dengan ekspresi menyedihkan, Masachika mulai berjalan tanpa melepaskan lengannya, Alisa tersenyum lucu saat dia akhirnya berhasil membalas balik kejailannya.

Setelah sekian lama, dia merasa malu dengan tindakannya sendiri tetapi lebih dari itu, dia merasa senang. Dia berjalan bahu-membahu dengan seseorang. Dia sangat senang tentang hal itu.

Tidak jauh dari gedung sekolah. Alisa merasakan bahwa rasa kesepian dan keterasingan yang dia rasakan sejak masa SD mulai mencair dan menghilang, sedikit demi sedikit….

.... Namun, dia memang merasakannya.

 

◇◇◇◇

 

Keesokan harinya.

“Pagi. Alya, maaf banget. Apa aku boleh ikut melihat buku pelajaran untuk bahasa Jepang modern? ”

Masachika… kembali ke Masachika yang pemalas.

“….”

“He-hei, ada apa? Alya. Kenapa kamu menatapku seolah-olah aku ini seperti sampah?”

“Dasar sampah tidak berguna.”

“Bukannya omonganmu itu terlalu kejam!?”

“… .Haaah

Saat Masachika berteriak dengan senyuman kaku, Alisa menghela nafas dengan mencolok dan memalingkan wajahnya seolah-olah sedang dalam mood yang buruk.

Kemudian sambil tetap membuang muka, dia terus terang mengeluarkan buku teks bahasa Jepang modern dan memberikan komentar singkat dalam bahasa Rusia.

Padahal kamu terlihat sangat keren kemarin

Ya, dia bergumam pelan.

Bahkan setelah itu Masachika tetap berperilaku sama.

Ia selalu tidak termotivasi dan selalu membuatnya jengkel. Namun, ketika dibutuhkan, Ia lebih dapat diandalkan daripada siapa pun. Ia dengan santai membantu orang lain seolah-olah itu adalah sesuatu yang sepele.

Bagi Alisa yang selalu memandang semua orang di sekitarnya sebagai saingannya, perilaku Masachika terlihat aneh tapi…. Pada saat yang sama, dia merasa lega.

Dia tidak harus bersaing dengan orang ini. Mengetahui bahwa dia tidak harus bersaing untuk mendapatkan superioritas dengannya meringankan hati Alisa. Sejak itu, Alisa bisa berhubungan dengan Masachika tanpa ada rasa khawatir.

Alisa terkadang akan memarahinya bila jengkel melihat perilaku Masachika yang tidak punya motivasi. Alisa akan menggodanya jika merasa terganggu oleh ketenangan dan rasa percaya diri Masachika. Diperburuk oleh sikap Masachika seolah-olah sedang mengawasinya dari atas, Alisa akan menggumamkan sesuatu dalam bahasa Rusia dan menertawakan ketidakpedulian konyolnya.

Saat menghabiskan hari-harinya seperti itu, tanpa sadar kalau dia….

 

◇◇◇◇

 

“Jadi kamu sudah jatuh cinta padanya ‘kan ~ Duh, romantic banget~!”

Alisa menghela nafas saat Maria berteriak gemas dan bertepuk tangan.

“Sudah kubilang…. Bukan itu. Apa kamu tidak mendengar apa yang aku ceritakan tadi?”

“Eee ~ h? Tidak peduli bagaimana aku mendengarnya, kedengarannya seperti awal dari benih-benih cinta yang tumbuh seiring berjalannya waktu?”

“Jangan berkata aneh seperti itu. Bukannya tadi aku sudah memberitahumu kalau kita berdua hanya berteman?”

“Mm-hmm, pertemanan yang berujung menjadi pacaran. Klise sekali~. Lagipula itulah yang terjadi padaku dan Sa-kun ~. Benar ~? Sa-kun ”

Dia mengeluarkan liontin emas dari lembah dadanya yang sangat dalam dan berbicara ke foto yang ada di dalam dengan ekspresi lembut.

Jika ini adalah manga, dari awal akan ada tanda hati yang tersebar di mana-mana. Alisa memandangi kakak perempuannya yang telah sepenuhnya berubah menjadi mode gadis yang dimabuk cinta.

“Tapi yah… mari kita lihat. Mengenai kemampuannya…. Aku sudah mengakuinya. Dan aku juga… mempercayainya ”

Sambil melihat foto kekasihnya, Maria mengangguk kepada Alisa yang mengatakan itu dengan enggan sambil membuang muka.

“Mm-hmm, cowok yang melakukan apa yang harus Ia lakukan memang keren, iya ‘kan. Sa-kun juga begitu. Bagian punggung Sa-kun saat Ia menyelamatkanku dari anjing galak pas kecil dulu! Itu benar-benar— ”

“Jika kamu akan terus mengoceh tentang kisah cintamu, bisakah kamu pergi keluar dari kamarku?”

“Astagaaaa, Alya-chan jutek banget!”

Alisa menatap tajam Maria yang menggembungkan pipinya dengan muka cemberut.

“Selain itu, aku lebih menyukai seseorang yang biasanya pekerja keras.”

“Kamu sama sekali tidak mengerti, Alya-chan. Ia biasanya terlihat suram, tapi pada saat dibutuhkan, Ia akan menunjukkan sisi kejantanannya! Aku pikir itu keren~ ”

“Itu cuma perbedaan pendapat. Aku biasanya .. Agak kesal pada Kuze-kun yang biasanya tidak termotivasi.”

Mungkin karena mengingat banyak hal saat dia berbicara, Alisa melanjutkan dengan nada yang lebih kuat.

“Sungguh, selalu melupakan buku pelajaran dan sering tertidur di kelas! Tidak peduli berapa kali aku memperingatkannya, Ia bahkan tidak merasa menyesal! Selalu menghindar dengan sembrono dan sulit dipahami… yah, itulah mengapa aku bisa mengatakan apa pun yang aku inginkan kepadanya tanpa khawatir…. ”

“Aku mengerti, aku mengerti. Dengan kata lain, ada hubungan saling percaya di antara kalian berdua, ‘kan?”

“Kenapa kamu menganggapnya seperti itu.”

“Tidak peduli apa yang dikatakan, Kuze-kun tidak akan pernah meninggalkanmu. Justru karena kamu mengetahuinya, Alya-chan bisa bebas berbicara dengan Kuze-kun tanpa ragu, ‘kan? Dan Kuze-kun mentolerirnya. Bukankah itu hubungan saling percaya yang bagus?”

Alisa tak bisa membantah pada pengamatan tajam yang tak terduga. Namun, dia dengan cepat pulih dan membalas bantahan.

“Kamu salah. Kuze-kun adalah siswa yang pantas untuk dimarahi tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, itu sebabnya aku akan terus memberinya peringatan, juga. Tentu saja… dalam arti tertentu, kuakui kalau Ia adalah seseorang yang mudah bergaul. Tapi, itu tidak langsung mengarah pada perasaan romantis, ‘kan? Maksudku, jika kamu menyukai seseorang, pasti yang itu, ‘kan? Ingin melakukan…. hal-hal… seperti pergi berkencan, dan berciuman… memang begitu, bukan? Aku .. tidak pernah memikirkan semua itu…. ”

Maria menepuk kedua tangannya dan tersenyum lembut pada Alisa, yang mengatakan semua itu sambil membuang muka dengan wajah memerah.

“Alya-chan, imut sekali.”

“Apa itu… Apa kamu mengolok-olokku?”

“Tidak, kok? Kamu tahu, Alya-chan. Tidak harus berkencan atau berciuman atau sesuatu yang spesial seperti itu. Jika kamu menyukai seseorang, hanya berbicara dengannya dan menyentuhnya saja sudah membuatmu merasakan sesuatu yang istimewa.”

Maria berbicara dengan wajah sok tahu sementara dengan bangga membusungkan dadanya yang besar. Alis Alisa berkedut mendengar kata-katanya.

“…. Apa ada yang lebih spesifik?”

Tidak seperti biasanya, Alisa menggigit umpan. Maria, yang mengira itu akan diabaikan seperti biasa, berkedip sedikit terkejut dan kemudian memiliki pandangan yang jauh di matanya.

“Hmmm ~, coba lihat… yang paling jelas sih .. berpegangan tangan, mungkin? Bahkan jika kamu tidak melangkah sampai sejauh itu, berpegangan tangan dengan seseorang yang kamu sukai akan membuat jantungmu berdebar kencang. Merasa sangat malu sampai-sampai membuatmu ingin berteriak, tetapi kamu tidak membencinya. Dan entah bagaimana merasa sedikit bahagia, lalu—  

“…. Merasa sangat malu, membuatmu ingin berteriak….”

Di tengah perbincangan, Maria mulai heboh sendiri dan membicarakan apa itu cinta, memekik dengan ekspresi seperti gadis yang dimabuk cinta, dan menggelengkan kepala dengan riuh sambil melihat foto kekasihnya.

Di depannya, Alisa menatap kakinya sendiri, lalu dia menyodorkan kaki kanannya ke depan Maria.

“….? Apa? Apa ada yang salah? Alya-chan.”

“Maaf. Apa kamu bisa ….. melepaskannya untukku? ”

“Eh? Kenapa?”

Mariya berkedip kaget pada permintaan yang mendadak dan tak bisa dijelaskan itu, tapi setelah melihat ekspresi Alisa, dia merasakan sesuatu. Bergerak perlahan di atas karpet, Maria lalu meletakkan tangannya di kaki kanan Alisa.

“Nn…”

Tangan Maria melepas kaus kaki Alisa dengan mulus. Alisa melihat ini dengan ekspresi yang agak suram di wajahnya.

“Oke, aku sudah melepasnya. Tapi… sekalian yang sebelah kiri juga? ”

Saat Maria menunjuk kaki kiri Alisa dengan wajah ragu-ragu, Alisa membalas sambil mengerutkan alisnya.

“… .Tidak, pakaikan lagi.”

“Eh? Apa maksudmu?”

“Jangan pedulikan itu.”

“… .Baiklah~.”

Dengan tatapan yang sepertinya tidak memahaminya, tangan Mariya memasang kembali kaus kaki yang sudah dia lepaskan. Saat dia menatapnya, ekspresi Alisa menjadi semakin suram.

“Oke, aku sudah memakainya kembali ... hmmm?”

“……”

Mariya melirik wajah Alisa dengan tenang seolah-olah dia sedang menebak apa yang sedang terjadi. Tidak peduli dengan tatapannya, Alisa menatap kakinya dengan ekspresi cemberut tapi, tiba-tiba dia menghembuskan nafas dan meninggalkan kursinya.

“….Tidak baik. Aku tahu Masha takkan banyak membantu.”

“Apa maksudmu!? Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi tapi Onee-chan merasa tersakiti, tahu!”

“Ya ya, itu sudah cukup, ‘kan? Aku mau ganti baju dulu, jadi cepat keluarlah.”

“Uuu…. Alya-chan, dalam fase pemberontakan? Apa ini yang namanya fase pemberontakan? Apa yang harus aku lakukan, Sa-kun. Alya-chan sudah sampai di fase pemberontakannya.”

Setelah mendepak Maria keluar dengan ekspresi sedih di wajahnya dan bahu terkulai, Alisa melihat ke arah kaki kanannya lagi dan dengan lembut mengusap pahanya sendiri.

Merasa agak malu, dia melihat ke atas dan ada cermin besar. Yang terpantul di permukaan kaca tersebut  adalah Alisa dengan pipi yang agak memerah.

“Muu…”

Seolah-olah menyangkal dirinya sendiri pada hal seperti itu, Alisa membuat wajah cemberut. Dia kemudian bergumam dengan ekspresi muram ke arah satu-satunya cowok yang muncul di kepalanya.

Tidak, ini berbeda

Kata-kata Rusia yang dia ceploskan dalam bisikan melebur ke udara di ruangan itu, dan menghilang tanpa menjangkau siapa pun.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi Selanjutnya=>>

 

close

10 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Kaya ayanokouji aja nih si masachika

    BalasHapus
  2. wkwkwk bener juga ya, kenapa mimin engga ngeh, astaga.....

    BalasHapus
  3. mcnya diam diam "gue banget" lel.
    btw ini gua doang kah yang ngerasa orang yang di liontin kakaknya tu si mc?

    BalasHapus
  4. Ya cinta pertama sih MC org Rusia jg antara sih kakany ato si Alya dah wkkwkwk.

    BalasHapus
  5. Kayaknya sih beda orang deh

    BalasHapus
  6. Akhirnya, skrng aku akan donate trakteer biar bisa lanjut 🗿

    BalasHapus
  7. Ok baiklah, gw pengen juga ikut diskusi disini (50% spoiler 50% Teori ngawur)

    - Orang yg dimaksud Maria (Foto di liontin) itu adalah Kuze Masachika, soalnya si Kuze pernah ketemu cewek misterius yg persis kayak Alya pas bocil
    - Yuki dan Kuze. Hubungan mereka lebih dari temen masa kecil😁
    - Masha And The bear (Kakak), Alya Einzbern (Adik) emang memiliki sifat dan perawakan yg berbeda meski bersaudari. Jadi ga sabar kalo teori pertama gue benr (Orang yg disuka Masha and the bear bener si Kuze), kek apa Medan perang yg terjadi diantara dua bersaudari ini buat ngerebutin MC :v

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama