Chapter 3
Keesokan harinya, Masachika
berangkat ke sekolah satu jam lebih awal dari biasanya.
Tidak ada alasan yang terlalu
penting.
Cuma hal sepele saja, Ia bangun
satu jam lebih cepat dari biasanya.
Selain itu, Masachika terbangun
dengan badan yang terasa segar dan bugar. Ia merasa kalau Ia kembali tidur
begitu saja, sulit untuk kembali ke alam mimpi dan Ia akan ketiduran setelah
bermalas-malasan selama beberapa waktu. Oleh karena itu, Ia lebih suka datang
ke sekolah lebih awal.
Ada alasan lain kenapa Ia
datang lebih cepat. Hari ini kebetulan Ia kebagian tugas piket kelas.
Di sekolah ini, dua murid
secara bergiliran mengemban tugas piket sesuai urutan nomer absen dan kedua
tempat duduk siswa diatur supaya bersebelahan. Dengan kata lain, rekan
Masachika dalam tugas piket kelas adalah Alisa.
Masachika menyadari kalau
dirinya adalah orang pemalas dan menganggap banyak hal itu merepotkan. Oleh
karena itu, Ia berusaha untuk tidak menimbulkan masalah bagi orang lain (Di dalam kamus hidup Masachika, melupakan
buku teksnya dan meminta Alisa untuk menunjukkan buku pelajarannya bukan
termasuk kategori menimbulkan-masalah-bagi-orang-lain).
Oleh karena itu, tidak peduli
betapa merepotkannya suatu hal, Ia tidak akan melewatkan tugas bersih-bersih
dan piket. Meski begitu, Ia justru hanya melakukan pekerjaan yang sudah menjadi
bagiannya, tidak lebih. Itulah alasan mengapa Masachika tetap menjadi
Masachika, tapi kali ini suasana hatinya sedang berbeda hari ini.
“Ya, ini kelihatan sempurna
jika aku sendiri yang mengatakannya.”
Masachika melihat sekeliling
kelas kosong dari meja guru yang ada di dekat papan tulis dan mengangguk puas.
Meja dan kursi sudah tertata
rapi dan bersih. Selain itu, buku catatan yang dikembalikan oleh wali kelas
ditempatkan dengan rapi.
Tidak ada debu kapur sama
sekali di papan tulis dan penghapus papan tulis terlihat bersih seperti baru.
Kebetulan, tugas seperti inilah
yang selalu dilakukan Alisa selama piketnya, dan bukan bagian dari tugas piket
yang asli, tapi, karena Masachika bangun pagi hari ini Ia ingin mencoba
berkata, “Eh? Kamu yang selalu melakukan
semua ini? Tapi aku sudah melakukan semuanya, kok? ”.
Ia kembali ke tempat duduknya
dan menunggu Alisa, yang kemungkinan besar akan datang lebih awal dari
biasanya.
Beberapa menit kemudian, Alisa
memang datang lebih awal dari biasanya. Dia membuka pintu kelas, mengkonfirmasi
sosok Masachika dan matanya terbuka lebar-lebar.
“Yo, pagi.”
“.... Pagi juga, Kuze-kun.”
Usai melihat sekeliling kelas,
dia menaikkan satu alisnya dan menyadari bahwa semua tugas yang biasanya dia
lakukan telah selesai. Melihat ekspresi Alisa yang sedikit terkejut, Masachika memberitahunya
dengan senyum yang agak bangga.
“Tadi aku bangun terlalu pagi. Aku
punya banyak waktu luang, jadi aku menyelesaikan beberapa hal.”
“.... Tak kusangka Kuze-kun bisa
bangun pagi-pagi sekali, aku penasaran apa hari ini bakalan turun salju.”
“Kamu sangat fasih berbahasa
Jepang ya, Alya-san”
“Setidaknya jangan sampai tertidur
di kelas.”
“….Aku akan melakukan yang
terbaik.”
Alisa menghela nafas jengkel
terhadap tingkah Masachika yang mengatakan itu dengan sangat percaya diri.
Alisa kemudian berkata dengan suara kecil, tapi tegas.
“.... Aku akan mengurus penghapus
papan tulis nanti.”
Masachika menunjukkan senyum
getir pada sikapnya yang tidak pernah ingin berhutang budi pada orang lain.
Masachika tidak berniat membuat
Alisa berhutang budi padanya tapi, ini tampaknya menjadi kebanggaan bagi Alisa.
Masachika tahu hal itu karena
sudah lebih dari satu tahun berinteraksi dengannya dan tidak ada gunanya
mengatakan apapun pada saat seperti ini, jadi Ia hanya mengucapkan, “Kalau begitu aku serahkan padamu”, dan
dengan patuh menerimanya.
Alisa menganggukkan kepalanya
sementara wajahnya masih terlihat agak tidak puas. Kemudian dia mendekati
kursinya dengan gaya berjalan yang sedikit aneh.
Merasa aneh dengan cara
berjalannya, Masachika memperhatikan bahwa kaus kaki Alisa terlihat basah.
Ia melihat ke luar jendela tapi,
bahkan tidak perlu memeriksa, cuaca terlihat cerah di luar. Sepertinya malam
tadi turun hujan, tapi sekarang tidak ada tanda-tanda mendung maupun gerimis.
“Kaos kakimu basah, apa yang
terjadi? Apa kamu terpleset ke dalam genangan air? ”
“Tidak. Lagipula aku bukan
kamu.”
“Memangnya aku seceroboh itu,
huh !?”
“Aku tidak bilang sejauh itu… haa, aku kecipratan air karena truk
lewat. ”
“Aduduh, apes sekali.”
“Yah, ini salahku karena
berjalan di pinggir jalanan yang becek. Aku punya kaus kaki cadangan jadi tidak
apa-apa.”
Usai mengatakan itu, Alisa
sampai ke tempat duduknya, dan mengerutkan wajahnya seolah-olah merasa jijik
saat melepas sepatu dalam ruangannya. Kemudian, dia meletakkan kaki kanannya di
tepi kursinya dan dengan cepat melepas kaus kakinya di depan Masachika.
Kaki telanjangnya yang mulus
dan putih mempesona, dibalut dengan kaus kaki putih terlihat dari mata
Masachika. Kaki putih yang panjang dan ramping bersinar di bawah sinar mentari
pagi yang masuk dari kaca jendela. Roknya meluncur ke bawah di atas kakinya
yang terangkat dan menyebabkan pahanya sedikit mengintip.
Setelah melepas kaus kaki yang
basah, seakan-akan terbebas dari kekangan, Alisa meregangkan kakinya sekaligus,
memperlihatkan kaki telanjangnya yang basah ke udara terbuka. Melihat pemandangan
itu, Masachika cepat-cepat membuang muka, Ia merasa telah melihat sesuatu yang
tidak senonoh.
Alisa cuma melepas kaus
kakinya, tapi anehnya, Masachika merasa bersalah seolah-olah sedang
mengintipnya berganti baju atau mandi. Setelah sekian lama, Masachika tiba-tiba
merasa gelisah karena Ia sangat menyadari bahwa Alisa adalah gadis yang sangat cantik
jelita.
“Huuu….”
Usai melepas kedua kaus kakinya,
Alisa mengusap kakinya dengan handuk kecil yang dibawanya saat hujan. Alisa
kemudian menghembuskan nafas dengan ekspresi segar di wajahnya.
Dia dengan santai menoleh ke
samping. Dia berkedip kaget karena melihat
Masachika yang tubuhnya menghadap ke arahnya, melihat ke bawah secara
diagonal dengan tatapan canggung.
Ketika dia melihat Masachika,
yang biasanya selalu santai dan tidak pernah terganggu oleh apa pun, sedang
terlihat agak malu dan tersipu…… Bibir Alisa menyeringai jahat.
Dengan ekspresi yang agak sadis
dan nakal, Alisa berbalik ke arah Masachika dan mengulurkan kaki kanannya. Dia
dengan gesit meraih celana Masachika dengan ibu jari dan jari telunjuk kakinya,
dan menarik-nariknya.
“Hei, bisakah kamu mengambilkan
sepasang kaus kaki cadangan dari lokerku?”
“Haa?”
“Karena aku melepasnya duluan,
aku jadi tidak bisa mengambilnya, lihat”
Alisa kemudian menyilangkan
kaki mulusnya, tetap menjaga kakinya di udara seakan-akan ingin mengatakan, “Kamu bisa mengerti hanya dengan melihatnya,
kan?”.
Pada saat area di bawah roknya dan
di atas kaus kaki hampir terlihat dari depan, Masachika dengan cepat-cepat
mengalihkan pandangannya dan menunjukkan kegugupannya.
Melihat reaksi lucu Masachika, senyum
sadis Alisa semakin melebar dan dia meletakkan pipinya di kursinya.
Pemandangan Alisa yang
bersandar di kursi sembari tersenyum di bawah sinar mentari pagi terlihat
seperti lukisan dari pelukis terkenal.
Dia mirip seperti putri egois
yang menuntut banyak hal yang tidak masuk akal kepada para pelayannya, atau
seorang eksekutif wanita jahat yang meminta bawahannya melakukan sesuatu yang
tidak masuk akal.
(Entah
itu gaun atau seragam militer, jika Alya yang memakainya, pasti akan terlihat
bagus, ya ~)
Sambil memikirkan hal konyol
semacam itu, Masachika buru-buru bangkit dari kursinya dan menuju loker Alisa
di bagian belakang kelas.
Mengonfirmasi dengan Alisa melalui
pandangan sekilas, Ia kemudian membuka loker. Di dalam loker tersebut terdapat
buku teks dan kotak peralatan yang tertata rapi.
Di bagian lebih dalam, di bawah
payung terlipat ada sepasang kaus kaki dalam kantong plastik bening.
Merasa seperti melakukan
sesuatu yang tidak senonoh lagi, Masachika mengambil kaus kaki dari kantong
plastik dan bergegas kembali ke kursinya.
“Ini.”
Kemudian, saat Ia di hadapan
Alisa dan menyodorkan kaus kaki, Alisa melemparkan bom lain ke arahnya.
“Lalu, bisakah kamu memakaikannya
padaku?”
“Haaaaaaaaaaaaah !?”
Saat Masachika berbalik sambil
berteriak aneh, Ia melihat Alisa mengangkat kaki kanannya ke arah Masachika.
Mungkin karena cuma ada mereka
berdua, berbeda dari biasanya, Alisa bahkan tidak berusaha menyembunyikan
kegembiraannya dan memiringkan kepalanya sambil menyeringai.
“Apa ada yang salah?”
“Tidak, lebih tepatnya, apa ada
yang salah denganmu !?”
“Ini bentuk rasa terima kasihku
karena sudah mau mengambilkan kaus kakiku. Ini hadiah untukmu, ‘kan?”
“Yah, itu hanya hadiah untuk
orang-orang aneh….”
“Ara~? Bukannya kamu juga salah
satu dari mereka?”
“Enak aja! Bagaimana ini disebut
hadiah !? ”
Sambil memasang eksrepesi yang
solah-olah menemukan hal tak terduga, lagi-lagi, Alisa menyilangkan kakinya dan
Masachika berteriak saat memalingkan muka darinya.
Ia bermaksud memprotes, “Sudah selesai, kan !? Ampuni hamba ini!! ”…
Tapi sebelum bisa mengatakannya, gumaman Alisa dalam bahasa Rusia sampai ke
telinga Masachika.
【Padahal, bagiku ini adalah hadiah】
Ketika Masachika melirik muka
Alisa lagi, ekspresi nakal di wajahnya tidak terlihat.
Alisa memain-mainkan rambutnya
sambil mengalihkan pandangannya dengan wajah yang tampak menerah. Melihat
penampilannya yang seperti itu, otak Masachika melaju kencang ke arah yang
aneh.
(Apa
maksud dibalik tingkah laku Alisa yang bersikap manis saat berbicara bahasa
Rusia.)
Masachika sudah memikirkan hal
itu sejak lama. Namun, kesimpulan yang Ia dapatkan hanylah, “Aku pikir, itu mungkin karena Alya adalah
seorang eksibisionis secara mental.”
Alisa merupakan tipe orang
perfeksionis dan pekerja keras. Demi bisa menjadi diri idealnya, dia
terus-menerus mendisiplinkan dirinya sendiri dan bekerja tanpa lelah.
Namun, Masachika pernah
mendengar kalau orang-orang yang memaksakan diri mereka sendiri seperti itu
setiap hari, ingin melepaskan stress yang sudah menumpuk ke tempat lain.
Jadi, dari sudut pandang Alisa,
bergumam manis dalam bahasa Rusia mungkin sama dengan kasus seperti itu.
Sama seperti seorang maniak yang
berjalan-jalan di tempat publik tanpa mengenakan kancut, Masachika pikir dia
mungkin menikmati sensasi berada di tepian ketangkap basah atau tidak dengan
membuat komentar yang memalukan di depan orang lain.
Itulah teori Masachika. Dengan
kata lain, apa yang ingin Ia coba katakan ialah ...
(Jika
dianya suka, itu berarti aman!!)
Menurut teori Masachika, Alisa
adalah orang yang menikmati rasa malu. Dengan kata lain, Alisa akan bahagia
sedangkan dirinya sendiri juga ikut bahagia. Ya, ini adalah situasi sama-sama UNTUNG!
… .Jika ada yang mendengar ini,
“logika macam apa itu”, “Apa yang dimaksud dengan eksbisionis secara mental”, “Semua
penjahat mengatakan itu atas dasar suka sama suka, bro”, dll .; pasti akan ada
balasan seperti itu yang membanjirinya, tapi sayangnya, tidak ada yang membalas
logika nyeleneh Masachika.
Namun pada tahap ini, Masachika
masih memiliki keraguan. Apa yang Ia pikir sebagai persetujuan telah tercapai,
itu dalam bahasa Rusia. Seperti yang diharapkan, Masachika juga ingin mendengar
kata-kata tersebut dalam bahasa Jepang.
“Barusan, apa yang kamu katakan
tadi?”
Masachika bertanya, berbalik
menghadap ke depan, dengan gagasan tentang orang yang benar-benar jahat. Lalu,
Alisa langsung tersenyum provokatif. Masachika berharap dia menipunya.
“Bukan apa-apa, kok? Aku hanya
berkata, 'Dasar pengecut' "
Masachika sudah menunggu
kata-kata seperti itu. Ia membuat pose kemenangan di dalam hatinya sambil
memasang ekspresi wajah yang sangat disesalkan di permukaan. Alisa tersenyum
sambil terkekeh menatap Masachika yang
seperti itu. Alisa lalu meluruskan kedua kakinya yang bersila.
“Yah, tidak apa-apa. Aku akan
melakukannya sen— ”
“Tidak, itu tidak perlu.”
“Eh–?”
Ketika Alisa hendak memintanya
untuk menyerahkan kaus kaki itu, Masachika langsung berlutut di depan Alisa
sambil memegang kaus kaki di tangannya. Perubahan sikap Masachika menyebabkan
Alisa berkedip karena terkejut.
Namun, pada saat berikutnya,
tangan Masachika sudah berada di kaki kanannya dan mata Alisa membelalak karena
terkejut.
“Hyaa !?”
Alisa menjerit imut karena
merasakan sentuhan jari jemari orang lain dari tumit sampai ke pergelangan kakinya
yang terasa geli atau menjijikkan. Kakinya tersentak secara refleks dan dia
buru-buru memperbaiki posisi roknya dengan tangannya.
“Wah, jangan berontak begitu,
oke”
“Ah, apa maksudmu memberontak,
ah, tung– !?”
Sambil meneriakkan suara aneh,
Alisa berusaha menahan roknya dengan tangan kanannya dan dengan cepat menutup
mulutnya dengan tangan kirinya.
Meski keterkejutan memenuhi
mata Alisa, Masachika hanya tersenyum ke arahnya dan berkata.
“Apa, bukannya kamu sendiri
yang menyuruhku untuk memakaikannya, ‘kan?”
“Iya, sih, tapi—!”
“Diejek pengecut ... Seperti
yang diharapkan, bahkan aku juga punya yang namanya harga diri, tau.”
“Tunggu dulu sebentar, aku
masih belum mempersiapkan hati— ”
Meski begitu, tanpa
menghiraukan perkataan Alisa, Masachika mengaitkan kedua ibu jari di mulut kaus
kaki tersebut dan dengan cepat memasang kaus kaki tersebut di kaki Alisa.
Sensasi kaus kaki yang menjalar
ke atas kakinya membuat tulang punggung Alisa merinding.
“Ah, jangan—”
Setelah itu, ibu jari Masachika
menyentuh paha Alisa melalui kaus kaki tipis–
“~~~ Menurutmu tanganmu
menyentuh ke mana !!!”
“Habushii !?”
Langsung saja, kaki Alisa
menendang dan menghantam rahang Masachika dengan indah. Masachika jatuh
telentang dan bagian belakang kepalanya membentur kursi duduknya sendiri.
“~~~~~ kuh !!”
“Ah, ma-maafkan aku. Apa kamu
baik-baik saja?”
Dengan tubuh terlentang,
Masachika meringkuk seolah-olah nyawanya melayang dari mulutnya yang menganga
dan pingsan karena kesakitan. Seperti yang diharapkan, Alisa berjongkok
mengkhwatirkan keadaan Masachika. Di hadapan Alisa yang sementara waktu
melupakan rasa malu dan amarahnya untuk mencemaskannya, Masachika dengan
gemetaran mengulurkan tangan kanannya ke lantai dan menelusuri lantai dengan
jari telunjuknya.
Pemandangan itu sangat mirip
dengan orang sekarat yang meninggalkan pesan kematian menggunakan darahnya
sendiri.
Tentu saja tidak ada darah di
jari Masachika. Jari-jarinya hanya menggoresi lantai tapi mata Alisa bisa
dengan jelas melihat kata-kata yang coba ditulis Masachika.
Itu hanya satu kata. “Pink”.
“!?!?”
Saat dia memahaminya, Alisa
dengan cepat menurunkan roknya. Wajahnya langsung berubah merah padam karena menahan
rasa amarah dan malu.
“~~ wah, kh ~~”
Dia sepertinya tidak tahu
bagaimana cara melampiaskan amarahnya pada seseorang yang terbaring di lantai.
Tangan kanan Alisa membuka dan mengepal sementara mengeluarkan suara yang tidak
jelas untuk beberapa saat. Meski tiba-tiba, dia dengan cepat mengambil kaus kaki
lainnya dari atas meja Masachika dan dengan cepat meletakkannya di kaki
kirinya.
Dan kemudian, dia memakai
sepatu dalam ruangannya; menghadap ke arah Masachika yang masih terbaring mati
di lantai; dan berteriak dalam bahasa Rusia.
【Tak bisa
dipercaya! Idiot! Mati saja sana!!】
Dia berteriak seperti anak
kecil dan berjalan keluar kelas dengan langkah menghentak. Dua gadis lain yang
baru saja akan memasuki kelas dengan tergesa-gesa memberi jalan untuknya
sementara dikejutkan oleh keadaannya yang tidak biasa.
“Eh? Apa yang terjadi? Barusan
Putri Alya berteriak seperti orang gila?”
“Dia berteriak dalam bahasa
Rusia, ‘kan? Apa-apaan ini? Eh? Tuan putri menggila?”
Mereka berdua melihat sosok
Alisa dengan melongo. Mereka dengan santai melihat ke ruang kelas dan di sana,
mereka menemukan Masachika sedang menggosok bagian belakang kepalanya.
“Pagi, Kuze…. Apa terjadi
sesuatu? ”
“Ya, pagi… Tidak, tidak juga
kok?”
“Pagi, Kuze-kun ... Apa yang
terjadi dengan kepalamu?”
“Yah…. Kupikir, ada jerawat tumbuh
di sini”
“Hmm~?”
Merek duduk di tempat
masing-masing sambil memiringkan kepala dengan ragu. Sambil berpura-pura tidak menyadari
keraguan mereka, Masachika mengeluarkan smartphone-nya, lalu memencet aplikasi
perpesanan, dan mengirim pesan ke adik perempuannya.
『Wahai
adik perempuanku, ada masalah nih』
Dia mungkin sedang dalam
perjalanan ke sekolah di dalam mobil. Segera ada tanda 'Baca' dan balasan
dikirim.
『Ada
apa, onii-chan-samaku yang tersayang』
『Jangan
kaget saat mendengar ini, sebenarnya….』
『Glek』
Stiker karakter anime yang
gemetar ketakutan dikirim. Sambil melihat stiker yang dipenuhi dengan perasaan
terdesak, Masachika mengetik pesan dengan ekspresi getir di wajahnya.
『Aku
... mungkin memiliki fetish kaki』
『Apa
katamu….!? Dasar keparat, bukannya kamu itu penyuka oppai?! 』
『Aah…
Kuh! Aku tidak pernah tahu, aku punya fetish seperti itu !! 』
『Begitu
ya... dasar keparat, kamu akhirnya telah memahami keanggunan kaki, ya ...』
『Ya,
sepertinya begitu』
『Kaki
memang bagus, kan? Paha montok dan putih memang bagus, tapi kaki seperti
antelop yang terlatih dengan baik juga sangat menarik 』
『Aah,
seperti yang diharapkan dari adik perempuanku』
『Uhuh
... Ngomong-ngomong 』
『Hmm?』
『Apa-apaan
dengan percakapan ampas ini』
『Maaf』
Wajah Masachika berubah serius
saat adik perempuannya menegurnya padanya melalui telepon.
Ia meletakkan ponselnya dan
menjatuhkan diri di mejanya.
“Apa yang harus dilakukan
sekarang, eh”
Ia sendiri sadar kalau Ia sudah
melakukan sesuatu yang berlebihan dalam berbagai artian. Masachika merasa Ia
perlu meminta maaf padanya sekarang. Tetapi dengan harga diri Alisa yang begitu
tinggi, Ia merasa jika pergi meminta maaf sekarang, permintaan maafnya akan
dibalas dengan sikap keras kepala.
“Baiklah, mari kita pikirkan
tentang itu saat dia kembali.”
Bahkan Alisa bukanlah anak
kecil. Setelah dia sudah merasa tenang, dia mungkin kembali secara tak terduga
dengan ekspresinya yang biasa.
◇◇◇◇
Kesimpulannya, itu bukanlah
sesuatu yang istimewa.
“Eee ~ eh baiklah, itu saja untuk
hari ini. Aah, tidak perlu sambutan segala. Baiklah kalau begitu.”
Setelah mengatakan itu dengan
cepat, guru wali kelas dengan cepat meninggalkan kelas. Jam wali kelas pagi
selesai cukup cepat dan masih ada lima menit tersisa sebelum jam pelajaran
pertama dimulai.
Namun, para siswa kelas 1-B
tidak beranjak dari tempat duduknya, dan mereka mulai berbicara satu sama lain
dengan berbisik. Ada alasan mengapa wali kelas mereka mengakhiri kelas lebih
awal dan beberapa siswa yang agak gugup.
Itu karena wajah tanpa ekspresi
Putri Alya yang biasa tidak terlihat di mana pun. Ekspresinya dipenuhi dengan
ekspresi kesal dan cemberut sambil memangku dagunya di tangannya.
“(He-hei… itu, apa yang
sebenarnya terjadi, sih?)”
“(Aku tidak tahu ... Aku
mendengar sesuatu kalau itu ada kaitannya dengan Kuze-kun)”
“(Yah, aku bisa membayangkan
ketidaksenangan Alya-san karena Kuze-kun membuatnya marah, bukan. Tepatnya, apa
yang terjadi?)”
“(Aku mendengar omelan kencang
Putri Alya)”
“(Eh? Kenapa?)”
“(Siapa yang tahu? Dia mengomel
dalam bahasa Rusia, jadi aku tidak tahu)”
Di dalam kelas di mana berbagai
macam spekulasi terus beredar, Takeshi meninggalkan kursinya diam-diam dan
menyelinap ke sisi Masachika.
“(O-Oi)”
“(Apa?)”
Agak kewalahan dengan suasana
di sekitarnya, Masachika pun merespon dengan berbisik. Takeshi lalu mendekatkan
mulutnya ke telinga Masachika dan berbisik padanya.
“(Kamu, apa yang sudah kamu
perbuat sampai membuat Alya-san marah dan kena Enzuigiri?”)
“Kenapa malah jadi seperti itu
!?”
Masachika berteriak tanpa sadar
dan menundukkan kepalanya saat melihat mata Alisa melirik ke arahnya.
Ngomong-ngomong, Enzuigiri yang
dimaksud adalah tendangan berputar yang mengarah ke belakang kepala lawan saat
melompat.
Itu adalah sesuatu yang bahkan
tidak boleh ditiru oleh anak nakal.
“(Mana mungkin Alya menggunakan
teknik berbahaya seperti itu, kan)”
“(Ku-Kurasa begitu)”
“(Ya, paling banter itu sih dia
melakukan tendangan jungkir balik ke rahang)”
“(Tidak, jika itu masalahnya,
itu akan luar biasa, ‘kan?)”
Takeshi tersenyum masam karena
mengira itu hanyalah lelucon, dan Masachika tersenyum ambigu sambil berpikir,
“Tapi aku setengah serius”.
“(Jadi, kenapa Putri Alya sampai
bad mood begitu?)”
“(Ummm, itu karena….)”
“(Itu karena kamu melakukan
sesuatu, kan? Ayo, mengaku saja)”
“(Hm ~ mm, yah, kurasa kamu
bisa bilang kalau aku memang melakukan sesuatu?)”
Jika boleh jujur, Masachika
memang melakukan sesuatu.. Namun, jika Ia
mengatakan sesuatu seperti, "Aku
menyentuh kakinya dan melihat celana dalamnya setelah itu", Ia dapat
meramalkan kalau Ia akan segera diadili di kelas dan dieksekusi dengan suara
bulat di depan umum.
Karena itu, Masachika mengelak
dari pertanyaan Takeshi sambil memutar otak untuk memikirkan bagaimana
menghibur Alisa.
“Aaah ~…. Alya? ”
Pertama-tama, Ia memanggil
Alisa, yang sedang meletakkan dagu di tangannya melihat ke luar jendela, untuk
meminta maaf padanya. Alisa hanya melirik ke arah Masachika sambil menjawab
dengan suara tajam.
“… .Ada apa, Kuze-kun” 【Dasar cowok bejat fetish kaki】
Entah bagaimana, suara hatinya
bisa ikutan terdengar. Di akhir kata Rusia-nya, “Kuze-kun” ditulis dengan huruf
kecil.
Bahkan Masachika ingin
mengatakan banyak hal kepadanya tentang itu, tapi sebagai seseorang yang
berpura-pura tidak mengerti bahasa Rusia, Ia tidak bisa mengatakan apa-apa.
Nah, jika Ia mengajukan
keberatan sembari mengatakan sesuatu seperti, “Sayang sekali, aku adalah cowok penyuka oppai”, kesan Masachika di
dalam kepala Alisa akan jatuh sampai ke titik terendah. Selain itu, semua gadis
di kelas pasti akan berbondong-bondong memandang jijik Masachika. Pada
akhirnya, mungkin itu adalah pilihan yang tepat untuk tidak mengatakan apa-apa.
(Tapi
~ kalau dipikir-pikir, aku tidak melakukan hal yang buruk, ‘kan?)
Tanggapan dingin Alisa membawa
pemikiran seperti itu di benak Masachika.
Sejak awal, Alisa sendirilah
yang menyuruh Masachika untuk memakaikan kaus kakinya, dan Alisa-lah yang
menendang kakinya karena malu.
Akibatnya, fakta bahwa celana
dalamnya terlihat adalah sesuatu yang tak terelakkan. Dan kemudian
menunjukkannya setelah itu dengan gaya pesan sekarat mungkin sesuatu yang tidak
perlu, pikirnya. Dan itu juga karena Ia berusaha membuat Alisa tidak
mengkhawatirkannya karena kejenakaannya yang kejam… Adapun Masachika, Ia
sedikit tidak puas karena dirinya dipandang jadi penyebabnya.
Namun, Masachika juga mengerti
bahwa dalam situasi seperti ini, posisi seorang cowok terkadang lemah. Ia
memutuskan untuk pergi meminta maaf tanpa mengatakan apa-apa.
“Umm, maafkan aku, oke? Atas
kejadian yang sebelumnya.”
“… .Aku tidak terlalu
keberatan? Aku juga salah, aku tidak marah lagi, oke? ”
Suara batin Masachika berkata, “Lalu kenapa suasana hatimu masih terlihat
sangat buruk ~”, dan suara batin teman sekelas yang telah mendengarkan
bertumpuk satu demi satu dengan, "Itu
pasti bohong….".
Kenyataanya, dia memang tidak
berbohong. Sebenarnya, Alisa sudah tidak marah lagi.
Satu-satunya yang ada di dalam
benak Alisa saat ini adalah rasa malu karena kakinya disentuh dan celana
dalamnya terlihat.
Selain itu, tidak peduli
bagaimana dia bereaksi terhadap ini, dia sendiri yang mengatakan, “Pakaikan ini untukku?” dan merasa malu
pada dirinya sendiri karena telah melakukannya.
Di tambah pula, rasa malu
karena dia berteriak seperti anak kecil dan semua hal lain yang dia lakukan
memenuhi pikiran Alisa. Jika ada lubang, dia merasa ingin masuk, menutupnya,
membuatnya kedap suara, dan berteriak di dalam sekencang-kencangnya.
Supaya perasaan batinnya tidak
keceplosan, dengan sengaja, dia mengeluarkan aura “Aku sedang bad mood !!”,.
Namun, Masachika tidak dapat
memahami hati gadis seperti itu dan hanya bisa bingung.
Sementara itu bel berbunyi,
guru datang dan pelajaran pertama dimulai.
“Heya ~ kelas dimulai ~ ..
Kalau begitu, orang yang piket hari ini– Kuze. Salam pembuka.”
Memeriksa nama yang bertanggung
jawab atas tugas kelas hari ini di tepi papan tulis, guru matematika dengan
santai menoleh ke arah Alisa dan memanggil Masachika seolah-olah itu merupakan
hal yang wajar.
(((Kami tahu bagaimana perasaan
anda)))
Perasaan seluruh kelas bersatu
kecuali satu orang.
“.... Berdiri, beri hormat.
Yoroshiku Onegaishima~su.”
“““Onegaishima~su”””
Setelah melakukan salam yang
tidak wajar, jam pelajaran dilanjutkan dengan perasaan tegang yang aneh.
Seperti yang diharapkan, efek
samping dari bangun lebih awal telah membawa rasa kantuk pada Masachika tetapi
Masachika bukanlah orang yang bisa tertidur dalam suasana ini.
Walau begitu, mana mungkin Iaa
bisa berkonsentrasi pada pelajaran di kelas, jadi Masachika dengan
sungguh-sungguh memikirkan cara untuk memperbaiki suasana hati sang putri di
kepalanya.
“Baiklah, itu saja untuk hari
ini. … .Kuze, salam ”
“.... Berdiri, beri hormat.
Terima kasih banyak ~ ”
““ “Terima kasih banyak ~” ””
Guru matematika meninggalkan
kelas, dengan tegas tidak melihat ke arah Alisa sampai akhir. Setelah melihat
si guru sudah keluar dari ruang kelas, Masachika segera bergegas keluar dari
kelas dan dengan cepat berjalan ke mesin penjual minuman otomatis yang ada di
dekat pintu keluar darurat. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Masachika
segera bergegas kembali ke kelas dan dengan hormat memberikannya kepada
tetangga sebelahnya, Alisa.
“Putri, mengenai apa yang
terjadi hari ini, mohon maafkan aku dengan segala belas kasihmu.”
Apa yang Masachika sajikan
setelah mengatakan itu…. selama 14 tahun berturut-turut menempati posisi
pertama "Permintaan terbanyak untuk
Akademi Seirei?”. Namanya adalah "Sup kacang merah manis~".
Kebetulan, isinya adalah pasta kacang merah cair dan minuman pelepas dahaga
yang sangat manis.
(((Kenapa malah sup kacang
merah !?)))
Teman sekelasnya ingin
memprotes, “Apa kamu gila? Apa kamu mau ngajak
berantem tuan putri? ”, dengan tatapan
mata mereka melihat ke arah Masachika. Tapi, Masachika tahu. Ia tahu bahwa
Alisa terkadang meminum sup kacang merah ini.
“.... Bukannya sudah kubilang
kalau aku tidak terlalu marah padamu?”
“Hehe, tentu saja. Tapi setidaknya,
hanya ini yang bisa kulakukan untuk meminta maaf.”
“... Kalau begitu, aku akan
menerima tawaranmu.”
“Haha ~”
Ketika Alisa menerima kaleng
sup kacang merah dari tangan Masachika, dia membuka tab penarik, dan meminum
isinya dalam sekali teguk. Pandangan gemetar datang dari dalam kelas.
“Terima kasih untuk minumannya.”
“Ah, aku akan mengurus kaleng
kosongnya”
“Tidak apa-apa, kamu tidak
perlu melakukan itu.”
“Tidak, tidak, aku tidak ingin
merepotkan tuan putri.”
“Jika itu masalahnya, hentikan akting
anehmu itu.”
“Siap, bu.”
Meski nadanya tetap kasar,
Masachika merasa mood Alisa agak sedikit terhibur. Merasa lega dengan ini,
Masachika kembali ke kursinya dan…. menyadari sesuatu yang buruk.
(Ah,
ini buruk .... Aku lupa membawa buku teks untuk pelajaran berikutnya)
Jika seperti biasanya, Ia akan
meminta Alisa untuk menunjukkan buku pelajarannya. Namun, dalam situasi seperti
ini jika dia tanpa malu-malu bertanya “Boleh aku melihat buku teksmu?”, Suasana
hati Alisa yang sudah sedikit membaik mungkin bisa meroket tajam.
Jika itu yang terjadi,
Masachika yakin seluruh teman sekelasnya akan memandangnya dengan penuh kritik.
(Apa
boleh buat….)
Tatapan curiga Alisa beralih ke
Masachika, yang membeku setelah memeriksa bagian dalam meja dan tasnya.
Masachika memalingkan wajahnya seolah-olah ingin melepaskan tatapannya dan memanggil
gadis di sebelahnya.
“Maaf, boleh aku ikut melihat
buku teksmu?”
“Eh? Aah… ya, tidak apa-apa.”
Gadis di sebelahnya tersenyum
pahit seolah-olah dia telah menebak apa yang sedang terjadi, dan mengangguk
dengan ramah. Merasa bersyukur untuk itu, Masachika menyatukan tempat duduk
mereka dan mengelus dadanya kalau Ia entah bagaimana berhasil melakukannya.
Segera setelah itu.
【Playboy】
Bersamaan dengan gumaman
seperti itu dalam bahasa Rusia, suasana di kelas menjadi lebih dingin lagi.
(Kenapa
dia masih bad mood, sih?)
Terlepas dari ratapan
Masachika, pelajaran yang penuh dengan ketegangan sedang berlangsung di ruangan
kelas 1-B hari itu.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>
Hmm... diriku penasaran dengan adiknya masachika
BalasHapusSebenarnya adik Masachika tuhYuki
BalasHapusAku pingin cium kaki Alisa ibuu 😳
BalasHapusWkwkwk, emang novel romcom dari Mimin kareha sesuatu banget
BalasHapusSop iler dari ch berapa itu gan
BalasHapusChapter 5
BalasHapusAhh sial greget ck, rasanya mau baca lanjutannya.
BalasHapusAndai gw punya duit ajg.
cuma 10k aja udah bisa menikmati semuanya selama 30 hari
BalasHapusSerba salah emang cowo
BalasHapus