Roshi-dere Vol.1 Chapter 06 Bahasa Indonesia

Chapter 6 —  Ini Pertama Kalinya Aku Melihat Bayangan Kematian

 

(TN : Perubahan sudut pandang, ini dari sudut pandang Masachika)

Ada taman kecil di dekat rumah kakekku. Setiap kali pulang dari sekolah SD, aku selalu mengunjungi taman tersebut.

Saat aku melihat sekeliling dari pintu masuk taman, aku melihatnya sedang duduk dengan tenang di atas fasilitas permainan yang berbentuk kubah dengan lubang di atasnya.

Heeyy, ——— !!

Ketika aku memanggil namanya sambil berlari ke arahnya, dia tiba-tiba berbalik dan melambaikan tangannya di udara dengan senyum lebar yang tampak bahagia.

Masaaachika!

Sudah kubilang, namaku Masachika

Aku mengoreksinya dengan senyum masam seperti biasa, tapi dia tampaknya tidak peduli dan tertawa bahagia. Ketika aku melihat senyumannya itu, aku tidak bisa menahan perasaan “Oh baiklah, terserah dia saja”.

Masaaachika, ayo naik ke atas sini juga!

Eeh ~?

Ayo cepat, cepat!

Apa boleh buat, deh

Fasilitas permainan yang berbentuk kubah memiliki tangga yang terpasang di pinggirnya. Aku meletakkan tas sekolahku di sana dan memanjat dengan tangan dan kaki mungilku secepat mungkin.

Tuhh ~ Aku sudah di sini ~

Saat aku mencapai puncak kubah, dia menyambutku dengan tawa riangnya. Rambut emas panjangnya bersinar di bawah pancaran sinar matahari terbenam. Bahkan sekarang, aku masih bisa mengingat mata birunya yang menyipit ke arahku.

Lihat, lihat! Pemandangan matahari terbenamnya indah sekali ‘kannn!

Oh, kamu benar. Sangat cantik

Sambil menikmati pemandangan matahari terbenam secara berdampingan, kami melanjutkan obrolan santai kami. Yah meski dibilang obrolan santai, aku merasa kalau cuma aku saja yang terus berbicara.

Jadi, Akademi Seirei adalah tempat ayah dan ibuku bersekolah dulu. Sekolah yang sangat sulit tapi nilaiku bagus-bagus semua jadi tidak ada masalah~ itulah yang mereka katakan padaku

Wow. Masaaachika benar-benar bisa melakukan apa saja!

Hehe, tidak juga, kok

Dia bahkan menerima bualan kekanak-kanakanku dengan ekspresi kagum dan mengucapkan pujian yang tulus.

Aku merasa sangat bahagia dan bangga ketika dia memujiku.

Nilai akademis; Olahraga; Musik; Aku bisa melakukan yang terbaik pada bidang apa saja yang dilemparkan kepadaku berkat keberadaan dirinya.

Ah, Aku harus segera pulang…

Saat matahari terbenam, saat itulah kita mengucapkan selamat tinggal. Itulah aturan kami.

Oke, sampai jumpa besok. Masaaachika

Ya, sampai jumpa besok. ——-

Saat kami mengucapkan selamat tinggal, dia memelukku erat-erat dan mencium pipiku dengan ringan.

Aku terlalu malu untuk melakukan hal yang sama padanya, tapi kenyataannya, aku sangat bahagia. Dia melepas pelukannya, dan tertawa bahagia sambil—–

Gedebuukkkk!

Guhooah !?”

Tiba-tiba, ada hantaman dahsyat yang menerjang area dada serta perutku, dan memaksaku untuk bangun.

Guha! Ga, gaha

Selamat pagi ~ kakak tercintaku.”

“Uugh… Barusan, karena salahmu jadi tidak bagus lagi!”

Aku berhasil mengatur napas, dan memelototi Yuki yang menyeringai padaku dari atas. Kemudian Yuki mengangkat salah satu alisnya dan tampak bingung.

“Oh ayolah, apa yang membuatmu marah, sih? Bukannya dibangunkan oleh adik perempuan dengan cara ditindih begini merupakan impian dari semua anak cowok di seluruh dunia. Berbahagialah.”

“Kamu berbicara seolah-olah itu semacam prank saat bangun tidur. Bukannya ini cuma DV.”

“Cuma Dear Venus? Ya ampun ~ dasar Onii-chan yang, Si. S. Con(TN : Dear Venus = Bidadari Cantik)

“DOMESTIC VIOLENCE (Kekerasan dalam rumah tangga)! Jangan seenaknya mengartikannya dengan nyeleneh.”

“Muu……. Bagian mananya yang paling tidak kamu sukai?”

“Semua dari itu. Semuanya.”

Saat aku mengatakan itu, Yuki mengerutkan alisnya, dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba, ekspresinya segera berubah seolah-olah mendapat pencerahan dan menjentikkan jarinya.

“Apa kamu tipe cowok kayak gitu? Alih-alih membangunkanmu dengan tubuhku, kamu lebih suka dibangunkan dengan adik perempuanmu yang sudah berada di balik selimut di sampingmu.”

“Jika ……. itu terjadi dalam kehidupan nyata, bukannya itu akan lebih menakutkan?”

“Eh? Kalau begitu, jangan bilang kalau kamu tipe orang yang ingin adik perempuanmu merangkak di bawah tempat tidur? Dasar maniak ~ ”

“Membayangkannya saja sudah bikin bulu kuduk merinding!”

“Kurasa aku tidak punya pilihan ~ Jadi, lain kali aku akan merangkak ke bawah tempat tidur dan saat kamu turun dari kasur, aku akan memegang kakimu, oke?”

“Sebenarnya, apa tujuanmu melakukan itu….”

“Sesuatu seperti, dibangunkan oleh skenario horor adik perempuan. Benar-benar baru, bukan? ”

“Terlalu baru bagiku untuk mengikutinya…. Sebaliknya, cepat minggir.”

Saat aku mengatakan ini pada Yuki yang masih di atasku mengepakkan kakinya, dia menyeringai dan memiringkan kepalanya.

“Mengapa? Apa karena ada reaksi di selangkanganmu ?”

“Mati saja sana.”

Aku memelototi adik perempuan yang mengucapkan lelucon jorok dan konyol saat pagi-pagi begini. Yuki kemudian tertawa sambil menyingkir dari atasku dan meninggalkan ruangan.

Haah, astaga….”

Aku bangun dan duduk di tempat tidur.

“….”

Aku melihat… mimpi yang nostalgia. Kenangan cinta pertamaku. Masa-masa terindah yang pernah aku alami sepanjang hidupku. Aku biasa bertemu dengannya di taman dan bermain dengannya. Karena aku ingin berbicara dengannya, jadi aku dengan serius belajar bahasa Rusia.

Meski orang tuaku tidak akur dan aku ditinggal sendirian di rumah kakek, aku tidak merasa kesepian karena dia ada di sana.

Itu benar, aku pasti telah jatuh cinta dengan gadis itu. Namun… aku bahkan tidak bisa mengingat wajahnya maupun namanya.

“… .Cih.”

Tentu saja, lagipula, aku adalah putra dari ibu itu. Dia adalah manusia tak berperasaan yang bisa dengan mudah melupakan orang yang dulu sangat dicintainya.

Di dalam dadaku, sesuatu yang dingin perlahan menumpuk. Perasaan cinta dan motivasi yang telah membara di masa lalu kini terkubur dalam-dalam di bawah dan tidak terlihat lagi.

Selalu ada alasan untuk kehilangan motivasiku. Aku selalu bisa menyalahkan orang lain. Tapi, tidak peduli alasan apa yang aku buat atau siapa pun yang aku salahkan, pada akhirnya, aku akan sampai pada kesimpulan bahwa aku hanyalah manusia sampah yang menganggap semua hal itu terlalu merepotkan.

Cowok keparat yang mengagumi orang yang bekerja keras, dan benci yang namanya bekerja keras, Si pecundang yang mengira kalau dirinya lebih baik dari pecundang lainnya karena Ia sadar akan hal itu, Cowok suram yang menghibur dirinya dengan kepuasan diri tingkat rendah. Itulah diriku.

“Mana mungkin… orang seperti itu cocok untuk menjadi anggota OSIS, ‘kan?”

Terlebih lagi, bahkan menjadi wakil ketua OSIS. Aku tahu ini tepatnya karena aku tidak bisa menolak permintaan Yuki, menjadi rekannya dan wakil ketua OSIS sekolah menengah tanpa berpikir. Jabatan tersebut bukanlah posisi yang bisa kamu dapatkan tanpa hasrat maupun tekad yang kuat.

Pada saat pemilihan dimana Yuki terpilih menjadi Ketua OSIS, aku melihat sosok kandidat lainnya menangis di belakang auditorium.

'Aku mengkhianati harapan orang tuaku'; ‘Aku tidak yakin ekspresi macam apa yang harus aku tunjukkan saat pulang nanti’;

Gadis yang menangis tersedu-sedu di depan teman-temannya merupakan…... sesama rekan yang aktif dalam berbagai kegiatan OSIS selama satu tahun terakhir.

Sosoknya yang berpura-pura tegar di hadapan Yuki dan saling memuji atas persaingan bagus satu sama lain, membuatku merasa shock sekaligus bersalah.

Yuki juga sama, dia mengemban harapan dari keluarga besarnya. Tapi bagaimana denganku? Aku, yang menjadi wakil ketua OSIS hanya karena kasih sayang keluarga dan rasa bersalah terhadap Yuki? Apa aku benar-benar memiliki hak untuk mengalahkannya?

Dan kemudian selama satu tahun berikutnya, aku melakukan semua yang aku bisa di tugas OSIS untuk menghilangkan perasaan itu.

Meski begitu, itu sama sekali tidak menghilangkan rasa bersalah dalam diriku.

Aku tidak pernah ingin… merasakan hal itu lagi—-

Gubraaak! Hei, jangan berani-berani untuk tid…. Hah? Kamu sudah bangun? ”

“Dengarkan aku baik-baik……. berhentilah membuka pintu dengan cara menendangnya, oke. Kamu terus menendang tempat yang sama dan pintunya jadi penyok, tahu? ”

Aku tahu ini sia-sia, tapi aku tetap memperingatkannya dengan jengkel pada Yuki yang masuk ke ruangan itu memecah suasana serius.

Faktanya, pintu kamarku sedikit penyok di bawah kenop pintu dan cuma bagian itu yang teksturnya lebih halus dari yang lain. Melihat sekilas ke sana, Yuki entah kenapa tersenyum puas.

“Aku pikir dalam beberapa tahun kita akan melihatnya dengan indah.”

“Tolong hentikan prinsip “bagai air yang mampu menghancurkan batu”. Memangnya kamu ini seniman bela diri macam apa.”

“Ada banyak heroine yang sudah mendobrak pintu dalam sejarah, tapi aku mungkin akan menjadi heroine pertama yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjebol pintu.”

“Lagian dari awal, bagaimana mungkin bisa ada begitu banyak wanita yang mendobrak pintu dalam kehidupan nyata?”

Faktanya, bahkan Yuki tidak benar-benar mendobrak pintu.

Dia memutar kenop pintu di bagian atas dengan tangannya dan kemudian dengan sengaja menendangnya hingga terbuka dengan kakinya. Tapi kenapa dia terus melakukan itu masih menjadi misteri bagiku.

“Oke ayo, cepat bangun ~ Adik perempuanmu yang imut sudah membuatkan sarapan, tahu ~?”

“Baiklah.”

Ketika didesak, aku pergi ke ruang tamu, dan tentu saja, sarapan disajikan di sana. Tapi….

“….”

“…? Apa ada yang salah, kak?”

“….Ini apa?”

Ketika aku menunjuk telur semi padat yang berserakan di tengah-tengah piring dan bertanya padanya, Yuki mengedipkan matanya dan menjawab dengan ekspresi polos.

“Eh? Ini telur orak-arik. ”

“Kamu harusnya menyebut ini sebagai bayangan kejayaan telur gulung di masa lalu”

“… .Aku tidak tahu apa yang sedang Onii-chan bicarakan.”

Aku memelototi bagian belakang kepala Yuki yang sedang memalingkan wajahnya.

Ngomong-ngomong, rasanya sendiri lumayan enak. Ketika aku menambahkan saus tomat di atasnya, rasanya menjadi rasa yang tak terlukiskan dari campuran rasa makanan Jepang dan Eropa.

◇◇◇◇

(TN : Perubahan sudut pandang, ini dari sudut pandang Orang Ketiga)

Setelah menonton film seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya, Masachika dan Yuki meninggalkan area bioskop mengikuti arus gerombolan orang yang menuju pintu keluar. Setelah keluar dari bioskop yang berada di lantas atas mall, mereka naik eskalator yang mengarah langsung ke bawah.

“Hnnnn ~~ ……”

Yuki kemudian meregangkan tubuhnya, dan beropini sambil merilekskan ketegangan yang ada di dirinya.

"Yaaah ... Itu meledak dengan megah!”

“Kamu benar-benar jujur ​​di sana, eh”

“Ranjau daratnya lebih besar dari yang aku harapkan ~ Seperti yang sudah kuduga, mana mungkin idol gemerlap bisa berakting dalam film bergenre  fantasi dengan settingan dunia yang gelap ~ Itu memberikan perasaan seperti cosplay sampai akhir. Kontennya sendiri juga menghabiskan banyak waktu dengan adegan pertempuran yang spektakuler dan bagian-bagian yang mengarah ke sana sangat berantakan. Sepertinya mereka meninggalkan penonton yang belum membaca karya aslinya ~”

“Sepertinya begitu. Tapi adegan aksinya sendiri cukup rumit, dan bagian itu bagus untuk dilihat,”

Masachika menimpali ocehan Yuki dengan senyum masam, yang mengulas film dengan evaluasi kasar sambil tersenyum cerah. Sekarang masih terlalu dini untuk makan siang, jadi mereka dengan malas berkeliaran di dalam area mall sambil mendiskusikan kesan mereka terhadap film tersebut.

“Ah, baju ini imut banget. Aku sudah lama menginginkan gaun one-piece baru untuk musim panas, tau~. Tapi aku berencana untuk berbelanja secara royal pada Animate nanti…. ”

“Uwah, harganya 15.000 yen…. Mahal!”

“Onii-chan juga harus lebih memperhatikan penampilanmu~ kamu punya uang, ‘kan?”

“Aku tidak punya uang jajan banyak kayak kamu, oke.”

“Lagipula, kamu tidak terlalu sering menggunakannya, ‘kan. Tidak seperti aku, kamu tidak menghabiskan uangmu untuk aktivitas otaku.”

Seperti yang dikatakan Yuki. Faktanya, berbeda dengan Yuki, Masachika tidak mengoleksi barang apapun. Ia juga jarang membeli manga atau LN.

Itu semua karena Yuki, yang menyembunyikan fakta kalau dia adalah otaku akut dari keluarga Suou, membawa semua barang-barang otaku yang dia beli ke tempat tinggal Masachika.

Masachika hanya meminjam dan membaca manga serta LN yang menarik minatnya saja dari sana, jadi Ia tidak perlu membelinya sendiri.

Pertama-tama, Masachika berubah menjadi otaku karena usaha gigih Yuki menebar virus otaku kepada Masachika.

“Bukannya kamu sudah memakai baju itu dari tahun lalu. Kamu perlu membeli yang baru.”

“Uhuh, kalau kamu berbicara seperti itu, bukannya baju yang kamu pakai sekarang adalah baju pemberian dariku.”

Hari ini Yuki mengenakan kaos gombrang dengan bagian dalam berlengan panjang dan celana jeans. Tampilan yang seperti cewek tomboy.

Dan nyatanya, kaos dan jeans itu baju pemberian Masachika.

“Ini bagus karena terlihat stylish. Semakin banyak kamu mengenakan jeans, semakin baik tampilannya.”

“Terserah kamu, deh… ngomong-ngomong, Imouto yo.”

“Ada apa, onii-chan-sama?”

“… .Sejak tadi, aku melihat sesuatu yang berwarna perak berkelebat di sudut pandangku, apa itu cuma imajinasiku saja?”

“Kupikir itu bukan imajinasimu saja.”

“Kupikir juga begitu. Karena entah sejak kapan rambutmu tidak lagi dikuncir. Kamu juga sudah berubah menjadi mode perilaku ala Ojou-sama.”

Seperti yang Masachika katakan, Yuki yang tadinya dikuncir ala ponytail dan sekarang rambutnya dibiarkan tergerai lurus. Cara bicaranya tidak berubah, tapi perilakunya berubah menjadi elegan, persis seperti yang dia perlihatkan di sekolah.

“Fuh…. Aku sudah menyadarinya jauh sebelum kakak menyadarinya, tau? ”

“Kamu serius? Sejak kapan?”

“Sejak kita turun ke lantai ini.”

“Bukannya itu sudah cukup lama…. Kamu menyadarinya cukup cepat juga, ya? ”

“Fuh…. Aku punya indra keenam yang membuatku bisa merasakan tatapan orang yang aku kenal dengan segera…. ”

“Apa kamu serius…. kamu tidak malu dengan apa yang baru saja kamu katakan sendiri? ”

“Bodoh…. Tentu saja aku merasa sangat malu. ”

“Jangan katakan itu dengan wajah kaku.”

Saat melakukan sandiwara receh seperti ini, Masachika bisa merasakan tatapan mata dari belakang punggungnya. Ia melihat dari dekat pantulan kaca di etalase toko, dan di sana Ia melihat seorang gadis berambut perak yang sangat dikenalnya dengan separuh tubuhnya tersembunyi di balik pilar.

Selain itu, dan mungkin ini hanya imajinasinya saja, ada aura suram dengan efek ‘gogogogogo'…. di belakang punggungnya.

(Sekarang, apa yang harus kulakukan)

Apa kita perlu memanggilnya dari sini, atau menunggu dia memanggil kita duluan. Atau apa kita perlu bertemunya secara kebetulan di suatu tempat. Kemudian, dari sisi Masachika yang sedang memikirkan hal yang benar untuk dilakukan.

“Oh, Alya-san?”

Yuki tiba-tiba menoleh, dan berbicara seolah-olah baru saja menyadari keberadaanya.

(Imouto yoooooo—– !!)

Masachika berteriak di dalam hatinya terhadap serangan frontal Yuki yang tiba-tiba. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Ia berbalik pasrah dan memasang ekspresi terkejut juga.

“Hah? Bukannya itu Alya. Kebetulan sekali.”

Masachika sendiri merasa ragu apa Ia mampu melakukan aktingnya dengan terampil namun Alisa tidak menaruh perhatian sejauh itu.

Dia mengutak-atik smartphone di tangannya tanpa alasan apapun, matanya jelalatan ke mana-mana sambil mendekati mereka. Lalu dia membuka mulutnya, masih terlihat gelisah.

“Ya, kebetulan sekali. Umm…. sejak beberapa saat sebelumnya aku sudah menyadari kalian, tapi aku tidak bisa menemukan waktu yang pas untuk memanggil…. ”

Hati kedua bersaudara itu selaras dengan, "mana mungkin itu hanya 'baru saja' ...", pemikiran semacam itu, tapi mereka tidak menunjukkannya di raut muka mereka.

Meski begitu, Masachika tidak bisa menghentikan tatapan matanya yang menjadi sedikit antusias. Sedangkan Yuki, yang benar-benar dalam mode Ojou-sama mengangguk dengan wajah tidak curiga dan, mambalas dengan nada ketus, “Begitu ya”

“Apa Alya-san punya urusan di sini?”

“Iya…. Aku berniat untuk membeli beberapa pakaian.”

“Hmmm. Apa kamu sudah makan siang? ”

“Tidak, aku masih belum makan siang.”

“Kalau begitu, karena mumpung ada di sini, apa kamu ingin bergabung dengan kami? Kami juga—”

“Tunggu sebentar.”

Karena tidak mau membiarkan dia bertingkah seenaknya, Masachika menyela perkataan Yuki. Ia kemudian mengerutkan kening dan bertanya ke arah Yuki, yang memasang wajah tenang.

“Kamu, kamu takkan membawa Alya ke tempat itu, ‘kan?”

“Apa itu .. Tidak bagus? Bukannya Masachika-kun juga sangat menantikannya? ”

“Tentu saja tidak bisa. Jika Alya akan ikut, kita harus pergi ke tempat lain.”

“Apa? Apa masalahnya?”

Alisa menyela keduanya, yang mengabaikannya dan melakukan percakapan yang tidak bisa dia mengerti.

“Alya-san, apa kamu suka makanan pedas?”

“Makanan pedas? Dibilang suka atau tidak sih, aku…. ”

“Tempat yang akan kita kunjungi nanti adalah warung yang menyajikan ramen pedas. Jika Alya-san suka makanan pedas maka—- ”

“Jangan anggap enteng seperti itu. Alya, biar kuberitahu. Tidak hanya pedas, warung itu adalah tempat yang menyajikan ramen super duper pedas. Aku juga belum pernah ke sana, tapi mungkin ini adalah tempat yang tidak bisa kamu nikmati jika kamu bukan penggemar makanan yang sangat pedas. Itu sebabnya—- ”

“Aku akan pergi.”

Alisa dengan jelas mengatakan itu, menyela ucapan Masachika yang mencoba membujuknya.

Usai melihat ekspresi tak gentarnya itu, Masachika berpikir dalam hati, "Kurasa tidak ada gunanya lagi", sementara terus membujuk Alisa.

“Sejujurnya, aku pikir lebih baik kalau kamu tidak perlu pergi ke sana, oke? Ada tempat lain yang bisa kita kunjungi sebagai gantinya…. ”

“Kamu sangat menantikannya, ‘kan? Kalau begitu aku juga ikut. Aku merasa tidak enakan bila sampai membuatmu mengubah rencana hanya karena aku.”

“Tidak, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk datang….”

“Oh? Apa itu karena aku menghalangimu? ”

“Aku tidak bermaksud begitu ... apa kamu penggemar makanan pedas juga?”

“Bukannya aku tidak suka makanan pedas.”

Ia berpikir dalam hati, "Benarkaaah ~~?", Tetapi Masachika tidak bisa mengatakan apakah dia berbohong atau tidak.

Menurut apa yang dilihat Masachika, Alisa sangat menyukai makanan manis. Ia tidak pernah mendengarnya langsung dari orang yang bersangkutan, tapi Ia melihatnya sekilas dari setiap kata dan tindakan yang telah Alisa lakukan sampai sekarang.

Jadi, jika seseorang bertanya padanya apakah Alisa tidak suka dengan makanan pedas, Masachika tidak tahu. Apalagi, Ia sama sekali tidak pernah ingat melihat Alisa memakan makanan pedas.

(Yah, orangnya sendiri sudah mengatakan kalau dia baik-baik saja dengan itu, dan mungkin juga ada sesuatu yang kurang pedas di menu….)

Setelah mengingatkan dirinya akan hal ini, Masachika menuju ke tempat warung ramen dengan sedikit cemas.

 

◇◇◇◇

 

“….Tempatnya di sini?”

“Iya.”

Wajah Alisa berkedut saat melihat ke tempat warung ramen di sepanjang jalan sempit, tidak jauh dari gedung mall.

Masachika berpikir, “Aku bisa memahaminya” dan menganggukkan kepalanya. Di sisi lain, Yuki memiliki senyum yang sangat bagus.

“Nama tempat ini adalah 'The Cauldron of Hell'…. Ini .. benar-benar warung ramen, ‘kan?” Tanya Alisa dengan ragu-ragu

“Ya, memangnya kenapa?”

“Tapi ada kata 'Hell' dalam nama warungnya….?”

“Tenang saja. Bahkan ada kata Hell di menunya.”

“…..Begitu ya.”

Mungkin karena terlalu kaget atau sedikit kewalahan, bibir Alisa berkedut saat menganggukkan kepalanya.

“… .Mungkin kamu ingin berhenti masuk?”

Namun, ketika Masachika menunjukkan keprihatinannya, ekspresi Alisa langsung berubah menjadi tegas dan menatap tajam ke arah Masachika.

“Mana mungkin aku berhenti sekarang. Aku cuma terkejut dengan penamaannya yang unik.”

“Begitu ya….”

Alisa benar-benar menunjukkan sifarnya yang tidak mau kalah, Masachika hanya bisa pasrah dan berpikir dalam hati, “Tidak peduli apa yang kukatakan dia tetap tidak mau mendengarkan” dan mengikuti Yuki ke dalam warung ramen.

“Selamat datang ~!”

Tiba-tiba, aroma menyengat menghantam hidung dan matanya bersamaan dengan suara semangat karyawan di sana. Di belakang Masachika, terdengar samar, "Uuh !?", yang keceplosan.

“Untuk berapa orang ~?”

“Tiga orang.”

“Baiklah ~ Silakan duduk di sebelah sini ~”

Karyawan tersebut membimbing mereka. Lalu kemudian mereka bertiga duduk dalam urutan yang sama saat mereka datang.

Masachika menoleh ke Alisa yang ada di sebelah kanannya dan melihat dirinya sedang memegangi hidung dengan mata berkaca-kaca.

Masachika dan Yuki suka mengunjungi toko-toko yang menyajikan makanan sangat pedas dan sudah terbiasa dengan aroma menyengat ini. Tapi bagi Alisa yang kemungkinan besar adalah pendatang baru, aroma yang menjengkelkan ini mungkin sulit untuk diterima.

“….Apa kamu baik-baik saja?”

“Apanya?”

Alisa menanggapi dengan suara seolah-olah akan hancur sampai mati, dia jelas-jelas sok kuat. Dia segera menutup matanya dan berusaha menghilagkan air matanya. Dia kemudian meraih menu dengan tangannya, berpura-pura tenang…. dan tercengang saat  membukanya.

“….Hei.”

“Hmm?”

“Bahkan ketika aku melihat menunya, aku tidak tahu apa itu sebenarnya?”

“…..Memang.”

Masachika mengangguk lembut ke arah Alisa yang membeku. Tapi itu bisa dimengerti.

Itu karena, "Blood Pond of Hell", atau "Pincushion of Hell", dan nama-nama berbahaya yang tidak dapat dipikirkan secara umum terdaftar sebagai nama hidangan.

Yuki, yang rambutnya diikat di bagian bawah leher dengan karet gelang,  membuat penjelasan dengan sikap sok tahu.

Blood Pond of Hell, sama seperti namanya, itu adalah ramen yang bercirikan supnya yang semerah darah, dan kepedasannya sudah di tingkat yang paling pedas. Dan kemudian ada ‘Pincushion of Hell’. Seperti namanya juga, rasa pedasnya akan membuat lidahmu serasa ditusuk jarum yang tak terhitung jumlahnya ”

“Be-Begitu ya… lalu”

Sambil mengernyitkan wajahnya setelah mendengar penjelasan Yuki, Alisa melihat ke arah nama hidangan di bagian bawah menu yang tertulis dengan tulisan tangan yang menakutkan.

“Bagaimana dengan .. 'Avici of Hell' ini?”

Alisa bertanya dengan gugup dan Yuki memberikan senyuman seakan menyatakan aku-senang-kamu-bertanya.

“Katanya ada ramen yang kepedasannya sampai-sampai membuat lidahmu tidak bisa merasakan apa-apa!”

“Bukannya sarafmu akan ... mati?”

Di sebelah Alisa yang menunjukkan ketidaksabaran di wajahnya akhirnya memahami bahwa toko ini sangat buruk, Masachika memeriksa menunya sekali lagi dan memejamkan matanya, menyadari tidak ada yang namanya hidangan yang aman dan kurang pedas di menu.

“.... Kalau begitu, kurasa aku akan memesan ‘Blood Pond of Hell’. Ketika kamu baru pertama kali mengunjungi tempat makan, itu merupakan hal standar untuk memesan sesuatu yang standar.”

“Aku rasa begitu….. Yang standar juga penting, ‘kan.”

“Oh? Apa kalian berdua akan memesan hal yang sama? Kalau begitu, kurasa aku perlu memesan yang sama juga.”

Paling tidak, Masachika sudah mengulurkan bantuan dan tanpa jeda, Alisa menimpalinya. Yuki juga memanfaatkan ini, dan mereka bertiga akhirnya memesan hal yang sama dari menu.

“Ngomong-ngomong, baju Yuki-san hari ini terlihat sangat tomboy. Hal itu sedikit mengejutkanku.”

“Fufufu, lagipula sekarang ‘kan hari libur. Aku hanya ingin sedikit mengubah suasana hati saja.”

“Begitu rupanya. Ini pasti sangat mengubah suasana di sekitarmu, tapi aku pikir baju itu sangat cocok untukmu.”

“Terima kasih banyak. Pakaian kasual Alya-san juga kelihatan manis kok. Aku pikir kamu adalah model professional.”

“Benarkah? Makasih.”

Sambil merasa nyaman dan tidak nyaman pada saat yang sama terhadap obrolan gadis yang terjadi di kedua sisi, Masachika berkeringat dingin pada tatapan cowok-cowok yang ada di sekitarnya.

Terutama tatapan tajam seorang karyawan cowok yang seumuran dengannya yang tampaknya pekerja sambilan di sini.

Tatapannya menyiratkan seolah-olah Masachika adalah musuh bebuyutannya. Namun, mengesampingkan keadaan sebenarnya, bila dilihat dari sudut pandang orang luar, Ia pasti terlihat seperti sedang menggandeng dua kembang cantik jadi Masachika tidak bisa mengatakan apa-apa mengenai itu.

Apalagi itu bukan sembarang kembang. Keduanya adalah gadis cantik di tingkat di mana Ia akan mengangguk jika mereka menyandang gelar sebagai "tak tertandingi".

Jika seorang cowok berpenampilan biasa menemani dua gadis seperti mereka, bahkan Masachika juga akan ikut menaruh perhatian. Dan, “Eh? Protagonis romcom? Memangnya kamu ini protagonis dari harem romcom ya !? ”, Ia akan bersemangat mengoceh seperti itu. Begitulah sifat seorang otaku.

(Sebenarnya, mereka berdua tidak memperebutkanku, dan aku yakin mereka akan menebak dari adegan ini kalau mereka berdua adalah teman dekat dan pembawa belanja mereka)

Seperti yang dibayangkan Masachika, melihat dua gadis cantik bercakap-cakap tanpa melibatkan cowok yang di tengah, "Cowok itu cuma tambahan, ya", mereka sepertinya setuju seperti itu, dan tatapan penuh penasaran dari dalam toko mulai memudar.

Bahkan pekerja sambilan yang memelototi Masachika dengan mata penuh iri dan kebencian, mulai melembut dan kembali bekerja…. Tapi pada saat itu, Yuki melempar bom yang tak terduga.

“Sebenarnya, kaos dan celana jeans ini pemberian dari Masachika-kun.”

Senyum Alisa langsung berubah kaku, dan suasana di dalam toko ikut membeku juga.

(Imouto yooooooooo—— !!)

Tatapan penasaran di dalam toko, sekali lagi, terfokus kembali. Pekerja sambilan-kun itu memandang secara bergantian antara Masachika dan Yuki dengan tatapan seolah-olah baru saja melihat sesuatu yang tidak bisa dipercaya.

“… .Pemberian?”

“Ya, kalau di rumah, aku selalu diberitahu untuk berpakaian dengan cara yang pantas untuk seorang wanita…. Tapi, aku ingin mencoba baju model begini, jadi aku meminta Masachika-kun untuk itu.”

“Hee…. Jadi begitu rupanya.”

Senyuman di bibir Alisa berubah menjadi senyuman sinis yang tidak menyenangkan saat tatapan tajamnya menembus Masachika.

“Yang namanya teman masa kecil pasti sangat dekat satu sama lain, ya~. Aku tidak pernah menyangka kalau Kuze-kun memiliki hobi membuat seorang gadis memakai pakaiannya ”

“Tidak, itu bukan hobiku.”

“Itu benar. Ini bukan hobi tapi fetish.”

“Kamu…tutup mulutmu sebentar!”

Ketika Masachika menyiratkan, jangan bilang apa-apa lagi lebih dari ini, dengan matanya, Yuki membuat wajah penasaran.

“Oh? Namun, saat aku memakai kaos pacar1 tempo hari….. Aku ingat kalau kamu terlihat sangat senang…. ” (TN : Nanti ada penjelasannya di bawah)

“Itu tidak benar!”

Yuki melemparkan bom tambahan dengan wajah polos.

Seisi warung ramen menjadi ribut. Ngomong-ngomong, "kebenaran" yang dimaksud Masachika adalah kebenaran tentang Masachika yang terlihat bahagia, dan Yuki yang mengenakan kaos pacar.

Yuki kadang-kadang datang ke rumah Kuze tanpa membawa baju ganti sendiri dan karena itu, dia akan menggunakan kaos lama Masachika sebagai piyamanya.

Pertama kali dia melakukan itu, Yuki yang bersemangat mengatakan “Ini kaos pacar, ini kaos pacar”. Masachika memandang Yuki seperti itu dengan tatapan jengkel, tapi keadaan semacam itu tidak diketahui orang lain.

“… .Kaos kering2?”

Tapi untungnya, Alisa yang kurang paham dengan subkultur Jepang sepertinya tidak memahami maksuda dibalik “Kaos pacar” itu.

“Jika kamu tidak tahu, biar kuberitahu tentang itu”, ujar Yuki, yang mencoba melakukan bisikan iblis dengan diselubungi senyum malaikat. Masachika segera mencoba untuk menghentikannya, dan sebelum Ia bisa melakukan itu, pekerja sambilan-kun datang membawa ramen pesanan mereka sambil memelototi Masachika dengan tatapan seolah-olah sedang melihat musuh bebuyutannya.

“Terima kasih sudah menunggu ~ Ini adalah Tiga Ramen Blood Pond of Hell’~”

Alisa menatap ramen yang baru saja tiba lalu keceplosan, "Uuh!", Dan menjauhkan tubuhnya ke belakang.

Selain dampak visual yang mengesankan dari sup merah padam yang tidak mengkhianati namanya, uap yang mengepul tampaknya juga menstimulasi selaput lendirnya.

Dua saudara kandung, yang menyukai makanan yang sangat pedas, mengambil sumpit mereka dengan senyuman di wajah mereka sementara Alisa tersedak ringan pada saat ini.

“Kalau begitu, ayo makan sebelum mie-nya meregang.”

“Ya.”

“Ka-Kamu benar.”

Mereka bertiga berkata "Ittadakimasu" berbarengan. Masachika dan Yuki menyantap ramen tanpa ragu, sementara Alisa menyendok mie dengan gugup.

“Nnn! Enaknya~!”

“Ya, benar-benar sesuai dengan namanya.”

Kakak beradik itu menyeruput kuah dan tersenyum puas. Kini, Masachika menoleh sebelah kanannya dan mengintip kabar Alisa ….

“….”

Di sana, dengan seluruh tubuhnya yang menjadi kaku dan mata yang terbuka lebar, Alisa terus mengunyah tanpa berkedip. Tangan kirinya di atas meja terkepal dengan kekuatan yang tidak biasa, dan tinjunya gemetar.

“… .Alya, kamu baik-baik saja?”

“… .Mmm, ya, ini… enak.”

Dia menelan apa yang ada di dalam mulutnya, dan kemudian Alisa akhirnya berkedip lagi dan menunjukkan ekspresi meringis.

Masachika mengulurkan serbet kertas , sambil tercengang dan terkesan padanya yang berpura-pura menjadi tangguh pada saat ini.

“Lebih baik kamu menyeka bibirmu dengan tisu setelah setiap menyeruputnya, oke? Bibirmu bisa membengkak karena pedasnya.”

“….Terima kasih.”

Setelah melihat Alisa dengan patuh mengusap bibirnya, Masachika mulai memakan ramennya lagi.

Setiap aku menyeruput mie-nya, rasa pedas pedas dari cabai memenuhi bagian dalam mulutku.

Kepedasannya membuatku berkeringat. Namun, rasa pedas ini memunculkan rasa bahan yang enak dan membuatku menginginkan lebih dan lebih.

Terlebih lagi, itu membuatku ingin mengintip ke dalam jurang laut merah tua ini ( Ini cuma pendapat pribadi Masachika)

“Ya, ini memang lezat.”

Masachika menghembuskan nafas puas. Dan ada suara yang ke telinga Masachika….

Perih sekali

… .Dari sisi kanannya, muncul keluhan yang sangat menyedihkan. Masachika melirik  sekilas dan di sana, Ia melihat Alisa memegangi sumpitnya yang benar-benar berhenti.

Dia entah bagaimana berhasil mempertahankan ekspresinya yang tenang, tapi  dia sepertinya tidak bisa lagi menggerakkan sumpitnya.

Kemudian, Alisa menyadari tatapan Masachika dan seolah didorong olehnya, dia menggerakan sumpitnya ke dalam mangkuk lagi.

“Baiklah, Alya. Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, oke?”

“Apaan sih? Aku sudah bilang kalau rasanya enak, ‘kan?”

Kamu mengatakan itu perih dalam bahasa Rusia, ‘kan.

“Tidak… maksudku, ya. Aku mengerti.”

Masachika penasaran apa dia akan baik-baik saja, tapi Ia sendiri tahu tidak ada gunanya menyuruh Alisa berhenti sekarang, jadi Masachika memutuskan untuk tidak mengkhawatirkannya lagi.

Setelah istirahat sejenak untuk minum air, Ia siap menghadapi jurang lautan merah lagi. Dengan sumpit—-

Aku sudah tidak sanggup….

Aku tidak bisa berkonsentrasi !!

Suara yang datang dari samping terlalu lemah dan terdengar menyedihkan.

Tetap saja, Ia berusaha untuk tidak mempedulikan tentang itu dan melanjutkan makannya. Tapi….

Mamah….

Ketika dia akhirnya mulai bergantung pada bayangan ibunya, karena sudah  tidak tahan lagi, Masachika menengok keadaan Alisa.

(Ah, gawat. Pupil matanya terlihat membesar)

Yang mengejutkan, ekspresi wajah Alisa tetap tidak berubah sampai titik ini. Tapi…. ada .. bayangan samar kematian muncul.

Ini tidak ada gunanaya. Aku berpikir untuk membiarkan dia melakukan apa pun yang dia inginkan sampai dia menyerah, tapi sekarang tidak ada pilihan selain menghentikannya.

“Al—”

Tepat pada saat Masachika hendak menghentikannya. Yuki tiba-tiba memanggil dari sisi lain.

“Bagaimana rasanya, Alya-san?”

Mata Alisa, yang benar-benar terpesona oleh suara saingannya yang akan bersaing memperebutkan kursi ketua OSIS berikutnya, menjadi fokus.

Perasaan persaingan terhadap Yuki membuatnya bersemangat, dan Alisa mendapatkan kembali hidupnya dan bahkan ada senyuman di wajahnya.

“Ya, ini enak.”

“Aku senang mendengarnya. Aku baru tahu kalau Alya-san menyukai makanan yang sangat pedas juga.”

Alisa menunjukkan senyuman yang agak mengerikan dan ganas, sedangkan Yuki menunjukkan senyuman polos. Dan kemudian, dengan senyum polosnya, dia mengulurkan botol kecil untuk Alisa.

“Di toko ini, sepertinya kamu bisa menambah kepedasannya dengan 'Demon Tears' ini. Jika Alya-san tidak keberatan, maukah kamu mencobanya?”

Yuki, memulai serangan tak terduga pada musuh yang sudah babak belur. Tepi bibir Alisa berkedut-kedut.

Ngomong-ngomong, bumbu ini disebut "Demon Tears". Nama resminya adalah "Bahkan Setan pun Akan Menumpahkan Air Mata", dan seperti yang tersirat dari namanya, rasanya begitu pedas sampai membuat setan akan menangis. Itu bumbu orisinil toko ini.

(Tolong hentikan! Hidup Alya-san sudah di ujung tanduk!)

Sambil berteriak di dalam hatinya, Masachika baru menyadarinya.

(Begitu ya. Karena dia bilang dalam bahasa Rusia, Yuki tidak menyadari kalau Alya membocorkan keluhannya, ya)

Jika itu masalahnya, mari kita bisikkan padanya secara diam-diam…. Dan saat Masachika berbalik ke arah Yuki, Ia baru menyadarinya.

Dengan senyuman polos, kedalaman mata Yuki menyimpan tatapan sadis.

(Gadis ini, dia tahu apa yang dia lakukan….!?)

Masachika gemetar ketakutan. Dari sampingnya, sebuah tangan putih mengulurkan dan mengambil toples kecil yang disodorkan Yuki.

“Bahkan hanya dengan beberapa tetes saja akan membuatnya terasa lebih enak, lho?”

“Tunggu, Alya !? Menurutku lebih baik kalau kamu berhenti sekarang, oke !? ”

Terlepas dari peringatan Masachika, Alya membuka tutup toples dan dengan sendok kecil, dia mengambil cairan merah cerah dari dalam. Dia kemudian menebarkannya di atas ramennya. Dan….

“~~~~~ !?”

Beberapa detik kemudian, jeritan hening Alisa bergema memenuhi seisi warung ramen.

 

 

<<Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

________________________________________

1.    Awalnya "å½¼ ã‚· ャ ツ" dibaca sebagai "Kare Shatsu" bisa disalahartikan sebagai "Kaos Pacar" atau "Kaosnya". Namun pada kenyataannya memiliki arti lain:Istilah (kare syatsu) digunakan untuk menggambarkan cara cewek yang berpacaran dan cewek dalam suatu hubungan mengenakan kaos cowok. Kata tersebut sering digunakan untuk menggambarkan cara seorang wanita mengenakan kaos besar dengan sedikit ekstra panjang dan lebar, yang dianggap menggemaskan. Kata itu juga digunakan untuk menggambarkan seorang pria yang memakai sweter. ”

Dan arti sebenarnya yang dimaksud Yuki sebagai "Kaos Pacar / Kare Shatsu" adalah bagian "wanita yang memakai kaos kebesaran". Bagaimana orang-orang di sekitar mereka memahami kata "Kare shatsu" masih diperdebatkan, tapi, ya ... Perkataan Yuki emang bikin orang terkejut.

2. JP asli “枯 ã‚Œ ã‚· ャ ツ Juga dibaca sebagai “kare shatsu”. Sama seperti “Kaos Pacar” dibaca sebagai “kare shatsu”. tapi berbeda Kanji dan ekstra hiragana. dalam hal ini yang dimaksud dengan Baju Dewasa/Baju Kering. Kanji “枯 sendiri artinya layu, mati, kering, dibumbui. Sekali lagi, cuma kesalahpahaman dari sisi Alisa.

close

2 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Awokawokawok salah paham yg menarik

    BalasHapus
  2. Entahlah men, di chapter yg ada, blm ngejelasin rambut dari kakaknya alya, ralat kalo salah O.O

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama