Chapter 1
Pindahan
itu ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan.
Aku pindah ke rumah orangtuaku sekarang ini saat masih di TK, jadi ini adalah pindahan kedua
dalam hidupku. Namun, berbeda dengan pindahan pertama yang dilakukan hampir
tanpa barang, kali ini aku harus mengemas sendiri dan membuka barang-barang di
rumah baru. Meskipun jumlah barangnya tidak banyak, pekerjaan ini cukup
melelahkan. Aku menyesal tidak memilih paket yang membuat orang dari perusahaan
pindahan yang melakukan pengemasan dan pembukaan barang untuk menghemat biaya
pindahan.
Hari
kedua setelah pindahan, di
suatu hari di bulan April menjelang tahun ajaran baru, aku akhirnya berhasil mengosongkan kotak kardus
terakhirku.
“Akhirnya
selesai juga…!”
“Eh,
Ryuuto hebat!”
Luna yang
sedang mengutak-atik perabotan
dapur yang sudah terpasang, berhenti
sejenak dan melihatku dengan wajah terkejut.
“Jadi,
semuanya sudah selesai!?”
“Ya,
seharusnya begitu. Capek banget…”
Berkat
orangtuaku yang berpesan supaya aku hanya
membawa barang yang diperlukan saja, barang-barang yang
kubawa cukup sedikit, tetapi tetap saja jumlahnya melebihi
sepuluh kotak kardus. Baru pertama
kalinya aku menyadari bahwa aku membutuhkan begitu banyak barang untuk kehidupanku.
Barang-barang
Luna lebih banyak dariku, dan sepertinya dia juga memperhatikan tempat
penyimpanan, jadi dia masih memiliki sekitar lima kotak kardus yang tersisa.
“Aku
bantu ya."
“Terima
kasih. Tapi, aku mungkin tidak bisa menyimpannya
lebih banyaj lagi. Tidak ada tempat untuk menyimpan barang…”
“Kalau
begitu, ayo besok beli tempat penyimpanan? Mumpung besok adalah hari libur
terakhir. Kita juga harus membeli tempat tidur.”
“Benar
juga. Mari kita lakukan itu.”
Luna
mengambil cuti kerja selama tiga hari dari
pekerjaan paruh waktunya untuk pindahan. Mengenai sekolahnya, sama seperti kampusku, masih dalam libur musim semi
hingga besok.
Karena
aku tidak mengukur ukuran pintu kamar dengan baik saat melihat-lihat, aku tidak
bisa membeli furnitur sebelum pindahan, dan itu sangat menyakitkan. Saat itu,
aku tidak terlalu memikirkan hal itu.
Setelah
menentukan kamar, ada banyak
hal yang harus dilakukan, seperti mengatur perusahaan pindahan dan mengemas
barang. Meskipun aku sedang dibur kuliah, tapi aku tetap masuk kerja paruh waktu. Jadi waktu sebulan
berlalu dengan cepat.
“Kalau
begitu, gimana kalau kita tidur sekarang?”
“Ya,
ayo!”
Supaya
bisa segera tidur saat kelelahan, jadi kami sudah mandi setelah makan malam dan
bersiap-siap tidur sebelum melanjutkan pekerjaan.
“Ah,
malam ini kita tidur di mana? Aku sudah menyimpan
baju-bajuku.”
“Hmmm…”
Bukan
hanya tempat tidur, bahkan tidak ada satu pun perlengkapan tidur, jadi kemarin
aku tidur di atas tumpukan pakaian di lantai. Hari ini, pekerjaan berjalan
lebih lancar dari perkiraanku,
jadi aku bisa langsung menyelesaikannya.
Mungkin seharusnya aku membeli sofa terlebih dahulu.
Dalam
keadaan pasrah, aku berbaring di sudut kamar.
Ada bantal yang bisa dipakai sebagai tumpuan,
tapi rasa keras dari lantai kayu terasa menyakitkan di punggungku.
“Eh,
seriusan? Mau tidur
di situ? Aku harus bagaimana ya?”
Sembari
tertawa, aku berkata kepada Luna
yang setengah serius bingung bergerak ke sana kemari.
“…Mau
tidur di atasku?”
Kemudian,
Luna tertawa “Eh~~” dan mendekat ke arahku.
“Kalau
begitu, enggak apa-apa deh.”
Luna
dengan main-main mengangkangi tubuhku sementara aku berbaring telentang. Hanya
itu saja sudah membuatku merasa bersemangat, dan aku sendiri merasa gelisah.
“Ryuuto♡”
Luna
menindih tubuhku, melingkarkan lengannya
di leherku, dan membisikkan sesuatu di
dekat telingaku.
“…Hari
ini kita bisa melakukannya?”
Jantungku
berdegup kencang karena dipenuhi harapan dan kegembiraan, aku lalu membalad dengan
mengangguk kecil.
“Ya,
aku baru saja menemukannya tadi.”
Semalam,
ada terlalu banyak kotak kardus yang belum dibuka, dan aku tidak tahu di mana
kondom berada. Karena terlalu kelelahan,
aku terpaksa menyerah dengan sedih.
“Ryuuto…♡”
Aku bisa merasakan napas hangat Luna di
leherku. Dengan semangat yang menggairahkan, aku memeluk tubuh Luna dengan
sepenuh hati.
◇◇◇◇
Setelah kami saling bercumbu, aku membaringkan Luna dengan
lenganku sebagai
bantal di lantai kayu yang keras.
Ruang
tamu masih berantakan dengan barang-barang yang belum teratur dan kotak kardus Luna,
dan kami berbaring di kamar yang seharusnya menjadi kamar tidur, melihat
pemandangan dari pintu yang terbuka.
“Besok,
kita akan pergi kemana buat
membeli furniturnya?”
Saat aku
bertanya, Luna menoleh ke arahku.
“Ah!
Aku ingin mencoba pergi ke IKEA! Furnitur Hokuo terlihat stylish dan aku lumayan mengidamkannya!”
“Kamu
belum pernah pergi ke sana?”
“Belum.
Soalnya, terakhir kali aku pernah melakukan itu
saat kelas lima SD, tau?
Aku tidak perlu membeli furnitur sendiri. Hanya membeli lemari yang aku temukan di internet.”
Itu pasti
lemari yang ada di rumah orangtuanya. Karena dia sampai membawanya ke rumah ini, pasti
itu kesukaannya.
“Kamu
sudah pernah ke sana, Ryuuto?”
“Ya.
Aku bertemu Sekiya-san saat liburan
musim panas tahun kedua kuliah... Eh, bukannya aku sudah pernah menceritakan itu ya?”
“Eh?
Benarkah? Aku memang pernah mendengar kamu bertemu
dengannya…”
“Ah!”
Saat
menyebut Sekiya-san.... aku tidak bisa menahan diri
untuk bersuara keras.
“Ada
apa?”
“…Oh,
kalau diingat-ingat, Sekiya-san menghubungiku setelah tahun
baru dan bilang, 'Kalau ada waktu saat libur musim semi, beri tahu ya'…
tapi karena sibuk pindahan, aku jadi melupakannya…”
Libur
musim semi sudah berakhir.
“Maaf,
aku mau kirim LINE ke Sekiya-san dulu.”
Setelah kembali mengingatnya, aku
tidak bisa menunggu lagi, jadi aku mengambil ponsel yang tergeletak di dekatku
dan mengirim pesan permohonan maaf.
Pesan itu
segera dibaca, dan balasan pun datang.
Sekita Shugo
[Tidak
masalah kok, toh musim semi ini aku tidak pulang.
Sampai jumpa lagi di libur
musim panas ya]
“…Syukurlah.”
Apa itu
baik?
“Jadi ia
tidak pulang, ya. Apa kuliah di fakultas kedokteran begitu sibuknya? Sepertinya sulit.”
Saat aku
memiringkan ponsel agar Luna bisa melihat layarnya, dia berkata dengan wajah “Ugee”.
“Ya,
benar…”
Tentu
saja, mungkin dia sibuk belajar.
Sebenarnya,
bagi Sekiya-san,
rumah orangtuanya mungkin bukan tempat yang ingin ia kunjungi. Jika tidak ada
urusan untuk bertemu teman, mungkin ia merasa tidak
perlu kembali.
Itulah
sebabnya, ia mungkin
menghubungiku sebelumnya.
“…………”
Selama liburan musim panas, aku bertekad untuk
tidak lupa menghubungi Sekiya-san lagi kali ini.
“…Tapi,
syukurlah kalau kamu pergi bersama
Sekiya-san!”
Aku
menatapnya saat mendengar komentar Luna. Karena dia menyandarkan
kepalanya di lenganku, wajah kami begitu dekat hingga
sulit untuk fokus.
“Eh?”
“Kupikir
aku akan merasa tidak nyaman jika kamu pergi ke IKEA dengan gadis lain.”
“Kamu
tahu aku tidak akan melakukan itu,
‘kan?”
Aku tidak
bisa menahan tawa, tetapi merasa senang dan nyaman ketika Luna merasa sedikit
cemburu.
“Siapa
yang tahu? Mungkin kamu lagi bersama gadis di
seminar universitas?”
“Seminar macam apa yang membuat semua orang
pergi melihat furnitur!”
“Ma kutahu! Karena itu dunia yang belum aku kenal.”
Luna
mengerucutkan bibirnya sedikit, tampak manja.
“Makanya,
aku merasa sangat senang bisa berbagi waktu
di tempat yang sama setiap hari seperti ini…”
Luna
mendekat seolah ingin menyelubungi wajahnya di sampingku. Napas hangatnya
membuatku merasa bahagia dan geli.
“Luna…”
Sama
seperti saat aku merasa minder
dan cemas terhadap Luna, yang
telah memasuki dunia kerja sebelum aku dan berkembang di dunia yang tidak aku
kenal.
Namun,
aku menyadari bahwa Luna juga merasa cemas karena aku berada di dunia yang
tidak dia kenal, dan itu membuat hatiku menghangat.
“…Aku
juga merasakan hal yang sama.”
Aku dengan
lembut menekuk lenganku dan memeluk kepala Luna dengan
kedua tanganku.
“Ryuuto…”
Luna juga
melingkarkan lengannya di
tubuhku.
“Aku
senang… Bahkan di saat-saat aku kesepian… Ryuuto mengisi seluruh ruang dalam hidupku…”
Luna berkata demikian sambil memelukku
erat dan kemudian sedikit menjauh, menatapku dengan tatapan menginginkan.
“Sekarang,
aku masih bisa merasakan sentuhan Ryuuto di tubuhku, dan itu membuatku
berdebar-debar♡”
Dengan
senyum malu-malu, dia kembali memelukku seolah menyembunyikan rasa malunya.
“Ah,
ya ampun!”
Aku
mengangkat suara menyerah dan memeluk Luna dengan erat.
“Jangan
bilang begitu terus! Nanti
aku jadi ingin melakukannya lagi, ‘kan.”
Aku merasa senang
sih, tapi aku jadi merasa terangsang
lagi. Menjadi muda itu sulit.
“Eh,
boleh aja kok~♡ Mau lanjut
ronde selanjutnya?”
Senyum
nakal Luna sangat menggemaskan, dan aku benar-benar merasa bisa melakukannya
berulang kali.
“Besok
kamu mungkin tidak bisa bangun dan tidak bisa
pergi ke IKEA, lho?”
“Kalau itu
sih enggak mau! Aku mau tidur!”
Luna
buru-buru berbaring telentang dan kembali meletakkan kepala di lenganku.
◇◇◇◇
Karena
berhasil menahan diri, keesokan harinya kami bisa pergi
berbelanja sesuai rencana.
“Ah,
badanku sakit…”
Luna berkata
demikian saat kamu sedang
melihat barang-barang kecil di lantai satu.
“Di
sebelah mana? Apa kamu baik-baik saja?”
Ketika
aku bertanya, wajah Luna sedikit malu.
“Di
bagian tulang belakang dan bagian pinggang? …Di tempat yang tertekan di lantai.”
Kemudian,
aku menyadari kalau itu mungkin
karena aktivitas yang kami lakukan di lantai kemarin malam.
“Ah,
maaf… Mungkin kalau aku yang di bawah… itu lebih baik, ya…?”
Aku
merasa malu dan berkata dengan gugup.
“Ah,
mungkin itu juga.”
Luna
menjawab dengan suara pelan juga,
melihat sekeliling seolah khawatir ada orang lain yang mendengar.
Kami
berada di area peralatan dapur, di sekitar kami ada rak yang penuh dengan alat
masak seperti talenan, piring, dan peralatan makan. Mungkin karena libur musim
semi, jadi ada banyak orang di sini.
“…Entah
kenapa, aku masih tidak terbiasa dengan percakapan
seperti ini dan itu membuatku malu.”
Luna yang tersenyum sambil menatapku dengan tatapan
menengadah membuatku ikutan merasa
malu juga, sehingga aku hanya bisa mengangguk dengan tersipu.
Kemudian,
Luna mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik.
“Aku
tidak sabar menunggu tempat tidur datang deh♡”
“…………”
Aku
merasa malu dan mungkin wajahku memerah.
Tadi di
area perlengkapan tidur di lantai dua, aku sudah melihat tempat tidur yang
ingin dibeli.
“Ah,
ini lucu banget~!”
Luna
mengambil sebuah mug. Mug berwarna pink gelap dengan garis halus di bagian
bibirnya.
“Warna pink
pudar ini kelihatan lucu♡ Aku mau beli ini deh!”
Ngomong-ngomong…
Aku
teringat bahwa di rumah kakak Luna, Kitty-san,
ada banyak mug pasangan yang ditata. Meskipun klise, rasanya menyenangkan bisa
tinggal bersama. Saat
aku berpikir seperti itu, Luna mengambil mug yang sama satu lagi dan tersenyum
padaku.
“Mau
beli satu lagi? Seperti di rumah Onee-chan?”
Kebahagiaan
karena pemikiran yang serasi membuatku tidak bisa menahan tawa.
“Aku
juga baru saja memikirkan hal yang sama.”
“Serius?
Kalau begitu, ayo kita beli~♡”
Luna
memasukkan mug kedua ke dalam keranjang.
“Terus,
kita mau beli apa lagi? Kita butuh mangkuk! Dan juga piring…”
Luna
melangkah ke area peralatan makan yang lebih dalam. Sambil mendorong keranjang
yang agak besar, aku mengikutinya.
“Ini
dan ini…! Wah, semua mau beli dua yang sama!”
Seolah-olah
masuk ke mode belanja gila, Luna terus memasukkan peralatan makan ke dalam keranjang.
“Lagipula,
itu memang diperlukan, kan?”
“Eh,
tapi sepertinya lebih praktis kalau beli satu dari berbagai jenis piring, bisa
digunakan sesuai dengan makanan yang disajikan,
‘kan?”
“Begitu
ya?”
“Piring
dalam untuk makanan berkuah atau tebal, piring datar untuk yang tidak terlalu
banyak kuah, dan sebagainya.”
“Uhmm?
Jadi kita beli dua dari berbagai jenis?”
“Bukannya
itu terlalu boros? Lagipula, bukan hanya peralatan makan yang kita beli.”
“Ya,
iya juga sih...”
Meskipun
begitu, aku merasa perlu membeli apa yang diperlukan, lalu Luna berbalik
menghadapku, dengan ekspresi sedikit tegang, dan berkata, “Ngomong-ngomong…”
“Masalah uang
tuh, pada dasarnya, sepertinya bisa
dibagi dua, kan?”
“Eh?
Ya…”
Aku
mengangguk dengan sedikit terkejut, dan Luna terlihat lega.
“Syukurlah!
Terima kasih!”
“Eh?”
Aku
berpikir seharusnya itu kalimatku, tetapi Luna tersenyum sambil mendongak.
“Mungkin
orang berpikir aku lebih mapan karena sudah lama bekerja… tapi setelah mulai
kerja paruh waktu, aku juga harus membayar biaya kuliah, dan tabunganku terus
berkurang, jadi sebenarnya aku tidak punya banyak uang di rekeningku…”
Setelah mendengar
itu, aku merasa bersalah.
“Tidak,
aku sama sekali tidak berpikir untuk meminta lebih, jadi tidak apa-apa.”
Sebenarnya,
aku ingin membayar lebih dan menunjukkan sisi maskulin, tetapi tidak bisa
melakukannya membuatku kesal.
“…Begitu?
Kalau begitu tidak apa-apa… maaf ya.”
Luna
tersenyum pahit dan meminta maaf lagi.
“…Rasanya
canggung, ya, membahas hal-hal seperti ini.”
“Tapi, demi hidup bersama, pembicaraan yang
realistis juga penting.”
“Uh,
aku agak kurang nyaman. Aku ingin menyerahkan pengelolaan uang padamu, Ryuuto.”
“Kamu yakin?
Uang Luna bisa saja aku habiskan semua,
lho?”
Saat aku
bercanda, Luna tampak panik dan menggenggamku.
“Ah,
tidak boleh! Aku ingin kamu menyimpannya di tabungan
atau semacamnya!”
“Eh,
jangan berisik di area peralatan makan!”
“Habisnya,
Ryuuto bilang begitu sih!”
“Aku
hanya bercanda!”
Ketika
aku menahan kedua bahunya, kenangan hangat kulit kami semalam membuatku
berdebar-debar.
Percakapan
yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Jarak
yang lebih dekat dari sebelumnya.
Hatiku kembali
menghangat lagi saat memikirkan bahwa kita akan hidup bersama seperti ini.
◇◇◇◇
Setelah
berbelanja dalam jumlah banyak, kami akhirnya
pulang saat hari mulai gelap dan aku merasa sangat
lelah.
Tempat
tidur double yang dibeli tentu saja akan diantarkan, tetapi matrasnya dibawa
pulang dengan menyewa mobil box melalui layanan
rental. Dengan mobil yang tidak biasa dan jalan yang
tidak familiar, aku mengikuti petunjuk GPS, jadi mungkin itu juga yang
membuatku lelah.
Tapi,
setidaknya sekarang aku bisa tidur di atas matras.
“Hehe.”
Sebelum
tidur, Luna yang sedang merapikan barang-barang kecil yang dibeli di dapur
tertawa sendiri.
“Rasanya
benar-benar seperti di rumah Onee-chan.”
Menatap
lemari gantung yang dibukanya sendiri
dari ruang tamu, Luna melihat
cangkir dan piring yang serasi berjejer di sana, tampak sedikit malu.
Rasa geli
muncul saat aku berpikir bahwa pemandangan kamar tinggal Kitty-san yang indah ini terulang di rumah
baruku.
“Oh iya,
ngomong-ngomong tentang Onee-chan!”
Luna tiba-tiba
bersuara.
“Lihat
ini! Tadi ini dikirim
saat Ryuuto mandi!”
Sambil
berkata demikian, Luna mengambil ponselnya dan mendekat ke arahku yang sedang
berdiri menyikat gigi di ruang tamu.
“Ini
foto-foto pernikahan! Keren banget, kan?”
Di layar
yang ditunjukkan, ada sosok kakaknya dan Raion-san.
Mereka
mengenakan gaun pengantin dan tuxedo, saling berpegangan
tangan dan menatap mata satu sama lain.
Gaun panjang kakaknya terlihat menyebar di tanah, foto yang sangat sesuai
dengan temanya.
“Bagus sekali. Apa mereka mengadakan upcara pernikahan?”
Aku bertanya
begitu sambil berpikir bahwa rasanya aneh jika Luna tidak diundang,
dan Luna menggelengkan kepala.
“Tidak.
Setelah mengambil foto ini, katanya mereka berkumpul dengan sekitar
sepuluh teman dan menyantap
masakan Cina di restoran paman Rai-kun.
Itu saja. Dalam acara itu, Rai-kun
menyanyikan lagu yang ia buat untuk Onee-chan
di depan semua orang, dan katanya suasananya sangat
meriah.”
Panggilan
Luna untuk Raion-san
tiba-tiba berubah dari “Hanada-san” menjadi “Rai-kun”. Mungkin itu karena dia merasa
lebih dekatnya sebagai
keluarga.
“Pamannya bilang, 'Mereka sudah seperti
pernikahan anaknya,'
jadi dia mentrakhir semua
orang dan memberi mereka hadiah. Beberapa teman juga memberi mereka hadiah,
jadi katanya mereka mendapatkan keuntungan. Onee-chan
dan Rai-kun bahkan membeli cincin pernikahan
di 3COINS karena tidak punya uang, jadi itu sangat membantu.”
“Terus kalau
foto pernikahan ini? Aku yakin
itu pasti menghabiskan banyak uang.”
“Kalau
mengenai itu, katanya salah satu teman
Onee-chan semasa sekolah kejuruan ada yang menjadi fotografer profesional, jadi
dia memotretnya secara gratis sebagai hadiah perayaan.”
“Eh, jadi
begitu ya?”
“Gaun
pengantin dan tuxedo dibeli dengan harga murah di Shein, dan Onee-chan bisa merias rambutnya sendiri.
Teman fotografernya hanya dijamukan makan siang sebagai ucapan terima kasih,
jadi total biayanya tidak
sampai tiga puluh ribu yen!”
“Wah…
luar biasa.”
Bila
dipikir-pikir seperti itu, kepercayaan umum di masyarakat bahwa ‘orang tidak bisa menikah karena
tidak punya uang’ mungkin
tidak benar.
Meskipun
harus menghadapi banyak kesulitan dan berjuang, Kitty-san
dan Raion-san yang telah menemukan orang yang ingin mereka
jalani hidup bersama adalah sepasang suami istri
yang bahagia meskipun tidak memiliki uang.
“Itu
juga merupakan kebajikan dari keduanya.”
“Benar banget! Kalau
orang-orang pada umumnya pasti tidak punya, teman yang fotografer dan paman yang
menjalankan restoran Cina!”
Saat kami
berbicara seperti itu, mulutku mulai dipenuhi busa, jadi aku pergi ke wastafel
untuk berkumur.
Setelah aku kembali, Luna masih melihat
layar foto pernikahan kakaknya.
“Onee-chan
terlihat sangat Bahagia sekali.
Bagusnya…”
Dia bergumam sambil menyipitkan matanya ke layar.
“Orang yang
ada di dalam foto ini pastinya sudah menjadi 'Hanada Kitty'...”
Setelah
mengatakannya dengan perasaan yang mendalam,
Luna tiba-tiba menatapku.
“Lagian,
bukankah nama Hanada Kitty tuh kedengarannya
sangat berkilau, ya? Lebih tepatnya, itu sangat
mencolok, ‘kan?”
“Shirakawa
Kitty juga tidak kalah mencoloknya.”
“Memang!
Aku sudah terbiasa!”
Luna
tertawa dan tiba-tiba menatap jauh.
“…Entah kenapa, belakangan
ini banyak yang menginginkan
tentang nama keluarga pasangan suami-istri punya nama keluarga yang berbeda-beda,
tapi aku tetap mengaguminya, lho, bisa memiliki nama keluarga yang sama dengan orang
yang aku cintai…”
“…Jadi, Luna, kamu lebih
memilih untuk mengganti nama keluargamu?”
“Ya!”
Luna
mengangguk dengan senyuman polos.
“Begitu ya… terima kasih, Luna.”
Tanpa
disadari, wajahku secara otomatis tersenyum dengan perasaan senang sekaligus malu.
Meskipun
aku tidak memiliki keinginan kuat untuk mengganti namaku, dalam situasi di mana
pilihan nama keluarga terpisah sedang dibahas, aku merasa lega bisa
mengonfirmasi keinginan Luna.
“Aku
sempat berpikir, menjadi 'Shirakawa Ryuuto' juga kedengarannya
lumayan keren.”
“Kedengarannya
kuat dalam shogi!”
“Seperti
Shirakawa Hachidan, ya?”
“Itu
dia!”
Aku mulai
bisa mengikuti aliran pembicaraan Luna
yang seolah hanya berbicara dengan otak kanannya.
“Kashima Luna…ya.”
Pipinya
memerah dan dia bergumam pelan. Tiba-tiba, dia mengangkat wajahnya dan
menatapku.
“Eh
tunggu, apa aku bisa menulisnya dengan benar enggak ya?
Aku harus menulisnya di dokumen
atau di rumah sakit juga, ‘kan?”
“Tidak, pastinya kamu bisa menulisnya, ‘kan?”
Aku
tertawa sambil menjawab. Aku mengingat kalau aku mulai
bisa menulis namaku selain “Ryuu” sejak kelas 3 sekolah dasar.
Namun, Luna
tampak gelisah sambil melihat sekeliling.
“Loh?
Apa alat tulisnya masih di dalam kardus?”
“Ah,
aku punya.”
Aku
mengambil pensil mekanik dari mejaku yang diletakkan di sudut ruang tamu dan
memberikannya kepada Luna.
“Ini.”
“Terima
kasih!”
Setelah
berkata demikian, Luna menatapku dan tertawa “fufu”.
“…Rasanya sama seperti saat kita pertama kali bertemu, ya.”
Dia
mengatakannya dengan ekspresi malu-malu.
“…Iy-Iya, benar.”
Ketika
mengingat momen itu, aku merasa seolah-olah Luna
di hadapanku berubah kembali menjadi “Shirakawa-san” dalam sekejap, dan aku jadi
gugup.
Kashima
Ryuuto yang berusia enam belas tahun. Kamu
akan tinggal bersama Shirakawa-san dalam lima tahun ke depan.
Aku
dengan lembut menceritakan kepada diriku yang lebih muda hal-hal yang akan
membuatnya terkejut dan pingsan jika aku
mendengarnya di waktu itu.
“Ah,
tapi aku tidak punya kertas untuk menulis!”
Sambil
memegang pensil mekanik di tangan, Luna kembali melihat
sekeliling dan bersuara.
“Ya sudah
deh, aku akan menulis di kardus ini saja!”
Dia
berkata demikian dan mendekati kardus yang ditumpuk di sudut ruangan, lalu
menulis di tutup kardus paling atas. Tingginya kira-kira setinggi meja bank,
jadi sepertinya mudah untuk menulis.
“Sudah
jadi♡”
Luna
mengangkat wajahnya dengan puas dan menatapku.
“Syukurlah aku bisa menulisnya! Rasanya menyenangkan! Lihat deh~ lihat deh~♡”
Luna
memanggilku, dan aku mendekat untuk melihat tutup kardus tersebut.
Kashima Luna
Di tempat
yang dihindari oleh selotip, empat huruf itu tertulis dengan tulisan bulat khas
Luna.
“Ternyata menulis
di kardus dengan pensil mekanik itu sulit ya!
Aku menusuknya sampai tembus.”
Meskipun
dia mengatakannya sambil tertawa “ahaha”, tapi Luna terus menatap tulisan itu dengan
puas.
Ketika aku
melihat nama yang asing itu, hatiku mulai menghangat karena aku membayangkan
masa depan Luna yang mungkin tidak terlalu jauh.
“Kurasa aku
mungkin akan memotong ini dan
menyimpannya.”
Luna tertawa
dengan nada setengah bercanda, setengah serius, dan aku bingung
menjawab, “Eh?”
“Kenapa
tidak perlu melakukan itu, ‘kan?”
“Eh—!
Kenapa!?"
“…Habisnya, mulai sekarang… kamu mungkin akan menulis nama itu berkali-kali.”
Setelah mendengar
jawabanku, ekspresi Luna yang awalnya kecewa seketika
berubah.
“Ryuuto…”
Dengan
pipi yang memerah, Luna bergumam demikian.
“…Begitu. Iya, benar juga.”
Kemudian,
dia menurunkan pandanganya ke arah
kardus itu lagi dan tertawa geli.
“Eh,
rasanya canggung banget saat membuang kotak ini! Ada begitu banyak nama yang
tertulis di sana! Lagipula masih ada nama Kaku!”
Jadi, bagaimana kalau itu mulai digunakan sebagai nama aslimu?
Canda deh.
Jika aku
pria yang populer, mungkin aku
bisa dengan santai mengatakannya. Aku
merasa sedikit khawatir karena belum membahas kemungkinan bekerja di luar
negeri, tapi sepertinya sekarang bukan
saatnya.
Di bulan
Mei, aku akan melakukan praktik mengajar di program pendidikan. Mungkin di sana
aku akan merasa ingin menjadi guru.
Dengan
masa depan yang tidak pasti, aku tidak tega
membuat Luna merasa gundah.
“…Ryuuto?”
Luna
memanggilku, dan aku pun tersadar.
“Kamu kenapa?”
“Ah…
ya, aku sedang memikirkan tentang
jalur karierku.”
“Ah,
benar juga. Kamu
pasti merasa
khawatir apakah semuanya akan berjalan lancar.”
Tiba-tiba,
ekspresi Luna menjadi penuh perhatian.
“Apa masuk ke dalam perusahaan
penerbitan saat ini sulit? Sama seperti
aku, apa kamu tidak bisa langsung jadi karyawan
tetap dari masa pekerja paruh
waktu?”
“Hmm…
Yah, bagaimana ya. Karena
itu perusahaan besar, jadi tidak banyak berhubungan dengan HRD, ditambah ada banyak pelamar juga.”
Seperti
yang dikatakan Fujinami-san, sepertinya bekerja paruh waktu tidak menjamin
keuntungan dalam mencari pekerjaan.
“Begitu
ya. Maria juga pernah bilang begitu…”
Luna yang
awalnya terlihat serius, kini kembali dengan ekspresi ceria dan berkata,
“Tapi,
tidak apa-apa! Jika aku bisa menjadi pengasuh, aku akan menghidupi Ryuuto ketika kamu masih mencari pekerjaan!”
“Luna…”
Perasaan kasih sayang membuncah dalam diriku, dan
tanpa sadar aku memeluk tubuh Luna.
Saat itu,
aroma segar dari Luna yang baru saja mandi dan sentuhan lembut dari pakaiannya
membuatku merasakan panas di dalam tubuh.
“…Bagaimana kalau kita pergi
ke kamar tidur?”
Luna yang
ada di pelukanku berkata dengan suara lembut.
“Setuju.”
Kami
bergandeng tangan dan pindah ke kamar tidur. Di sana hanya ada kasur tebal yang
diletakkan.
“Apa dengan
begini, kira-kira tubuh kita tidak terasa sakit lagi enggak, ya?”
Luna
tertawa sambil duduk di atas kasur.
“Aku
berharap kalau tempat tidurnya
segera datang."
“Tempat
tidurnya akan tiba dalam dua hari, jadi
kita hanya perlu bersabar sedikit lagi.”
“Iya!”
Setelah
tertawa bersama, aku berlutut di atas matras
kasur dan membenamkan
wajahku di leher Luna yang wangi. (TN:
Yup, mereka lagi bercocok tanam)
◇◇◇◇
"Ryuuto,
belakangan ini kamu jadi sangat agresif,
ya.”
Luna
mengatakan hal itu saat kami sedang berbaring di atas matras kasur setelah
menyelesaikan mandi kedua
hari ini.
Luna
meletakkan kepalanya di lengan kiriku dan mendekat ke arahku.
“Masa…
Masa? Kamu
tidak suka?”
Saat aku
bertanya balik dengan
panik, Luna menggelengkan kepala dan menatapku dengan tatapan manja dari jarak
dekat.
“…Hal-hal seperti itu membuat jantungku cenat-cenut~♡”
Perkataannya
membuat jantungku berdebar karena kegembiraan, dan Luna tersenyum lembut.
“Sungguh
melegakan saat mengetahui
bahwa bukan cuma aku satu-satunya yang ingin mendekat terus denganmu.”
Dia
berkata demikian sambil mengusap-usapkan wajahnya yang sudah mulai
terbiasa tanpa riasan
ke sampingku.
“Luna…”
Jika dia
terlalu manja, aku jadi ingin melakukannya lagi, dan itu
membuatku kerepotan.
Suara
napas Luna mulai berubah menjadi ritme dengkuran tidur.
“…………”
Entah kenapa
rasanya menyenangkan dan
sedikit disayangkan, tetapi juga membuat hatiku
terasa puas, perasaan yang aneh dan
menenangkan datang menghampiriku.
“…Hup.”
Aku
bergerak sedikit agar
lengan kiriku tidak terlalu banyak bergerak, dan perlahan menarik selimut yang
dibeli bersamaan dengan matras hingga ke dada Luna.
Pada saat
itu, aku melihat layar smartphone yang diletakkan
di dekat wajah Luna menyala.
Nikoru:
Luna, boleh aku meneleponmu
sekarang?
Pesan
pop-up seperti itu muncul.
“…………”
Setelah
kembali ke posisi semula, aku merasa ragu
sejenak apakah aku harus
membangunkan Luna. Dia sudah lumayan
khawatir karena tidak
mendapatkan pesan dari Yamana-san.
“Mmm~….”
Namun, ketika aku melihatnya tidur dengan nyenyak
di pelukanku, aku tidak ingin mengganggu tidurnya.
Aku tidak
ingin waktu bahagia yang akhirnya kami dapatkan ini terganggu oleh siapa
pun.
Jika itu
Yamana-san, dia pasti
akan mengerti.
Sambil berpikir
demikian, aku memutuskan untuk mengabaikan notifikasi itu dan memilih untuk
tidur juga.
“Mm…”
Luna
mengeluarkan suara lembut yang menggoda, hampir seperti mengigau.
Perasaan
ingin mengganggu dan keinginan untuk melindungi tidur nyenyaknya saling
menyerangku. Dalam keadaan seperti itu, aku dengan lembut menyisir sehelai
rambut yang jatuh di pipinya ke belakang telinga. Setelah itu, aku mengelus
seluruh rambutnya dengan lembut.
“…………”
Sebelum
kami menjadi satu, Luna
sempat khawatir tentang ‘masalah
pria yang memperlakukan wanita yang pernah ditidurinya dengan sembarangan’.
Aku
percaya bahwa aku takkan menjadi seperti itu terhadap Luna, tetapi sejujurnya, ada sedikit kekhawatiran.
Ada
kemungkinan saat kami berhubungan badan,
sesuatu yang bersifat hormonal pada laki-laki akan menyebabkan pikiran dan
tubuhku bertindak kasar
dengan sendirinya, terlepas dari keinginanku.
Namun,
kekhawatiran semacam itu ternyata tidak beralasan.
Aku
adalah pria, dan jika hanya berdasarkan naluri kejantanan
saja, sejujurnya, ada banyak wanita di dunia ini
yang bisa kukatakan “aku
bisa menidurinya”.
Tetapi,
aku tahu bahwa hampir tidak ada wanita di luar sana
yang ingin ‘ditiduri’ olehku,
dan jika mereka mengetahui aku
berpikir seperti itu, aku pasti
akan dianggap sangat menjijikkan, jadi aku selama ini menyembunyikan
keinginanku.
Begitu
juga dengan Luna.
Dalam hal
hasrat seksual, aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menunjukkan, dan aku
berencana untuk menunggu momen ketika Luna merasa ingin berhubungan seks denganku. Sekarang
setelah aku
memikirkannya lagi, mungkin karena itu, ada semacam jarak
emosional antara aku dan Luna.
Namun sekarang,
jarak itu sudah hilang.
Karena Luna
telah menerima diriku. Sekarang, aku bisa menunjukkan hasratku yang belum pernah kutunjukkan
kepada orang lain, hanya kepada Luna.
Dia
adalah satu-satunya wanita di dunia ini yang mengizinkanku untuk menerima
seluruh keberadaanku.
Aku ingin
melakukan apapun untuk melindungi orang ini.
Aku
semakin mencintai Luna lebih dari sebelumnya.
Perasaan
ini telah berlanjut sejak hari Natal itu.
Aku meyakini hal yang sama terjadi pada Nisshi, yang terikat menjadi satu dengan Yamana-san pada malam yang sama.
Alasan
kenapa aku berpikiran seperti itu muncul karena tadi aku
melihat pesan dari Yamana-san.
Saat itu,
layar smartphoneku di sudut pandang mulai menyala.
Ketika
aku mengambilnya dengan tangan kanan, terlihat di layar kunci [Yuusuke]. Setelah membuka smartphone-ku, ada pesan masuk di grup LINE yang beranggotakan tiga orang termasuk
Nisshi.
Yuusuke:
[Akhir-akhir
ini, tidak peduli mau
makan apa saja, aku tetap merasa lapar.
Kerja
fisik itu emang beneran gila.
Nisshi, bisa enggak kamu diam-diam menyajikan porsi
yang super besar di tempat kerjamu?]
Nishina
Ren:
[Tempat
kerjaku memasak secara terpusat, jadi cuma ada beberapa hidangan yang seperti
itu.
Tapi
kalau pasta, mungkin bisa.]
Yuusuke:
[Kalau
gitu, pasta saja!]
Nishina
Ren:
[Eh,
kamu seriusan mau datang?]
Yuusuke:
[Ya iyalah.
Aku
pengen pergi sekarang juga!]
Percakapan
berlanjut secara real-time.
Karena
aneh jika hanya membaca tanpa berpartisipasi, jadi aku
pun ikut bergabung dalam percakapan.
Ryuuto:
[Kalau
Icchi pergi, boleh aku ikut datang juga?]
Nishina
Ren:
[Boleh
saja.]
Yuusuke:
[Kasshi juga mau porsi besar yang
ilegal?]
Ryuuto:
[Aku
sih yang legal saja!]
Nishina
Ren
Kalau
gitu, aku akan kasih
tahu jadwal shift-nya, jadi
kalian berdua bisa menentukan kapan datangnya.
Setelah
itu, kami memutuskan hari untuk pergi dengan Icchi, dan percakapan hari itu pun
berakhir.
◇◇◇◇
Tempat
kerja paruh waktu Nisshi adalah restoran keluarga bergaya
Italia. Restoran itu terletak di dekat kampus Universitas Meisei
tempat Nisshi berkuliah,
di kawasan ramai yang banyak dihuni anak muda. Nisshi yang bercita-cita menjadi
pengacara, tidak melakukan pencarian kerja dan terus bekerja sambil mengikuti
kursus persiapan untuk ujian sekolah hukum.
Saat aku
masuk ke dalam restoran bawah tanah pada waktu yang telah ditentukan, Icchi
yang sudah lebih dulu duduk di meja mengangkat tangannya ketika melihatku.
Karena saat itu sudah memasuki waktu
makan malam, jadi suasana di dalam restoran
dipenuhi kelompok pengunjung yang ramai, dan hampir penuh.
“Yo, Kasshi.”
Icchi
yang duduk di meja sofa menyapaku dengan wajah yang terlihat lelah.
“...Tanikita-san,
bagaimana kabarnya
belakangan ini?”
Setelah
menyelesaikan pemesanan, aku bertanya pada Icchi.
Alasan utama kena aku memutuskan untuk
bertemu hari ini adalah karena aku khawatir dengan keadaan Nisshi dan Yamana-san, tetapi aku juga
penasaran dengan situasi pasangan Icchi yang selalu penuh gejolak.
“Rasa mual di pagi harinya sudah mulai sedikit reda,
jadi dia merasa kalau kondisi
tubuhnya sudah lumayan. Tapi, setelah tiga
puluh minggu, tiba-tiba dia bilang ‘aku takut, jadi aku ingin melahirkan dengan anestesi’
dan setelah mencari rumah sakit terdekat yang menyediakan anestesi, biaya
melahirkannya dua kali lipat. Mana
mungkin aku bisa membayarnya, padahal
aku sudah bekerja keras tapi uangnya tidak bisa ditabung sama sekali.”
“Eh,
terus gimana?”
Ketika
aku bertanya, Icchi melanjutkan dengan wajah yang semakin kurus.
“Akari akhirnya menyerah setelah dimarahi
oleh ibu mertua. ‘Aku juga merasakan sakit dan melahirkan dua anak, dan kamu
tidak punya uang, jangan manja,’ katanya. Tidak ada kekuatan untuk
meyakinkan jika aku yang bilang, jadi itu membantu. Sekali-sekali, aku bahkan
mencari cara meminjam uang dari perusahaan
finansial.”
“Be-Begitu
ya…”
Seperti
biasa, cerita yang kudengar dari Icchi selalu luar
biasa. Rasanya seperti realitas kehidupan
orang dewasa, seperti dialog dalam drama.
“Kalau kamu sendiri bagaimana, Kasshi?”
“Hmm,
sebenarnya... aku sudah mulai tinggal bersama Luna.”
Saat aku mengatakannya dengan rasa malu,
Icchi membuka matanya lebar-lebar dan berkata, “Ah!”.
“Oh iya, aku pernah mendengarnya dari Akari! Ketika aku pulang kerja dalam keadaan
lelah, dia bercerita dengan cepat, ‘Aku mendengar dari Lunacchi,’ dan aku
tidak terlalu mendengarkan karena terlalu sibuk. Di mana? Sejak kapan?”
“Di Kota
K... sejak awal April.”
“Begitu ya. Jadi
bagaimana rasanya tinggal bersama? Pasti sulit, kan?”
Icchi
tiba-tiba memberikan tatapan penuh simpati, dan aku merasa panik.
“Eh?
Tidak, sejauh ini kami bersenang-senang.”
“Pada awalnya memang begitu. Wanita tuh lama-kelamaan akan menunjukkan
sifat aslinya, ‘kan?
Tanpa disadari, kamu akan berubah menjadi kacung mereka, jadi berusahalah agar
itu tidak terjadi.”
“Eh!?
Ah... ahaha. Aku akan berusaha.”
Aku
merasa sebaiknya tidak mendalami lebih jauh, jadi aku tertawa untuk mengalihkan
perhatian.
“Kalau
dia hamil, kamu benar-benar akan dipaksa bekerja keras. Bersiaplah. Dia akan
bilang punggungnya sakit dan memintamu memijatnya sepanjang malam, dan akan
mengomel, ‘Bukan di sebelah situ!
Jangan tidur! Kamu pikir siapa yang membuat tubuh ini hamil!’” (TN:
Poor Icchi :v)
“Ahaha...”
Dalam
hati, aku berpikir bahwa Luna mungkin tidak akan seperti itu...
Kemudian
pada saat itu, seorang pelayan wanita muda yang membawa
makanan berhenti di depan meja kami.
“Maaf sudah membuat Anda menunggu,
ini ayam panggang dan nasi, serta spaghetti tomat dan bacon.”
Aku
memesan ayam dan nasi, sementara Icchi memesan spaghetti, masing-masing mengangkat
tangan kecil.
Ketika aku makan di luar bersama Luna, kami
biasanya memesan salad dan berbagi sedikit-sedikit, tetapi hari ini kami
masing-masing hanya memesan makanan yang kami inginkan.
Aku
menjilati bibirku dalam hati melihat ayam di atas piring di depanku.
“Eh?”
Pelayan
wanita muda yang meletakkan piring di depan Icchi berkata sambil memiringkan kepalanya.
“Kok spaghetti ini sepertinya terlalu
banyak, ya? Apa ingin kami buat ulang?”
“Eh,
tidak...”
Ketika
Icchi panik, pelayan itu tersenyum lebar dan memberi kami kedipan mata.
“Cuma bercanda kok, aku sudah mendengarnya dari Nishina-senpai!”
Papan nama
di dadanya tertulis “Asako”. Dia adalah gadis kecil
berusia sekitar dua puluh tahun dengan rambut pendek dan mata besar.
“Namaku Asako Wakana, pekerja paruh waktu di sini. Aku selalu berterima kasih kepada
Senpai!”
“Eh...”
“Hah...”
Aku dan
Icchi langsung menjadi canggung dan kikuk.
“Kalian berdua adalah teman Nishina-senpai dari masa SMA, ‘kan? Dulu Senpai tuh orangnya seperti
apa?”
Ketika
ditanya begitu, aku dan Icchi saling bertukar pandang.
“Meski ditanya seperti apa...?”
“Bisa dibilang ia masih sama seperti
sekarang...”
Fashion-nya
jauh lebih buruk, tetapi memang itu saja. Nishina tidak banyak berubah sejak
dulu. Mungkin aku dan Icchi juga sama.
Dulu selera
fashion-nya jauh lebih buruk, tetapi memang itu saja. Nisshi tidak banyak berubah sejak dulu.
Mungkin aku dan Icchi juga sama.
Meskipun
jawaban kami tidak terlalu mengesankan, Asako-san tetap memberikan reaksi penuh
semangat, “Hee~!” Dia
adalah gadis yang ceria dan energik.
“Nishina-senpai tuh
selalu pendiam dan tenang saat bekerja, jadi ia
kelihatan sangat keren! Satu-satunya mahasiswa paruh waktu
yang bisa mengelola dapur sendirian saat waktu makan malam di toko kami hanyalah Senpai. Kemampuan mengaturnya beneran luar biasa, dan ia pintar! Bukannya itu menakjubkan bahwa ia mencoba
menjadi pengacara!?”
“...Iya.”
Karena
Icchi tidak mengatakan apa-apa, aku hanya bisa menjawab seadanya.
Saat itu,
bel pemanggil pelayan berbunyi dari
suatu tempat di dalam restoran, dan Asako-san berkata, “Silakan dinikmati!” sebelum pergi.
“...Anak
paruh waktu tadi, namanya cukup unik
ya.”
Ketika
sudah memakan sekitar tujuh puluh persen spaghetti yang besar, Icchi tiba-tiba
berhenti sejenak dan berkata.
“Iya. Aku
sempat berpikir itu mungkin nama depannya.”
“Aku penasaran apa dia menyukai Nisshi?”
“...Mungkin
saja.”
Aku
merasa lega karena Icchi juga berpikir seperti itu. Sikapnya yang jelas sekali menunjukkan ketertarikan
membuatku yakin bahwa bahkan Icchi yang agak lambat pun bisa menyadarinya.
“Apa Nisshi sudah bilang kalau dia punya
pacar? Kalau belum, mungkin masih ada kesempatan.”
“Aku rasa
Nisshi tidak akan melakukan hal
seburuk itu.”
“Sayang
sekali. Padahal dia cukup imut, jadi seharusnya
dia bisa dijadikan cadangan.”
Setelah
mengatakannya, Icchi kembali melahap spaghetti dengan semangat.
Aku
berpikir bahwa meskipun Icchi mungkin tidak bisa melakukan hal itu, ia memang
selalu berbicara sembarangan sejak masa lajangnya. Meskipun dirinya hampir menjadi seorang ayah,
aku merasa bahwa orang-orang tidak banyak berubah, dan sepertinya aku belajar
sedikit tentang kebenaran hidup.
◇◇◇◇
“Kalau
gitu, aku mau pulang dulu karena besok pagi aku harus
bangun lebih awal. Kasshi, kamu mau bertemu dengan Nisshi?”
“Ya, itulah rencanaku.”
“Begitu ya. Sampai jumpa. Sampaikan salamku untuk Nisshi.”
Setelah
selesai makan, Icchi seperti biasa meninggalkan uang untuk pesanannya di meja
dan pergi.
Aku menghabiskan waktu dengan mengisi ulang minuman di bar
minuman sambil membaca manga di ponselku sampai jam
kerja Nisshi selesai pukul 10 malam.
Ketika
waktu tutup tiba, aku meninggalkan restoran
dan menunggu di jalan, dan tidak lama kemudian, Nisshi pun muncul.
“Terima kasih atas kerja kerasmu.”
“Oh,
terima kasih sudah datang jauh-jauh.”
“Aku
memang ingin sekali datang, jadi senang bisa ke sini.”
Kalau dipikir-pikir lagi, meskipun aku sering bilang akan
datang, ini adalah pertama kalinya aku datang ke tempat kerja Nisshi.
“Karena aku bertugas di bagian dapur, jadi aku tidak bisa bertemu siapa pun
yang datang.”
“Tapi, kamu lah yang memasak makanan
yang kita pesan ‘kan, Nisshi?”
“Lebih
tepatnya, ya. Aku sudah bilang ke gadis
di bagian pelayanan sambil
menunjukkan foto dan bilang, ‘Kalau mereka datang, beri tahu nomor meja mereka.’
Porsi spaghetti-nya besar sekali,
kan?”
“Iya,
benar-benar besar. Ngomong-ngomong, foto kita? Memangnya
kita pernah mengambil foto bersama?”
“Pada
hari wisuda, kita pernah mengambil foto secara spontan, kan?”
“Oh, itu
sudah lama sekali.”
Kami terus
berbincang-bincang sambil berjalan menuju stasiun.
Ketika mengingat
kembali tentang pembicaraan
Nisshi, aku tiba-tiba teringat.
“Gadis di bagian pelayanan yang kamu maksud itu ...
jangan-jangan, Asako-san?”
“Iya,
benar.”
“Sudah kuduga.”
Aku merasa
senang karena aku mengingat nama keluarganya yang unik
“Apa
Asako bilang sesuatu?”
“Dia bilang ‘Kalian berdua adalah teman Nishina-senpai dari masa
SMA, ‘kan?’”
Ketika
aku mengatakannya, Nishina tertawa sambil berkata, “Oh, iya.”
“Dia itu lumayan berisik, ‘kan? Terlalu gaul. Meskipun aku mengabaikannya,
dia terus bicara sendiri tentang hal-hal yang terjadi di kampusnya.”
“Dia
mahasiswa?”
“Dia
tahun pertama di sekolah kejuruan. Dia mulai masuk
saat kelas tiga SMA, meskipun kerjaannya enggakk becus,
dia terus masuk shift karena kekurangan uang.”
“Dia
memuji Nisshi
habis-habisan kepada kita loh.”
Begitu
aku mengatakannya, Nisshi
tertawa kecil untuk menghilangkan rasa malu.
“Dia
bilang begitu karena aku memberinya uang saku.”
Itu
adalah lelucon khas Nisshi yang
sulit dibedakan entah itu
bohonhan atau tidak. Mungkin ia memang
tidak memberikan uang saku.
“...Apa gadis itu tahu kalau kamu sudah punya pacar?”
Saat aku
bertanya, Nishina menatapku dengan tajam sejenak.
“Tentu
saja. Dia bahkan menyanjungku dengan bilang,
‘Aku iri dengan pacarmu!’”
Aku
berpikir bahwa bagi Asako-san, itu
mungkin bukan sekadar pujian.
Seharusnya
mana mungkin Nisshi tidak menyadarinya dengan
banyaknya perhatian yang ditunjukkan,
tetapi karena Nisshi memiliki sifat sedikit
merendahkan diri dan negatif, mungkin ia benar-benar menganggap itu sebagai
pujian kosong belaka.
Atau
mungkin, karena masalah dengan Yamana-san, ia tidak mempunyai waktu memikirkan hal
itu...
“...Bagaimana hubunganmu dengan Yamana-san belakangan
ini?”
Aku
penasaran dengan kejadian saat malam Natal, tetapi karena saat itu ia bilang “tolong lupakan”
di telepon, aku merasa tidak enak untuk mengangkatnya lagi.
“...Hmm...”
Nisshi terdiam sejenak.
“Biasa
saja, mungkin.”
“...Begitu ya.”
Aku
merasa sepertinya tidak ada yang berjalan dengan baik.
“Ngomong-ngomong,
aku dengar kamu dan Shirakawa-san sudah mulai tinggal
bersama? Bagaimana rasanya?”
“Oh,
iya.”
Sama seperti Icchi yang mendengarnya dari Tanikita-san,
Nishina juga pasti mendengar dari Yamana-san, jadi sepertinya hubungan mereka
tidak terlalu buruk, dan aku merasa lega tentang hal itu.
“Meski aku sudah lama berpacaran dengan Luna, tapi
tinggal bersamanya telah memberiku
sisi baru dalam dirinya dan setiap
hari terasa segar.”
“Begitu
ya.”
Nishi
menatapku sambil tersenyum tipis, lalu tiba-tiba wajahnya berubah serius ketika menatap lurus ke depan.
“...Kasshi…”
Nisshi melanjutkan.
“Apa kamu
pernah mendengar cerita tentang mantan pacar Shirakawa-san?”
“Eh?”
Aku memikirkannya sejenak, tetapi aku segera menggelengkan kepala.
“Tidak,
aku tidak pernah.
...Kalau bisa, aku tidak ingin mendengarnya.”
Saat aku menjawab
dengan senyum pahit, Nisshi
menatapku sekilas dan
berkata, “Begitu ya.”
“...Tapi,
apa kamu tidak pernah merasa
penasaran?”
Ketika
ditanya begitu, aku berpikir.
“...Memang ada saat-saatnya ketika aku penasaran.”
Saat mengingat
kembali perasaanku semasa
SMA, aku merasakan perasaan nostalgia.
“Jika Luna berpikir bahwa pacar terbaiknya
sepanjang masa adalah... aku, maka... rasa penasaran itu perlahan
menghilang.”
“...Hmm.”
Nisshi berkata sambil menatap
kakinya saat berjalan.
“...Aku penasaran apa suatu
hari ini aku bisa berpikir seperti itu juga?”
“…………”
Aku tidak
bisa menjawab dan hanya terdiam, lalu Nisshi
menunduk lebih dalam dan berkata,
“Berbeda
dengan Kasshi... aku
tahu. Aku tahu seberapa besar cintanya Nikoru dengan
mantan pacarnya. Aku mendengar semua keluh kesah dan masalahnya secara
langsung.”
Di antara
pemandangan malam yang lewat, ada restoran ramen waralaba yang sering aku
kunjungi bersama Sekiya-san saat
kami masih di bimbingan belajar.
“Senyuman yang dia tunjukkan kepada ‘Senpai’ waktu itu... aku tidak bisa membayangkan kalau itu ditujukan kepadaku
sekarang.”
“…………”
Hal tersebut
jadi mengingatkanku pada acara kencan ganda di
akuarium. Saat itu, Yamana-san terlihat manis, seperti gadis yang sedang jatuh
cinta.
“Tapi aku
akan berusaha.”
Setelah
berkata begitu, Nisshi
menatapku dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
“Karena aku mencintai Nikoru.”
Suara itu
terdengar kecil dan bahkan bergetar.
“Ya.
...Berusaha lah.”
Hanya itu
satu-satunya yang bisa kukatakan, dan aku merasa frustrasi dengan
ketidakmampuanku.
Dan aku berharap teman di sampingku yang mungkin juga tidak terlalu mahir sepertiku, bisa menemukan kebahagiaannya.