Pada hari tertentu, aku dipaksa untuk menandatangani
perjanjian tertulis di atas jembatan gantung yang terletak di sebuah gunung
terpencil.
Sederhananya, isi dari perjanjian itu mengatakan bahwa
jika beberapa kecelakaan terjadi dan aku terluka atau tewas, itu adalah
tanggung jawabku sendiri. Isi perjanjian ini hanya menimbulkan lebih banyak
rasa takut dalam diriku. Aku segera merasakan keinginan untuk pulang.
Namun, begitu aku menandatangani ini, satu-satunya yang tersisa untuk kulakukan adalah mengantri dan menunggu giliranku.
"KYAAAAAAH!" Seorang wanita menjerit, terdengar seolah sedang sekarat.
Mengapa aku harus melakukan sesuatu diluar dari gayaku dan membayar uang untuk melakukan sesuatu seperti ini?
Aku merasa bahwa aku mengalami sesuatu yang sangat tidak masuk akal.
Dan sementara aku tengah merasa gugup, ini sudah waktunya giliranku. Petugas yang bertanggung jawab memasang alat pengaman ke sekitar tubuhku dalam waktu singkat. Aku tidak punya pilihan selain menguatkan tekadku.
Aku tiba di tempat tujuan tepat di tengah jembatan gantung, mengeluarkan teleponku dan memulai video call dengan Mamizu. Di sisi lain layar, Mamizu dengan penuh semangat menunggu bungee-jumping-ku.
"Permisi, tolong tinggalkan telepon anda di belakang," Seorang petugas memperingatkanku, tapi sebelum dia bisa menghentikanku, aku langsung melompat.
Aku terlempar di udara.
Pemandanganku berubah menjadi sesuatu yang luar biasa. Aku mendekati permukaan sungai di bawah jembatan gantung dengan kecepatan luar biasa. naluriku memberitahuku bahwa aku akan mati.
“UWAAAAAAAH!” Aku menjerit menyedihkan saat aku jatuh, dan kemudian kawat yang terpasang mencapai batas dan diterbangkan kembali ke atas. Aku melayang di langit.
“KYAHAHAHAHA!” Mamizu tertawa terbahak-bahak. Aku tidak dalam keadaan untuk melihat apa yang sedang dia lakukan.
"UWAAAAH!"
" KYAHAHAHA!”
"UWAAAAAAAH!"
"KYAHAHAHAHAHA!"
Proses ini berulang beberapa kali, dan kemudian aku akhirnya berhenti. Tubuhku bergoyang seperti pendulum jam yang digantungkan oleh tali.
“Apa sekarang kau puas ?” Tanyaku pada Mamizu dengan suara yang kurang senang.
“Ya, itu sangat menyenangkan,” kata Mamizu sambil tersenyum senang.
****
Suatu hari, pada pukul sepuluh pagi, aku mendapat
telepon dari Kayama. Berpikir bahwa itu akan menjadi urusan yang merepotkan
pula, aku pikir mengabaikannya sejenak, tapi pada akhirnya, aku menjawab.
“Aku ingin minta tolong sesuatu padamu.”
Itulah kalimat pertama yang dikatakan Kayama. Aku merasa menyesal sudah menjawab panggilannya.
“Kau pikir apa yang sudah aku lakukan akhir-akhir ini?” Tanyanya.
“Dari dalam lubuk hatiku, aku tidak tertarik sama sekali,” kataku.
Aku tidak terlalu tertarik pada kehidupan pribadi Kayama , dan aku pikir dia bisa melakukan apa yang ia inginkan. Selama dia tidak membuatku terlibat.
“Aku memutuskan hubunganku dengan wanita. Aku ingin putus dengan mereka semua.”
Kayama tidak memiliki pacar. Mottonya ialah, “Aku punya prinsip tidak mendapatkan pacar.” Tapi di sisi lain, dia populer dengan gadis-gadis. Jadi, ia mendekati gadis manapun, dan kadang-kadang ia membuat dirinya sendiri ke dalam kesulitan, bahkan jika mereka hanya berlangsung satu semester. Dan untuk beberapa alasan, dia meneleponku untuk mengatakan bahwa ia bermaksud untuk putus dengan mereka semua.
“Ada satu wanita yang bermasalah. Tak peduli apa yang aku lakukan, dia tidak mau putus denganku. Hal ini tidak bisa diselesaikan tak peduli apa yang aku katakan, jadi aku ingin kau berbicara dengannya untuk menggantikanku,” katanya.
"Begitu…"
Aku tidak bisa melakukan apapun kecuali meluapkan rasa kesalku. Apakah ada sesuatu yang tidak tulus selain meminta orang lain untuk memutuskan pacarmu untuk dirimu?
“Bagaimana pun juga, aku pasti tidak melakukannya,” kataku.
“... Katakanlah, Okada. Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah terpojok. Aku merasa seperti aku akan gila,” kata Kayama.
Suaranya tiba-tiba menjadi lemah lembut. Bahkan melalui percakapan telepon di mana aku tidak bisa melihat wajahnya, aku tahu bagaimana tertekannya dia.
“Apa kau bisa bertemu denganku hari ini? Temui aku langsung dan beri aku beberapa saran.”
****
Pada akhirnya, Kayama meyakinkanku dengan paksa dan aku
setuju untuk menemuinya di bawah janji bahwa aku hanya akan memberinya saran.
Aku diberitahu bahwa kita bertemu di kursi dekat jendela pada sebuah restoran terdekat. Saat aku tiba, aku mendapat pesan dari Kayama yang mengatakan, “Aku berada di kursi terjauh di dalam, dekat jendela.” Tapi Kayama tidak berada di sana. Melainkan, Ada orang lain yang duduk di tempat itu sebagai gantinya.
Aku sangat mengenali orang itu.
"Hah? Kenapa kau ada di sini, Okada-kun ...?”
Dia adalah guru wali kelasku, Yoshie-sensei. Untuk sesaat, kepalaku dipenuhi dengan kepanikan. Dan kemudian skenario terburuk yang mungkin terjadi padaku, dan aku merasa diriku merasakan sakit kepala. Sialan kau, Kayama, akan kubunuh nanti, pikirku.
Alasannya ialah, Yoshie-sensei tengah menangis. Dia sudah menangis sebelum aku datang ke sini.
“Mungkinkah anda dipanggil di sini oleh Kayama, Yoshie-sensei?” Tanyaku.
“Eh? … Ya itu benar."
Yoshie-sensei terus menggunakan teleponnya sampai aku tiba. Dia mungkin memberitahu Kayama tempat dimana dia duduk.
“Kayama tidak bisa datang. Jadi, sebagai gantinya ... Aku akan mendengarkan anda,”kataku.
“Wow, Apa Akira-kun telah memberitahumu tentang hubungannya denganku, Okada-kun. Dia benar-benar meremehkan orang, bukan?”
Yoshie-sensei memanggilnya Akira-kun, bukan Kayama-kun. Dengan itu, aku tak punya pilihan lain selain menerima situasinya.
Wanita yang sudah Kayama letakkan tangannya, seseorang yang berusaha dia putuskan, adalah guru wali kelas kami, Yoshie-sensei.
Bukankah anda ini terlalu kurang dalam integritas, Sensei? Pikirku.
“Ada sesuatu yang penting bagi keberadaan manusia yang rusak dalam diri Kayama. Sebaiknya anda tidak menganggapnya terlalu serius,” kataku, berusaha menghibur Yoshie-sensei.
Sebenarnya, aku tidak tahu bagaimana bertindak dalam situasi seperti ini. Aku bahkan tidak pernah putus dengan seseorang; bagaimana aku bisa menangani perpisahan orang lain?
“Dengan kata lain, ia tidak mampu berkencan secara jujur dengan manusia hidup,”
aku melanjutkan. “Aku pernah bertanya kepadanya bagaimana ia memandang kehidupan. Dia memperlakukan kehidupan ini seperti permainan. Dia hanya menguji seberapa banyak orang yang bisa dia kencani pada waktu yang sama. Dia tidak memikirkan siapa pun kecuali dirinya sendiri. Aku datang ke sini menggantikannya karena dia memintaku untuk putus dengan anda. Sensei. Apa yang anda pikirkan? Dia itu brengsek, bukan?”
“Okada-kun, bagaimana kau bisa berbicara tentang Akira-kun sebegitu buruknya?” Tanya Yoshie-sensei. “Bukannya kalian berdua berteman?”
“Kami ini bukan teman,” kataku. “Kami berdua tidak terlalu akrab. Aku sebenarnya cukup buruk berurusan dengan Kayama, karena dia adalah seorang manusia dari dunia lain.”
“Lalu kenapa kau datang ke sini hari ini, Okada-kun?”
“Bagiku, Kayama bukanlah teman, tapi ... seorang penyelamat. Meski, ini sulit untuk dijelaskan. Tapi hanya itu saja hubunganku dengan Kayama.”
“Aku tidak mengerti,” kata Yoshie-sensei, menutupi wajahnya. “Saat aku melihat Akira-kun, terkadang aku merasa takut. Aku tidak merasa nyaman. Aku merasa bahwa aku mungkin hanya putus dan membuang nyawanya. Aku selalu mengkhawatirkan dirinya; Aku tidak ingin membiarkan dia pergi. Jika Aku ingat benar, Akira-kun kehilangan kakaknya dalam kecelakaan, bukan? Aku mendengar kabar itu dari guru SMP-nya bahwa saat itulah ia mulai menyimpang dari jalan yang benar. Dan ia mencoba bunuh diri di sekolah, bukan? Jenis laporan seperti ini diteruskan dari sekolah SMP ke sekolah SMA.”
Aku tiba-tiba merasa ingin tertawa. “Sensei, itu salah paham,” kataku. “Kayama takkan pernah melakukan sesuatu seperti mencoba bunuh diri. Dia seperti kumpulan kemauan untuk hidup. Dia bisa hidup sendiri bahkan jika anda tidak mengkhawatirkan dia, dan dia takkan pernah dipengaruhi oleh orang lain pula. Itulah mengapa itu baik-baik saja. Itulah satu-satunya bagian tentang dirinya yang sedikit aku hormati.”
Yoshie-sensei membuat ekspresi yang mengatakan bahwa dia tidak bisa mengerti.“Saat ini, aku sedang dibodohi tidak hanya oleh Kayama-kun, tapi kau juga, bukan? Aku benar-benar menyedihkan, ya. Aku sangat menyedihkan dan tak berdaya; Aku merasa seperti aku ingin menghilang.”
“Maafkan aku,” kataku, meminta maaf.
“Aku serius,” kata Yoshie-sensei.
“Kayama hanya bermain-main dengan anda,” kataku, menyelaraskan dengan irama kata-kataku dengan miliknya seolah mengolok-olok dirinya. Aku ingin membuatnya marah. Aku ingin dia marah, menggunakan kemarahan itu dan membuat keputusan dengan perasaannya.
“Okada-kun, aku minta bantuan padamu.”
"Apa itu?"
“Apa aku boleh menuangkan minumanku padamu?”
"Tentu."
Di saat berikutnya, Yoshie-sensei benar-benar menuangkan minumannya di atas kepalaku. Dan kemudian dia meninggalkan restoran, meninggalkan diriku yang basah.
Aku pergi keluar dan menelepon Kayama.
“Aku pikir Yoshie-sensei adalah orang yang baik,” kataku.
“Itu sebabnya aku tidak ingin bersamanya,” kata Kayama, tertawa. Aku pikir itu terdengar seperti tawa seorang psikopat.
“Aku membencimu,” kataku, dan memutus telepon tanpa mengatakan apa-apa lagi.
****
Aku masih tidak terbiasa pada pekerjaan part-time-ku,
tapi untungnya, dengan bantuan Riko-chan-san, aku tidak bentrok saat berurusan
dengan hubungan interpersonal. Aku sedikit khawatir dan merasa canggung di tempat kerja yang dipenuhi dengan
perempuan, tapi sepertinya Riko-chan-san terampil membantuku. Begitulah suasananya.
“Riko-chan-san, kau selalu membantuku saat aku membuat kesalahan, bukan? Maaf, dan terima kasih,”kataku pada Riko-chan-san saat ia dan aku berjalan pulang bersama-sama.
“Aku tidak ingin kau berhenti , Okada-kun. Aku takkan senang jika kau tidak menjadi mapan di dapur,”kata Riko-chan-san, sembari tertawa sedikit malu. “Apa kau punya sesuatu untuk dilakukan setelah ini, Okada-kun?” Tanyanya dengan nada santai.
"Ah……..maaf. Sebenarnya aku akan pergi menari sekarang,”kataku.
"Hah?" Suara Riko-chan-san terdengar terkejut.
"Hanya di klub* terdekat," aku menambahkan. (TN : diskotik)
"Wow, Okada-kun, kau tidak terlihat seperti tipe orang yang pergi ke tempat seperti itu."
"Ah, ya. Aku bukan tipe orang yang akan pergi ke tempat seperti itu, "kataku, tidak tahu bagaimana menjelaskan nya.
"... Kalau begitu aku akan menemanimu," kata Riko-chan-san.
Sekarang giliranku yang terkejut. "Riko-chan-san, kau bukan tipe orang yang melakukan tarian juga.”
"Meski penampilanku begini, aku pernah menari," katanya sambil tertawa terbahak-bahak, membuatku penasaran apa itu benar atau tidak.
****
> Aku sudah tiba di klub sekarang, seperti yang kau
inginkan
Aku mengirim pesan ini ke Mamizu, dan ada jawaban cepat.
> Bagaimana perasaanmu?
> Menakutkan
Itulah kesanku. Aku melihat orang-orang berotot dengan tato di seluruh tubuh mereka, dan wanita yang tertawa tanpa menahan diri, di bawah pengaruh alkohol atau mungkin sesuatu yang lain.
Di dalam klub sedikit redup, ada cahaya merah muda dan hijau yang berkelap-kelip, dan ini penuh dengan semacam suasana gelisah. Ini adalah jenis tempat dimana orang di bawah 18 tahun tidak diperbolehkan masuk. Sejujurnya aku sangat takut, merasa penasaran kapan seseorang akan marah padaku untuk berada di sini.
> Cepata ambil foto tanpa ketahuan!
Itulah yang dikatakan Mamizu, tapi ketika aku memulai kameraku, aku melihat bahwa bateraiku yang tersisa hanya sebesar 2%.
> Sayangnya, bateraiku hampir habis. Perangkat ini sekarang akan berhenti komunikasi
> Begitu ya. aku akan berdoa untuk keberuntunganmu.
Sementara kami memiliki percakapan ini yang terdengar seperti itu berasal dari sebuah pesawat ruang angkasa yang terdampar, bateraiku benar-benar mati.
“Okada-kun, apa kau bersenang-senang?” Kata Riko-chan-san, menggoyangkan badannya saat ia muncul. Sepertinya dia benar-benar terbiasa dengan tempat-tempat seperti ini, dan cara dia menari cukup ahli.
“Ini cukup sulit, bukan?” Aku menirukan dia, menggoyangkan tubuhku seperti dirinya.
“Okada-kun, kau buruk sekali. Seperti ini,” kata Riko-chan-san, menggerakkan tubuhnya lebih intens.
“Seperti ini?” Belajar darinya, aku mencoba untuk menari juga.
Tiba-tiba, sekelompok orang yang mencolok datang dan memanggil Riko-chan-san.
“Hei, hei, apa kau mau ikut dan minum dengan kami?”
Oh.
Ini adalah apa yang dikenal sebagai merayu gadis.
Ini pertama kalinya aku melihat itu.
“Sayangnya, aku bersama pacarku hari ini,” kata Riko-chan-san, melingkarkan lengannya di pinggangku, mengejutkanku sedikit dan bergumam pelan. "Maaf."
"Siapa lelaki ini?"
Para pria mencolok menatapku dengan tajam. Aku merasakan sebuah masalah akan tiba.
Untuk beberapa saat, aku memikirkan apa yang harus aku lakukan.
Lalu…
“YAY!” Aku berteriak, dan aku menghindari pria mencolok itu dengan menari lalu menjauh dari mereka.
Para pria mencolok merasa jengkel, dan Riko-chan-san pun tertawa.
****
“Begitulah aku secara heroik menyelamatkan
Riko-chan-san, senpai-ku dari pekerjaan part-time dari dipukul orang. Apa yang
kau pikirkan?"
Aku melebih-lebihkan kejadian ini sedikit saat aku menceritakannnya pada Mamizu.
“Bukannya kau sedikit berbohong, Takuya-kun?” Mamizu sangat peka seperti biasa.
Aku mengalihkan pandanganku dan berpura-pura tidak
mendengarnya. “Yah, bagaimana pun juga, tempat itu penuh dengan bahaya. Kau tak
pernah tahu kapan kau akan bertemu seekor monster. Ini adalah keputusan yang
tepat bagiku untuk pergi ke sana untuk menggantikanmu, Mamizu.”
“... Yah, kurasa tak apa-apa,” kata Mamizu, tampak seperti dia ingin mengatakan sesuatu yang lebih.
"Apa?"
“Bukan apa-apa.” Mamizu memikirkan sesuatu sejenak, dan kemudian membuka mulutnya lagi. “Sebenarnya, ada sesuatu.”
“Apa?” Tanyaku, jengkel.
“Sulit untuk menjelaskannya.”
Mungkinkah…? Pikirku.
“Mamizu, apa kau cemburu?”
“... Aku ingin melakukan ini selanjutnya. Lakukan itu,” kata Mamizu, berbicara dengan nada menusuk lagi. Dan kemudian ia menyerahkanku ponselnya. Terdapat sebuah video di layar. Merasa ketakutan, aku menekan tombol play.
Ada seorang penyihir di layar, menyemburkan api seperti naga.
“Tidak, itu mustahil!” Kataku, menatap langit-langit.
Saat kami berbicara, perawat yang biasa aku lihat datang ke sini. Dia mengatakan bahwa Mamizu harus pergi untuk pemeriksaan, dan Mamizu pun dibawa pergi.
Aku biasanya pulang ke rumah pada jam ini juga, tapi kali ini, aku tiba-tiba menjadi penasaran dan kembali ke kamar rumah sakit Mamizu sebagai gantinya. Sebelum aku tiba, anehnya, dia sudah membaca sebuah majalah fashion. Dia biasanya hanya membaca buku-buku kecil, jadi ini sebuah kejadian yang tidak biasa. Aku ingin memeriksa jenis majalah apa yang dibacanya.
Aku membolak-balik halaman majalah fashion di kamar rumah sakit sementara Mamizu tidak hadir.
Ini adalah majalah dengan fashion yang cukup modis, dengan selera yang dewasa.
Hal ini terutama memperkenalkan koleksi merek luar negeri. Modelnya juga kebanyakan orang asing.
Sekarang aku berpikir tentang hal itu, aku hanya melihat Mamizu mengenakan piyama. Mungkin ini tak bisa dihindari karena dia dirawat di rumah sakit, tapi ia mungkin ingin berpakaian dengan biasa. Dan mungkin dia tidak memberitahuku karena dia terlalu malu. Tapi ... tempat mana yang akan menjual satu gaun one-piece dengan biaya 1.900.000 yen? Apa yang biasanya orang-orang ini makan? Kaviar?
Saat aku terus membolak-balik halaman majalah karena penasaran, aku menyadari bahwa ada satu halaman yang dilipat. Ingin tahu apa isinya, aku melihat dengan cermat bahwa itu adalah iklan satu halaman penuh untuk sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah. Dengan refleks, aku menggunakan ponselku untuk mengambil gambar dari halaman tersebut.