Chapter 2 — Teman sekelas, Michiba Rokka
Aku bahkan lebih tidak kompeten
secara sosial di masa SMP daripada sekarang.
Namun, berkat Hanazono yang berada
di sisiku, entah bagaimana aku bisa melewati kehidupan sekolah dengan lancar.
Kepalaku memahami mengapa kenangan
masih itu tetap ada.
[Dasar
bodoh! Itu bukan makanan!]
[Kenapa
kamu melakukan hal seperti itu.... Aku ingin bermain dengan anak-anak lain
juga...]
[Hah?
Kamu belum pernah naik kereta? Kamu pasti bercanda, ‘kan?]
[Haah,
kamu bukan anak kecil lagi, jadi jangan bermain di bak pasir.]
[Ini,
aku akan minta maaf padamu...]
[Bergembiralah!
Lagipula, kamu adalah teman masa kecilku. Kita akan memakan es krim dalam
perjalanan pulang nanti.]
[Lihat,
kamu bisa tersenyum dengan benar. Aku mengkhawatirkan hal yang tidak penting.
... Ah, bu-bukannya aku khawatir atau semacamnya!]
Aku tidak merasakan emosi
apapun saat mengingat kenangan itu. Karena aku sudah me-reset semua emosiku.
◇◇◇◇
Ruang kelas terasa damai
seperti biasanya hari ini.
Aku tidak membenci ketenangan
seperti ini. Setidaknya, aku tidak perlu mengikuti tes dengan mesin aneh yang
diikatkan di kepalaku atau berolahraga sampai-sampai aku merasa ingin mati. Aku
menyukai kehidupan yang tenang seperti ini.
Ruang kelas dipenuhi dengan
obrolan dari teman sekelas selama waktu istirahat. Tentu saja aku bukan bagian
dari percakapan mereka.
“Euy, hasil ulanganmu gimana,
Yamada?”
“Benar-benar jeblog banget, aku
benar-benar gagal!”
“Aku justru lebih parah! Dan
itu berarti aku menang! Kamu nanti traktir aku karaoke hari ini.”
“Hah? Yang bener aja woi,
kamulah yang harus mentraktirku.”
Sungguh menakjubkan mereka bisa
begitu bersemangat saat ujian.
... Aku juga ingin mengobrol
normal dengan teman sekelasku. Aku yang tidak bisa bergaul tidak bisa mengambil
langkah pertama.
Bahkan ketika aku mengumpulkan
keberanian untuk berbicara dengan mereka, aku selalu mengatakan sesuatu yang
aneh.... Di sekolah SMP, aku sudah gagal berulang kali. Menginjak masa SMA
tidak mengubah keadaan apapun—— ketika aku mencoba berbicara dengan teman
sekelas, suasana canggung masih muncul. Aku tidak mengerti apa yang kulakukan
itu salah.
Teman-teman sekelasku dengan
senang hati mengobrol bersama sambil membandingkan kertas ujian mereka.
Pemandangan tersebut terlihat begitu mempesona.
Ujian di sekolah ini tidak
terlalu sulit. Aku sengaja menjawab sekitar setengah soalnya secara acak dan
mengosongkan sisanya agar aku tidak menonjol dengan nilai yang tinggi. Jadi
nilaiku sedikit rata-rata.
Seorang siswa biasa yang tidak
berbahaya tanpa ada yang menonjol darinya. Begitulah teman-teman sekelasku
melihatku.
“Yo! Sensei, bagaimana hasil
ulanganmu? Aku yakin seperti biasa kamu tidak mengerjakannya dengan serius,
kan?”
Ketua kelasku, Michiba Rokka,
datang mendekatiku dan berbicara padaku.
Dia adalah satu-satunya teman
sekelas yang mau berbicara padaku, satu-satunya orang yang tidak punya teman.
Kami biasanya hanya berbicara
di perpustakaan, jadi jarang sekali dia berbicara denganku di dalam ruang kelas.
Pokoknya, aku bisa merasakan
hatiku sedikit gembira ketika dia berbicara kepadaku. Ini pasti perasaan
bahagia.
Interaksiku dengan Michiba
memberiku alasan penting untuk merasa seperti menjalani kehidupan sekolah yang
normal.
Michiba dengan santai
meletakkan tangannya di pundakku.
Michiba yang ramah dan ceria
sangat disukai oleh seluruh kelas. Dan sebagian besar anak laki-laki di kelas
terbuai oleh keramahannya.
Aku tidak tahu apa dia cantik
atau tidak, tapi dia menyebut dirinya gadis paling manis di kelas. Itu pasti
benar.
Aku sering mendengar teman
sekelas laki-laki yang mengatakan [Gadis
itu pasti menyukaiku].
“Maaf, aku sudah mengerjakannya
dengan serius. ... Aku hanya kurang usaha saja.”
“Pfft, mana ada. Kamu pasti orang
yang jenius. Hei, jadi, ayo kita pergi ke karaoke setelah pulang sekolah hari
ini! Kamu selalu sendirian, jadi akan lebih baik untuk pergi sesekali, ‘kan!”
Sama seperti teman sekelas
lainnya, aku sering merasa kebingungan dengan kedekatan sikap Michiba.
Sebelumnya, ketika Michiba
belajar sendirian di perpustakaan saat istirahat makan siang, aku tidak tahan
dan akhirnya memberikan nasihat dalam pelajaran.
Sejak saat itu, mengajari Michiba
mulai menjadi rutinitas harianku.
Menurut Michiba, “Cara mengajar Toudou gampang sekali dimengerti!”
begitulah katanya.
Pada kenyataannya, Michiba
berhasil meraih nilai tertinggi di kelas. Tapi sesi belajarnya denganku masih
berlanjut.
... Karena hampir tidak ada
siswa yang pergi ke perpustakaan saat istirahat makan siang, jadi tidak ada
yang tahu tentang hal itu.
Menghabiskan waktu bersama
Michiba terasa cerah dan menyenangkan. Aku tahu bahwa aku dianggap sebagai
cowok serba guna untuk mengajarinya, atau begitulah yang mereka katakan di
belakangku.
Meskipun begitu, Michiba selalu
berusaha mengobrol denganku yang canggung. Hal itu membuatku merasa nyaman
sebagai teman sekelasnya.
“Karaoke, ya... Aku akan
menanganinya.”
“Haha, 'menanganinya'? Kamu bukan orang tua, kali. Oh, ngomong-ngomong, apa
kamu sudah putus dengan Hanazono?”
“Kenapa malah jadinya begitu?
Sejak awal kami tidak berpacaran sama sekali. Sebaliknya, dia dan aku hanya
teman masa kecil. Tidak kurang maupun lebih.”
Setelah keheranan dengan
jawabanku, Michiba akhirnya tersenyum.
“Hmm, kalau begitu, gimana
kalau begini. Hei, tentang karaoke... bagaimana kalau kita pergi bersama, hanya
kita berdua saja?”
“Tidak, aku akan tidak hadir
kalau begitu.”
Michiba adalah teman sekelas
yang penting. Rasanya akan merepotkan jika dia salah paham akan sesuatu.
Meskipun aku memiliki kesan yang baik padanya, itu hanya sekedar teman sekelas,
bukan dalam artian romantis.
“…Huh, ‘Aku akan tidak hadir’. Respon yang cepat itu menjengkelkan... hei,
kalau kamu tidak mau berduaan denganku, ikutlah dengan kami sepulang sekolah
hari ini. Kalau kamu tidak datang, aku tidak akan berbicara denganmu lagi, oke?”
Hmm, ditanya seperti itu sangat
mengganggu.
“Aku mengerti. Aku belum pernah
ke karaoke jadi aku sedikit gugup.”
“Ahaha, tjangan khawatir! Kamu
pasti akan bergaul lebih baik dengan teman sekelas kita! Jadi jangan lupa
sepulang sekolah, ya? Aku akan menghubungimu nanti!”
Pada akhirnya, aku secara paksa
diajak Michiba untuk pergi ke karaoke.
Pergi berkaraoke bersama teman
sekelas setelah ujian. Aku merasakan perasaan hatiku yang melambung-lambung.
Aku sedikit menantikannya.
◇◇◇◇
Hari ini adalah hari Sabtu.
Setelah pulang ke rumah terlebih dahulu, kami akan bertemu di depan tempat
karaoke di distrik perbelanjaan.
Aku memutuskan untuk berdandan
lebih dari biasanya dan menuju ke tempat pertemuan.
Aku merapikan rambutku yang
berantakan dan berganti pakaian untuk pergi keluar.
Kalau dipikir-pikir, pakaian
ini dipilihkan oleh Hanazono.
[Kamu
ini memang tidak punya selera fashion, ya!? Walaupun ini bukan kencan— tidak,
tunggu, ini bukan kencan, tetapi ketika pergi dengan seorang gadis, jangan
memakai jersey sekolahmu juga kali!]
Aku dimarahi seperti itu. Pada
hari itu dia akhirnya memilihkan pakaian untukku.
... Kenapa aku mengingat hari
itu? Seharusnya aku sudah menghapus perasaanku.
[Hmm,
dengan tubuhmu, pakaian ini cocok untukmu. Bukannya aku berpikir kamu terlihat
keren atau semacamnya, oke!]
Apa yang aku rasakan pada waktu
itu?
Tidak ada yang terlintas dalam
pikiranku. Rasanya seoalah-olah seperti sdang melihat kenangan orang asing.
Hatiku tidak tersakiti lagi.
Jadi
tidak apa-apa.
Aku mengalihkan perhatianku
pada karaoke dan pergi keluar.
◇◇◇◇
Ketika aku tiba di tempat
pertemuan, sepertinya aku datang lebih awal karena belum ada orang lain di
sana.
Aku memutuskan untuk menunggu
sambil mengamati lingkungan sekelilingku.
Karena ini adalah tempat
karaoke di pusat kota, orang-orang yang lewat di sana berpakaian dengan
berbagai gaya.
Entah mengapa, ada banyak orang
yang melirik ke arahku. Aku tidak terlalu suka ketika orang asing melihatku.
Tapi aku juga melihat mereka, jadi bisa dibilang kalau keadaannya impas.
Waktu pertemuan telah lama
berlalu.
Setelah mengamati orang-orang
selama beberapa saat, aku bermain dengan seekor kucing yang menghampiri kakiku.
Aku mengelus kepala kucing itu.
Hewan mudah diajak berinteraksi. Tidak ada risiko mengacaukan komunikasi.
“Kamu juga sendirian, ya?”
“Meong~”
“Hmm, sayangnya aku tidak punya
makanan. Maaf.”
Dari jarak yang tidak terlalu
jauh, seekor kucing yang berbeda mengeong. Kucing yang sedang aku belai
bereaksi terhadap suara mengeong itu dan menghampiri kucing yang satunya lagi.
Aku sendirian lagi.
“... Senang rasanya memiliki
teman.”
Tidak peduli berapa lama aku
menunggu, Michiba dan yang lainnya tidak kunjung datang.
Kira-kira sudah sekitar dua jam
lebih mungkin? Harus menunggu sendirian sangat kesepian.
Apa aku salah waktu? Atau
mungkin tempatnya? Aku mulai merasa cemas.
Mana
mungkin aku melakukan kesalahan. Saat aku diberitahu waktu dan tempatnya, aku
langsung mencatatnya.
“... Mungkin aku harus pulang
saja?”
Aku pasti telah melakukan
kesalahan. Aku akan meminta maaf pada Michiba besok. Saat aku berbalik untuk
pulang, ponselku berdering keras. Ternyata itu panggilan dari Michiba.
“Halo.”
“Ahh!
Toudou! Kamu pergi ke tempat yang salah!! Astaga, apa boleh buat. Cepatlah
kemari! Semua orang sedang menunggu!”
Panggilan itu berakhir. Dia
mengatakan tempat yang berbeda dari yang tertulis di catatanku.
... Apa ini cuma prank? Atau
akulah yang melakukan kesalahan? ... Apapun itu, aku harus pergi agar interaksi
dengan Michiba di kelas berjalan lancar.
Bagaimanapun juga, aku pergi ke
tempat yang sudah diberitahu Michiba.
◇◇◇◇
Sesampainya di tempat karaoke,
aku memasuki ruang karaoke yang diberitahu Michiba—di dalamnya terdapat dua
orang anak SMA yang tidak kukenali, terlihat tidak ramah dan seperti anak punk.
Tidak ada tanda-tanda Michiba
atau teman sekelasku di mana pun. Aku yakin aku mendapatkan nomor kamar yang
tepat. Aku benar-benar dibuat kebingungan.
“Liat-liat apa loe!? Keluar
sana, loesalah kamar!"
“Oh tunggu, Toudou? Apa yang kamu
lakukan di sini? Hei, pergilah ambil jus dari bar minuman!”
“Hah, loe kenal Haru?”
“Kenal? Kami malahan kerja di
tempat yang sama. Ah terserahlah, masa bodo deh. Tsuyoshi ambilkan jus, jus!”
“Cih, kalau begitu kamu ambil
saja.”
... Ada banyak hal yang ingin
kukatakan, tapi demi kelancaran interaksi, kuputuskan untuk mengambil jus tanpa
berdebat dulu. Berdebat hanya akan menjadi hal yang menyebalkan.
Aku berkeliling di sekitar
tempat karaoke yang tidak aku kenal dan tiba di tempat minuman jus.
Gadis dengan riasan tebal di
sana adalah rekan kerjaku, Tanaka Haru.
Tanaka merupakan seniorku di tempat
kerja paruh waktu.
Kami bersekolah di sekolah yang
sama, tapi kami tidak pernah berbicara di sekolah.
Meskipun penampilannya seperti
gadis gyaru, dia adalah gadis yang sangat baik yang selalu menutupi kesalahanku
ketika aku melakukan kesalahan di tempat kerja.
Terkadang kami berjalan pulang
bersama ketika shift kami berakhir pada waktu yang sama. Dia mendengarkan dengan
baik ketika aku mengalami masalah dengan Hanazono. Dia satu-satunya orang yang
benar-benar mendengarkan apa yang aku katakan.
... Aku terdiam di depan bar
jus.
Aku tidak tahu bagaimana cara
menggunakan mesin ini. Apa boleh aku hanya menekan tombol yang aku inginkan?
Anggota staf yang melayani
melihat ke arahku, tapi ia mengabaikanku dan menghilang ke belakang ....
Hmm.... Aku harus menyelesaikan tugas yang diberikan padaku dan bertemu dengan
Michiba.
“Ah, sepertinya kamu tidak tahu
cara menggunakannya! Ahaha, maaf~ maaf~.”
“Tanaka?”
Tanaka berada di sampingku.
Aroma lembut dan manis menyebar darinya. Itu bukan aroma yang tidak menyenangkan.
Justru sebaliknya, aroma itu terasa sangat menenangkan.
Dengan ekspresi ceria yang sama
seperti saat bekerja, Tanaka mulai menjelaskannya padaku.
“Jadi, kamu tinggal ambil
gelas, pilih minuman yang kamu suka, dan tekan saja tombolnya!”
“Oh, begitu ya, jadi aku bisa
menggunakannya sesuka hati. Benar-benar mesin yang praktis.”
“Tunggu, apa kamu belum pernah
menggunakannya? Mesin ini juga ada di restoran keluarga, tau.”
“Apa iya? Aku belum pernah ke
restoran keluarga.”
“Huhhh!? Kamu tidak pernah mengunjungi
restoran keluarga!? Hei, ayo kita pergi bersama lain kali!”
“Eh, itu...”
“Kalau kamu tidak mau juga tidak
apa-apa, sih. Di sini, tekan ini!”
“Oh, oke.”
Aku meletakkan gelas dan
menekan tombol. Begitu ya, ini cukup sederhana, bahkan anak kecil pun bisa
melakukannya. Gelas terisi dengan jus berkarbonasi.
Entah bagaimana, aku merasa
perasaan tidak menyenangkan yang mengambang di dalam diriku meledak seperti
gelembung-gelembung itu.
“Baiklah, ayo kita kembali!”
“Ehm, aku...”
Untuk saat ini, aku mengikuti
di belakang Tanaka sambil memegang jus.
Ketika kami kembali ke ruangan
dan aku meletakkan kedua jus itu di atas meja, Tanaka yang duduk di sofa
menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Teman laki-lakinya juga melihat ke arahku.
“Ayo, Toudou bergabunglah dengan
kami untuk berkaraoke!”
“Hm? Jarang sekali melihat Haru
menyukai seseorang. Aku tidak masalah sama sekali jika itu baik-baik saja
dengannya.”
Ta-Tapi, Tanaka seharusnya
sedang berkencan di sini. Aku akan menjadi obat nyamuk saja. Ditambah lagi, aku
sudah punya rencana dengan Michiba.
“Maaf, aku diajak oleh Michiba
jadi aku tidak bisa bergabung denganmu untuk karaoke.”
“Ah benarkah? Sayang sekali,
tapi mau bagaimana lagi.”
Aku penasaran apa dia akan
mengundangku lagi?
Aku ingin mengatakan pada
Tanaka bahwa aku ingin ikut bersamanya lain kali, tapi aku tidak bisa menemukan
kata-kata yang tepat.
“Terima kasih Toudou! Sampai
jumpa lagi di tempat kerja, ya!”
"Cih, terima kasih. Kami
akan bersenang-senang tanpa mu.”
Pria yang tidak menyenangkan
itu mengambil permen dari sakunya dan memberikannya kepadaku.
….Apa
ini?
Aku merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia terlihat normal tetapi gerakannya
efisien, tidak ada pemborosan sama sekali.
“Ah, terima kasih. Aku suka
permen, jadi ini membuatku senang. Kalau begitu, permisi. T-Tanaka, sampai
jumpa... lain kali.”
Tanaka melambaikan tangan
dengan penuh semangat saat melepas kepergianku. Entah kenapa aku merasa malu.
Aku beralih mencari Michiba dan
yang lainnya. Michiba tidak ada di salah satu ruangan yang kuperiksa.
... Padahal kupikir aku bisa
berinteraksi dengan teman sekelasku melalui kesempatan ini.
Aku tidak pandai berbicara dan
tidak memiliki kemampuan interpersonal yang baik.
Bahkan ketika diundang ke
karaoke, aku ragu-ragu dan berpikir “Apa
orang seperti aku boleh pergi?” dan akhirnya aku sering menolak.
Aku pikir jika melalui Michiba,
aku bisa berbicara dengan teman sekelasku, tetapi mereka mungkin sudah pulang.
Aku
ingin merasakan pengalaman karaoke...
Aku memutuskan untuk
meninggalkan tempat karaoke. Saat aku berjalan keluar dengan sedih, aku melihat
teman-teman sekelasku dan Michiba di depan tempat karaoke.
Mereka menunjuk ke arahku dan
tertawa. Itu bukan tawa yang baik. Itu adalah tawa tidak menyenangkan yang
sering aku alami, jenis tawa yang sedang mengejek seseorang.
Kenapa?
“Orang itu benar-benar mau
dibegoin. Mana mungkin kita mengundang seorang penyendiri yang suram.”
“Maksudku, siapa yang mau
bernyanyi dengan orang yang hampir tidak pernah diajak bicara?”
“Tak bisa dipercaya tuh orang
serius menunggu selama dua jam, rasanya kayak, seriusan bruh?”
“.... Apa ia selalu seperti
itu? Ia terlihat agak berbeda dengan penampilannya saat mengenakan pakaian
biasa...”
“Jangan khawatir, ia pasti
menyukaiku... Heheh.”
“Rokka-san, kamu memang sangat
populer!”
Mereka pikir aku tidak bisa
mendengarnya karena mereka berbisik.
Tapi aku memiliki pendengaran
yang baik. Dan aku menguasai kemampuan membaca gerak bibir. Aku bisa mendengar pembicaraan
mereka dengan jelas.
Aku...
Aku hanya ingin pergi ke karaoke dengan teman sekelas yang normal. Jadi aku
sangat senang saat Michiba mengundangku.
Tapi pada akhirnya aku hanya
dibodohi?
Perasaan hangat yang aku miliki
untuk Michiba sebagai teman sekelas—
Setelah percakapan yang
menyenangkan dengan Tanaka tadi, hatiku menjadi layu.
Yang kurasakan dari mereka
adalah kebencian. Kebencian yang tidak berbahaya. Mereka mungkin berpikir itu
hanya lelucon. Aku tidak pernah diajarkan tentang hal semacam ini di sekolah.
Di dalam perpustakaan bersama
Michiba. Sesi belajar menyenangkan yang kami lakukan. Michiba melaporkan nilai
ulangannya yang naik sambil tersenyum.
Dia selalu ceria dan khawatir
kalau aku sendirian.
Teman sekelas yang penting.
Tapi baginya aku hanyalah cowok
serba guna yang mengajarinya.
Dadaku terasa sakit.
Kupikir aku telah mendapatkan
teman pertamaku selain teman masa kecilku.
Saat kami bertukar kontak di
aplikasi pesan, aku merasa senang.
Obrolan yang tidak berarti
membuatku merasa seperti memiliki kehidupan sehari-hari yang normal.
Jika ini sangat menyakitkan,
lebih baik aku lupakan saja semuanya.
—Reset.
Jika aku mengatur ulang
seolah-olah itu tidak pernah terjadi, hatiku takkan tersakiti lagi.
Aku menatap langit dan
memusatkan pikiranku.
Beralih secara mental. Secara
harfiah berarti mengganti emosi.
Aku bisa mengabaikan kebencian
dari orang-orang yang tidak penting membanjiriku. Tapi kebencian dari
orang-orang penting membuatku sedih.
Aku mulai mengingat kembali
semua kenanganku dengan Michiba, seraya mengabaikan rasa sakit di dadaku.
Memadatkan semua emosi yang
kurasakan saat berinteraksi dengan Michiba.
Dan benar-benar menghancurkan
esensi yang dipadatkan itu.
—Aku me-reset seluruh
hubunganku dengan Michiba.
Rasa sakit di dalam dadaku
menghilang seketika, dan aku kembali ke kondisi mental yang datar.
Mengatur ulang semua rasa sayang
menjadi nol.
Ini bukan metafora. Aku
benar-benar bisa menghapus rasa sayang, kenangan, dan emosi.
Aku takkan keliru menghapus
kenangan seperti ketika aku masih kecil dan mengacaukan pengaturan ulang.
Sekarang, aku akan mampir ke
supermarket dalam perjalanan pulang dan membeli bahan-bahan untuk makan malam
dan bento besok. Aku akan membuat kari hari ini.
Michiba dan yang lainnya
berlari ke arahku sambil cekikikan.
“Haha, Sensei! Tadi itu cuma
bercanda, kok. Cuma candaan kecil, oke. Ayo, ayo kita pergi ke tempat karaoke
berikutnya! Kami hanya ingin mengujimu. Oh, iya, maukah kamu mengajari yang
lain juga? Jika aku memberitahu mereka nilai rahasiamu, mereka akan bersemangat
untuk belajar—”
“Ya, ayo kita pergi!”
“Michiba sudah memberitahu
kami, loh? Katanya kamu benar-benar pintar!”
“Ayo kita karaoke!”
Aku tidak merasakan kehangatan
sama sekali.
Aku tidak butuh persahabatan
bodoh semacam ini.
“….Maaf, tapi aku mau pulang
saja.”
Kebetulan di saat yang
bersamaan, Tanaka keluar dari tempat karaoke. Wajahnya terlihat segar, seperti
dia berhasil menghilangkan stres dengan bernyanyi. Dia melambaikan tangannya ketika
melihatku. Aku pun membalas lambaian tangannya. Usai melihat tanggapanku,
Tanaka terlihat puas dan pergi bersama pria itu entah kemana.
Michiba memiliki ekspresi kaget
di wajahnya.
“Eh, hah? Ke-Kenapa? Kamu
marah? I-Itu cuma bercandaan, tau? Ayolah, Sensei, ajari aku, kumohon?”
“Maaf. Aku takkan berhubungan
denganmu lagi.”
“T-Tunggu sebentar! Semua orang
berkumpul demi kamu, loh! Hei, baca suasanya sih...”
Membaca suasana. Sebuah
keterampilan penting bagi siswa SMA modern. Sepertinya nilaiku berada di bawah
standar.
“Oh, kalau begitu aku minta
maaf karena pergi tanpa mempertimbangkan keadaanmu... Aku minta maaf dengan
tulus. Permisi, Michiba.”
“T-Toudou! Tunggu sebentar!!
A-Aku minta maaf, oke!”
Orang-orang cenderung terbawa
suasana.
Mau bagaimana lagi. Karena kami
masih siswa SMA. Kami baru hidup selama tujuh belas tahun.
Itu sebabnya kami tidak
ragu-ragu untuk menyakiti orang lain. Karena kami tidak benar-benar memahami
betapa sakitnya orang yang disakiti.
Bahkan ketika meminta maaf, aku
tahu itu hanya karena mereka ingin aku mengajari mereka.
Aku hanya pria yang dimanfaatkan
Michiba. Aku sudah mengatur ulang hubungan itu.
“Kamu tidak perlu meminta maaf.
Aku tidak merasakan apa-apa meskipun kamu mengatakan itu.”
“Apa, kenapa kamu mendadak bersikap
dingin... Kamu menyukaiku, ‘kan!? Karena itulah kamu mengajariku, ‘kan!”
“Maaf, aku tidak mengerti
maksudmu. Ketika aku melihatmu, aku tidak merasakan apa-apa.”
“S-Sensei, wajahmu, itu
menakutkan...”
“Tolong jangan memanggilku
dengan panggilan seperti itu.”
Michiba terlihat kaget
mendengar kata-kataku.
Tapi aku tidak merasakan apa-apa
ketika melihatnya memasang wajah seperti itu. Hatiku tidak merasa sakit lagi.
Karena aku sudah mengatur ulang semua perasaanku pada Michiba.
Tidak ada lagi interaksi yang
berarti.
Aku mulai berjalan, mengabaikan
Michiba.
Pikiranku sibuk membuat daftar belanjaan
untuk makan malam.
Tiba-tiba aku teringat permen yang
ada di kantongku. Aku memasukkan permen itu ke dalam mulutku. Rasanya manis,
tapi entah kenapa aku merasa ada rasa sedikit asin...