[LN] Reset Seishun Jilid 1 Bab 2 Bahasa Indonesia

Chapter 2 — Teman sekelas, Michiba Rokka

 

 

Aku bahkan lebih tidak kompeten secara sosial di masa SMP daripada sekarang.

Namun, berkat Hanazono yang berada di sisiku, entah bagaimana aku bisa melewati kehidupan sekolah dengan lancar.

Kepalaku memahami mengapa kenangan masih itu tetap ada.

[Dasar bodoh! Itu bukan makanan!]

[Kenapa kamu melakukan hal seperti itu.... Aku ingin bermain dengan anak-anak lain juga...]

[Hah? Kamu belum pernah naik kereta? Kamu pasti bercanda, ‘kan?]

[Haah, kamu bukan anak kecil lagi, jadi jangan bermain di bak pasir.]

[Ini, aku akan minta maaf padamu...]

[Bergembiralah! Lagipula, kamu adalah teman masa kecilku. Kita akan memakan es krim dalam perjalanan pulang nanti.]

[Lihat, kamu bisa tersenyum dengan benar. Aku mengkhawatirkan hal yang tidak penting. ... Ah, bu-bukannya aku khawatir atau semacamnya!]

Aku tidak merasakan emosi apapun saat mengingat kenangan itu. Karena aku sudah me-reset semua emosiku.

 

◇◇◇◇

 

Ruang kelas terasa damai seperti biasanya hari ini.

Aku tidak membenci ketenangan seperti ini. Setidaknya, aku tidak perlu mengikuti tes dengan mesin aneh yang diikatkan di kepalaku atau berolahraga sampai-sampai aku merasa ingin mati. Aku menyukai kehidupan yang tenang seperti ini.

Ruang kelas dipenuhi dengan obrolan dari teman sekelas selama waktu istirahat. Tentu saja aku bukan bagian dari percakapan mereka.

“Euy, hasil ulanganmu gimana, Yamada?”

“Benar-benar jeblog banget, aku benar-benar gagal!”

“Aku justru lebih parah! Dan itu berarti aku menang! Kamu nanti traktir aku karaoke hari ini.”

“Hah? Yang bener aja woi, kamulah yang harus mentraktirku.”

Sungguh menakjubkan mereka bisa begitu bersemangat saat ujian.

... Aku juga ingin mengobrol normal dengan teman sekelasku. Aku yang tidak bisa bergaul tidak bisa mengambil langkah pertama.

Bahkan ketika aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan mereka, aku selalu mengatakan sesuatu yang aneh.... Di sekolah SMP, aku sudah gagal berulang kali. Menginjak masa SMA tidak mengubah keadaan apapun—— ketika aku mencoba berbicara dengan teman sekelas, suasana canggung masih muncul. Aku tidak mengerti apa yang kulakukan itu salah.

Teman-teman sekelasku dengan senang hati mengobrol bersama sambil membandingkan kertas ujian mereka. Pemandangan tersebut terlihat begitu mempesona.

Ujian di sekolah ini tidak terlalu sulit. Aku sengaja menjawab sekitar setengah soalnya secara acak dan mengosongkan sisanya agar aku tidak menonjol dengan nilai yang tinggi. Jadi nilaiku sedikit rata-rata.

Seorang siswa biasa yang tidak berbahaya tanpa ada yang menonjol darinya. Begitulah teman-teman sekelasku melihatku.

“Yo! Sensei, bagaimana hasil ulanganmu? Aku yakin seperti biasa kamu tidak mengerjakannya dengan serius, kan?”

Ketua kelasku, Michiba Rokka, datang mendekatiku dan berbicara padaku.

Dia adalah satu-satunya teman sekelas yang mau berbicara padaku, satu-satunya orang yang tidak punya teman.

Kami biasanya hanya berbicara di perpustakaan, jadi jarang sekali dia berbicara denganku di dalam ruang kelas.

Pokoknya, aku bisa merasakan hatiku sedikit gembira ketika dia berbicara kepadaku. Ini pasti perasaan bahagia.

Interaksiku dengan Michiba memberiku alasan penting untuk merasa seperti menjalani kehidupan sekolah yang normal.

Michiba dengan santai meletakkan tangannya di pundakku.

Michiba yang ramah dan ceria sangat disukai oleh seluruh kelas. Dan sebagian besar anak laki-laki di kelas terbuai oleh keramahannya.

Aku tidak tahu apa dia cantik atau tidak, tapi dia menyebut dirinya gadis paling manis di kelas. Itu pasti benar.

Aku sering mendengar teman sekelas laki-laki yang mengatakan [Gadis itu pasti menyukaiku].

“Maaf, aku sudah mengerjakannya dengan serius. ... Aku hanya kurang usaha saja.”

“Pfft, mana ada. Kamu pasti orang yang jenius. Hei, jadi, ayo kita pergi ke karaoke setelah pulang sekolah hari ini! Kamu selalu sendirian, jadi akan lebih baik untuk pergi sesekali, ‘kan!”

Sama seperti teman sekelas lainnya, aku sering merasa kebingungan dengan kedekatan sikap Michiba.

Sebelumnya, ketika Michiba belajar sendirian di perpustakaan saat istirahat makan siang, aku tidak tahan dan akhirnya memberikan nasihat dalam pelajaran.

Sejak saat itu, mengajari Michiba mulai menjadi rutinitas harianku.

Menurut Michiba, “Cara mengajar Toudou gampang sekali dimengerti!” begitulah katanya.

Pada kenyataannya, Michiba berhasil meraih nilai tertinggi di kelas. Tapi sesi belajarnya denganku masih berlanjut.

... Karena hampir tidak ada siswa yang pergi ke perpustakaan saat istirahat makan siang, jadi tidak ada yang tahu tentang hal itu.

Menghabiskan waktu bersama Michiba terasa cerah dan menyenangkan. Aku tahu bahwa aku dianggap sebagai cowok serba guna untuk mengajarinya, atau begitulah yang mereka katakan di belakangku.

Meskipun begitu, Michiba selalu berusaha mengobrol denganku yang canggung. Hal itu membuatku merasa nyaman sebagai teman sekelasnya.

“Karaoke, ya... Aku akan menanganinya.”

“Haha, 'menanganinya'? Kamu bukan orang tua, kali. Oh, ngomong-ngomong, apa kamu sudah putus dengan Hanazono?”

“Kenapa malah jadinya begitu? Sejak awal kami tidak berpacaran sama sekali. Sebaliknya, dia dan aku hanya teman masa kecil. Tidak kurang maupun lebih.”

Setelah keheranan dengan jawabanku, Michiba akhirnya tersenyum.

“Hmm, kalau begitu, gimana kalau begini. Hei, tentang karaoke... bagaimana kalau kita pergi bersama, hanya kita berdua saja?”

“Tidak, aku akan tidak hadir kalau begitu.”

Michiba adalah teman sekelas yang penting. Rasanya akan merepotkan jika dia salah paham akan sesuatu. Meskipun aku memiliki kesan yang baik padanya, itu hanya sekedar teman sekelas, bukan dalam artian romantis.

“…Huh, ‘Aku akan tidak hadir’. Respon yang cepat itu menjengkelkan... hei, kalau kamu tidak mau berduaan denganku, ikutlah dengan kami sepulang sekolah hari ini. Kalau kamu tidak datang, aku tidak akan berbicara denganmu lagi, oke?”

Hmm, ditanya seperti itu sangat mengganggu.

“Aku mengerti. Aku belum pernah ke karaoke jadi aku sedikit gugup.”

“Ahaha, tjangan khawatir! Kamu pasti akan bergaul lebih baik dengan teman sekelas kita! Jadi jangan lupa sepulang sekolah, ya? Aku akan menghubungimu nanti!”

Pada akhirnya, aku secara paksa diajak Michiba untuk pergi ke karaoke.

Pergi berkaraoke bersama teman sekelas setelah ujian. Aku merasakan perasaan hatiku yang melambung-lambung.

Aku sedikit menantikannya.

 

◇◇◇◇

 

Hari ini adalah hari Sabtu. Setelah pulang ke rumah terlebih dahulu, kami akan bertemu di depan tempat karaoke di distrik perbelanjaan.

Aku memutuskan untuk berdandan lebih dari biasanya dan menuju ke tempat pertemuan.

Aku merapikan rambutku yang berantakan dan berganti pakaian untuk pergi keluar.

Kalau dipikir-pikir, pakaian ini dipilihkan oleh Hanazono.

[Kamu ini memang tidak punya selera fashion, ya!? Walaupun ini bukan kencan— tidak, tunggu, ini bukan kencan, tetapi ketika pergi dengan seorang gadis, jangan memakai jersey sekolahmu juga kali!]

Aku dimarahi seperti itu. Pada hari itu dia akhirnya memilihkan pakaian untukku.

... Kenapa aku mengingat hari itu? Seharusnya aku sudah menghapus perasaanku.

[Hmm, dengan tubuhmu, pakaian ini cocok untukmu. Bukannya aku berpikir kamu terlihat keren atau semacamnya, oke!]

Apa yang aku rasakan pada waktu itu?

Tidak ada yang terlintas dalam pikiranku. Rasanya seoalah-olah seperti sdang melihat kenangan orang asing.

Hatiku tidak tersakiti lagi.

Jadi tidak apa-apa.

Aku mengalihkan perhatianku pada karaoke dan pergi keluar.

 

◇◇◇◇

 

Ketika aku tiba di tempat pertemuan, sepertinya aku datang lebih awal karena belum ada orang lain di sana.

Aku memutuskan untuk menunggu sambil mengamati lingkungan sekelilingku.

Karena ini adalah tempat karaoke di pusat kota, orang-orang yang lewat di sana berpakaian dengan berbagai gaya.

Entah mengapa, ada banyak orang yang melirik ke arahku. Aku tidak terlalu suka ketika orang asing melihatku. Tapi aku juga melihat mereka, jadi bisa dibilang kalau keadaannya impas.

Waktu pertemuan telah lama berlalu.

Setelah mengamati orang-orang selama beberapa saat, aku bermain dengan seekor kucing yang menghampiri kakiku.

Aku mengelus kepala kucing itu. Hewan mudah diajak berinteraksi. Tidak ada risiko mengacaukan komunikasi.

“Kamu juga sendirian, ya?”

“Meong~”

“Hmm, sayangnya aku tidak punya makanan. Maaf.”

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, seekor kucing yang berbeda mengeong. Kucing yang sedang aku belai bereaksi terhadap suara mengeong itu dan menghampiri kucing yang satunya lagi.

Aku sendirian lagi.

“... Senang rasanya memiliki teman.”

Tidak peduli berapa lama aku menunggu, Michiba dan yang lainnya tidak kunjung datang.

Kira-kira sudah sekitar dua jam lebih mungkin? Harus menunggu sendirian sangat kesepian.

Apa aku salah waktu? Atau mungkin tempatnya? Aku mulai merasa cemas.

Mana mungkin aku melakukan kesalahan. Saat aku diberitahu waktu dan tempatnya, aku langsung mencatatnya.

“... Mungkin aku harus pulang saja?”

Aku pasti telah melakukan kesalahan. Aku akan meminta maaf pada Michiba besok. Saat aku berbalik untuk pulang, ponselku berdering keras. Ternyata itu panggilan dari Michiba.

“Halo.”

“Ahh! Toudou! Kamu pergi ke tempat yang salah!! Astaga, apa boleh buat. Cepatlah kemari! Semua orang sedang menunggu!”

Panggilan itu berakhir. Dia mengatakan tempat yang berbeda dari yang tertulis di catatanku.

... Apa ini cuma prank? Atau akulah yang melakukan kesalahan? ... Apapun itu, aku harus pergi agar interaksi dengan Michiba di kelas berjalan lancar.

Bagaimanapun juga, aku pergi ke tempat yang sudah diberitahu Michiba.

 

◇◇◇◇

 

Sesampainya di tempat karaoke, aku memasuki ruang karaoke yang diberitahu Michiba—di dalamnya terdapat dua orang anak SMA yang tidak kukenali, terlihat tidak ramah dan seperti anak punk.

Tidak ada tanda-tanda Michiba atau teman sekelasku di mana pun. Aku yakin aku mendapatkan nomor kamar yang tepat. Aku benar-benar dibuat kebingungan.

“Liat-liat apa loe!? Keluar sana, loesalah kamar!"

“Oh tunggu, Toudou? Apa yang kamu lakukan di sini? Hei, pergilah ambil jus dari bar minuman!”

“Hah, loe kenal Haru?”

“Kenal? Kami malahan kerja di tempat yang sama. Ah terserahlah, masa bodo deh. Tsuyoshi ambilkan jus, jus!”

“Cih, kalau begitu kamu ambil saja.”

... Ada banyak hal yang ingin kukatakan, tapi demi kelancaran interaksi, kuputuskan untuk mengambil jus tanpa berdebat dulu. Berdebat hanya akan menjadi hal yang menyebalkan.

Aku berkeliling di sekitar tempat karaoke yang tidak aku kenal dan tiba di tempat minuman jus.

Gadis dengan riasan tebal di sana adalah rekan kerjaku, Tanaka Haru.

Tanaka merupakan seniorku di tempat kerja paruh waktu.

Kami bersekolah di sekolah yang sama, tapi kami tidak pernah berbicara di sekolah.

Meskipun penampilannya seperti gadis gyaru, dia adalah gadis yang sangat baik yang selalu menutupi kesalahanku ketika aku melakukan kesalahan di tempat kerja.

Terkadang kami berjalan pulang bersama ketika shift kami berakhir pada waktu yang sama. Dia mendengarkan dengan baik ketika aku mengalami masalah dengan Hanazono. Dia satu-satunya orang yang benar-benar mendengarkan apa yang aku katakan.

... Aku terdiam di depan bar jus.

Aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan mesin ini. Apa boleh aku hanya menekan tombol yang aku inginkan?

Anggota staf yang melayani melihat ke arahku, tapi ia mengabaikanku dan menghilang ke belakang .... Hmm.... Aku harus menyelesaikan tugas yang diberikan padaku dan bertemu dengan Michiba.

“Ah, sepertinya kamu tidak tahu cara menggunakannya! Ahaha, maaf~ maaf~.”

“Tanaka?”

Tanaka berada di sampingku. Aroma lembut dan manis menyebar darinya. Itu bukan aroma yang tidak menyenangkan. Justru sebaliknya, aroma itu terasa sangat menenangkan.

Dengan ekspresi ceria yang sama seperti saat bekerja, Tanaka mulai menjelaskannya padaku.

 

“Jadi, kamu tinggal ambil gelas, pilih minuman yang kamu suka, dan tekan saja tombolnya!”

“Oh, begitu ya, jadi aku bisa menggunakannya sesuka hati. Benar-benar mesin yang praktis.”

“Tunggu, apa kamu belum pernah menggunakannya? Mesin ini juga ada di restoran keluarga, tau.”

“Apa iya? Aku belum pernah ke restoran keluarga.”

“Huhhh!? Kamu tidak pernah mengunjungi restoran keluarga!? Hei, ayo kita pergi bersama lain kali!”

“Eh, itu...”

“Kalau kamu tidak mau juga tidak apa-apa, sih. Di sini, tekan ini!”

“Oh, oke.”

Aku meletakkan gelas dan menekan tombol. Begitu ya, ini cukup sederhana, bahkan anak kecil pun bisa melakukannya. Gelas terisi dengan jus berkarbonasi.

Entah bagaimana, aku merasa perasaan tidak menyenangkan yang mengambang di dalam diriku meledak seperti gelembung-gelembung itu.

“Baiklah, ayo kita kembali!”

“Ehm, aku...”

Untuk saat ini, aku mengikuti di belakang Tanaka sambil memegang jus.

Ketika kami kembali ke ruangan dan aku meletakkan kedua jus itu di atas meja, Tanaka yang duduk di sofa menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Teman laki-lakinya juga melihat ke arahku.

“Ayo, Toudou bergabunglah dengan kami untuk berkaraoke!”

“Hm? Jarang sekali melihat Haru menyukai seseorang. Aku tidak masalah sama sekali jika itu baik-baik saja dengannya.”

Ta-Tapi, Tanaka seharusnya sedang berkencan di sini. Aku akan menjadi obat nyamuk saja. Ditambah lagi, aku sudah punya rencana dengan Michiba.

“Maaf, aku diajak oleh Michiba jadi aku tidak bisa bergabung denganmu untuk karaoke.”

“Ah benarkah? Sayang sekali, tapi mau bagaimana lagi.”

Aku penasaran apa dia akan mengundangku lagi?

Aku ingin mengatakan pada Tanaka bahwa aku ingin ikut bersamanya lain kali, tapi aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat.

“Terima kasih Toudou! Sampai jumpa lagi di tempat kerja, ya!”

"Cih, terima kasih. Kami akan bersenang-senang tanpa mu.”

Pria yang tidak menyenangkan itu mengambil permen dari sakunya dan memberikannya kepadaku.

….Apa ini? Aku merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia terlihat normal tetapi gerakannya efisien, tidak ada pemborosan sama sekali.

“Ah, terima kasih. Aku suka permen, jadi ini membuatku senang. Kalau begitu, permisi. T-Tanaka, sampai jumpa... lain kali.”

Tanaka melambaikan tangan dengan penuh semangat saat melepas kepergianku. Entah kenapa aku merasa malu.

Aku beralih mencari Michiba dan yang lainnya. Michiba tidak ada di salah satu ruangan yang kuperiksa.

... Padahal kupikir aku bisa berinteraksi dengan teman sekelasku melalui kesempatan ini.

Aku tidak pandai berbicara dan tidak memiliki kemampuan interpersonal yang baik.

Bahkan ketika diundang ke karaoke, aku ragu-ragu dan berpikir “Apa orang seperti aku boleh pergi?” dan akhirnya aku sering menolak.

Aku pikir jika melalui Michiba, aku bisa berbicara dengan teman sekelasku, tetapi mereka mungkin sudah pulang.

Aku ingin merasakan pengalaman karaoke...

Aku memutuskan untuk meninggalkan tempat karaoke. Saat aku berjalan keluar dengan sedih, aku melihat teman-teman sekelasku dan Michiba di depan tempat karaoke.

Mereka menunjuk ke arahku dan tertawa. Itu bukan tawa yang baik. Itu adalah tawa tidak menyenangkan yang sering aku alami, jenis tawa yang sedang mengejek seseorang.

 

Kenapa?

 

“Orang itu benar-benar mau dibegoin. Mana mungkin kita mengundang seorang penyendiri yang suram.”

“Maksudku, siapa yang mau bernyanyi dengan orang yang hampir tidak pernah diajak bicara?”

“Tak bisa dipercaya tuh orang serius menunggu selama dua jam, rasanya kayak, seriusan bruh?”

“.... Apa ia selalu seperti itu? Ia terlihat agak berbeda dengan penampilannya saat mengenakan pakaian biasa...”

“Jangan khawatir, ia pasti menyukaiku... Heheh.”

“Rokka-san, kamu memang sangat populer!”

Mereka pikir aku tidak bisa mendengarnya karena mereka berbisik.

Tapi aku memiliki pendengaran yang baik. Dan aku menguasai kemampuan membaca gerak bibir. Aku bisa mendengar pembicaraan mereka dengan jelas.

Aku... Aku hanya ingin pergi ke karaoke dengan teman sekelas yang normal. Jadi aku sangat senang saat Michiba mengundangku.

Tapi pada akhirnya aku hanya dibodohi?

Perasaan hangat yang aku miliki untuk Michiba sebagai teman sekelas—

Setelah percakapan yang menyenangkan dengan Tanaka tadi, hatiku menjadi layu.

Yang kurasakan dari mereka adalah kebencian. Kebencian yang tidak berbahaya. Mereka mungkin berpikir itu hanya lelucon. Aku tidak pernah diajarkan tentang hal semacam ini di sekolah.

Di dalam perpustakaan bersama Michiba. Sesi belajar menyenangkan yang kami lakukan. Michiba melaporkan nilai ulangannya yang naik sambil tersenyum.

Dia selalu ceria dan khawatir kalau aku sendirian.

Teman sekelas yang penting.

Tapi baginya aku hanyalah cowok serba guna yang mengajarinya.

Dadaku terasa sakit.

Kupikir aku telah mendapatkan teman pertamaku selain teman masa kecilku.

Saat kami bertukar kontak di aplikasi pesan, aku merasa senang.

Obrolan yang tidak berarti membuatku merasa seperti memiliki kehidupan sehari-hari yang normal.

Jika ini sangat menyakitkan, lebih baik aku lupakan saja semuanya.

 

—Reset.

 

Jika aku mengatur ulang seolah-olah itu tidak pernah terjadi, hatiku takkan tersakiti lagi.

Aku menatap langit dan memusatkan pikiranku.

Beralih secara mental. Secara harfiah berarti mengganti emosi.

Aku bisa mengabaikan kebencian dari orang-orang yang tidak penting membanjiriku. Tapi kebencian dari orang-orang penting membuatku sedih.

Aku mulai mengingat kembali semua kenanganku dengan Michiba, seraya mengabaikan rasa sakit di dadaku.

Memadatkan semua emosi yang kurasakan saat berinteraksi dengan Michiba.

Dan benar-benar menghancurkan esensi yang dipadatkan itu.

 

—Aku me-reset seluruh hubunganku dengan Michiba.

 

Rasa sakit di dalam dadaku menghilang seketika, dan aku kembali ke kondisi mental yang datar.

Mengatur ulang semua rasa sayang menjadi nol.

Ini bukan metafora. Aku benar-benar bisa menghapus rasa sayang, kenangan, dan emosi.

Aku takkan keliru menghapus kenangan seperti ketika aku masih kecil dan mengacaukan pengaturan ulang.

Sekarang, aku akan mampir ke supermarket dalam perjalanan pulang dan membeli bahan-bahan untuk makan malam dan bento besok. Aku akan membuat kari hari ini.

Michiba dan yang lainnya berlari ke arahku sambil cekikikan.

“Haha, Sensei! Tadi itu cuma bercanda, kok. Cuma candaan kecil, oke. Ayo, ayo kita pergi ke tempat karaoke berikutnya! Kami hanya ingin mengujimu. Oh, iya, maukah kamu mengajari yang lain juga? Jika aku memberitahu mereka nilai rahasiamu, mereka akan bersemangat untuk belajar—”

“Ya, ayo kita pergi!”

“Michiba sudah memberitahu kami, loh? Katanya kamu benar-benar pintar!”

“Ayo kita karaoke!”

Aku tidak merasakan kehangatan sama sekali.

Aku tidak butuh persahabatan bodoh semacam ini.

 

“….Maaf, tapi aku mau pulang saja.”

 

Kebetulan di saat yang bersamaan, Tanaka keluar dari tempat karaoke. Wajahnya terlihat segar, seperti dia berhasil menghilangkan stres dengan bernyanyi. Dia melambaikan tangannya ketika melihatku. Aku pun membalas lambaian tangannya. Usai melihat tanggapanku, Tanaka terlihat puas dan pergi bersama pria itu entah kemana.

Michiba memiliki ekspresi kaget di wajahnya.

“Eh, hah? Ke-Kenapa? Kamu marah? I-Itu cuma bercandaan, tau? Ayolah, Sensei, ajari aku, kumohon?”

“Maaf. Aku takkan berhubungan denganmu lagi.”

“T-Tunggu sebentar! Semua orang berkumpul demi kamu, loh! Hei, baca suasanya sih...”

Membaca suasana. Sebuah keterampilan penting bagi siswa SMA modern. Sepertinya nilaiku berada di bawah standar.

“Oh, kalau begitu aku minta maaf karena pergi tanpa mempertimbangkan keadaanmu... Aku minta maaf dengan tulus. Permisi, Michiba.”

“T-Toudou! Tunggu sebentar!! A-Aku minta maaf, oke!”

Orang-orang cenderung terbawa suasana.

Mau bagaimana lagi. Karena kami masih siswa SMA. Kami baru hidup selama tujuh belas tahun.

Itu sebabnya kami tidak ragu-ragu untuk menyakiti orang lain. Karena kami tidak benar-benar memahami betapa sakitnya orang yang disakiti.

Bahkan ketika meminta maaf, aku tahu itu hanya karena mereka ingin aku mengajari mereka.

Aku hanya pria yang dimanfaatkan Michiba. Aku sudah mengatur ulang hubungan itu.

“Kamu tidak perlu meminta maaf. Aku tidak merasakan apa-apa meskipun kamu mengatakan itu.”

“Apa, kenapa kamu mendadak bersikap dingin... Kamu menyukaiku, ‘kan!? Karena itulah kamu mengajariku, ‘kan!”

“Maaf, aku tidak mengerti maksudmu. Ketika aku melihatmu, aku tidak merasakan apa-apa.”

“S-Sensei, wajahmu, itu menakutkan...”

“Tolong jangan memanggilku dengan panggilan seperti itu.”

Michiba terlihat kaget mendengar kata-kataku.

Tapi aku tidak merasakan apa-apa ketika melihatnya memasang wajah seperti itu. Hatiku tidak merasa sakit lagi. Karena aku sudah mengatur ulang semua perasaanku pada Michiba.

Tidak ada lagi interaksi yang berarti.

Aku mulai berjalan, mengabaikan Michiba.

Pikiranku sibuk membuat daftar belanjaan untuk makan malam.

Tiba-tiba aku teringat permen yang ada di kantongku. Aku memasukkan permen itu ke dalam mulutku. Rasanya manis, tapi entah kenapa aku merasa ada rasa sedikit asin...

 

 

 Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama