Kimitsuki Chapter 2.4 Bahasa Indonesia



Setelah itu, aku menghabiskan hari-hariku dengan memenuhi permintaan Mamizu yang tidak masuk akal. Di antara 'hal yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggal,' yang ia minta padaku untuk dilakukan satu demi satu, ada banyak yang membuatku ingin bertanya, “Apa kau benar-benar ingin melakukan itu sebelum kau meninggal? Kau hanya kebetulan memikirkan hal ini dan senang melihatku menderita, ‘kan?” Tapi aku enggan melakukan sebagian besar dari permintaanya.
Dia bilang bahwa dia ingin melakukan adegan yang sering ada di manga di mana tokoh manga mencuri kesemek dari pohon tetangga dan kemudian diteriaki, yang mana sebenarnya aku sudah melakukan itu dan aku pun diteriaki (aku mati-matian meminta maaf pada pemilik pohon itu).
Aku juga melakukan permintaannya untuk berpartisipasi dalam tantangan makan. Aku dihadapkan dengan semangkuk besar nasi dengan potongan daging babi, dan, tentu saja, membayar 3.000 yen tanpa bisa menyelesaikannya.
Aku bahkan melakukan permintaanya untuk pergi ke salon kecantikan, menunjuk majalah dan berkata, "Tolong buat aku sama seperti orang ini." Dan hasilnya adalah gaya rambut yang tidak berbeda dengan biasanya.
Dia memberitahuku dia ingin memukul home run, jadi aku mulai pergi ke batting center di malam hari setelah bekerja. Aku terus melakukan ayunan penuh tak terhitung jumlahnya sampai akhirnya aku mencapai target yang ditandai “home run” pada hari ketiga. Entah kenapa, hadiahnya adalah pemukul bola ping-pong.
Dia bilang bahwa dia ingin mengalami dipukul, jadi aku berdiri di persimpangan pusat kota. Tentu saja, tidak ada yang memanggilku. Aku mencoba memanggil wanita yang berjalan lewat, mengatakan, “Apa kau bersedia memukulku?” Tapi mereka mengira itu sebagai beberapa teknik merayu yang baru dan hasilnya aku dimaki-maki oleh wanita itu.
Aku juga melakukan permintaan Mamizu di mana ia ingin bernyanyi di karaoke sampai suaranya serak. Mamizu langsung menertawakanku dihari berikutnya saat dia mendengarku berbicara dengan suara serak, yang terdengar seperti seorang penyihir jahat.
Aku tidak selalu menuruit permintaan Mamizu. Itu karena ada beberapa hal yang mustahil untuk dipenuhi karena berbagai alasan.
Dia bilang padaku bahwa dia ingin menggunakan taksi dan berkata, “Tolong bawa aku ke laut.” Tapi aku merasa tidak yakin dengan jumlah uang yang aku punya untuk membayarnya, jadi aku memutuskan untuk tidak memenuhi permintaan itu sekarang.
Ada juga di mana dia ingin membunuh zombie, tapi sayangnya, zombie tidak ada di dunia ini, jadi aku tidak bisa membunuh zombie. Tentu saja, di mana dia ingin berkendara dengan kecepatan 200 kilometer per jam adalah yang mustahil juga. Aku tidak memiliki SIM, dan mungkin tidak akan melakukannya bahkan jika aku punya.
Nah, bagaimanapun, aku terkesan dengan bagaimana dia bisa memunculkan semua ide itu. Aku sendiri tidak bisa memikirkan apapun yang ingin aku lakukan.
Setiap kali aku melakukan salah satu permintaan konyol Mamizu dan menyampaikan laporanku tentang pengalaman yang kurasakan, dia tertawa seolah-olah dia sendiri yang mengalaminya. Faktanya, aku tidak memiliki perasaan negatif tentang hal itu juga. Aku sangat menikmati hari-hari yang sudah kulalui.
"Terima kasih. Dengan itu, aku hanya memiliki satu penyesalan,”kata Mamizu setelah aku selesai bercerita tentang sesi karaokeku.
Tiba-tiba aku merasa penasaran.
Apa ini berarti aku bertanggung jawab untuk menghapus penyesalan Mamizu di dunia ini, seperti yang aku lakukan sekarang?
Jika penyesalan berkepanjangan miliknya di dunia ini menghilang satu per satu. Pada akhirnya, apa yang akan terjadi  dengannya?
“Katakanlah, Mamizu.” Aku tiba-tiba ingin bertanya padanya.
“Hmm?”
“Mamizu, apa kau pernah berpikir kalau kau ingin bunuh diri?”
Ekspresi Mamizu tidak menunjukkan sedikit perubahan; dia menjawab dengan nada yang sama dengan yang dia digunakan dalam percakapan biasa. “Aku terus memikirkan itu setiap hari.”
Aku terkejut dengan cara dia menjawab pertanyaanku.
Aku terus memikirkan itu setiap hari.’
Aku merasa bahwa dia sedang tidak berbohong.

****

Pertanyaan yang aku tanyakan pada Mamizu, pernah aku tanyakan juga pada kakakku, Meiko. Aku tidak begitu ingat jawaban apa yang Meiko berikan.
Tapi setelah pacarnya meninggal, Meiko mulai sering berjalan-jalan di lingkungan rumah.
Meski aku bilang 'berjalan-jalan,' dia tidak bertemu siapa pun di suatu tempat atau pergi untuk bersenang-senang.
Dia benar-benar hanya berjalan. Tapi itu bukan sesuatu yang sederhana seperti pergi untuk berjalan santai. Tanpa ragu-ragu, dia akan pergi keluar dan hanya terus berjalan selama lima atau enam jam.
Meiko punya aturan tersendiri untuk jalan-jalan ini. Rupanya, dia akan mulai berjalan kapan pun dia menginginkannya, tanpa menentukan tujuan, dan terus berjalan kemanapun kakinya pergi. Dia tidak mengatur lajunya sendiri atau beristirahat di sepanjang jalan.
Dia meninggal di salah satu jalan, di malam hari.
Setelah dia meninggal, terkadang aku menirunya dan berjalan seperti itu, sebulan sekali. Larut malam, untuk menghindari terlihat oleh ibuku, aku menyelinap keluar dari rumah dan berjalan menyusuri jalan tanpa tujuan. Ketika aku melakukan ini, aku berhati-hati untuk mematuhi metode sederhana ala Meiko. Aku akan berjalan tanpa tujuan, berkeliaran dengan diriku sendiri.
Tapi hanya sekali, aku pernah melakukan ini bersama dengan Kayama.
Itu adalah malam hari selama perjalanan sekolah di SMP. Rupanya ini hal yang normal untuk bertingkah konyol di malam semacam ini, sehingga orang-orang dari kelas bersembunyi dari para guru dan menikmati diri mereka sendiri. Mereka bersemangat bergosip tentang siapa yang mereka sukai dan siapa yang berpacaran dengan siapa, dan itu bukan jenis suasana di mana aku bisa mengatakan bahwa aku akan tidur dulu. Bahkan jika aku mencoba, rasanya akan terlalu berisik bagiku untuk bisa tidur.
Dan, saat aku mencoba untuk menyelinap keluar dari penginapan, aku bertemu  Kayama yang ada di bagian bawah tangga.
“Okada, kemana kau akan pergi malam-malam begini?” Tanyanya.
“... Aku ingin pergi ke suatu tempat.”
“Aku akan pergi juga.”
Aku bilang pada Kayama untuk jangan mengikutiku, tapi dia tetap keras kepala dan akhirnya aku mengalah dan membiarkannya berjalan di belakangku. Kebanyakan aku mengabaikannya saat kami berjalan. Menimbang bahwa ia mengikutiku melawan keinginanku, dan cukup mengejutkan, dia tidak mencoba berbicara denganku.
Pada malam selama perjalanan sekolah itu, kami terus berjalan tanpa melakukan perbincangan.
Kami hanya berjalan lurus, tanpa berpaling dari jalan. Kami berjalan, bertujuan untuk tempat di mana tidak ada orang. Sementara kami berjalan, aku mulai ingin tidak kembali. Aku ingin terus berjalan sampai aku mati. Tapi aku kelelahan dan duduk di tanah.
Saat itu, sebuah kuil terlihat di garis pandangku, dan aku duduk di dalam pekarangan. Kayama membeli jus di mesin penjual otomatis dan melemparkannya kepadaku.
“Kau sedang menderita,” kata Kayama, menatapku dengan ekspresi jengkel.
“Aku normal,” kataku, mengangkat kaleng dan meminum semua minuman bersoda dalam sekali tegukan. Untuk beberapa alasan, minuman yang seharusnya manis terasa pahit di tenggorokanku.
“Aku pikir kau adalah tipe orang yang tidak bisa pergi ke mana pun.” Kayama berkata dengan kata-kata yang mendalam.
Merasa bahwa ia merendahkanku, aku mulai kesal. “Jadi, kau bilang kalau kau sendiri bisa pergi kemanapun?”
“Aku berbeda darimu, Okada. Kastaku ini lebih tinggi. Meski aku seperti ini, aku menikmati diriku sendiri. Setelah kakakku meninggal, maksudku. Aku sudah memutuskan untuk memikirkan realitas sebagai permainan. Suatu hari, kita akan mati, hanya begitu saja, jadi tidak ada gunanya menjadi serius tentang hal itu. Jadi bahkan jika aku menyakiti orang lain, aku takkan terluka,” kata Kayama.
Aku tidak bisa merasakan secuil pun simpati untuk responnya.
“Aku akan menikmati diriku sendiri,” katanya.
“Lakukan apa yang kau mau,” kataku, muak dengan topik ini.
“Jadi, Okada, Kau bisa tinggal di sana, teruslah merasa bermasalah.” Kayama berbicara seolah-olah mengatakan, “Jangan buat aku terlibat dalam masalahmu.”
“Kau menyebalkan,” kataku, melempar kaleng kosong aku ke tempat sampah.

****

Itu benar, aku mulai ingat.
“Terkadang aku ingin pergi ke suatu tempat yang tidak ada di sini.”
Itulah jawaban yang Meiko berikan padaku saat aku bertanya kepadanya tentang pertanyaan itu.
Betul, seperti yang Meiko katakan, terus berada di sini dalam menjalani kehidupan sehari-hari terkadang terasa mencekik. Apakah itu sebabnya? Pikirku. Mungkin itu sebabnya aku terus mengunjungi kamar rumah sakit Mamizu.

****

“Aku selalu ingin mencoba untuk membuat kue,” kata Mamizu di suatu hari tertentu, membuat permintaan lain yang terdengar seolah baru saja dia pikirkan.
Tapi tiba tiba aku mengingat sesuatu. Dari tantangan makan sampai mencuri kesemek, dia punya banyak permintaan yang terkait dengan makanan. Mungkinkah dia ...
“Siapa yang kau panggil serakah?” Kata Mamizu.
Sepertinya dia mampu membaca pikiranku baru-baru ini.
“Yah, baiklah,” kataku, agak kaget. “Aku akan membuatnya dan membawakannya padamu.”
“Terima kasih ... meski Aku tidak tahu apakah aku bisa makan semuanya.” Ekspresi Mamizu tiba-tiba menjadi suram. Itu adalah ekspresi yang jarang aku lihat baru-baru ini.
"Tidak apa-apa. Jika ada yang tersisa, aku yang akan memakannya.”
“Ah, tapi dengarkan. Aku akan melakukan pemeriksaan besar segera. Karena akhir-akhir ini aku sudah merasa lebih baik. Ada kemungkinan kalau aku bisa keluar dari rumah sakit sementara, itu pun tergantung pada hasilnya,”kata Mamizu.
“Lalu apa kau ingin pergi ke suatu tempat?” Tanyaku. “Katakan kemana kau ingin pergi.”
“Aku tidak bisa pergi terlalu jauh. Ah, kalau begitu, kau saja yang memikirkan hal itu dan memutuskannya, Takuya-kun.”
“Itu berbeda dari pola biasa.”
“Sekali-kali tak masalah, ‘kan? Aku ingin pergi ke tempat yang ingin kau kunjungi, Takuya-kun. Aku akan menantikan itu dan melakukan yang terbaik,” kata Mamizu dengan egois, ekspresinya menjadi lebih cerah.

****

Aku memutuskan untuk membuat kue di dapur maid kafe setelah bekerja. Untungnya, kue ada di menu, aku ingat bagaimana membuatnya dan ada banyak bahan yang tersedia. Mumpung sedang tidak ada Owner, jadi kupikir dia takkan marah jika ia tidak pernah tahu.
“Apa yang kau lakukan, Okada-kun?” Tanya Riko-chan-san karena dia tiba-tiba muncul.
“Ah, aku sedang membuat kue untuk alasan pribadi,” kataku.
“Haruskah aku bantu?”
“Tidak ... aku, kue ...”
“Apa kau tipe orang yang ingin membuat mereka sendiri?” Kata Riko-chan-san, seolah-olah cemberut.
Aku bingung apa yang harus aku katakan. “Lain kali,” kataku sebagai tindakan sementara.
"Lain kali. Aku akan membantumu untuk itu, oke?” Kata Riko-chan-san saat ia pulang ke rumah.

****

“Tunggu, kue ini, bukankah ini terlalu manis?” Kata Mamizu sembari mengerutkan alisnya.
“Jika kau hanya mengatakan itu, lebih baik kalau kau tidak memakannya,” kataku.
Kue yang kubuat adalah kue tart strawberry yang tidak ada di menu, buatan asli yang telah susah payah kubuat.
Apa yang dia pikirkan mengenai usaha tekun milikku yang susah-susah membuat itu sampai melewati jam 11 malam? Aku merasa sedikit marah.
“Maaf, maaf, itu manis dan lezat! Jangan ngambek, Takuya-kun,” kata Mamizu, buru-buru memegang tanganku kembali karena aku mencoba untuk mengambil piring darinya.
Pada akhirnya, mengatakan ini dan itu, Mamizu makan seluruh bagian kue yang kuberikan padanya.
“Rasanya enak, bukan?” Kataku dengan tampilan penuh kemenangan.
"Takuya-kun, kau ini jenius memasak, ya!" Kata Mamizu.
Ketika dia memuji sejauh itu, kedengarannya seperti sebuah kebohongan.
“Kalau dipikir-pikir itu, apa ukuran cup-mu, Mamizu?” Tanyaku tiba-tiba.
Mamizu menanggapi itu dengan pukulan. “Apa yang kau pikirkan menanyakan itu secara mendadak?”
"Aku hanya ingin tahu."
“Itu informasi pribadi.”
“Lalu bagaimana dengan berat badanmu?”
“Aku tidak tahu.”
"Golongan darah?"
"Itu rahasia."
“Tidak, golongan darahmu seharusnya tak masalah, ‘kan?”
"... O."
“Ukuran kaki?”
“24.”
“Ternyata cukup besar juga, yah.”
“Itu standar tahu! Itu normal!"
Mamizu marah, jadi aku memutuskan untuk berhenti bertanya lebih jauh dan langsung pulang.

****

Aku tiba dirumah dan memutuskan untuk memakan kue yang tersisa dengan ibuku.
“Ayahmu tidak suka yang manis-manis, bukan. Tetapi untuk berpikir bahwa kau akan membuat kue. Apa itu?”Tanya ibuku.
“Ini adalah kue tart strawberry,” jawabku sembari meletakkan kue ke piring.
Ibuku membawa garpu dan dengan cepat menempatkan sepotong kue di mulutnya. “Apa ini, apa kau tidak salah menakar jumlah gulanya?” Keluhnya dengan tampilan masam di wajahnya.
Mungkinah ... Aku pikir saat aku mencoba kue buatanku sendiri.
"Ini terlalu manis!" Kupikir lidahku akan mati rasa. "Aku heran Mamizu bisa memakan ini ..." Aku tanpa sengaja berkata keras.
"Mamizu?"
"Tidak ... itu bukan apa-apa."
Sambil mengalihkan mataku dari ibu, aku melihat Kamenosuke yang menguap di tangki air yang terletak di sudut ruang tamu. Jadi, kura-kura juga bisa menguap, pikirku.
"Katakan, Bu. Apa menurutmu Kamenosuke akan memakan kue? "Tanyaku.
"Dia tidak mau, bukan?"
Aku punya firasat bahwa dia tidak mau, tapi aku memutuskan untuk memberinya sedikit untuk mengetesnya. Aku membagi sepotong kue dengan garpu dan mencoba memasukkannya ke dalam tangki Kamenosuke.
"Hei, jangan lakukan itu," kata ibuku. "Apa yang akan kau lakukan jika dia jadi sakit perut?"
Setelah kami amati sedikit, Kamenosuke akhirnya menunjukkan ketertarikannya pada kue itu.
Apa dia akan memakannya?
Apa dia tidak memakannya?
Dengan sekejap, Kamenosuke meletakkan kue itu di mulutnya.
Dan kemudian dia meludahkannya.
Aku merasa kecewa.
“Lagipula, Ini terlalu manis,” kata ibuku seakan bersimpati dengan Kamenosuke, dan kemudian dia pergi ke dapur untuk mencuci piring.

*****

Beberapa saat kemudian, saat aku pergi ke kamar rumah sakit Mamizu, ia sudah memakai manicure pink pada kukunya untuk beberapa alasan.
“Oh, ada peristiwa apa hari ini? Apakah lelaki ynag kau kagumi akan datang berkunjung?”Tanyaku, mendekatinya sambil menjaga hal yang aku pegang tetap tersembunyi di balik punggungku.
“Itu benar, Benedict Cumberbatch akan datang untuk berkunjung sesudahmu, Takuya-kun,” katanya.
“Kau menyukai Benedict Cumberbatch ...?” Itu adalah selera yang tidak bisa aku pahami sama sekali.
“Ah, kamar rumah sakit yang sama dan pemandangan yang sama setiap hari, itu sangat membosankan,” keluh Mamizu.
“Meski kau bilang begitu, hal itu tidak bisa dihindari, ‘kan?”
"Yah, kau benar. Ah, itu benar. Hei, aku merasa kasihan pada Kamenosuke, "kata Mamizu tiba-tiba. "Menghabiskan seluruh hidupnya di tangki air. Dia mirip seperti diriku. Aku ingin menunjukkan laut luas padanya, "katanya, terdengar agak emosional.
Walau kau bilang begitu, pikirku. Kata-katanya bisa dianggap menyangkal konsep hewan peliharaan.
"Sebenarnya, Takuya-kun, kau sudah menyembunyikan sesuatu di belakang punggungmu sepanjang waktu ini. Apa itu? "Tanya Mamizu.
"Sekarang kau menyebutkannya, ini tergeletak di lantai sebelah sana," kataku sambil menyerahkan sesuatu padanya. Ini adalah kotak sepatu putih terang.
"Itu cara yang paling buruk di dunia untuk memberikan hadiah kepada seseorang jika kau ingin mencoba membuat mereka bahagia," katanya sedikit marah, seolah-olah dia sedang berada suasana hati yang buruk. Dia membuka kotak itu. "Musatahil. Bagaimana, bagaimana, bagaimana kau bisa tau? "
Mamizu mengeluarkan isi dari kotak itu dan menatap mereka seolah-olah dia tidak bisa mempercayai matanya.
Dia memegang sepasang sepatu hak tinggi merah.
Sepatu itu adalah produk dari merek yang sama yang ada di iklan majalah dia baca. Aku mencarinya dan menemukan sepasang sepatu ini di sebuah mall.
“Sepatu ini merupakan satu-satunya yang sangat, saaaangat kuinginkan.”
“Kau bisa mencoba memakainya,” kataku.
“Benarkah?” Mamizu menatapku dengan mata yang tampak sedikit pemalu. Melihat wajahnya seperti ini adalah hal yang baru bagiku.
Dengan hatinya yang jelas berdebar, dia menyelipkan kakinya ke salah satu sepatu hak tinggi. Apa itu akan terlihat bagus? Akankah itu cocok? Apakah itu benar-benar tak apa-apa baginya untuk memakainya? Dia tampak gugup seperti Cinderella.
“Wow, ini sangat cocok. Bagaimana? Itu luar biasa. Takuya-kun, apa kau bisa membaca pikiranku?”
Bukan hanya ukuran; sepatu tersebut benar-benar cocok dengan kaki putihnya Mamizu.
“Aku bertanya ukuranmu di hari lain,” kataku.
“Ah!” Membuat ekspresi seolah-olah dia baru ingat, Mamizu menatapku dengan mata terkejut.“Tidak buruk sama sekali, Takuya-kun.”
"Tidak seberapa."
Mamizu memakai sepatu hak tinggi dan duduk di pinggiran tempat tidur, mengayunkan kakinya ke atas dan ke bawah. “Ah, aku ingin mengambil Purikura,” kata dia, menatap langit-langit dengan ekspresi gembira di wajahnya. “Ini tidak ada hubungannya dengan hal yang ingin aku lakukan sebelum aku mati, aku hanya ingin mengambil Purikura.” Dia melompat dari tempat tidur. “Aku hanya Siswa SMP ketika aku dirawat di rumah sakit. Aku tumbuh dari anak kecil menjadi orang dewasa di rumah sakit ini,”katanya. (TN: purikura, kalau di Indonesia sih photobox. Tempat mengambil foto dengan berbagai stiker dan semacamnya)
Hal itu masih dipertanyakan, apakah seorang siswa kelas satu SMA bisa disebut sebagai orang dewasa, tapi aku sedikit mengerti apa yang ingin coba ia katakan, jadi aku tidak merasa ingin menyanggah perkataannya.
“Aku akan mencoba berkeliling sedikit, oke?”
Mamizu menegakkan punggungnya dan mulai berjalan di sekitar kamar rumah sakit dengan postur yang baik. Dia menghilang sejenak di luar pintu masuk ke ruang bersama, dan saat dia kembali, dia telah berubah menjadi seperti model dalam fashion show. Aku tidak bisa menahan tawaku. Dia meletakkan tangannya di pinggul dan melebarkan kakinya sedikit, membuat pose yang mengesankan.
“Hey, hey, hey, hey, hey. Bagaimana menurutmu?” Tanyanya.
Aku bertepuk tangan dan tertawa. Mamizu tersenyum sedikit malu.
Dan kemudian ia kembali ke sisi tempat tidur di mana aku duduk, dan dengan lembut berbisik ke telingaku. "Ukuranku D." (TN: Bagi yang ngga ngeh, Mamizu barusan memberi tahu Takuya mengenai ukuran dadanya)
Sekarang giliranku yang merasa tersipu.
Tidak tahu bagaimana menanggapinya ... Aku bertepuk tangan sekali lagi. Mamizu tertawa melihat responku.
*****
Saat aku kembali ke rumah, aku berbaring di depan BUTSUDAN Meiko seperti biasa dan membuka majalah luang yang aku bawa kembali. Aku ingat bahwa jika hasil pemeriksaan Mamizu  baik, kita akan pergi ke suatu tempat bersama-sama. Aku membolik-balikan halaman, mencari tempat yang bisa kita kunjungi untuk hari perjalanan, lalu tiba-tiba  ponselku bergetar.
> Hasil pemeriksaannya sudah keluar. Hasilnya tidak baik sama sekali.
Itu adalah pesan dari Mamizu.
Aku diam-diam menaruh majalah di tempat sampah.


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama