Setelah
itu, aku menghabiskan hari-hariku dengan memenuhi permintaan Mamizu yang tidak
masuk akal. Di antara 'hal yang ingin dia
lakukan sebelum dia meninggal,' yang ia minta padaku untuk dilakukan satu
demi satu, ada banyak yang membuatku ingin bertanya, “Apa kau benar-benar ingin
melakukan itu sebelum kau meninggal? Kau hanya kebetulan memikirkan hal ini dan
senang melihatku menderita, ‘kan?” Tapi aku enggan melakukan sebagian besar
dari permintaanya.
Dia bilang bahwa dia ingin
melakukan adegan yang sering ada di manga di mana tokoh manga mencuri kesemek dari
pohon tetangga dan kemudian diteriaki, yang mana sebenarnya aku sudah melakukan
itu dan aku pun diteriaki (aku mati-matian meminta maaf pada pemilik pohon itu).
Aku juga melakukan permintaannya
untuk berpartisipasi dalam tantangan makan. Aku dihadapkan dengan semangkuk
besar nasi dengan potongan daging babi, dan, tentu saja, membayar 3.000 yen
tanpa bisa menyelesaikannya.
Aku bahkan melakukan
permintaanya untuk pergi ke salon kecantikan, menunjuk majalah dan berkata,
"Tolong buat aku sama seperti orang ini." Dan hasilnya adalah gaya
rambut yang tidak berbeda dengan biasanya.
Dia memberitahuku dia ingin
memukul home run, jadi aku mulai
pergi ke batting center di malam hari
setelah bekerja. Aku terus melakukan ayunan penuh tak terhitung jumlahnya
sampai akhirnya aku mencapai target yang ditandai “home run” pada hari ketiga. Entah kenapa, hadiahnya adalah pemukul
bola ping-pong.
Dia bilang bahwa dia ingin
mengalami dipukul, jadi aku berdiri di persimpangan pusat kota. Tentu saja,
tidak ada yang memanggilku. Aku mencoba memanggil wanita yang berjalan lewat,
mengatakan, “Apa kau bersedia memukulku?” Tapi mereka mengira itu sebagai
beberapa teknik merayu yang baru dan hasilnya aku dimaki-maki oleh wanita itu.
Aku juga melakukan permintaan
Mamizu di mana ia ingin bernyanyi di karaoke sampai suaranya serak. Mamizu
langsung menertawakanku dihari berikutnya saat dia mendengarku berbicara dengan
suara serak, yang terdengar seperti seorang penyihir jahat.
Aku tidak selalu menuruit
permintaan Mamizu. Itu karena ada beberapa hal yang mustahil untuk dipenuhi
karena berbagai alasan.
Dia bilang padaku bahwa dia
ingin menggunakan taksi dan berkata, “Tolong bawa aku ke laut.” Tapi aku merasa
tidak yakin dengan jumlah uang yang aku punya untuk membayarnya, jadi aku memutuskan
untuk tidak memenuhi permintaan itu sekarang.
Ada juga di mana dia ingin
membunuh zombie, tapi sayangnya, zombie tidak ada di dunia ini, jadi aku tidak
bisa membunuh zombie. Tentu saja, di mana dia ingin berkendara dengan kecepatan
200 kilometer per jam adalah yang mustahil juga. Aku tidak memiliki SIM, dan
mungkin tidak akan melakukannya bahkan jika aku punya.
Nah, bagaimanapun, aku terkesan
dengan bagaimana dia bisa memunculkan semua ide itu. Aku sendiri tidak bisa
memikirkan apapun yang ingin aku lakukan.
Setiap kali aku melakukan salah
satu permintaan konyol Mamizu dan menyampaikan laporanku tentang pengalaman
yang kurasakan, dia tertawa seolah-olah dia sendiri yang mengalaminya. Faktanya,
aku tidak memiliki perasaan negatif tentang hal itu juga. Aku sangat menikmati
hari-hari yang sudah kulalui.
"Terima kasih. Dengan itu,
aku hanya memiliki satu penyesalan,”kata Mamizu setelah aku selesai bercerita
tentang sesi karaokeku.
Tiba-tiba aku merasa penasaran.
Apa ini berarti aku bertanggung
jawab untuk menghapus penyesalan Mamizu di dunia ini, seperti yang aku lakukan
sekarang?
Jika penyesalan berkepanjangan
miliknya di dunia ini menghilang satu per satu. Pada akhirnya, apa yang akan
terjadi dengannya?
“Katakanlah, Mamizu.” Aku
tiba-tiba ingin bertanya padanya.
“Hmm?”
“Mamizu, apa kau pernah
berpikir kalau kau ingin bunuh diri?”
Ekspresi Mamizu tidak
menunjukkan sedikit perubahan; dia menjawab dengan nada yang sama dengan yang dia
digunakan dalam percakapan biasa. “Aku terus memikirkan itu setiap hari.”
Aku terkejut dengan cara dia
menjawab pertanyaanku.
‘Aku terus memikirkan itu setiap hari.’
Aku merasa bahwa dia sedang
tidak berbohong.
****
Pertanyaan yang aku tanyakan
pada Mamizu, pernah aku tanyakan juga pada kakakku, Meiko. Aku tidak begitu
ingat jawaban apa yang Meiko berikan.
Tapi setelah pacarnya
meninggal, Meiko mulai sering berjalan-jalan di lingkungan rumah.
Meski aku bilang 'berjalan-jalan,'
dia tidak bertemu siapa pun di suatu tempat atau pergi untuk bersenang-senang.
Dia benar-benar hanya berjalan.
Tapi itu bukan sesuatu yang sederhana seperti pergi untuk berjalan santai.
Tanpa ragu-ragu, dia akan pergi keluar dan hanya terus berjalan selama lima
atau enam jam.
Meiko punya aturan tersendiri
untuk jalan-jalan ini. Rupanya, dia akan mulai berjalan kapan pun dia
menginginkannya, tanpa menentukan tujuan, dan terus berjalan kemanapun kakinya
pergi. Dia tidak mengatur lajunya sendiri atau beristirahat di sepanjang jalan.
Dia meninggal di salah satu
jalan, di malam hari.
Setelah dia meninggal, terkadang
aku menirunya dan berjalan seperti itu, sebulan sekali. Larut malam, untuk menghindari
terlihat oleh ibuku, aku menyelinap keluar dari rumah dan berjalan menyusuri
jalan tanpa tujuan. Ketika aku melakukan ini, aku berhati-hati untuk mematuhi
metode sederhana ala Meiko. Aku akan berjalan tanpa tujuan, berkeliaran dengan
diriku sendiri.
Tapi hanya sekali, aku pernah melakukan
ini bersama dengan Kayama.
Itu adalah malam hari selama
perjalanan sekolah di SMP. Rupanya ini hal yang normal untuk bertingkah konyol
di malam semacam ini, sehingga orang-orang dari kelas bersembunyi dari para
guru dan menikmati diri mereka sendiri. Mereka bersemangat bergosip tentang
siapa yang mereka sukai dan siapa yang berpacaran dengan siapa, dan itu bukan
jenis suasana di mana aku bisa mengatakan bahwa aku akan tidur dulu. Bahkan
jika aku mencoba, rasanya akan terlalu berisik bagiku untuk bisa tidur.
Dan, saat aku mencoba untuk
menyelinap keluar dari penginapan, aku bertemu
Kayama yang ada di bagian bawah tangga.
“Okada, kemana kau akan pergi
malam-malam begini?” Tanyanya.
“... Aku ingin pergi ke suatu
tempat.”
“Aku akan pergi juga.”
Aku bilang pada Kayama untuk
jangan mengikutiku, tapi dia tetap keras kepala dan akhirnya aku mengalah dan
membiarkannya berjalan di belakangku. Kebanyakan aku mengabaikannya saat kami
berjalan. Menimbang bahwa ia mengikutiku melawan keinginanku, dan cukup mengejutkan,
dia tidak mencoba berbicara denganku.
Pada malam selama perjalanan
sekolah itu, kami terus berjalan tanpa melakukan perbincangan.
Kami hanya berjalan lurus,
tanpa berpaling dari jalan. Kami berjalan, bertujuan untuk tempat di mana tidak
ada orang. Sementara kami berjalan, aku mulai ingin tidak kembali. Aku ingin
terus berjalan sampai aku mati. Tapi aku kelelahan dan duduk di tanah.
Saat itu, sebuah kuil terlihat
di garis pandangku, dan aku duduk di dalam pekarangan. Kayama membeli jus di
mesin penjual otomatis dan melemparkannya kepadaku.
“Kau sedang menderita,” kata
Kayama, menatapku dengan ekspresi jengkel.
“Aku normal,” kataku,
mengangkat kaleng dan meminum semua minuman bersoda dalam sekali tegukan. Untuk
beberapa alasan, minuman yang seharusnya manis terasa pahit di tenggorokanku.
“Aku pikir kau adalah tipe
orang yang tidak bisa pergi ke mana pun.” Kayama berkata dengan kata-kata yang
mendalam.
Merasa bahwa ia merendahkanku,
aku mulai kesal. “Jadi, kau bilang kalau kau sendiri bisa pergi kemanapun?”
“Aku berbeda darimu, Okada. Kastaku
ini lebih tinggi. Meski aku seperti ini, aku menikmati diriku sendiri. Setelah
kakakku meninggal, maksudku. Aku sudah memutuskan untuk memikirkan realitas
sebagai permainan. Suatu hari, kita akan mati, hanya begitu saja, jadi tidak
ada gunanya menjadi serius tentang hal itu. Jadi bahkan jika aku menyakiti
orang lain, aku takkan terluka,” kata Kayama.
Aku tidak bisa merasakan secuil
pun simpati untuk responnya.
“Aku akan menikmati diriku
sendiri,” katanya.
“Lakukan apa yang kau mau,”
kataku, muak dengan topik ini.
“Jadi, Okada, Kau bisa tinggal
di sana, teruslah merasa bermasalah.” Kayama berbicara seolah-olah mengatakan,
“Jangan buat aku terlibat dalam masalahmu.”
“Kau menyebalkan,” kataku,
melempar kaleng kosong aku ke tempat sampah.
****
Itu benar, aku mulai ingat.
“Terkadang aku ingin pergi ke
suatu tempat yang tidak ada di sini.”
Itulah jawaban yang Meiko berikan
padaku saat aku bertanya kepadanya tentang pertanyaan itu.
Betul, seperti yang Meiko
katakan, terus berada di sini dalam menjalani kehidupan sehari-hari terkadang
terasa mencekik. Apakah itu sebabnya?
Pikirku. Mungkin itu sebabnya aku terus mengunjungi kamar rumah sakit Mamizu.
****
“Aku selalu ingin mencoba untuk
membuat kue,” kata Mamizu di suatu hari tertentu, membuat permintaan lain yang
terdengar seolah baru saja dia pikirkan.
Tapi tiba tiba aku mengingat
sesuatu. Dari tantangan makan sampai mencuri kesemek, dia punya banyak
permintaan yang terkait dengan makanan. Mungkinkah dia ...
“Siapa yang kau panggil
serakah?” Kata Mamizu.
Sepertinya dia mampu membaca
pikiranku baru-baru ini.
“Yah, baiklah,” kataku, agak
kaget. “Aku akan membuatnya dan membawakannya padamu.”
“Terima kasih ... meski Aku
tidak tahu apakah aku bisa makan semuanya.” Ekspresi Mamizu tiba-tiba menjadi
suram. Itu adalah ekspresi yang jarang aku lihat baru-baru ini.
"Tidak apa-apa. Jika ada
yang tersisa, aku yang akan memakannya.”
“Ah, tapi dengarkan. Aku akan
melakukan pemeriksaan besar segera. Karena akhir-akhir ini aku sudah merasa
lebih baik. Ada kemungkinan kalau aku bisa keluar dari rumah sakit sementara, itu
pun tergantung pada hasilnya,”kata Mamizu.
“Lalu apa kau ingin pergi ke
suatu tempat?” Tanyaku. “Katakan kemana kau ingin pergi.”
“Aku tidak bisa pergi terlalu
jauh. Ah, kalau begitu, kau saja yang memikirkan hal itu dan memutuskannya,
Takuya-kun.”
“Itu berbeda dari pola biasa.”
“Sekali-kali tak masalah, ‘kan?
Aku ingin pergi ke tempat yang ingin kau kunjungi, Takuya-kun. Aku akan
menantikan itu dan melakukan yang terbaik,” kata Mamizu dengan egois,
ekspresinya menjadi lebih cerah.
****
Aku memutuskan untuk membuat
kue di dapur maid kafe setelah bekerja. Untungnya, kue ada di menu, aku ingat
bagaimana membuatnya dan ada banyak bahan yang tersedia. Mumpung sedang tidak ada
Owner, jadi kupikir dia takkan marah jika ia tidak pernah tahu.
“Apa yang kau lakukan,
Okada-kun?” Tanya Riko-chan-san karena dia tiba-tiba muncul.
“Ah, aku sedang membuat kue
untuk alasan pribadi,” kataku.
“Haruskah aku bantu?”
“Tidak ... aku, kue ...”
“Apa kau tipe orang yang ingin
membuat mereka sendiri?” Kata Riko-chan-san, seolah-olah cemberut.
Aku bingung apa yang harus aku
katakan. “Lain kali,” kataku sebagai tindakan sementara.
"Lain kali. Aku akan
membantumu untuk itu, oke?” Kata Riko-chan-san saat ia pulang ke rumah.
****
“Tunggu, kue ini, bukankah ini
terlalu manis?” Kata Mamizu sembari mengerutkan alisnya.
“Jika kau hanya mengatakan itu,
lebih baik kalau kau tidak memakannya,” kataku.
Kue yang kubuat adalah kue tart
strawberry yang tidak ada di menu, buatan asli yang telah susah payah kubuat.
Apa yang dia pikirkan mengenai usaha
tekun milikku yang susah-susah membuat itu sampai melewati jam 11 malam? Aku
merasa sedikit marah.
“Maaf, maaf, itu manis dan
lezat! Jangan ngambek, Takuya-kun,” kata Mamizu, buru-buru memegang tanganku
kembali karena aku mencoba untuk mengambil piring darinya.
Pada akhirnya, mengatakan ini
dan itu, Mamizu makan seluruh bagian kue yang kuberikan padanya.
“Rasanya enak, bukan?” Kataku
dengan tampilan penuh kemenangan.
"Takuya-kun, kau ini jenius
memasak, ya!" Kata Mamizu.
Ketika dia memuji sejauh itu,
kedengarannya seperti sebuah kebohongan.
“Kalau dipikir-pikir itu, apa
ukuran cup-mu, Mamizu?” Tanyaku
tiba-tiba.
Mamizu menanggapi itu dengan
pukulan. “Apa yang kau pikirkan menanyakan itu secara mendadak?”
"Aku hanya ingin
tahu."
“Itu informasi pribadi.”
“Lalu bagaimana dengan berat
badanmu?”
“Aku tidak tahu.”
"Golongan darah?"
"Itu rahasia."
“Tidak, golongan darahmu
seharusnya tak masalah, ‘kan?”
"... O."
“Ukuran kaki?”
“24.”
“Ternyata cukup besar juga, yah.”
“Itu standar tahu! Itu
normal!"
Mamizu marah, jadi aku memutuskan
untuk berhenti bertanya lebih jauh dan langsung pulang.
****
Aku tiba dirumah dan memutuskan
untuk memakan kue yang tersisa dengan ibuku.
“Ayahmu tidak suka yang
manis-manis, bukan. Tetapi untuk berpikir bahwa kau akan membuat kue. Apa
itu?”Tanya ibuku.
“Ini adalah kue tart
strawberry,” jawabku sembari meletakkan kue ke piring.
Ibuku membawa garpu dan dengan
cepat menempatkan sepotong kue di mulutnya. “Apa ini, apa kau tidak salah
menakar jumlah gulanya?” Keluhnya dengan tampilan masam di wajahnya.
Mungkinah ... Aku pikir saat
aku mencoba kue buatanku sendiri.
"Ini terlalu manis!"
Kupikir lidahku akan mati rasa. "Aku heran Mamizu bisa memakan ini
..." Aku tanpa sengaja berkata keras.
"Mamizu?"
"Tidak ... itu bukan
apa-apa."
Sambil mengalihkan mataku dari
ibu, aku melihat Kamenosuke yang menguap di tangki air yang terletak di sudut
ruang tamu. Jadi, kura-kura juga bisa menguap, pikirku.
"Katakan, Bu. Apa
menurutmu Kamenosuke akan memakan kue? "Tanyaku.
"Dia tidak mau,
bukan?"
Aku punya firasat bahwa dia
tidak mau, tapi aku memutuskan untuk memberinya sedikit untuk mengetesnya. Aku
membagi sepotong kue dengan garpu dan mencoba memasukkannya ke dalam tangki
Kamenosuke.
"Hei, jangan lakukan
itu," kata ibuku. "Apa yang akan kau lakukan jika dia jadi sakit
perut?"
Setelah kami amati sedikit,
Kamenosuke akhirnya menunjukkan ketertarikannya pada kue itu.
Apa dia akan memakannya?
Apa dia tidak memakannya?
Dengan sekejap, Kamenosuke
meletakkan kue itu di mulutnya.
Dan kemudian dia meludahkannya.
Aku merasa kecewa.
“Lagipula, Ini terlalu manis,”
kata ibuku seakan bersimpati dengan Kamenosuke, dan kemudian dia pergi ke dapur
untuk mencuci piring.
*****
Beberapa saat kemudian, saat aku
pergi ke kamar rumah sakit Mamizu, ia sudah memakai manicure pink pada kukunya
untuk beberapa alasan.
“Oh, ada peristiwa apa hari ini?
Apakah lelaki ynag kau kagumi akan datang berkunjung?”Tanyaku, mendekatinya
sambil menjaga hal yang aku pegang tetap tersembunyi di balik punggungku.
“Itu benar, Benedict Cumberbatch
akan datang untuk berkunjung sesudahmu, Takuya-kun,” katanya.
“Kau menyukai Benedict
Cumberbatch ...?” Itu adalah selera yang tidak bisa aku pahami sama sekali.
“Ah, kamar rumah sakit yang
sama dan pemandangan yang sama setiap hari, itu sangat membosankan,” keluh
Mamizu.
“Meski kau bilang begitu, hal
itu tidak bisa dihindari, ‘kan?”
"Yah, kau benar. Ah, itu
benar. Hei, aku merasa kasihan pada Kamenosuke, "kata Mamizu tiba-tiba.
"Menghabiskan seluruh hidupnya di tangki air. Dia mirip seperti diriku. Aku
ingin menunjukkan laut luas padanya, "katanya, terdengar agak emosional.
Walau
kau bilang begitu, pikirku. Kata-katanya bisa dianggap menyangkal
konsep hewan peliharaan.
"Sebenarnya, Takuya-kun,
kau sudah menyembunyikan sesuatu di belakang punggungmu sepanjang waktu ini. Apa
itu? "Tanya Mamizu.
"Sekarang kau menyebutkannya,
ini tergeletak di lantai sebelah sana," kataku sambil menyerahkan sesuatu
padanya. Ini adalah kotak sepatu putih terang.
"Itu cara yang paling buruk
di dunia untuk memberikan hadiah kepada seseorang jika kau ingin mencoba
membuat mereka bahagia," katanya sedikit marah, seolah-olah dia sedang
berada suasana hati yang buruk. Dia membuka kotak itu. "Musatahil.
Bagaimana, bagaimana, bagaimana kau bisa tau? "
Mamizu mengeluarkan isi dari kotak
itu dan menatap mereka seolah-olah dia tidak bisa mempercayai matanya.
Dia memegang sepasang sepatu
hak tinggi merah.
Sepatu itu adalah produk dari
merek yang sama yang ada di iklan majalah dia baca. Aku mencarinya dan
menemukan sepasang sepatu ini di sebuah mall.
“Sepatu ini merupakan
satu-satunya yang sangat, saaaangat kuinginkan.”
“Kau bisa mencoba memakainya,”
kataku.
“Benarkah?” Mamizu menatapku
dengan mata yang tampak sedikit pemalu. Melihat wajahnya seperti ini adalah hal
yang baru bagiku.
Dengan hatinya yang jelas
berdebar, dia menyelipkan kakinya ke salah satu sepatu hak tinggi. Apa itu akan
terlihat bagus? Akankah itu cocok? Apakah itu benar-benar tak apa-apa baginya
untuk memakainya? Dia tampak gugup seperti Cinderella.
“Wow, ini sangat cocok.
Bagaimana? Itu luar biasa. Takuya-kun, apa kau bisa membaca pikiranku?”
Bukan hanya ukuran; sepatu tersebut
benar-benar cocok dengan kaki putihnya Mamizu.
“Aku bertanya ukuranmu di hari
lain,” kataku.
“Ah!” Membuat ekspresi
seolah-olah dia baru ingat, Mamizu menatapku dengan mata terkejut.“Tidak buruk
sama sekali, Takuya-kun.”
"Tidak seberapa."
Mamizu memakai sepatu hak
tinggi dan duduk di pinggiran tempat tidur, mengayunkan kakinya ke atas dan ke
bawah. “Ah, aku ingin mengambil Purikura,”
kata dia, menatap langit-langit dengan ekspresi gembira di wajahnya. “Ini tidak
ada hubungannya dengan hal yang ingin aku lakukan sebelum aku mati, aku hanya
ingin mengambil Purikura.” Dia
melompat dari tempat tidur. “Aku hanya Siswa SMP ketika aku dirawat di rumah
sakit. Aku tumbuh dari anak kecil menjadi orang dewasa di rumah sakit
ini,”katanya. (TN: purikura, kalau di
Indonesia sih photobox. Tempat mengambil foto dengan berbagai stiker dan
semacamnya)
Hal itu masih dipertanyakan,
apakah seorang siswa kelas satu SMA bisa disebut sebagai orang dewasa, tapi aku
sedikit mengerti apa yang ingin coba ia katakan, jadi aku tidak merasa ingin
menyanggah perkataannya.
“Aku akan mencoba berkeliling
sedikit, oke?”
Mamizu menegakkan punggungnya
dan mulai berjalan di sekitar kamar rumah sakit dengan postur yang baik. Dia
menghilang sejenak di luar pintu masuk ke ruang bersama, dan saat dia kembali,
dia telah berubah menjadi seperti model dalam fashion show. Aku tidak bisa menahan tawaku. Dia meletakkan
tangannya di pinggul dan melebarkan kakinya sedikit, membuat pose yang mengesankan.
“Hey, hey, hey, hey, hey.
Bagaimana menurutmu?” Tanyanya.
Aku bertepuk tangan dan tertawa.
Mamizu tersenyum sedikit malu.
Dan kemudian ia kembali ke sisi
tempat tidur di mana aku duduk, dan dengan lembut berbisik ke telingaku.
"Ukuranku D." (TN: Bagi yang
ngga ngeh, Mamizu barusan memberi tahu Takuya mengenai ukuran dadanya)
Sekarang giliranku yang merasa
tersipu.
Tidak tahu bagaimana menanggapinya
... Aku bertepuk tangan sekali lagi. Mamizu tertawa melihat responku.
*****
Saat aku kembali ke rumah, aku
berbaring di depan BUTSUDAN Meiko seperti biasa dan membuka majalah luang yang
aku bawa kembali. Aku ingat bahwa jika hasil pemeriksaan Mamizu baik, kita akan pergi ke suatu tempat
bersama-sama. Aku membolik-balikan halaman, mencari tempat yang bisa kita
kunjungi untuk hari perjalanan, lalu tiba-tiba
ponselku bergetar.
> Hasil pemeriksaannya sudah
keluar. Hasilnya tidak baik sama sekali.
Itu adalah pesan dari Mamizu.
Aku diam-diam menaruh majalah
di tempat sampah.