Chapter 6 — 27 Agustus (Kamis)
Aku
menatap langit biru cerah di tengah pemandangan asing di sekitarku saat kereta
yang bergerak mengguncangku ke kiri dan ke kanan. Kapan terakhir kali aku naik
kereta seperti ini? Sejak aku lahir dan besar di Shibuya, dan aku menjalani
kehidupan indoor, aku jarang naik
kereta ke mana pun. Karena aku memiliki mentalitas 'selama aku memiliki manga dan buku, aku dapat terus hidup',
Shibuya terasa seperti surga bagiku. Sekarang jalan-jalan kecil telah menghilang
ke kejauhan, dan toko buku mereka yang lebih kecil, sekarang hanya bangunan
yang menjulang tinggi yang tersisa.
Pada
akhir pekan maupun hari libur, aku selalu menghabiskan waktu berjalan kaki dari
toko buku ke toko buku lainnya, jadi aku tidak perlu bepergian terlalu jauh. Aku
tidak pernah menyangka akan tiba hari dimana aku akan menggunakan kereta api
untuk bepergian ke kolam renang untuk bersenang-senang dengan orang lain.
Penumpang di dalam kereta tidak terlalu ramai. Karena masih ada sekitar lima
hari liburan musim panas yang tersisa, dihitung hari ini. Sekarang merupakan
waktu yang tepat untuk mengakhiri sebagian besar kegiatan musim panas, dan
orang-orang mulai panik karena liburan musim panas mereka akan segera berakhir.
Aku
mengeluarkan ponselku dan memeriksa waktu. Saat ini sudah jam 09:18. Karena
kami seharusnya bertemu di gerbang tiket di depan stasiun kereta Shinjuku pada
pukul 09:30, aku masih punya banyak waktu sebelum waktu pertemuan. Namun,
setelah kami berkumpul, masih ada 30 menit lagi untuk naik kereta api, dan
kemudian 30 menit menggunakan bus. Kolam yang kami tuju secara tak terduga
letaknya lumayan jauh. Jadi, tak butuh waktu lama bagiku untuk mulai berpikir
dua kali.
Tidak.
Aku tidak bisa goyah. Aku tidak bisa pulang begitu saja setelah melakukan yang
terbaik untuk mengajak Ayase-san ikut. Ngomong-ngomong tentang Ayase-san, kami
memutuskan untuk berangkat sendiri-sendiri sampai kami bertemu di titik
pertemuan, jadi dia meninggalkan rumah 15 menit duluan. Karena akan ada orang
lain yang dari seangkatan bersama kami hari ini, kami tidak dapat mengambil
risiko apapun yang akan membuat mereka mengetahuinya.
Meski
aku bilang begitu, nyatanya Narasaka-san sudah tahu. Kurasa itu bukan masalah
besar bahkan jika orang tahu, jadi kami tidak mencoba memberitahunya untuk
tetap merahasiakan hal itu atau semacamnya. Jika orang lain tahu, kami tinggal
menjelaskannya saja. Lagipula, kami tidak melakukan sesuatu yang ilegal. Aku
sedang menikmati pemandangan di luar jendela ketika sebuah pengumuman tersiar
melalui pengeras suara kereta, yang menyebutkan nama stasiun berikutnya.
Angin
sepoi-sepoi menerpaku saat pintu terbuka dan aku turun dari kereta. Setelah
melewati gerbang tiket, aku melihat sekelompok sekitar sepuluh orang. Jumlah
cowok dan cewek dalam kelompok ini hampir sama, dan mereka semua mengenakan
seragam SMA Suisei. Karena mereka semua membawa tas juga, sepertinya mereka
sedang dalam perjalanan sekolah.
“Aneh.”
gumamku.
Aku
juga memakai seragam SMA Suisei. Benar juga, Narasaka-san menyebutkan dalam pesan
yang dia kirim kalau aku wajib mengenakan seragam sekolahku, dan membawa tas
siswa serta kartu pelajar. Rupanya hal itu perlu dilakukan supaya bisa mendapat
diskon pelajar, tapi biasanya kamu tinggal menunjukkan kartu pelajarmu saja? Aku
mempunyai beberapa keraguan, tepi jika semua orang mengenakan seragam, kurasa
itu bukan masalah besar. Aku pandai mengikuti petunjuk.
Saat
melihat semua orang yang berkumpul, aku melihat beberapa wajah yang aku kenal
di antara mereka.
“Lagi,
ya…?”
Aku
mendapati Ayase-san menjaga jarak aman dari mereka. Dia juga mengenakan
seragamnya. Saat melirik ke arahku dan melihatku, dia menghela nafas lega. Yah,
kurasa Narasaka-san adalah satu-satunya teman sejatinya di grup ini. Dan
Narasaka-san sendiri sedang berada di tengah-tengah kelompok, dan berbicara dengan
beberapa orang. Julukan monster komunikasi nomor 1 SMA Suisei memang bukan
isapan jempol belaka (pendapat pribadiku). Saat menyadari keberadaanku, dia
langsung melambaikan tangannya, dan meregangkan tubuhnya layaknya anak anjing
melihat pemiliknya. Mengingat betapa imutnya dia, aku benar-benar bisa memahami
alasan kepopulerannya di kalangan cowok.
“Selamat
pagi, selamat siang, selamat sore, Asamura-kun!”
“Selamat
pa-... Tunggu, bukannya salam 'Pagi' yang simpel saja sudah cukup?”
“Kami
melakukannya seperti itu di industri ini.”
“Industri
apa?”
“Industri
SMA Suisei.”
“Begitu
ya?”
Jadi
sekolah kita merupakan industri, ya. Kedengarannya tidak masuk akal jika kamu
bertanya kepadaku. Omong-omong, beberapa orang SMA Suisei perlahan-lahan masuk
dari gerbang tiket dan bergabung dengan grup kami, dan kami mulai saling
memperkenalkan diri. Biasanya perkenalan singkat tidak akan terlalu menjadi
masalah, tapi setiap kali seseorang menyebut nama mereka, Narasaka-san menambahkan
semacam perkenalan aneh, yang membuat durasinya memakan waktu lebih lama.
“Namaku
Asamura Yuuta… Senang bisa bertemu dengan kalian semua.”
“Baiklah,
dan ini Asamura-kun! Ia mungkin terlihat memiliki suasana yang kalem, tapi Ia
diam-diam pria yang sangat populer!”
“Pilih
antara diam-diam dan populer!” Salah satu cowok menimpalinya.
“Pada
dasarnya, sekarang satu-satunya kesempatanmu untuk bergaul dengannya!”
Narasaka-san membalas dan tertawa.
Aku
kira ini adalah caranya sendiri untuk memecahkan suasana canggung, yaitu dengan
membuat candaan yang menarik.
“Iya,
‘kan, Asamura-kun!”
“Aku
merasa kalau kamu salah tentang banyak hal, tapi… Kita bisa berhenti di situ.”
“Senang
bertemu denganmu, Asamura!”
Tiba-tiba,
seorang pria kekar dan kecokelatan, mungkin anggota dari klub rugby, datang
untuk meminta jabat tangan. Aku tertegun sejenak karena terkejut, tidak
mengharapkan perkembangan yang begitu tiba-tiba dari orang yang baru saja
kutemui. Mungkin itu berkat atmosfer yang diciptakan Narasaka-san.
“Sama-sama…”
Karena
tidak punya pilihan lain, aku jadi menerima jabat tangan itu. Padahal Ia sudah
sangat dekat. Ia benar-benar tampak seperti tipe riajuu yang akan memenangkan hadiah di setiap festival olahraga.
Tapi entah bagaimana aku berhasil melewati pertemuan pertama ini. Meski
suasananya merupakan sesuatu yang benar-benar tidak bisa terbiasa buatku.
Namun, tujuanku hari ini adalah membuat Ayase-san menikmati dirinya sendiri,
jadi aku tidak bisa menyerah secepat ini.
Sesi
perkenalan diri terus berlanjut. Sama seperti sebelumnya, Narasaka-san terus-menerus
menambahkan beberapa komentar sampingan dengan setiap orang yang memperkenalkan
diri, atau bahkan membuat lelucon dengan nama mereka. Perbuatannya itu
berdampak dengan sangat baik sehingga bahkan aku, yang tidak berniat mengingat
siapa pun dari sini, mendapati diriku setidaknya bertukar salam ke beberapa
orang, dan bahkan mungkin mengingat beberapa nama mereka. Begitu rupanya. Jadi
itu sebabnya dia melakukan semua ini. Narasaka Maaya memang monster komunikasi
yang hebat.
“Ayase
Saki.”
“Aku
yakin kalian semua sudah tahu Saki, tapi… tidak apa-apa. Dia mungkin terlihat
sedikit menakutkan, tapi dia tidak menggigit, kok.”
“Sesuatu
seperti itu.”
“Panggil
saja dia Ayasshii!”
Karakter
komedi macam apa itu?
“Panggil
Ayase saja tidak masalah.” Ayase-san bahkan tidak mencoba mengikuti momentum
percakapan.
Meski
begitu, mungkin karena dia menunjukkan senyum masam tanpa benar-benar marah,
beberapa gadis memberinya tatapan tak terduga. Begitu. Jadi mereka benar-benar
berpikir kalau Ayase-san adalah orang yang menakutkan.
“Jadi,
Narasaka, kenapa kita perlu memakai seragam segala?” Tanya salah satu dari
mereka mengenai topik yang selama ini ingin kutanyakan.
“Bukankah
aku sudah memberitahumu di pesan? Ini demi diskon pelajar~”
“Bukannya
pakai kartu pelajar saja sudah cukup untuk itu?”
“Itu
cuma satu dari alasan lainnya. Jika kamu memakai seragam, orang tuamu takkan
terlalu ketat saat kamu keluar rumah, ‘kan?”
“Itu
tidak masuk akal!”
“Jangan
meributkan masalah sepele! Kita bisa bersenang-senang sepuasnya dengan seragam
kita, jadi kita harus memanfaat waktu kita sebanyak mungkin~”
Sepertinya
pertanyaan orang tersebut tidak dijawab dengan benar, tetapi cowok itu juga
tidak menunjukkan niat untuk mencoba mengoreknya lebih jauh. Namun, ketika aku
mendengar tanggapannya, aku mendapati diriku sedikit lebih mengerti. Sepertinya
Narasaka-san bahkan lebih perhatian dari yang kuduga. Dia mungkin mengira bahwa
beberapa orang tua peserta akan sangat ketat tentang hal ini, dan memberi
mereka semacam alasan yang bisa mereka gunakan sehingga mereka bisa keluar
untuk bermain bersama orang lain.
Misalnya
saja alasan seperti ada kegiatan komite di sekolah, membantu persiapan semester
baru, atau semacamnya. Karena dia mungkin tahu tentang masalah ini, dia mencoba
yang terbaik untuk tidak membuat siapa pun menonjol secara negatif karena
mereka tidak dapat berpartisipasi ... Yah, itu semua cuma sekadar asumsiku
belaka.
Ketika
melihat sekeliling, aku tidak tahu siapa yang mengenakan seragam karena kami
disuruh, dan siapa yang memakainya untuk kenyamanan. Cuma Narasaka-san yang
tahu, dan dia mungkin mencoba merahasiakannya. Selain itu, karena orang-orang
tahu dia punya sifat begitu, segala jenis kondisi tidak masuk akal yang dia sebabkan
akan dimaafkan, dan itu tidak merusak suasana sama sekali. Narasaka Maaya
bahkan lebih merupakan monster komunikasi daripada yang aku duga sebelumnya,
ya?
“Baiklah,
kalau begitu ayo pergi!”
Dengan
suaranya yang penuh semangat, Narasaka-san melangkah di depan kami dan berjalan
ke gerbang tiket. Dan begitulah, acara besar terakhirku untuk membuat kenangan
selama liburan musim panas ini dimulai.
Setelah
naik kereta, kami melanjutkan perjalanan ke barat dari Shinjuku. Sekitar
setengah jalan di sana, gedung-gedung besar di sekitar kami mulai menghilang,
dan langit biru yang lebar terbuka, terlihat dari jendela kereta. Bergerak ke
barat dari pusat kota pada dasarnya berarti kami bergerak lebih jauh dari Teluk
Tokyo, dan juga menjauh dari laut. Rasanya sedikit aneh untuk menjauh dari air
untuk bermain di air. Mungkin itu sebabnya tidak ada rekreasi kolam renang di
dekat Shibuya, karena kamu bisa langsung pergi ke laut.
Kelompok
kami terdiri dari sepuluh orang termasuk Ayase-san, Narasaka-san, dan aku. Kami
terbagi antara lima cowok dan lima cewek. Dengan kata lain, ini adalah pertama
kalinya aku bertemu tujuh dari mereka. Saat kami bepergian, kami mengobrol
sedikit, dan aku menyadari bahwa aku tidak lelah seperti yang kuharapkan. Aku
takut tidak dapat mengikuti percakapan, dan tertinggal mencoba berkontribusi
pada subjek tertentu, tapi ternyata tidak begitu. Kurasa monster komunikasi
sejati tahu bagaimana menangani diri mereka sendiri tanpa meninggalkan
penyendiri dan orang buangan, ya?
“Jadi
kamu bekerja sambilan di toko buku, Asamura?”
“Ya.”
“Apa
itu benar-benar menguntungkan?"
“Entah...
Aku sendiri tidak pernah bekerja di
tempat lain, jadi aku tidak pernah tahu.”
“Tapi
kamu pergi bekerja dan menghadiri kursus musim panas pada saat yang sama? Itu
sangat mengagumkan!”
“Yup
yup, aku justru cuma tidur-tiduran selama liburan musim panas!”
“Aku
tidak berpikir semenakjubkan itu ...”
Terlepas
dari semua itu, aku masih bukan yang terbaik dalam melakukan percakapan seperti
ini. Saat menyangkut buku, aku dapat membicarakannya selama berjam-jam, tapi
kemudian aku menyadari bahwa hanya memberitahu mereka tentang buku bukanlah apa
yang bisa disebut sebagai percakapan. Meski aku berpikir bahwa percakapan tanpa
tema umum terlalu sulit untuk diikuti bagiku. Pokoknya, saat kami mengobrol
basa-basi, waktu 30 menit berlalu, dan setelah itu, kami berdesak-desakan di
dalam bus selama 30 menit lagi.
Dan
akhirnya, kami berhasil sampai di tempat kolam yang dimaksud. Di luar, cuaca
sangat panas seperti yang diharapkan dengan matahari pertengahan musim panas
yang menyengat, jadi aku sedikit pusing ketika turun dari bus. Dibandingkan
dengan udara sejuk di dalam kendaraan, berada di luar terasa seperti disiksa.
Garis putih yang digambar di aspal hampir menyilaukan dengan sinar matahari
yang menyinarinya.
“Jadi
ini kolamnya?” Gumamku saat melihat ke gedung raksasa yang ada di depanku.
Ketika
mendengar kata 'kolam', aku
membayangkan sesuatu seperti kolam renang di sekolah, atau mungkin kolam renang
umum setempat, tapi ini lebih mirip penginapan mata air panas.
“Ini
pintu masuknya. Di sisi ini ada kolam renang dalam ruangan, dan mereka juga
memiliki atap transparan. Di luar itu adalah kolam renang luar ruangan. Lihat,
kamu bisa melihat beberapa atraksi di sana, kan?” Narasaka-san menjelaskan dan
aku menggumamkan nama objek yang kulihat.
“Ahh
... perosotan, ya?”
“Setidaknya
sebut saja seluncuran air! Asamura-kun, mana semangatmu?!”
“Apa
hubungannya semangatku dengan sesuatu?”
“Itu
akan mengubah suasana hatimu. Menyebutnya seluncuran air akan membuatmu semakin
bersemangat. Bagaimana menurutmu jika kita mengatakan kalau anak SMA sedang
bermain di perosotan?”
“Aku
hanya ingin tahu mengapa kamu bermain di perosotan.”
“…Saki,
Yumi, kalian berdua coba katakan sesuatu, dong!” Narasaka-san menoleh ke arah
Ayase-san dan gadis yang berdiri di sampingnya.
“Ini
terlalu besar untuk seluncuran biasa, jadi jika kamu benar-benar ingin
merasakannya, Kamu harus menyebutnya seluncuran air raksasa.”
Ayase-san,
kamu baru saja memparafrasekannya, kan? Orang di sebelah Ayase-san, Tabata Yumi
(aku pikir itu namanya. Narasaka-san
menyebutkan bahwa dia memiliki nama yang sama dengan stasiun kereta di Jalur
Yamanote), menatapnya dengan heran.
“Jadi
Ayase-san tahu bagaimana membuat lelucon, ya?”
“Lelucon…
Ah, ya.”
Tentu
saja, Ayase-san tidak sedang bercanda. Dia baru saja mengatakan hal pertama
yang terlintas dalam pikirannya.
“Mereka
bahkan memiliki taman hiburan di belakang. Apa ini pertama kalinya kamu datang
ke tempat seperti ini, Asamura-kun?”
“Yah,
begitulah.”
Bukannya
aku tidak suka taman hiburan atau kebun binatang atau tempat rekreasi
sejenisnya. Yang ada justru aku suka mereka. Aku cuma buruk dalam berjalan di
sekitar mereka dengan orang lain dan melihat wahana. Aku lebih suka berjalan-jalan
sendiri. Meski itu mungkin hanya membuatku terdengar seperti cowok penyendiri
jika mengatakan itu. Aku hanya berharap beberapa orang memahami dan menerima
preferensi orang lain. Mengapa semua orang gampang sekali menilai orang lain?
“Kolam
renang dalam ruangan merupakan acara utama dari operasi kita hari ini!”
“Oh
ya.”
Itulah
yang dia sampaikan dalam rencana yang dia kirimkan melalui LINE. Masing-masing
dari kami membeli tiket 1 hari dan berjalan masuk. Setelah itu, aku selesai
berganti pakaian di ruang ganti pria dan memeriksa celana renang yang baru aku
beli kemarin. Itu hampir sama dengan mengganti pakaian olahragaku di sekolah,
dan tidak terlalu memalukan, tetapi aku merasa sedikit cemas ketika harus
meletakkan barang-barangku di loker. Maksudku, aku harus membawa kunci yang
melekat pada gelang ke kolam, jadi jika hanyut, apa yang harus aku lakukan?
Terus, kenapa semua orang bisa begitu tenang tentang hal itu? Apa cuma aku saja
yang terlalu memikirkannya?
Aku
lalu berjalan ke area kolam setelah selesai berganti pakaian. Begitu aku
melangkah ke gedung yang sebenarnya, aku dibuat terkejut. Tempat ini seperti
rumah kaca raksasa. Tentu saja, sisi-sisinya tidak terbuat dari lembaran vinil.
Tampaknya bahannya seperti dari kaca atau akrilik. Aku bahkan tidak tahu berapa
banyak orang yang akan muat di sini, dan bagian dalam fasilitas seperti pantai
raksasa dengan kolam dangkal, memenuhi seluruh area. Di sana terdapat perosotan
biasa… bukan, perosotan air, serta wahana lain yang bahkan aku tidak tahu cara
menggunakannya.
Bersamaan
dengan itu, ada aroma air yang melayang di udara, berbeda dari aroma laut yang
aneh. Adapun jumlah pengunjung, tidak seramai yang kukira, yang mana membuatmu
berpikir bahwa liburan musim panas akan segera berakhir dan kehidupan
sehari-hari yang normal akan kembali. Setidaknya itu tidak sepadat yang kutakutkan.
Akhirnya,
kami berkumpul kembali dengan kelompok gadis. Mereka berlima mengenakan pakaian
renang yang jelas-jelas terlihat baru, yang mengingatkanku pada apa yang
Ayase-san katakan sehari sebelumnya, dan ini menjelaskan mengapa dia membeli
baju renang baru. Sebagai seorang gadis, kamu benar-benar perlu memperhatikan
mengenai banyak hal. Aku cuma berpikir untuk membeli baju baru jika aku
kehabisan.
Narasaka-san
mengenakan bikini yang lumayan terbuka. Warna kuning lemon tersebut sangat
cocok dengan kepribadiannya. Namun, mungkin karena tinggi badan atau porsi
tubuhnya yang kecil, bikini itu tidak terlihat seerotis yang dikira. Justru sebaliknya,
kata 'imut' sangat menggambarkan sosok dirinya yang
sekarang.
Sedangkan
Ayase-san malah kebalikannya: dia memakai bikini yang tidak terlalu memamerkan
banyak kulit. Bikini tersebut memperlihatkan bahunya, dan ada juga celah di
antara bagian atas dan bawah baju renangnya. Mungkin itu cuma karena panasnya
musim panas, tapi sepertinya dia lebih suka mengenakan pakaian yang
memperlihatkan bahunya. Dia tampaknya memakai model baju yang sama seperti itu
hampir setiap hari. Meski begitu, melihat Ayase-san dalam balutan baju renang
membuat jantungku berdetak kencang. Aku mungkin sudah terbiasa dengannya, tapi
penampilan yang berbeda benar-benar membuatku merasa lebih memperhatikan
dirinya.
Usai
melihat gadis-gadis dengan segala kemegahan mereka, kelompok cowok menyuarakan
sorakan sejenak, tapi bahkan aku yang biasanya tidak memiliki perasaan tentang
hal semacam ini bisa mengatakan bahwa sebagian besar tatapan mereka diarahkan
pada Ayase-san yang berdiri di tengah sekelompok gadis, hampir seolah-olah dia
mencoba bersembunyi di belakang mereka. Dia hanya memiliki fisik dan gaya yang
berbeda dari yang lain. Dia memiliki pinggul yang lebar dan tinggi, dengan kaki
yang panjang dan ramping. Bahkan tanpa mengenakan pakaian renang yang terbuka,
pesonanya masih terlihat jelas. Aku bahkan bisa mendengar siulan samar dari
kelompok cowok, tapi entah kenapa, hal itu membuatku merasakan emosi yang
rumit.
“Fyuu,
Ayase memang cantik banget! Hei, kamu setuju ‘kan, Asamura!”
“Maksudku,
yah, kurasa sampai… bersiul begitu… sangat tidak bagus…” aku mendapati diriku
merespons.
Di
zaman sekarang di mana satu kalimat saja dapat dianggap sebagai pelecehan
seksual, kamu perlu menjaga mulutmu baik-baik. Tentu saja, bukan cuma itu saja
alasannya. Beberapa jenis emosi tidak nyaman mulai menumpuk di dalam diriku, dan
itulah alasan terbesarnya. Namun, sentimen itu tampaknya tidak sampai ke
orang-orang ini.
“Tidak,
tidak tidak, jika kamu cowok, tentu kamu harus melihatnya, ‘kan?! ‘kan!”
“Mau
bagaimana lagi, oke?”
Mereka
mulai berbisik satu sama lain. Secara pribadi aku tidak tahu apakah aku bisa
menyembunyikan ekspresi tidak senangku atau tidak. Namun, tepat ketika aku
hendak menyela keluhan ke dalam percakapan mereka, Narasaka-san menyuarakannya
sendiri. Dia meletakkan tangan kirinya di pinggangnya, mengangkat tangan kanannya,
dan menunjukkan jarinya ke arah kami.
“Baiklah
baiklah, kalian di sana! Asamura-kun benar! Setiap mata yang menatap akan aku
colok dengan jari-jariku! ” Saat dia mengatakan ini, Narasaka-san melakukan
gerakan dengan telunjuk dan jari tengahnya ke arah kami.
Sungguh
kejam dan agresif sekali, Narasaka-san. Berkat itu, para cowok berhenti berbisik dan sedikit tenang. Mereka
pasti telah menyadari tatapan dingin yang berasal dari gadis-gadis. Yah, aku
juga anak SMA yang sehat, jadi aku mengerti perasaan mereka. Aku sangat
memahaminya, tetapi aku menyarankan mereka untuk sedikit peka mengenai apa yang
boleh dikatakan dan yang tidak boleh dikatakan di depan gadis yang
bersangkutan. Tappi, perkataanku juga sudah keluar dari mulutku, jadi aku tidak
tahu kesan seperti apa yang aku berikan.
Tepat
ketika aku merasakan tatapan diarahkan padaku, aku juga melirik Ayase-san yang
mengalihkan pandangannya pada saat yang sama. Apa dia ... menatapku barusan?
Aku tidak mendapat jawaban apapun atas pertanyaanku, dan Ayase-san segera
bergabung dengan gerombolan gadis-gadis.
“Sekarang,
ayo kita mulai pesta ini!” Narasaka-san membawa kembali kegembiraan terhadap
suasana canggung tadi. “Mari kita semua melihat wahana sampai tiba waktunya
makan siang! Sebagai permulaan, ayo kita naik perosotan itu!” ujarnya dengan nada ceria dan menunjuk
ke arah seluncuran air.
Tapi
kamu marah padaku karena menyebutnya perosotan?
Menurut
rencana yang dibuat Narasaka-san, yang diberi nama 'Membuat banyak kenangan musim panas', dia menyuruh kami untuk
melihat berbagai wahana di sekitar kolam renang. Pertama-tama, tentu saja,
wahana seluncuran air. Meski itu sedikit lebih kecil dari perosotan besar yang
kita lihat dari luar, seluncuran itu masih lumayan tinggi, jadi itu sangat mendebarkan.
Setelah itu, kami melewati sesuatu seperti air terjun, berjalan-jalan di dalam
labirin karena suatu alasan, dan pergi ke banyak wahana lain yang membuat kami
terkesiap kaget.
Sambil
bermain-main seperti itu, aku ingat jadwal yang tertulis dalam rencana yang dikirim
Narasaka-san, dan sekali lagi merasa ingin memuji semua pertimbangan dan
perencanaan Naraka-san yang cermat. Dia memamerkan semua atraksi yang
ditawarkan tempat ini dengan cukup baik, dan membuatnya sangat menarik. Tidak
peduli siapa yang berpartisipasi, masing-masing dari kamu memperoleh sesuatu
untuk didapat.
Kamu
perlu mengingat bahwa kali ini, kami semua bukanlah teman dekat satu sama lain.
Metode Narasaka-san untuk menghindari terjadinya kelompok kecil ialah memastikan
bahwa ini pertama kalinya semua orang bertemu. Lagi pula, Ayase-san dan aku
sudah saling kenal sebelumnya. Namun, meski kami semua bersekolah di sekolah
yang sama, dan bahkan jika kami berada angkatan yang sama, selama kami berada
di kelas yang berbeda dan memiliki kepribadian yang berbeda, mana mungkin kami
bisa cepat akur. Yang perlu kamu butuhkan adalah seseorang yang berpikiran
terbuka seperti Narasaka-san yang mempunyai banyak kenalan dan juga sangat
pandai bergaul, supaya bisa bertindak sebagai penghubung.
Ada
orang-orang dari klub olahraga, klub sastra, dan bahkan semacam komite, klub
langsung pulang ke rumah, dan lain-lain. Itulah sebabnya, sangat masuk akal
mengadakan percakapan yang melampaui kehidupan sehari-hari akan sulit dicapai.
Tidak ada topik umum atau bersama yang bisa menjadi obrolan. Di situlah peran Narasaka-san
masuk.
Pertama,
dia menghampiri berbagai wahan dengan semua orang dan memamerkannya. Dengan begini,
semua orang bisa bersenang-senang, dan semua orang bisa lebih terbiasa satu
sama lain di pagi hari, menemukan ketertarikan yang sama, dan sebagainya. Hal
ini akan membuat percakapan muncul selama waktu makan siang. Itu sebabnya dia
mengabaikan usulan kami untuk pergi sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil,
dan sebaliknya meminta semua orang bergerak bersama. Meski aku pikir dia juga
mengatur beberapa acara campuran di sore hari.
Sekilas,
hal ini terlihat mudah, tapi kenyataannya tidak segampang yang dikira. Lagi
pula, acara yang kamu sendiri ingin lakukan selalu jauh lebih menarik daripada
bermain-main dengan orang lain. Tapi dia bisa mengabaikan itu dan bergerak maju.
Dengan begitu, jika suasananya menjadi terlalu bersemangat, atau sampai lupa
waktu, kamu dapat mengabaikan jadwal dan bersenang-senang (atau begitulah
rencana yang dikirim Narasaka-san). Jika kamu tidak memprioritaskan preferensi
orang lain daripada dirimu sendiri, kamu tidak dapat mencapai sesuatu seperti
ini.
Waktu
tengah hari berlalu, dan karena kami melihat beberapa kursi kosong di area food court, kami memutuskan untuk makan
siang. Melihat semua orang mendiskusikan kejadian pagi tadi dengan senyum
menghias wajah mereka menunjukkan kepadaku bahwa rencana Narasaka-san berhasil.
Secara pribadi, aku senang melihat Ayase-san tersenyum dan berbincang-bincang
dengan gadis-gadis lain. Dan begitu, waktu makan siang kami berakhir, jadi kami
memutuskan untuk bermain di kolam yang dangkal.
Kolam
ombak terkadang membuat ombak mirip seperti lautan yang sebenarnya, tapi karena
sekarang sudah mendekati akhir liburan musim panas, hampir tidak ada orang di
sana, yang mana hal itu memungkinkan kami untuk bersenang-senang sepuasnya
tanpa mengganggu siapa pun. Tidak seperti di pantai asli, kamu tidak bisa
bermain voli pantai atau bermain pasir saat mengunjungi kolam renang. Jadi kami
agak terbatas dalam kegiatan apa yang bisa kami lakukan. Walau begitu, Narasaka-san
mengusulkan beberapa ide dalam rencana yang dia kirimkan kepada kami.
“Jadi
dengan begitu, ayo bermain Othello papan luncur!”
“Oooooooo!”
Kami
semua bersorak serempak layaknya anak SD. Meski samar-samar, aku bahkan bisa
mendengar suara Ayase-san yang membuatku tersenyum. Daripada 'Ya', rasanya lebih seperti respons 'Oke ~'. Narasaka-san menyebutnya Othello
papan luncur, tapi aku tidak tahu nama resminya. Game ini mungkin berasal dari
Narasaka Maaya sendiri, tapi itu game dengan aturan sederhana. Setiap orang
membawa papan luncur mereka sendiri, lebih bagus lagi yang memiliki dua sisi
yang dapat dibedakan dengan jelas. Untungnya, papan luncur yang tersedia untuk
dipinjam di sini persis seperti itu. Setelah itu, kami membaginya sehingga ada
jumlah yang sama untuk bagian depan dan belakang, dibagi menjadi dua kelompok,
dan mulai membalik papan. (TN : Permainan Othello adalah permainan papan yang berukuran 8x8,
cara bermainnya dengan membalikkan bidak hitam dan putih, selengkapnya bisa
cari sendiri)
“Kita
akan membagi kelompok dengan batu dan kertas! kelompok batu sebelah sini, dan
kelompok kertas sebelah sana.”
Permainan
ini merupakan kegiatan lima lawan lima. Kelompok kertas merupakan kelompok
depan, dan kelompok batu adalah kelompok belakang. Ayase-san dan aku secara
kebetulan masuk di kelompok yang sama, dengan Narasaka-san melawan kami.
“Aku
akan menyetel waktunya sekarang. Batas waktunya tiga menit. Kelompok yang
mempunyai lebih banyak papan luncur yang dibalik, merekalah yang menang.”
“Ya.”
“Oke!”
“Tidak
boleh menyambar atau mencuri papan luncur, oke. Mereka harus melayang, dan kamu
cuma boleh membaliknya dengan menepak pinggirnya. Kamu diperbolehkan untuk
menghalangi kelompok lain untuk membalik papan luncurmu selama kamu mengikuti
aturan. Apa semuanya paham?” teriak Narasaka-san, sambil menunjukkan apa yang
baru saja dia jelaskan.
“Paham!”
“Yang
cowok, jangan tarik-menarik atau melakukan kekerasan, oke?!” Ujar Tabata-san.
“Kamu
tidak percaya pada kami, kan ?!” Myoujin, aku pikir itu namanya, mengeluh
dengan nada protes.
Narasaka-san
menyetel pengatur waktu di smartphone-nya, yang dilindungi tas anti air, dan
menyatakan dimulainya pertandingan. Dalam sekejap kami semua beraksi. Ternyata
permainan ini jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Apalagi, memangnya ini
sesuatu yang akan dimainkan di kolam tanpa ombak? Bahkan jika kamu tidak
melakukan apa-apa, papan luncurnya akan hanyut sendiri, dan karena kamu tidak
dapat mengambilnya karena aturan, kami harus mengambilnya dan memulihkan papan
luncurnya secara berkala.
Pada
akhirnya, aturan antara pemburu dan pembalik dibagi antara kelompok. Ini
merupakan contoh lain dari pendekatan yang indah. Akhirnya, sebuah melodi
dimainkan dari ponsel Narasaka-san, yang menandakan kalau waktu tiga menit
telah usai.
“Oke,
berhenti! Tidak ada lagi yang membalik!”
Ketika
Narasaka-san memberi perintah, semua orang berhenti bergerak. Skor akhir adalah
4 vs 6, dimana kelompokku dan Ayasen yang menang. Para pemenang bersorak, dan
yang kalah mengungkapkan kekesalan mereka dengan memukul permukaan air.
Sepertinya semua orang bertarung dengan sungguh-sungguh. Termasuk diriku. Aku sampai
kehabisan napas.
“Oke,
oke. Satu pertandingan lagi!” Narasaka-san mengatur waktunya lagi.
Masing-masing
kelompok memulai permainan dengan penuh motivasi. Aku juga tiba-tiba menyadari
kalau melodi yang Narasaka-san gunakan sebagai alarm... itu pembukaan anime, ‘kan?
Satu-satunya alasan kenapa aku bisa tahu karena Maru memaksaku untuk menonton
satu musim anime itu. Sepertinya Narasaka-san tahu beberapa hal tentang anime,
ya? Dia benar-benar memiliki banyak minat.
Timku
kalah di babak kedua. Karena aku maupun Ayase-san bukanlah tipe yang aktif
berolahraga, kami tidak mempunyai tenaga untuk melanjutkan seperti yang kami
lakukan di ronde pertama. Karena kami berdua akhirnya menjadi tidak berguna
dalam kelompok beranggotakan lima orang, kami tidak memiliki harapan untuk
menang melawan anggota klub olahraga, atau orang-orang yang selalu bermain-main
seperti ini.
“Baiklah,
kita sudahi acara hari ini! Setelah istirahat sejenak, ada waktu bebas untuk
semua orang. Kita akan pulang jam 4 sore, jadi kembalilah ke sini saat itu
juga!” tutur Narasaka-san. Aku lalu duduk di tepi kolam renang untuk
beristirahat .
Aku
bahkan tidak bisa bergerak lagi, mungkin karena terlalu banyak menggunakan otot
yang biasanya tidak pernah aku gunakan sama sekali. Aku hanya ingin tidur.
Karena tidak dapat mengerahkan tenaga untuk bergabung dengan orang-orang yang
melakukan berenang di kolam renang atau bermain di tempat lain, aku memutuskan
untuk istirahat sendiri ketika Ayase-san mendekatiku. Sebagai tanggapan, aku
buru-buru duduk tegak, karena takut terlihat menyedihkan. Ayase-san mendekatkan
wajahnya dan memandangku dengan tatapan yang agak khawatir.
“Apa
kamu baik-baik saja?”
“Ya.
Meski sedikit lelah, tapi semuanya baik-baik saja. Tetap saja, mereka semua
luar biasa. Masih punya banyak stamina, dan juga memiliki indra atletik yang
hebat.”
Saat
kami memeriksa wahana yang berbeda, dan memainkan minigame, orang yang paling
banyak melakukan kegiatan adalah cowok dan cewek riajuu. Karena aku cenderung
lebih ke tipe indoor, aku jadi tidak
menonjol sama sekali. Bukannya aku ingin menonjol atau semacamnya, sih.
“Tapi,
tadi kamu cukup keren, kok.”
“Hah?”
Aku terkejut mendengar pujian tak terduga dari Ayase-san.
“Selama
permainan tadi. Asamura-kun, kamu membawa kembali semua papan luncur yang
mengambang keluar dari area bermain, ‘kan?”
“Ahhh.”
Yah,
jika tidak ada orang lain yang melakukannya, itu bahkan bukan permainan yang
layak. Begitu orang lain menyadari hal tersebut, mereka mulai melakukan hal
yang sama sepertiku. Saat aku menunjukkan itu, Ayase-san menggelengkan
kepalanya.
“Tapi
kamu yang pertama melakukannya, Asamura-kun. Belum lagi begitu kamu
mengembalikan papan, Kamu membiarkan orang lain membaliknya, meski seharusnya bagian itulah yang paling
menghibur dari permainan.”
Aku
dibuat terkejut lagi. Aku tidak menduga dia akan menyadarinya. Setiap kali aku
mengembalikan papan ke tim kami, dan jika papan itu ternyata menunjukkan sisi
depan, aku akan meninggalkannya seperti itu. Jika terbalik di sisi belakang, aku
harus membaliknya, karena itulah inti dari permainan. Namun, ketimbang
melakukannya, aku justru mendorong papan ke anggota tim lain, mengatakan 'Urusi ini', dan mencari papan luncur
berikutnya. Sementara itu, anggota tim itu membalik papannya. Kamu ingin
bertanya kenapa? Seperti yang dibilang Ayase-san. Aksi membalik papan adalah
bagian paling menghibur dari permainan. Aku tidak berpikir itu akan
menyenangkan jika aku hanya membalik semua papan yang aku bawa kembali.
Lagipula, permainan itu seharusnya menjadi upaya tim.
“Ahh,
yah, aku cuma tidak ingin mengambil risiko mengacaukan saat menjadi pusat
perhatian.”
Aku
sama sekali tidak berbohong mengenai itu.
“Benarkah?
Yah, apapun alasannya, aku hanya ingin memujimu, secara subjektif. Aku pikir kamu
cukup keren untuk melakukan itu. Mirip seperti asisten yang bekerja keras dan mendukung
orang-orang di balik layar.”
“Apa
itu benar-benar sesuatu yang keren?”
“Setiap
orang memiliki pendapatnya sendiri tentang berbagai hal, kan?”
“Yah…
tidak salah, sih. Tapi rasanya sedikit memalukan ketika kamu mengatakannya
seperti itu.” Saat aku mengatakan ini, Ayase-san tersenyum simpul.
Ekspresinya
itu bukan jenis ekspresi datar dan dipaksakan yang akan dia buat di rumah
terhadap Ayahku, melainkan ... Bagaimana cara menggambarkannya, ya? Senyumnya
tersebut tampak mirip dengan senyum polos dan baik hati dari Ayase-san kecil
yang pernah kulihat pada foto yang ditunjukkan padaku. Ketika aku melihat ini, aku
berpikir dalam hati Ah, aku sangat senang
aku mengambil keputusan itu dan melangkahi wilayah pribadinya.
Tentu
saja, ini bukan karena aku merasa congkak mengenai hal itu, yang seakan-akan
membuatku berpikir kalau aku menyelamatkan Ayase-san atau semacamnya. Aku
bahkan punya bukti bahwa bukan begitu masalahnya. Hanya saja, jika aku tetap menjaga
jarak seperti sebelumnya, aku takkan bisa melihatnya membuat ekspresi seperti
itu. Saat aku berpikir bahwa senyumnya ini cuma milikku, dan hanya ditujukan
padaku, perasaan superioritas yang menjengkelkan memenuhi dadaku, seolah-olah
ingin memberitahu bahwa mungkin aku benar-benar melakukan semuanya demi diriku
sendiri.
“Yah,
cuma itu saja yang ingin kukatakan.” Usai mengatakan ini, Ayase-san berdiri.
Layaknya
ikan yang tertangkap di jaringnya, pandangan mataku melayang ke arah wajahnya.
“Kalau
begitu...”
Baju
renangnya masih basah kuyup oleh air, warnanya tampak lebih cerah dari
sebelumnya. Aku melihat butiran air di sedikit kulitnya yang terbuka, dan berkilauan
dalam cahaya yang menyinarinya. Tetesan air yang berceceran membasahi seluruh
rambutnya.
“Kurasa
aku akan berenang lagi!” Dia mengangkat kedua tangannya di atas kepalanya, lalu
melakukan beberapa peregangan ringan.
“…Hah?”
Saat
aku melihatnya, rasanya seperti aku mendadak terbangun dari sesuatu. Aku tidah
tahu kenapa. Rasanya benar-benar alami, namun juga terlalu mendadak. Emosi
tertentu mulai memenuhi isi hatiku.
Ah, Aku menyukainya.
Aku
membentuk perkataan ini secara mental, dan baru setelah itu aku menemukan
diriku terkejut dengan emosi yang tiba-tiba muncul di dalam diriku. Meski ada
banyak kesempatan dan situasi bagiku untuk menyadari perasaan ini, itu terjadi
karena gerakan sepele yang sudah kulihat berkali-kali sebelumnya. Dia hanya
meletakkan tangannya di atas kepalanya dan meregangkan. Cuma itu saja. (TN : Dasar fetish ketek :’v liat
ketek aja hatinya langsung luluh)
Aku
tidak sedang ditembak, dan kami tidak melalui situasi mengancam yang akan
menyebabkan efek jembatan gantung. Selama ini, aku hanya mendengar dan
mengalami cerita tentang jatuh cinta dengan seseorang atau menembak seseorang
dari sudut pandang orang luar, tetapi sekarang aku telah menemukan diriku
berada dalam situasi seperti itu.
Sejujurnya,
aku buruk dalam berurusan dengan lawan jenis. Setelah melihat Ayah dan Ibuku
berinteraksi sejak aku masih kecil, aku mulai berpikir bahwa pernikahan takkan
pernah membawa kebahagiaan sama sekali, dan tidak menyukai hubungan yang
seperti itu. Jika kamu tetap diam tanpa membuat asumsi, lamu akan mendapat
keluhan, dan jika kamu tidak bersikap jujur seperti pria jantan, kamu
akan dianggap tidak berguna. Tapi jika kamu mencoba mempertimbangkan perasaan
orang lain, kamu takkan dianggap jantan, dan itu juga akan membuat mereka
merasa tidak senang. Pada akhirnya, pacarmu akan selingkuh dengan pria lain
yang memiliki lebih banyak uang dan lebih jantan darimu.
Semua
ini aku tafsirkan sebagai awal dan akhir dari hubungan antara pria dan wanita,
itulah sebabnya aku tidak pernah memiliki pengalaman dengan cinta, dan juga
tidak berusaha untuk merasakannya. Jadi, untuk alasan apa harus orang ini? Kenapa?
Penjelasan macam apa yang ada?
Perubahan
yang terjadi di dalam diriku terjadi terlalu cepat, terlalu nyata, dan
membuatku bingung. Aku tidak mengerti. Sejujurnya, emosi semacam ini adalah
sesuatu yang luar biasa dan mengagumkan, pastinya. Aku tidak pernah berpikir
akan sesederhana ini, sesuatu yang akan memberiku kelegaan dalam satu saat,
namun sesuatu yang begitu sementara. Begitu melihat Ayase-san pergi, saat air
di tubuhnya berkilau lebih dari sebelumnya, aku berpikir dalam hati.
Dia adik perempuanku. Tapi dia Ayase-san. Dia
itu adik tiriku.
*****
Setelah
jam 4 sore, kami mulai bersiap-siap untuk pulang. Saat berganti pakaian di
ruang ganti pria, aku menyadari betapa letihnya badanku ini. Rasanya panas,
seperti terbakar dan berat. Tipe kelesuan yang biasa aku rasakan setelah pelajaran
renang di sekolah.
Grup
cowok lebih cepat berkumpul di pintu keluar kolam. Yah, secara logis,
gadis-gadis biasanya akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengeringkan
rambut dan berganti pakaian, jadi aku tidak bisa komplain. Sekitar jam 5 sore
ketika bus tiba, kami mengucapkan selamat tinggal pada kolam renang. Sama
seperti perjalanan kami ke sini, kami membutuhkan waktu 30 menit menggunakan
bus untuk pulang, dan 30 menit lagi dengan kereta api. Kami berbicara lebih banyak
dibandingkan saat awal keberangkatan, mungkin karena kami sudah lebih akrab
sepanjang hari. Kami berhasil kembali ke Shinjuku sekitar pukul 6 sore.
Setelah
melewati gerbang tiket, kami bisa melihat langit senja yang merona. Meski masih
berwarna merah terang, matahari sudah mulai tenggelam ke arah Barat. Melihat
gedung-gedung tinggi yang diwarnai oleh langit malam benar-benar mengingatkanku
bahwa kami sudah kembali ke kota besar.
“Ahhh,
rasanya menyenangkan!”
“Kamu
sepertinya masih punya banyak tenaga lebih, Maaya.”
"Aku
terlalu lapar untuk melakukan hal lain!” Narasaka-san dengan lembut mengusap
perutnya sebagai tanggapan atas jawaban gadis itu, dan semua orang mulai
tertawa.
Setelah
itu, orang-orang berpencar untuk naik bus, Japan Railways, kereta api swasta,
bahkan sepeda. Ayase-san dan aku harus naik kereta kembali ke stasiun Shibuya
dan kemudian berjalan pulang dengan diriku yang menuntun sepeda. Karena kami
pulang ke tempat yang sama, kami memutuskan untuk pergi bersama. Tidak ada yang
akan curiga jika kami pergi bersama ke stasiun kereta Shibuya.
“Kalau
begitu sampai jumpa di sekolah!”
Kami
akan berpisah, lalu…
“Ah,
Asamura-kun! Tungghyu shebentar!”
“Bahasa
macam apa itu?”
Narasaka-san
memberi isyarat padaku, berlari mendekatiku.
“Aku
hanya ingin tahu apa kita bisa bertukar kontak LINE. Apa itu tidak apa apa?”
Ketika
aku mendengar pertanyaan itu, aku melirik Ayase-san. Dia segera memalingkan
tatapannya, tapi dia tidak memelototiku atau semacamnya. Yah, karena kita berada
di angkatan yang sama, kurasa baik-baik saja.
“Tentu.”
Kami
bertukar kontak LINE, dan aku merasa ingin mengatakan sesuatu yang sudah
menggangguku sedari tadi.
“Ngomong-ngomong,
Narasaka-san, kerja bagus untuk seluruh rencana hari ini.”
"Hmmm?
Ayolah, kamu boleh memanggilku 'Maaya-chan', oke!”
“Kita
tidak sedekat itu.”
“Kita
tidak dekat?! Padahal kita berdua adalah teman baik yang pergi ke kolam renang
bersama!”
Logika
nyeleneh macam itu sangat tidak masuk akal.
“Oh,
ngomong-ngomong, kamu melakukan tugas yang luar biasa dengan seluruh rencana
hari ini. Berkat kamu yang memamerkan semua wahana terlebih dahulu, kita
mempunyai sesuatu untuk dibicarakan saat makan malam. Meski rasanya sangat
disayangkan kita tidak bisa melakukan semua minigame yang kamu pikirkan.”
“Ahhh,”
Narasaka-san menggaruk bagian belakang kepalanya, dan menunjukkan senyum
malu-malu. “Mm. Yah, karena waktunya sudah mepet, jadi mau bagaimana lagi.”
“Tapi
berkat itu, aku bersenang-senang, jadi terima kasih banyak.”
“Ya
ampun, meski kamu memujiku seperti itu, kamu tidak mendapatkan apa-apa,
oke?"
“Aku
tidak melakukan ini demi mendapatkan imbalan, aku cuma ingin berterima kasih
padamu. Cuma itu saja.”
“Yah,
aku senang~ Ahaha, aku tidak menyangka kamu merasa seperti itu, tapi aku senang
kamu tahu dan menyadarinya.”
“Ya,
aku mengerti.”
Kamu
menjadi senang jika ada orang melihat perbuatanmu dan memahami niat baikmu di
balik perbuatan tersebut. Aku memiliki pengalaman serupa belum lama ini.
“Kalau
begitu sampai jumpa lagi! Kamu juga,
Saki! Aku akan mengirimimu LINE nanti!”
“Ya,
ya.”
Mereka
berdua saling melambaikan tangan, dan Narasaka-san secara berkala berbalik
untuk tersenyum pada kami.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu.”
“Ya,
aku tidak menunggu lama.”
Kami
melewati gerbang tiket dan mensiki kerets untuk pulang ke Shibuya. Pada
akhirnya, Ayase-san dan aku tetap diam selama hampir seluruh perjalanan kereta.
Setelah meninggalkan stasiun kereta di Shibuya, kami berjalan pulang menuju
apartemen kami. Aku menuntun sepedaku seperti biasa, yang sudah aku ambil dari
tempat parkir, seraya berjalan di sebelah Ayase-san. Saat itulah langit jingga
perlahan mulai berubah menjadi biru tua. Meski lingkungan sekitar kami mulai berubah
menjadi lebih gelap, lampu-lampu gedung membuat semuanya tetap terang. Rasanya
seperti senja atau fajar.
Di
zaman modern, menggunakan istilah 'senja'
atau 'temaram' mungkin akan menjadi
lebih umum. Akan tetapi, secara pribadi aku lebih menyukai 'fajar', dan gagasan tentang makhluk hidup yang bukan makhluk hidup
berjalan di jalanan lebih dari itu. Aku pikir cara lain untuk menggambarkannya
ialah “Jam Setan”—saat-saat dimana
ada kemungkinan besar kamu akan bertemu dengan hal-hal supranatural. Hal ini
merupakan jenis ungkapan yang membuatmu khawatir jika orang di sebelahmu benar-benar
orang yang asli atau bukan, dan kamu mulai kehilangan sensasi pada kenyataan—
“Kamu
jadi lumayan dekat dengan Maaya, ya?” Ayase-san tiba-tiba angkat bicara,
menarik pikiranku kembali ke kenyataan.
“Ahh,
yah. Lagipula aku ingin berterima kasih padanya karena sudah mengundangku.”
“Makasih.”
“Eh?”
“Kami
berteman, jadi aku senang kamu memujinya seperti itu.”
Tentu
saja, dia pasti sudah mendengar apa yang kukatakan saat itu. Bukannya itu
sesuatu yang merepotkan, tapi hal itu membuatku merasa sedikit berkonflik di
dalam batinku.
“Tapi,
yang lebih penting, apa kamu bersenang-senang?”
“Berkat
kamu, yeah.” kata Ayase-san. Dia dengan lembut menundukkan kepalanya ke arahku,
lalu diam-diam melanjutkan. “Berenang di kolam terasa menyenangkan.” Dia
menatapku. “Sekarang aku jadi merasa segar setelah berenang sepuasnya. Aku
senang aku melakukan apa yang kamu katakan. ” Senyum tipis muncul di wajahnya.
Saat
melihat ekspresinya itu, aku jadi teringat emosi yang mulai tumbuh di dalam
diriku, perasaan yang tidak bisa aku katakan dengan lantang. Perasaan yang
mungkin bisa kamu definisikan sebagai kasih sayang romantis telah tertanam jauh
di dalam hatiku seperti sebuah benih… setidaknya, aku mulai menyadari pesonanya
sebagai seorang wanita, yang sekarang membuatku tersiksa tentang apa yang harus
dilakukan atau kukatakan selanjutnya.
Menatap
Ayase-san dalam pandangan romantis seperti itu sama saja dengan merusak
kepercayaannya, jadi jika aku berterus terang dengan emosi ini, aku pasti cuma
merepotkannya. Namun, di saat yang sama, rasanya Ayase-san juga memikirkanku
dengan cara yang sama. Apa pilihan yang tepat di sini?
Saat
aku mulai tersesat dalam labirin perasaanku sendiri, aku mulai berbicara lebih
sedikit dalam percakapanku dengan Ayase-san, dan keheningan ini juga
menyelimutinya, dan dia berhenti berbicara sama sekali. Suara derit roda
sepedaku yang berputar dan suara langkah kaki kami yang berirama merupakan
satu-satunya suara yang terdengar.
Aku
tidak bisa melihat wajahnya. Aku hanya bisa melihat ke permukaan tanah. Aku
bahkan tidak tahu ke arah mana Ayase-san melihat. Aku merasa jantungku berdetak
lebih cepat dan lebih keras. Maksudku, itu masuk akal. Aku sedang berjalan
pulang bersama seorang gadis cantik seperti dirinya di senja hari begini.
Tidak, bukan itu. Bulan lalu aku pergi menonton film bersama
Yomiuri-senpai. Saat itu, aku juga merasa gugup, tapi aku dapat menyebutnya
berbeda dari apa yang aku rasakan sekarang. Karena kejadiannya terjadi tidak
terlalu lama, aku dapat membedakan perasaanku dalam dua peristiwa tersebut.
Namun, jika seseorang bertanya kepadaku apanya yang berbeda… dan aku tahu bahwa
ini adalah kisah menyedihkan sampai-sampai membuatku ingin menutupi wajahku… tapi
aku tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata.
Naluriku
mengatakan kalau ada yang berbeda, tapi
bagian mana dari prosesnya yang berbeda adalah pertanyaan yang terlalu sulit
untuk kujawab. Rasanya hampir seperti perasaanku berada di dalam kotak hitam,
mustahil untuk dibuka. Terlepas dari kenyataan kalau ini perasaanku sendiri, aku
justru gagal untuk memahaminya.
Sambil
melamun, aku menatap ban sepeda yang bergerak di sepanjang aspal dengan ritme
yang stabil, dan bayangan yang mereka tinggalkan tumbuh lebih panjang dan lebih
tebal. Sat mendongak ke atas langit, malam telah tiba. Tepat ketika aku memikirkan
betapa singkatnya waktu senja, kalimat lain muncul di benakku—Ahh, bulan malam ini terlihat indah. (TN : Tsuki ga kirei desu ne, Ada
yang bilang kalau kalimat itu merupakan cara puitis untuk menyatakan “Aku mencintaimu” , awal mulanya berasal
dari novel sastra karangan penulis terkenal Osamu Dazai. Tapi ada juga yang
bilang bukan. CMIIW)
“Asamura-kun,
kamu benar-benar pandai menemukan sisi baik dari orang.”
“Eh?”
Ketika
Ayase-san tiba-tiba angkat bicara, aku menoleh ke arahnya. Dia menatap ke atas langit,
mungkin ke arah bulan yang menggantung di sana. Dia mengalihkan pandangannya ke
arahku.
“Tentang
Maya. Kamu tadi memujinya, ‘kan? ”
“Ah,
itu.”
“Kamu
selalu melihat orang-orang di sekitarmu dengan sangat detail. Mau tidak mau aku
jadi mengaguminya. ”
“Aku
…..bukan orang yang seperti itu.”
“Setidaknya
menurutku begitu. Kamu bisa melihat kerja keras mereka. Aku mengatakan ini
sebelumnya di kolam renang, tapi aku pikir itu sesuatu yang sangat mengagumkan.
Aku pikir kalau itu bagian luar biasa darimu—”
Setelah
menerima begitu banyak pujian, jantungku mulai berdetak lebih cepat dan lebih
keras. Namun, setelah mendengar kata-kata selanjutnya, aku langsung kehilangan
akal sehatku.
“—Nii-san.”
Aku
menahan napasku sejenak. Tatapanku mengarah ke wajah Ayase-san, dan membeku di tempat. Meski aku seharusnya sudah
akrab dengan Ayase-san dan ekspresi wajahnya, dia tiba-tiba terlihat seperti
orang asing.
Nii-san.
Nii-san.
Nii-san.
Meski
aku tahu bahwa mengulangi kata itu berulang-ulang di kepalaku takkan membantu aku
memahami maknanya dengan lebih mudah, tapi otakku justru berpikir sebaliknya.
Nii-san.
Pada dasarnya, kakak. Aku tidak tahu
mengapa Ayase-san tiba-tiba memanggilku seperti itu meski sebelumnya dia sangat
menentangnya. Namun, apa yang begitu mengejutkan tentang hal itu? Ayase-san
adalah satu-satunya orang di seluruh dunia ini yang memiliki hak untuk
memanggilku seperti itu.
“Um,
apa aku terlalu mengejutkanmu? Aku hanya berpikir bahwa, dengan bagaimana kamu
peduli tentangku dan melakukan semua ini demi aku, Kamu terlihat seperti kakak
yang dapat diandalkan ... tahu? Apa aneh kalau aku berpikiran seperti itu? ”
Ketika
melihat Ayase-san dengan lembut memiringkan kepalanya sambil tersenyum, aku
tidak bisa menahan apa yang sebenarnya aku
rasakan.
“Tidak…
aku senang, Ayase-san.”
“…Ahaha.
Tetap saja, rasanya tidak benar.”
Sejujurnya,
pernyataan itu menyelamatkanku. Karena dia tiba-tiba memanggilku 'Nii-san', akhirnya aku berhasil kembali
ke jalur semula. Apa sih yang sudah kupikirkan? Kasih sayang yang ditunjukkan
Ayase-san kepadaku, dan pujiannya, semuanya itu cuma demi 'Kakak'-nya. Dia menaruh kepercayaan ini padaku karena dia percaya
kalau aku merupakan seseorang yang bisa menjalin hubungan yang datar dan nyaman
dengannya. Dia tidak ingin orang yang tinggal bersamanya memiliki harapan aneh
atau nafsu terhadapnya, dia hanya menginginkan hubungan yang nyaman untuk kedua
belah pihak. Namun, aku yang sebagai seorang pria, hampir melanggar aturan itu.
“Aku
sedikit lelah hari ini, jadi bisakah aku membuat makan malam yang simpel aja?”
“…Ya,
tentu.”
Bahkan
percakapan sepele ini membuatku takut. Apa aku bisa mengadakan percakapan yang
rasional dengannya lagi? Tak lama setelah percakapan ini, kami mencapai
apartemen. Aku memberitahunya kalau aku akan memarkir sepedaku di tempat
parkir, jadi aku berpisah dengan Ayase-san di depan pintu masuk. Setelah
memarkirkan sepeda, dan menguncinya dengan kunci sepeda, aku menatap langit
malam.
Bulan
yang menggantung di sana tertutup oleh siluet apartemen. Aku menarik napas
dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Ayase-san tidak bersamaku. Jika itu
cuma karena hormonku yang menjadi liar, maka tubuhku akan menjadi tenang, dan
jantungku bisa berdetak normal sekarang karena dia tidak ada di sini. Jika memang
demikian, aku bisa melupakan perasaan yang menyerupai kasih sayang romantis ini
dan melanjutkan hidupku.
“Ini
tidak bagus…”
Aku
tahu kalau ini buruk. Aku tahu bahwa seharusnya aku tidak boleh menyimpan perasaan
semacam itu di dalam diriku, tapi tak peduli berapa lama aku menunggu, emosi
menggebu-gebu ini tidak mau hilang seperti yang aku inginkan.
“Bagaimana
aku harus berbicara dengannya saat kembali nanti?”
Tidak
ada orang lain yang menjawab ocehanku. Untungnya demikian, karena pertanyaan
ini merupakan kalimat yang tidak boleh didengar oleh orang lain.