Chapter 05 — 24 September (Kamis) Asamura Yuuta
Mungkin karena musim gugur yang
sangat dingin, atau mungkin karena keseharianku yang sudah kehilangan warnanya
setelah Ayase-san dan aku mulai jarang berbicara satu sama lain, tapi bulan
September sepertinya berlalu dengan sangat cepat, dan kami sepertinya segera
mencapai hari sebelum pertemuan orang tua-guru.
“Ini cuma pertanyaan
perumpamaan, oke?”
Waktu istirahat makan siang pun
tiba. Sambil mengambil laukku dengan sumpit, aku memanggil Maru di tengah
kebisingan yang ada di dalam kelas.
“Saat kamu berakhir dengan
patah hati…”
“Hm?” Maru menoleh.
“Jika kamu benar-benar perlu
melupakan perasaanmu terhadap gadis itu, apa yang kamu lakukan?”
“Dengan isi pertanyaan yang terlalu
samar untuk kutebak, mana mungkin aku bisa memberimu jawaban yang konkret,
Asamura.”
“Benar, maaf.”
“Yah, tidak apa-apa. Jadi,
misalnya saja… ketika seorang gadis yang dekat denganmu yang kamu temui setiap
hari, dan seorang gadis yang cuma kamu kenal secara online, kesulitan untuk
melupakannya bisa sangat berbeda.”
Ahh, itu masuk akal. Jarak di
antara kamu dan gadis itu sangat penting, ya?
“Lalu seorang gadis yang cukup
dekat, kurasa? Secara hipotetis.”
Maru mendongak dari kotak makan
siang di depannya dan menatapku. Ia kemudian mengarahkan pandangannya ke bawah
lagi, mengambil nasi dengan rumput laut. Mempertimbangkan seberapa dalam Ia
bisa menusukkan sumpitnya ke nasi, Ia pasti memiliki setidaknya 1,5x jumlah
nasi di sana daripada yang aku miliki. Aku rasa itulah yang kamu harapkan dari anggota
inti klub olahraga. Setelah mengunyah sejenak, Maru meminum teh dari botolnya.
“Bagaimana kalau berkenalan
dengan banyak gadis lain? Sulit untuk benar-benar mendefinisikan apa itu
perasaan romantis. Mungkin sesuatu yang lain akan berkembang dari itu.”
Perasaan
romantis. Ketika aku mendengar istilah itu, badanku tertegun sesaat.
Sambil berharap Ia tidak menyadari keraguanku, aku mengangguk, mendesaknya
untuk melanjutkan.
“Namun, perasaan membara
semacam itu mungkin hanya halusinasi juga. Jika kamu bertemu dengan gadis lain
yang baik, kamu mungkin menemukan bahwa perasaanmu tidak terlalu serius, dan
perasaanmu mungkin berubah jauh lebih cepat?”
“Entahlah, apa hal yang semacam
itu memang benar-benar akan berubah… Juga, lingkungan seperti apa yang memungkinkan
seseorang untuk bisa mudah bertemu dengan gadis lain seperti yang kamu
sarankan?”
“Asamura… kamu ini sedang ada
di mana coba? Dengar, setidaknya ada dua puluh gadis di kelas kita. Dan bahkan
lebih dari itu, ada banyak peluang di sekitarmu, bukan?”
Banyak peluang, katanya.
“Tapi bukannya itu hanya kamu
memparafrasekan gagasan bahwa separuh dunia adalah wanita, jadi kamu tidak
kekurangan kesempatan untuk memiliki pertemuan baru?”
“Tapi itu benar. Pada akhirnya,
kemungkinanmu memiliki pertemuan baru sepenuhnya bergantung pada sikap mentalmu
sendiri. ”
“Gadis lain, ya?” Aku mulai
berpikir.
Cukup bisa bersama dan
benar-benar membangun hubungan yang melampaui menjadi orang asing adalah dua
hal yang sederhana namun sangat berbeda. Namun, itu adalah nasihat yang berguna
dari teman baikku. Aku mungkin harus memikirkannya baik-baik. Apalagi jika
menyangkut sikap mental yang Ia ungkit tadi. Pada dasarnya, itulah yang ingin
Ia coba katakan.
Biasanya, kita tidak melihat
orang asing di sekitar kita sebagai individu yang memiliki hubungan dengan
kita. Orang asing hanyalah orang yang acak dan tidak dikenal. Jika bukan karena
ibu Ayase-san yang menikahi Ayahku, aku mungkin takkan pernah melihatnya
sebagai seseorang yang lebih dari seorang gadis yang mengenakan baju mencolok
dan murid yang berasal kelas sebelahku. Bahkan jika kami saling mengenal
melalui semacam peristiwa, paling banter yang kami lakukan cuma saling menyapa
di lorong, aku yakin hal itu.
Namun, hanya karena dia menjadi
adik tiriku, kami dipaksa untuk hidup bersama, memperdalam ikatan dan mengenali
satu sama lain, kemudian semakin banyak aku belajar tentang dirinya,
menghabiskan waktu bersamanya, semakin jelas juga perasaanku. Jika itu
masalahnya, maka aku hanya perlu bekerja secara aktif untuk mencoba mengenal
gadis-gadis yang ada di sekitar aku. Jika aku melakukan itu, mungkin ada
seorang gadis yang bisa membangkitkan perasaanku lebih dari Ayase-san—
“Lagi pula,” lanjut Maru, “Jika
kamu tidak dapat melihat siapa pun di sekitarmu sebagai target potensial, maka
dekati saja orang-orang terdekatmu. Teorinya adalah bahwa target penaklukan
lebih mudah dilakukan bila semakin banyak informasi yang kamu miliki. ”
“Apa yang sedang kamu
bicarakan?”
“Pendapat umum.”
Dan sumber macam apa yang
mendukung pendapat umum ini, ya? Tapi itu masuk akal. Orang asing yang dekat
denganku. Itu berarti seseorang seperti—
‘Sudah,
sudah, jangan cemas, coba ceritakan pada Onee-san yang cantik ini tentang semua
masalahmu, anak muda. Ayo, buka hatimu dan lompatlah ke pelukanku.'
Orang pertama yang muncul di
benakku adalah Senpai-ku di tempat kerja dan gadis kampus, Yomiuri-senpai.
Suatu hari, dia mengatakan sesuatu seperti itu, menawarkan dirinya untuk
mendengarkanku jika aku ingin mendiskusikan masalah yang kualami.
“Yah, mengesampingkan semua hal
mengenai dengan gadis lain, mungkin dengan menantang sesuatu yang baru dalam
hidupmu bisa menjadi salah satu cara untuk mengalihkan perhatianmu dari gadis
yang dimaksud?” Maru berkata saat aku melamun. “Pokoknya, semangat.”
“Ya… Tunggu, maksudku tidak.
Itu hanya pertanyaan perumpamaan.”
“Ya kamu benar. Aku hanya
memberimu sebuah contoh. ” Maru menutup kembali kotak makan siangnya. “Nah,
kalau begitu, permisi.” Ucapnya sambil meninggalkan kelas.
Ia menyelesaikan makan siangnya,
yang porsinya lebih besar dari milikku, sebelum aku bisa menghabiskan milikku,
dan kemudian pergi untuk latihan istirahat makan siang. Aku khawatir Ia akan
merusak perutnya karena makan secepat itu. Aku lalu menghela nafas, memakan
sisa makan siangku sendiri, dan menyimpan kotak makan siangku.
Aku memiliki jadwal kerja lagi
hari ini. Saat memarkir sepedaku di tempat parkir sepeda seperti biasa, aku
sekali lagi memikirkan bagaimana musim gugur sekarang. Meski aku sudah mengayuh
dengan sekuat tenaga, aku tidak berkeringat sebanyak seperti saat pada bulan
Agustus kemarin. Aku memasuki toko buku, dan wakil manajer memanggilku.
“Asamura-kun! Tolong jaga
bagian kasir.” Aku segera bergerak ke meja kasir dan mulai melayani pelanggan. Sejujurnya,
berdiri di kasir cukup membuatku rileks. Kamu cukup memindai kode batang di
buku, dan mesin menghitung harga pasti untuk pembelian. Tentu saja, bukan
berarti beban pekerjaan di meja kasir terasa lebih mudah. Misalnya, kamu harus
menyiapkan sampul tergantung pada ukuran buku, dan menawarkan kantong plastik
kepada pelanggan tergantung pada berapa banyak yang telah mereka beli. Itu
tidak berubah.
Jika pelanggan yang membawa
anak kecil mencoba untuk membayar sambil mengurus sejumlah besar buku mereka, kamu
pasti ingin menenangkan mereka dengan senyuman ketika mereka menjatuhkan dompet
mereka, dan kamu juga harus berhati-hati untuk tidak meletakkan koin kembalian
mereka bertumpuk satu sama lain, sehingga pelanggan dapat dengan mudah
mengkonfirmasi bahwa mereka mendapatkan jumlah uang kembalian yang tepat.
Dalam beberapa tahun terakhir,
metode pembayaran telah berubah cukup banyak, yang mana itu juga berdampak pada
pekerjaan di kasir. Tidak hanya melalui pembayaran tunai, tetapi juga dengan
berbagai kartu kredit, dan bahkan aplikasi smartphone. Kamu harus mengingat
semuanya agar dapat menangani setiap pelanggan dengan baik, jadi wajar saja
jika banyak karyawan mulai tidak suka bekerja di kasir setelah beberapa saat.
Ngomong-ngomong, 'beberapa saat' tadi
pada dasarnya berarti 'Begitu rupanya,
benar juga.' Aku membacanya di sebuah novel baru-baru ini, dan sebenarnya
sangat menyukai kalimat tersebut, tetapi tidak banyak kesempatan untuk
benar-benar menggunakannya , jadi—
“Yo, kamu boleh istirahat
sekarang.”
“Hmm? Ah iya.”
Seseorang memanggilku, membuatku kembali tersadar ke dalam
kenyataan. Semakin monoton pekerjaan yang kamu lakukan, tubuhmu akan bergerak
semakin menjadi mekanis saat melakukan pekerjaan itu, yang benar-benar menunjukkan
seberapa baik sistem gerak manusia dikalibrasi. Pada titik tertentu, aku mulai
melakukannya secara otomatis. Mau tak mau aku mengagumi itu tentang diriku
sendiri. Berkat itu, aku berhasil menenangkan diri dan berpikir baik-baik mengenai apa yang aku khawatirkan sore ini serta
bagaimana cara mengatasinya. Seperti yang dikatakan Maru: Pertemuan baru dan
melakukan hal-hal baru mungkin bisa membuatku mengatasi perasaan ini. Dan
satu-satunya orang terdekat yang mengetahui hal-hal baru yang bisa aku coba
kemungkinan besar—
“Apa kamu ada waktu,
Kouhai-kun?”
“Ah, Yomiuri-senpai. Ada apa?”
Jari-jari tangannya saling
bertautan satu sama lain di belakang punggungnya saat menatapku.
“Apa kamu bisa meluangkan waktu
untukku hari ini setelah jadwal kerja kita?”
“Untuk apa?”
“Aku sedang berpikir untuk
menunjukkan padamu segala macam hal baru yang menyenangkan, tahu.”
“Dengan senang hati!”
“Jawaban langsung. Wow,
Kouhai-kun, apa kamu selalu seberani ini?”
“Ah, yah, kebetulan saja aku
sedang berpikir untuk melakukan sesuatu yang baru. Mungkin aku terlihat agak
terlalu bersemangat? ”
“Tidak juga; Aku akan
mengizinkannya. Belum lagi remaja sepertimu seharusnya menantang diri mereka
sendiri dan menjaga rasa penasaran seperti ini.”
“Terima kasih banyak.”
Sudah kedua kalinya Yomiuri-senpai
mengajakku jalan seperti ini. Pertama kalinya adalah menonton sebuah film.
Berkat dia, aku bisa menonton film yang hampir aku lewatkan di salah satu
pertunjukan terakhir di jam malam. Kurasa anak kuliahan berada di tingkat yang
sama sekali berbeda dengan anak SMA. Senpai memang peka. Sepertinya dia
benar-benar menyadari apa yang membuatku khawatir.
“Baiklah, itu sudah
diputuskan!”
“Tapi sebenarnya kita akan
melakukan apa? Waktunya sudah terlalu malam saat jadwal kerja kita selesai.”
“Hee hee hee. Aku akan membawamu
ke dunia orang dewasa, Kouhai-kun.” Yomiuri-senpai meninggalkan kata-kata
tersebut dan kembali ke pekerjaannya.
Bahkan ketika kami bertemu satu
sama lain selama bekerja, dia hanya akan tersenyum padaku tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Sebenarnya apa yang dia maksudkan?
“Jadi ini… yang namanya dunia
orang dewasa…”
Seriusan?
“Ini kursus penting bagi anggota
masyarakat yang bekerja!”
“Memangnya kamu ini om-om tua
dari era Shōwa atau apa?”
“Percayalah pada Onee-san,
oke?”
Aku benar-benar tidak pernah
bisa mengetahui betapa seriusnya dia dengan hal-hal semacam ini. Setelah
menatap Yomiuri-senpai dengan ragu, aku melihat ke gedung di depan kami. Pada tanda
di atas pintu masuk, aku bisa melihat kata-kata 'billard' dan 'dart',
serta 'simulasi golf'.
“Aku ingin melatih beberapa
ayunan golf-ku!”
“Kamu benar-benar mirip om-om
dengan hobi jadul.”
“Dasar kasar.”
“Jadi kita akan mencoba
'simulasi golf' ini?”
“Kamu pasti bisa segera
mengetahuinya!”
Dengan begitu, Senpai memimpin,
dan aku diam-diam mengikutinya. Setelah naik lift, dia membawaku ke fasilitas
golf di dalam gedung, yang pernah aku dengar sebelumnya.
“Ini pengalaman pertamamu,
‘kan, Kouhai-kun?”
“Ya, aku baru pertama kali memainkannya.
Seorang temanku yang menyukai permainan semacam ini sudah pernah memainkannya sebelumnya,
dan dia memberitahuku tentang itu, tapi ya cuma sebatas itu saja. ”
Di dalam stan yang terpisah
dari sebuah kotak kecil, jauh di belakang, ada lapangan golf. Rerumputan hijau
terus membentang di bawah langit biru. Di kejauhan, aku bisa melihat lekukan
samar pegunungan. Tentu saja, ini semua hanyalah cuplikan yang diproyeksikan di
layar, karena kami masih berada di tengah-tengah kota Shibuya.
“Alam benar-benar indah, iya
‘kan? Ah, warna hijaunya sungguh menyegarkan mata.”
“Aku rasa ini tidak jauh
berbeda dengan hanya memasang screensaver di TV di rumah.”
“Kouhai-kun!” Dia berbicara
dengan nada menegur. “Jangan ada emosi mendang-mending! Pahami sentimen puitis
ini! Kamu bukan orang tua bangka, melainkan seorang pria muda di masa jayanya!
”
“Benar…”
Bahkan jika kamu memberitahuku
hal itu …
“Padahal kamu sedang melihat
hamparan alam yang indah ini, tapi kamu tidak merasakan apa-apa? Kamu bikin aku
menangis, tau.”
“Maafkan aku.”
“Kamu bisa mengayunkan tongkatmu
dan mendaratkan bola putih tepat di dalam lubang, dan kamu dikelilingi oleh
alam di setiap sisi. Sungguh menyegarkan sekali! Perasaan yang luar biasa!”
“Apa memang begitu ?”
“Pasti lah. Inilah sebabnya
mengapa semua pria paruh baya yang kelelahan pergi bermain golf.”
Yup, ini memang hobi untuk
orang yang berumur paruh baya, seperti yang aku pikirkan.
“Berhentilah memusingkan hal
yang sepele. Kita jadi membuang-buang waktu kita di sini.” Dia mengeluh dan
mengulurkan tongkat golf ke arahku.
Kamu harus ingat bahwa ini
adalah pertama kalinya aku memegang tongkat pemukul golf. Bagaimana aku bisa
memegang benda ini? Apa sama seperti tongkat bisbol? Ketika Yomiuri-senpai
menyadari hal ini, dia menggunakan jarinya untuk mengoreksi peganganku. Wow,
kukunya sangat indah untuk dilihat…
“Hmm, seperti ini, menurutku?
Ayo, coba.”
“Begitu rupanya.”
Dengan tangan kiriku yang
menopangnya, aku memegang tongkat itu, menggunakan ibu jariku untuk menutupinya
sedikit, dan kemudian memegangnya dengan tangan kananku yang dominan. Rupanya
inilah cara Yomiuri-senpai memegang tongkat. Aku membayangkan ada banyak cara
lain untuk melakukannya, tapi dia hanya berkata 'Lihat sendiri nanti', jadi aku tidak bertanya lebih jauh. Lagipula,
ini adalah panduan untuk pemula, jadi seharusnya baik-baik saja.
“Ayo, kerahkan lebih banyak
tenaga ke pundakmu.”
Senpai meraih kedua bahuku dan
mendorongnya ke bawah. Ketika dia melakukannya, bahuku akhirnya membungkuk
sedikit. Aku rasa itu masuk akal. Ketika Kamu mengerahkan kekuatan ke tanganmu,
Kamu secara otomatis mengendurkan bahumu.
“Yup. Seperti itu. Dan sekarang
kamu tinggal perlu memukul bola itu ke arah layar.”
Padahal dia baru saja
menyebutnya 'alam yang indah,' dan
sekarang dia justru menyebutnya layar. Dia benar-benar tahu bagaimana cara menjilat
ludahnya sendiri, ya?
“Bisakah aku benar-benar
mencapai lubang sekecil itu pada percobaan pertama?”
“Hmm… karena kamu baru pertama
kali melakukannya, mungkin agak sulit untuk bisa memasukkannya ke lubang. Kamu
hanya perlu membiasakan diri, jadi tidak apa-apa. ” kata Senpai. Dia lalu
mundur dari jangkauan ayunan tongkat golf.
Rasanya mirip dengan ayunan
bisbol, tapi berbahaya untuk mengayunkan tongkat jika ada orang di dekatnya,
jadi setelah memastikan tidak ada orang yang berdiri di belakangku, aku mengayunkan
tongkatku. Itu membuat suara seperti aku memotong udara, dan tongkat itu sangat
berat sehingga terasa seperti hampir menarik lenganku keluar dari sendinya.
Tapi bolanya tidak sampai dekat dengan lubang.
“Ayun dan lewat.”
“Ini jauh lebih sulit daripada
yang aku duga.”
“Tidak juga, kok. Coba pinjamkan
aku tongkat itu sebentar.”
Aku menyerahkan tongkat golf
padanya. Bola secara otomatis diatur di lapangan sekali lagi. Dia meraih
tongkat dan melakukan beberapa ayunan percobaan. Begitu sudah merasa puas, dia
berdiri di depan bola dan mengayunkannya dengan sekuat tenaga. Bola golf
terbang dengan suara yang tajam. Bola golf yang tertusuk di tanah menari-nari
di udara. Sistem menelusuri lintasan bola, yang menggambar parabola indah saat
melengkung kembali ke tanah. Kata-kata ‘Pukulan
Bagus!' muncul di layar, dan bola menggelinding di rumput hijau beberapa
kali sebelum akhirnya berhenti. Akhirnya, itu menunjukkan jarak dia memukul
bola.
“Fiuh, yang itu terbang jauh.
Ahhh, kebebasan semacam itu~” Dia bernyanyi sambil memegang tongkat golf hampir
seperti senapan.
“Tentang apa itu?”
“Ini dari film jadul. Yang itu
pasti meledak, ya? ”
Angka di layar pasti
menunjukkan bahwa itu adalah hasil yang bagus, dilihat dari betapa bahagianya
dia, tapi aku tidak bisa memahami mengapa dia begitu senang tentang ini.
“Begitulah. Sederhana, bukan?”
“Memang tidak terlihat seperti
itu, tapi aku mengerti kemungkinan umat manusia sekarang, jadi terima kasih.”
Setelah itu, kami berdua
bergantian memukul sekitar sepuluh bola lagi. Pada awalnya, ayunanku meleset
dari bola dan cuma mengenai udara kosong
atau memukulnya ke arah yang acak, tapi mungkin berkat pengajaran
Yomiuri-senpai yang baik, aku akhirnya berhasil memukul bola tepat di hadapanku.
“Kamu punya bakat, oke.”
Ketika aku mulai terbiasa, aku
disambut oleh perasaan pencapaian yang menyegarkan, seperti aku memukul bola
lurus ke depan di pusat pukulan. Perasaan ini memang terasa hebat. Meski
layarnya tidak pernah mengatakan 'Pukulan
Bagus!' untukku, yang mana sangat
disayangkan. Serius, bagaimana dia bisa semahir ini? Apa dia sebenarnya memang
seorang om-om?
“Senpai, apa kamu sering berlatih
ayunan golf?”
“Hm? Yah, kadang-kadang, sih.”
“Wow.”
“Kenapa kamu terlihat kaget?”
Mungkin. Dia terlihat seperti
gambaran ideal gadis cantik Jepang dengan rambut hitam panjang dan indah, tapi
aku cukup yakin kalau di dalam dirinya
adalah seorang pria paruh baya alias om-om.
“Mungkin tidak terkejut. Kurasa
itu sangat masuk akal.”
“Dan apa sebenarnya yang kamu
maksud dengan itu?"
“Bagiku, Senpai adalah Senpai
yang berpengalaman di atas segalanya.”
“Aku percaya kalau sekali lagi
aku menarik perhatianmu, tahu, jenis kelaminku dan fakta bahwa aku seorang
wanita.”
“Kamu bebas mengubah
pendekatanmu, tetapi di sinilah aku, sepenuhnya setuju dengan fakta bahwa
mengajak cowok SMA ke golf larut malam adalah langkah pendekatan gadis kuliahan.”
Dia cantik, bertingkah jenaka,
dan selalu menyenangkan untuk berbicara dengannya. Jika kita bersama, aku yakin
setiap momen yang dihabiskan akan menjadi sebuah kebahagiaa. Aku belum pernah
menjadi bagian dari klub mana pun, tetapi berinteraksi dan menghabiskan waktu
dengan seorang senior di klub mungkin akan terasa seperti ini. Tidak salah lagi
bahwa nongkrong begini bisa menyenangkan
setiap saat.
“Kouhai-kun.”
“Ya?”
“Sudah merasa sedikit baikan?”
tanya Senpai sambil menunjukkan senyuman tipis.
Baru saat itulah aku menyadari mengapa Yomiuri-senpai membawaku ke tempat ini. Dia tahu kalau aku terus-menerus terganggu oleh sesuatu, dan ingin aku melupakan semua itu setidaknya untuk waktu yang singkat. Itu sebabnya dia mengajakku ke sini.
“Ya. Rasanya sangat
menyenangkan.”
“Baguslah, syukurlah kalau
begitu.” Yomiuri-senpai menepuk pundakku.
Ya—aku sangat menyukainya
sebagai orang. Itulah perasaan jujurku, namun aku seolah-olah mendengar bisikan
seseorang. Pada musim panas itu, di momen itu, emosi yang kurasakan di dalam
diriku, yang bergejolak dari dalam tenggorokanku ketika aku melihat gadis itu
menyilangkan jarinya saat merentangkan tangannya jauh di atas kepalanya—emosi itu sangat berbeda dari apa yang
kurasakan sekarang.
Setelah mengayunkan bola golf
selama satu jam lagi, lenganku menjadi cukup keram dan lelah. Aku mulai meleset
lebih banyak, dan bola berhenti terbang juga, jadi salah satu dari kami mengemukakan
gagasan untuk perlahan-lahan pulang. Karena waktunya sudah sangat larut, dan besok
ada pertemuan orang tua-guru.
“Sebelum itu, aku perlu ke
kamar kecil sebentar.”
“Kalau begitu aku akan
membersihkan sisa perlengkapan di sini.”
“Ya, tolong ya.”
Aku mengambil tongkat golf yang
kami gunakan dan membawanya. Ya, itu menyenangkan. Meski lenganku mulai mati
rasa, aku senang bisa datang ke sini. Sebagai orang yang berkepribadian luar
biasa, aku selalu berpikir bahwa bermain golf adalah bagian dari para normies,
tetapi jika itu hanya simulasi dalam ruangan seperti ini, aku rasa itu
menyenangkan. Maru benar. Mencoba sesuatu yang biasanya tidak memungkinkanku
untuk melampiaskan stres dan frustrasi.
Sementara aku memikirkan hal
itu, aku bertemu dengan seseorang yang baru saja masuk ke dalam gedung—seorang gadis. Gaya rambut dan pakaiannya
tidak terlalu menonjol, tapi ada satu hal yang menarik perhatianku padanya—tingginya.
Tepatnya, dia mempunyai badan yang cukup tinggi.
“Tunggu… gadis itu, kayaknya
aku pernah melihatnya…?”
Aku menelusuri melalui
ingatanku baru-baru ini dan menemukan sesuatu. Dia adalah gadis yang duduk di
sebelahku selama les musim panas. Itu artinya dia pasti kelas dua SMA
sepertiku. Dia sendirian, jadi dia mungkin datang ke sini sendirian. Meski
sudah larut malam begini? Dia bermain golf sendiri? Dia mulai memeriksa ruangan,
mencari ruang terbuka di mana dia bisa bermain. Karena Yomiuri-senpai dan aku
baru saja selesai, dia berjalan langsung ke arahku. Tepat saat dia berjalan
melewatiku, dia sepertinya menyadari bahwa aku ada di sana.
“Kamu…”
“Kebetulan sekali. Selamat
malam.” Aku membungkuk sedikit untuk memberi salam.
“Selamat malam. Um, kita belum
pernah bertemu sejak liburan musim panas lalu, ya?”
“Kurasa tidak, yeah.”
“…Um, apa kamu masih bersekolah
di tempat les itu?”
“Ya, meskipun hanya pada hari
Sabtu.”
Memberitahunya sebanyak ini
seharusnya baik-baik saja. Bagaimanapun juga, kami saling mengenal dari sekolah
les.
“Jadi begitu ya. Aku sebenarnya
menghadirinya secara teratur sekarang. ”
Aku terkejut mendengarnya. Lagi
pula, begitu liburan musim panas berakhir, aku tidak pernah bertemu dengannya
sekali pun. Ketika aku bertanya kepadanya tentang itu, dia menyebutkan bahwa
dia tidak menghadiri pelajaran pada hari Sabtu. Dia tidak suka ruang kelas yang
ramai pada hari-hari itu, itulah sebabnya dia menggunakan ruang belajar mandiri
di sekolah les.
“Ruang belajar mandiri?”
“Ya. Rasanya jauh lebih nyaman
daripada ruang perpustakaan.”
“Begitu ya… Ah,
ngomong-ngomong, namaku Asamura Yuuta.”
“Aku Fujinami Kaho. Kata ‘Ka’ dari musim panas dan ‘Ho’ dari kanji berlayar, oleh karena itu
‘Kaho’.”
“Berjual?”
“Bukan yang itu, tapi dari kata
layar. Nama itu ditulis cukup sederhana dengan kanji, jadi mudah diingat.”
“Ah, Seperti layar kapal. Jadi
begitu rupanya.”
“Nah, ‘kan? Kamu sudah
mengingatnya.” Dia menyunggingkan ujung bibirnya.
“Ya kamu benar.”
Jika dia memperkenalkan dirinya
sebagai 'Fujinami Musim Panas berlayar',
itu sangat mudah untuk diingat. Dia tampak seperti gadis yang lebih penurut
bagiku, tapi kurasa dia memiliki keterampilan komunikasi yang sangat baik. Dia
membungkuk sedikit ke depan, memberiku salam formal 'Senang bisa bertemu denganmu'. Aku mengikutinya, melakukan hal
yang sama. Tepat saat percakapan kami selesai, Yomiuri-senpai kembali.
“Ah, kamu sedang kencan, ya.”
Fujinami-san meliriknya, lalu kembali menatapku.
Aku dengan panik menggelengkan
kepalaku.
“Tidak, tidak, dia cuma
Senpai-ku dari tempat kerja. Kami tidak memiliki hubungan yang seperti itu.”
“Jadi begitu. Kalau begitu, aku
permisi dulu.” Dia sekali lagi membungkuk sedikit dan memasuki ruangan yang
tadinya digunakan Yomiuri-senpai dan aku.
Aku melakukan hal yang sama,
dan ketika aku mengangkat kepalaku, Yomiuri-senpai berdiri di depanku.
“Hei, hei, hei, Kouhai-kun.”
“Selamat datang kembali,
Senpai.”
“Ekspresi acuh tak acuh macam
apa itu? Siapa gadis itu barusan?! Playboy macam apa kamu ini yang berani
mendekati gadis lain saat kamu berkencan denganku ?! ”
“Ap, ah, maafkan aku…?”
Dia menyebutnya kencan, tapi
aku tidak cukup percaya diri untuk mengganggapnya seperti itu. Aku bertaruh
bahwa dari sudut pandang anak kuliahan, seorang siswa SMA sepertiku hanyalah
seorang junior yang menggemaskan. Cara dia menggodaku seperti ini sudah cukup
membuktikannya. Meminta maaf dengan sungguh-sungguh adalah pilihan terbaik.
Jika aku mencoba berdebat, dia akan besar kepala dan terus menggodaku.
“Enggak asyik ah jika kamu
segera meminta maaf.”
“Memangnya perlu untuk
membuatnya terlihat asyik?”
“Yah, hari ini sudah cukup
larut, jadi kurasa aku akan membiarkanmu lolos dengan ini.”
“Aku sudah menerima takdirku,
jadi tolong lepaskan aku.”
Syukurlah, Yomiuri-senpai
memaafkanku sambil tersenyum. Setelah kami selesai membayar di kasir meja
depan, kami kembali ke stasiun kereta. Sama seperti ketika menonton film, aku
mengantar Senpai ke tempat di mana aku bisa melihat tempat parkir, dan kemudian
mengayuh sepeda untuk pulang. Sambil menikmati hembusan angin sepoi-sepoi
Shibuya di malam hari yang memberkatiku, aku sekali lagi memikirkan apa yang
dikatakan Maru. Mencoba sesuatu yang baru, ya? Oh ya, itu mengingatkanku. Aku
menghadiri sekolah les itu, tapi aku bahkan belum sepenuhnya menggunakan semua
fakultas mereka.
“Ruang belajar mandiri…”
Saat menyimpan sepedaku di
tempat parkir apartemen, aku mulai berpikir kalau aku mungkin perlu mengunjunginya
kapan-kapan.
Sebelumnya || Daftar isi ||
Selanjutnya