BAB 4 — Tenshi-sama dan Kencan Rumah
Kecemasan yang diperkirakan
Amane saat berbelanja kemarin terbukti benar.
“Beneran turun hujan.”
“Ya, hujan.”
Ketika segerombolan tetesan air
jatuh ke tanah, tidak hanya gerimis ringan, tapi bahkan membuat suara keras, membuat
Amane dan Mahiru saling memandang dan menganggukkan kepala. Meskipun mereka
berharap banyak setelah melihat ramalan cuaca, mereka masih merasa rumit karena
itu adalah hari dimana mereka memutuskan untuk pergi keluar, dan kemungkinan
akan berlanjut selama sisa masa tinggal mereka.
Untungnya, anginnya tidak
terlalu kencang dan curah hujannya tidak terlalu buruk sehingga perlu
diwaspadai, jadi orang tua Amane sudah berangkat kerja. Karena orang tuanya
adalah orang dewasa yang bekerja, jadi itu wajar saja, tapi Amane sudah
merencanakan untuk berkencan dengan Mahiru. Bukan tidak mungkin untuk keluar
dalam cuaca seperti itu, tetapi pakaian mereka pasti akan basah kuyup dan akan
menjadi masalah besar jika mereka masuk angin karena terlalu lembap.
“Kita tidak bisa keluar kalau
cuacanya begini. Itu ide yang buruk bahkan jika kita bersiap untuk sedikit
basah.”
“Aku khawatir kalau kita berdua
akan masuk angin, Amane-kun, jadi kita harus membatalkan rencana kita.”
“Kamu benar. Kalau gitu,
mendingan kita tinggal di rumah dan bersantai.”
Mereka berdua adalah tipe orang
in-door, jadi tinggal di rumah
bukanlah masalah bagi mereka. Meski sangat disayangkan kalau mereka tidak bisa
keluar, tapi rasanya tidak buruk juga menghabiskan waktu bersama di rumah.
Amane dengan cepat menyerah untuk pergi keluar dan mencatatnya karena
keberuntungan waktu yang aneh, dan menepuk kepala Mahiru, yang telah menurunkan
bahunya.
“Kita bisa keluar lagi lain
kali. Bersama-sama.”
“Aku tahu... Tapi kita sudah
membuat janji.”
“Apa kamu sangat ingin
berkencan di luar?”
“Tentu saja. Bukannya aku tidak
ingin menghabiskan waktu bersamamu di rumah, tapi aku juga ingin melakukan
hal-hal yang biasanya tidak kulakukan. Aku sangat menantikan untuk melihat sisi
barumu, Amane-kun.”
“Oh yahh, maaf kalau begitu…
kamu sangat menantikannya.”
Mahiru mengangguk, Amane
merasakan semburat rasa malu yang membuatnya mengeraskan pipinya. Mahiru sedang
melihat ke luar jendela dan hal tersebut beruntung bagi Amane, karena dia tidak
menyadari perubahan ekspresinya.
“Yah, kesampingkan itu, aku
senang menghabiskan waktu berkualitas bersamamu, Amane-kun. Hanya saja… tolong
jangan terus menyentuh telingaku seperti yang kamu lakukan kemarin, oke?”
“Hm? Apa ini petunjuk bagiku
untuk menyentuh mereka?”
“Tidak, bukan begitu! Caramu
berbisik dan menyentuhnya tidak baik untuk hatiku!”
“Yah, aku tidak bisa menyangkal
itu. Tapi aku pikir itu buruk bahwa kamu pada umumnya lemah terhadap aku sejak
awal. ”
“Aku bisa membalas apa yang
baru saja kamu katakan kata demi kata.”
Saat disentuh di titik lemah,
Mahiru kadang-kadang mundur karena gelisah, jadi terkadang Amane bertanya-tanya
seberapa jauh dirinya harus melangkah. Sulit untuk mengetahui seberapa jauh
kontak fisik yang diizinkan, karena jika Amane melangkah terlalu jauh, Mahiru
akan bereaksi berlebihan dan menyembunyikan diri atau mulai cemberut.
“Aku tidak sesensitif seperti
kamu jadi aku tidak akan kehilangan semua kekuatanku seperti kamu, Mahiru.”
“Wow, kamu sudah mengatakannya
sekarang. Aku pasti akan membuatmu jatuh juga, Amane-kun.”
“… Kamu cukup keras kepala juga
ya, Mahiru.”
Hanya dengan melihat reaksinya
saja, Amane tahu bahwa Mahiru kehilangan tenaganya setiap kali ia membelai
telinganya atau berbisik ke telinganya, seolah-olah dia tidak memiliki kendali
atas tubuhnya. Meskipun itu bukan hal baru baginya, Mahiru tetap tidak ingin
Amane mengetahuinya.
“…Aku harus memanjakanmu dengan
segala cara yang aku bisa, Amane-kun.”
“Apa lagi yang akan kamu
lakukan ketika aku sudah tergila-gila padamu ...”
Amane sudah benar-benar
tergila-gila padanya, dia akan menjadi terpesona setiap kali matanya tertuju
padanya dan Amane berpikir tidak mungkin baginya untuk lebih memujanya. Amane
harus mengasingkan diri di kamarnya jika dirinya jatuh cinta pada Mahiru bahkan
lebih dari sebelumnya; atau begitulah yang ia pikirkan, setidaknya.
“…Kamu selalu mengatakan
hal-hal itu dengan lancar ya, Amane-kun.”
“Aku tidak malu untuk
mengatakannya, tetapi aku sering mendengar bahwa keadaan bisa menjadi rumit
jika kamu tidak mengekspresikan diri melalui kata-kata.”
Meski Amane merasa kalau
dirinya pernah mengatakan sesuatu yang serupa sebelumnya, itu tetap benar.
Bahkan jika kamu menunjukkan cintamu melalui sikapmu, itu tidak selalu cukup.
Lebih baik menjadi jujur dan komunikasikan perasaanmu dengan jelas disertai
dengan sikap penuh kasih untuk menghindari stres dan frustrasi yang tidak
perlu.
Karena kata-kata sederhana
seperti itu sudah cukup untuk memadamkan percikan pertengkaran di masa depan,
mereka tidak boleh lupa untuk mengatakannya, tapi Amane tidak pernah sekalipun
lupa untuk memulainya. Itu juga cara yang bagus untuk menghindari
kesalahpahaman, tetapi yang terpenting, Amane merasa senang melihat reaksi lucu
dan menggemaskan Mahiru ketika ia secara lugas mengatakan perasaannya, meskipun
dia tidak akan mengakuinya padanya.
“… Aku juga menyukai
rasionalitasmu itu.”
“Terima kasih untuk itu. Kamu
juga mulai sering mengatakannya setelah kita berpacaran, Mahiru.”
“Y-Yah, aku sangat mencintaimu
sehingga mau tak mau aku jadi mengatakannya.”
“…Oh.”
Amane tahu bahwa tidak ada
sedikit pun sanjungan kosong dalam kata-katanya, seperti yang Mahiru gumamkan
dalam semua rasa malunya. Pertama-tama, mana mungkin Mahiru akan mengatakan
sesuatu kepada Amane yang sebenarnya tidak dia maksudkan.
Dia dulu sangat ketus dan jauh
darinya, tapi sekarang Mahiru selalu mengungkapkan pikirannya. Mengetahui hal
ini, Amane yakin bahwa dia merasakan hal itu dari lubuk hatinya. Diberitahu
dengan cara yang terus terang, Amane jauh lebih merasa malu daripada terkejut.
Keterkejutannya tidak luput dari perhatian Mahiru, jadi dia menatap Amane.
“Kamu baru saja merasa malu,
bukan?”
“Memangnya itu buruk?”
“Tidak, tapi akhirnya aku
merasa seperti aku mempunyai keunggulan, hanya untuk hari ini.”
“… Hari baru saja dimulai.”
“Kalau begitu, Amane-kun, aku
akan menemukan semua kelemahanmu hari ini.”
“Oh, kurasa itu tidak mungkin.”
“Apa maksudmu dengan itu?”
“Aku akan selalu
mengantisipasinya, itulah yang kumaksud.”
“… Amane-kun, pada
kenyataannya, kamu ingin hatimu dikuasai olehku, bukan?”
“Yah, berusahalah yang
terbaik.”
Amane lebih suka dia melakukannya
dalam jumlah wajar jika dia benar-benar menginginkannya, tapi kemudian, Mahiru
menunjukkan senyum percaya diri dan mengambil kotak plastik dari kotak kardus
yang diletakkan di meja terdekat.
“Dengan ini, aku akan membuat
hatimu menyerah padaku, Amane-kun.”
“Tunggu, dari mana kamu
mendapatkan itu?”
Melihat cakram yang ada di
dalam kotak, Amane langsung tahu kejahilan seperti apa yang ingin Mahiru
kerjakan. Ditulis dengan huruf besar dan tebal adalah judulnya, Album Pertumbuhan — Usia Satu Tahun
dengan spidol permanen di bagian depan disk. Saat melihatnya, Amane ingin
menunjukkan bahwa ini akan menjadi hal yang memalukan dalam artian lain, tapidia
menahan diri.
“Ini dari koleksi Shihoko-san.”
“… Bagaimana kamu bisa
memilikinya?”
“Shihoko-san yang memberitahuku, ‘Jika kamu tidak bisa pergi keluar, maka
kamu sebaiknya menonton ini saja.’ Ada beberapa DVD lain dari berbagai
drama yang aku lihat di sana juga.”
Orang tua Amane adalah tipe
orang yang menonton film Barat dan Jepang dari semua genre, dan tidak diragukan
lagi bahwa mereka terkadang menghabiskan waktu di rumah dengan banyak koleksi
film yang mereka simpan. Meski begitu, Amane tidak pernah menyangka kalau kedua
orang tuanya akan memberikan sebagian koleksi mereka kepada Mahiru.
Dia
sudah menunjukkan album fotoku kepada Mahiru tanpa bertanya, jadi mungkin itu
sebabnya.
Bagaimanapun juga, nasi sudah
menjadi bubur, jadi Amane hanya bisa menundukkan kepalanya ke bawah.
“… Amane-kun, kamu masih tidak
suka melihat kembali masa kecilmu?”
“Aku bukannya tidak suka, tapi rasanya
sulit menonton video yang penuh dengan masa lalu kelamku, dan perbedaan antara
foto dan video seperti langit dan bumi. Mana mungkin aku tidak merasa malu.”
Amane sudah menonton videonya
sebelumnya, jadi dirinya berpikir kalau orang tuanya tidak menambahkan klip
yang terlalu memalukan, tetapi karena ini berada di tangan Ibunya, Amane tidak
bisa mempercayainya. Ia tidak merasa nyaman dengan itu, bahkan ingin melewati
dan menyensornya terlebih dahulu, tetapi jika Mahiru sangat ingin menontonnya,
dirinya cuma bisa duduk dan menanggungnya.
“Memangnya benar-benar seburuk
itu?”
“Dulu aku pembuat masalah lebih
dari yang kamu kira, Mahiru…”
“Bukannya kamu tipe orang dalam
ruangan, Amane-kun?”
“Aku merasa kamu menyiratkan
sesuatu di sana. Aku hanya anak normal.”
Meski sulit untuk membedakan
hanya dari fotonya saja, Amane adalah anak yang sangat aktif saat masih kecil.
Ia akan pergi menjelajah daerah sekitar dengan anak-anak lain seusianya di
lingkungan rumahnya, atau mengunjungi rumah anak-anak lain tanpa memandang usia
mereka.
Ketika diingat-ingat lagi,
Amane percaya berkat kehangatan masyarakat setempat, dirinya bisa tumbuh
menjadi sehat dan baik hati, tidak menimbulkan masalah bagi lingkungan
sekitarnya.
Sekarang
ketika orang mengatakan aku dulu pembuat onar, aku hanya bisa menganggukkan
kepala. Aku benar-benar berubah sejak saat itu.
“Sekarang aku jadi sangat
penasaran untuk menontonnya… kamu dulu menyapa tetanggamu dengan senyum lebar,
bukan?”
“… Yah, menurutku mereka cukup
ramah.”
Amane mengenang bahwa penduduk
setempat dari generasi ibunya ke atas memiliki reputasi yang baik dan lebih
ramah, mungkin efek samping dari kepribadian eksentrik Shihoko.
“Amane-kun versi kecil ya, aku
sudah tahu betapa imutnya dirimu.”
“Jika kamu benar-benar ingin
menontonnya… kamu bisa, tapi menurutku videonya takkan semenyenangkan itu.”
“Kalau itu sih masih belum tahu
sebelum aku menontonnya! Rasanya senang bisa melihat sisi tersembunyimu,
Amane-kun.”
“… Lakukan sesukamu.”
Melihat Mahiru menunjukkan
wajah berseri-seri sambil memegang kotak plastik membuat Amane enggan
menghentikannya, dan akhirnya memutuskan untuk membiarkan dia melakukan apa
yang diinginkannya. Ketika berkaitan dengan Mahiru, Amane bersedia mentolerir
rasa malu untuk senyumnya, meski bukan tanpa keengganan.
“Sejak kecil, lingkungan rumahku
membuatku jarang mengambil gambar atau video. Itu sebabnya aku pikir rasanya sangat
menyenangkan melihat mereka diabadikan seperti ini.”
Amane menatapnya saat Mahiru
menggumamkan kalimat sedih itu, dan melihat dia memegang kotak di tangannya
dengan sangat hati-hati. Mahiru berpura-pura tidak ada yang salah. Nada
suaranya menunjukkan kurangnya minat, jadi mungkin kekhawatiran Amane salah
tempat. Namun, ekspresinya menunjukkan sebaliknya. Senyumnya yang serius dan
mencela diri sendiri membawa jejak kesepiannya, tetapi itu lebih mirip dengan
luka lama yang terbuka kembali untuk sesaat, daripada kesadaran yang tiba-tiba.
Senyum Amane memudar saat
memikirkan tentang kurangnya kontak dan pengakuan yang ditawarkan orang tuanya,
tapi sekarang Mahiru bersamanya, ia tidak ingin ada permusuhan muncul di antara
orang-orang yang terlibat. Amane bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak
pernah membiarkan Mahiru mengalami kesepian seperti itu lagi.
“… Apa kamu ingin menyimpan
catatan masa kecilmu, Mahiru?”
“Rasanya memang kesepian karena
tidak memiliki masa kecilku, jadi aku setidaknya ingin memiliki catatan tentang
itu. Ketika melihat kembali kenangan masa lalu, entah itu baik dan buruk, pengalaman
tersebut dapat menjadi bagian dari pertumbuhan pribadi seseorang.”
“Begitu ya. Kemudian, ketika
waktu yang tepat tiba, ayo ambil banyak foto seperti ini dan menyimpannya
sebagai kenang-kenangan.”
Amane kemudian dengan lembut
mengambil disk di tangan Mahiru dan meletakkannya di pemutar DVD. Ada makna
tersembunyi dalam kata-katanya, tapi Amane tidak menjelaskan lebih jauh.
Dirinya sudah menyiapkan untuk
masa depan dan yakin bahwa tekad serta kasih sayangnya kepada Mahiru tidak akan
pernah goyah. Amane yakin dirinya bisa memberi Mahiru apa yang benar-benar
diinginkannya, atau lebih tepatnya, Amane ingin membangun hubungan mereka
sampai titik itu bersama dengannya.
Seraya merasa penasaran
bagaimana Mahiru akan mengartikannya, Amane berjalan kembali ke sofa setelah
memasukkan disk dan mengintip ke arahnya. Seketika itu, setelah berkedip lebar
karena terkejut, mata polos Mahiru mulai berkibar murni.
“Apa ada yang salah?”
“Ti-Tidak, bukan apa-apa…?”
Segudang emosi yang tak
terhitung jumlahnya tercermin di matanya, berkedip-kedip sebelum menghilang
dengan cepat. Usai menatap ekspresi Mahiru yang sekilas, Amane semakin
tersenyum padanya. Dirinya tidak yakin apakah Mahiru sampai pada jawaban yang
benar dan mengalihkan perhatiannya ke video yang mulai diputar.
Baiklah,
kita akan lihat tentang itu.
Kalau melihat dirinya yang
sekarang, Amane tidak dapat bertanggung jawab. Di mata orang lain, dirinya
masih anak di bawah umur. Menyatakan hal-hal yang ideal memang terasa mudah,
tapi untuk mewujudkannya butuh yang namanya kerja keras. Dunia ini tidak begitu
baik sehingga semua masalah bisa diselesaikan dengan perasaan dan kemauan saja.
Untuk saat ini, Amane akan
memulai dengan memastikan bahwa Mahiru mengerti bahwa kekaguman dan hasratnya
terhadapnya tidak berubah. Merasakan panas yang kuat naik dari dalam dadanya,
Amane terkekeh pada Mahiru yang sekarang meringkuk seperti bola di sampingnya.
“Lihat, kamu sendiri yang ingin
melihatnya, ini adalah video dari saat aku masih sangat kecil. Aku pikir semua
anak seusia itu terlihat menggemaskan, sejujurnya.”
“…Kamu terlihat sangat imut.
Melihatmu sekarang, Amane-kun, masih ada beberapa sisa dari saat kamu masih
muda, tapi menurutku matamu sekarang jauh lebih lembut dari sebelumnya.”
Mahiru menjawab dengan
perhatiannya masih menatap video, dan dengan senyum pahit berkata, “Yah,
kadang-kadang kamu terlihat sama seperti itu bahkan sampai sekarang.”
Video tersebut menunjukkan dari
adegan asing sampai pada adegan yang bisa dirinya ingat. Adegan di mana Amane
berjalan-jalan dengan anjing sambil berbicara dengan tetangganya. Video
beberapa anak berkumpul di halaman, bermain-main dengannya dengan polos. Adegan
di mana Shihoko yang gembira dan Amane kecil saat pertama kali bersepeda.
Percakapan sebelumnya dengan
Mahiru telah hilang dari pikirannya, dan sekarang Amane benar-benar asyik
menonton TV. Mau tidak mau Amane berharap kalau dirinya bisa melupakan tentang
video yang ditampilkan terlebih dahulu.
“Ah, aku ingat anak itu.”
Setelah menonton video sekitar
satu jam, mereka telah menyaksikan beberapa tahun kehidupan Amane berlalu. Ada
banyak video dia bermain dengan teman-temannya, tapi Amane memperhatikan bahwa
anak laki-laki yang dikenalnya terus muncul di setiap adegan dengan ekspresi
wajah yang tidak konsisten, dan ia sedikit terganggu.
“Ah, pria itu adalah tetangga
yang seumuran denganku. Meski tidak yakin apa aku akan memanggilnya teman masa
kecil, tapi kami cukup dekat.”
Amane merindukan hari-hari
ketika mereka masih berteman baik, tapi ia tidak menyesali dengan keadaannya
sekarang, dan tidak ingin kembali bahkan jika dirinya bisa. Meski Amane tidak
bisa mengatakan bahwa ia menyukai dirinya yang sekarang, ia masih berusaha
untuk menjadi dirinya yang ideal dan tidak ingin kembali pada masa-masa dirinya
masih naif dan tidak peduli dengan kesulitan orang.
Amane kembali dari lamunannya
dan Mahiru tetap diam, pandangan mereka kembali ke TV. Diri muda Amane, dengan
suara bernada tinggi dan energi yang melimpah, ditampilkan di layar dan
memancarkan sensasi kegembiraan dan semangat yang cerah. Melihat kembali ke
masa lalunya, terlalu bersemangat dan berlumuran tanah saat dirinya
bermain-main selama musim panas, Amane mulai bernostalgia dan sangat tersentuh
oleh kenangan itu.
"Aku sangat aktif
sampai-sampai sekujur badanku berlumuran tanah ...”
“Amane-kun, kamu benar-benar
lebih sembrono dan nakal dari yang kukira.”
“Aku hanya seorang anak kecil,
tau? Dimarahi oleh ibuku benar-benar membantuku belajar banyak hal… Tunggu— aku
tidak suka kemana arahnya…”
Begitu video menunjukkan lorong
yang familiar, Amane mengingat apa yang direkam tepat setelahnya dan bergegas
mengambil remote. Ia tidak punya pilihan selain menghentikannya.
Mahiru tidak bisa berkata
apa-apa pada seberapa cepat Amane bergerak, tapi dia pasti tidak bisa
membiarkannya melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, baik untuk menjaga
harga dirinya dan demi Mahiru, yang pada akhirnya akan melihat sesuatu yang
sedikit ekstra.
“Kenapa kamu menjedanya?”
“Di luar ini adalah wilayah
berbahaya. Rasanya sangat buruk sehingga kamu akan lebih merasa malu dariku
setelah melihatnya, Mahiru.”
“…Benarkah? Kamu cuma tidak
ingin aku melihatnya saja, bukan?”
“Tidak, memang ada alasan itu
sih, tapi tetap tidak. Kamu pasti tidak boleh melihat ini.”
Amane tidak mendukung Mahiru
melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, dan ia tentu saja tidak membawa hobi
aneh apa pun yang akan membuatnya membiarkannya, belum lagi Mahiru pasti
bingung karenanya. Keheningan jatuh di antara mereka.
Mahiru menatapnya dengan
tatapan curiga, dan Amane bertanya-tanya bagaimana ia harus menjelaskan dirinya
sendiri. Ia hanya bisa menghela nafas. Berharap penjelasan langsung akan
menjadi yang terbaik, jadi Amane mencoba untuk mengklarifikasi.
“…Benar, seperti yang sudah
kamu kethui, itu lorong rumah ini, dan tepat di baliknya ada kamar mandi,”
Amane menjelaskan. “Tanpa diragukan lagi, ini adalah video di mana aku sedang
mandi di kamar mandi—dengan keadaan telanjang bulat.”
Amane menatap lekat-lekat ke
arah Mahiru, bertanya-tanya apa dia baik-baik saja melihat anak laki-laki
telanjang, meski usianya bisa dihitung dengan satu tangan. Mahiru membeku kaku,
dan tidak bergerak sedikit pun. Jelas saja, dia tidak mengharapkan ini.
Amane ingin berbicara dengan
ibunya dan bertanya padanya apa yang dia coba lakukan dengan memberi Mahiru hal
seperti itu, tapi dia sedang bekerja.
“… Maafkan aku,” Mahiru segera meminta
maaf.
“Selama kamu mengerti. Aku
hanya berharap ibuku akan membedakan antara apa yang benar dan salah untuk
ditambahkan di sana, bahkan jika aku masih kecil.”
“Y-Ya, aku setuju.”
Menghentikan pemutaran video dengan
berpikir bahwa mereka sudah cukup melihatnya, Amane kemudian meringkuk di
bahunya ketika dia melihat sedikit ekspresi penyesalan di wajah Mahiru.
“Jangan-jangan, kamu tertarik
pada…?”
“E-Eh? Aku bukan gadis seperti
itu!”
“Kamu mungkin penasaran tentang
itu, Mahiru, tapi aku sama sekali tidak. Juga tolong jangan menyundulku.”
Meski dirinya cuma bercanda,
Amane merasa tidak enak melihatnya merajuk seperti ini setelah menganggapnya
serius. Mahiru membenturkan kepalanya ke lengan Amane dengan wajah merah cerah.
Mahiru terus menyundul lengannya sampai rasa panas menghilang dari pipinya,
lalu memusatkan pandangannya pada Amane dan menajamkan bibirnya. Amane merasa kalau
dirinya perlu meminta maaf.
“… Amane-kun, kamu terus
menggodaku lagi.”
“Maaf,” katanya, “tetapi aku
ingin kamu kembali ke suasana hati yang baik. Aku tidak yakin harus berkata apa
lagi.”
“… Amane-kun, kamu juga harus
memikirkan perasaanku.”
“Kamu tahu, aku tidak tertarik
dengan perasaanmu tentang anak-anak… Maksudku, akui saja, setidaknya kamu
sedikit penasaran.”
“Terserah! Baka!”
Amane menyadari bahwa dia
bertindak terlalu jauh dengan godaannya. Mahiru, memprotes kata-katanya,
melarikan diri dari pengekangan lembutnya dan memukul pahanya.
Hubungan mereka sedikit terhenti
untuk sementara waktu. Mekipun ia juga merasa malu, Amane senang ketertarikan
Mahiru padanya tidak pernah berubah. Sambil beruasaha menahan tawa, dirinya
memutuskan untuk pergi ke dapur dan menuangkan minuman untuk Mahiru dengan
harapan itu akan menenangkannya. Dia mengambil waktu untuk menyiapkan minuman manis
untuknya yang dipikir akan disukai Mahiru dan berjalan ke tatapan dingin Mahiru
yang terkunci padanya saat kembali ke ruang tamu.
“Ini es cokelatmu, buatan
sendiri.”
“Jika kamu berpikir kalau aku
akan berada dalam suasana hati yang baik hanya dengan ini ... kamu salah
besar.”
“Kamu tidak menginginkannya?”
“Mm ... aku akan menerimanya.”
Mahiru meraihnya dengan agak
patuh. Saat Amane dengan sopan menyerahkannya, dirinya berusaha yang terbaik
untuk tidak tertawa. Pasta kakaonya cukup kental dari panci, dan Amane
mengambil waktu untuk melelehkannya. Kemudian dilarutkan dengan susu dan
didinginkan dengan tambahan es, itu adalah salah satu minuman favorit Mahiru.
Karena butuh banyak waktu dan usaha untuk menyiapkannya di dalam panci, Mahiru
tidak sering membuatnya sendiri, tetapi setiap kali Amane membuatnya untuknya
ketika suasana hatinya sedang buruk, dia akan menerimanya dan mendengarkannya.
“Bagaimana rasanya?” Tanya
Amane, mengawasi Mahiru menyesap minuman.
“Rasanya sangat lezat.” balas
Mahiru, tatapan mencelanya sedikit melunak.
“Aku senang mendengarnya.”
“Apa kamu mencoba menipuku
dengan sesuatu yang enak?”
“… Tidak, sama sekali tidak.”
Amane tersenyum kecut saat Mahiru meliriknya sebelum berdiri dengan secangkir
coklat.
Amane berkeringat dingin seraya
bimbang apakah suasana hatinya masih buruk. Jika demikian, ia harus mencoba
taktik lain untuk menenangkannya, tetapi kekhawatirannya mereda saat Mahiru
duduk kembali. Sebaliknya, Amane berkeringat dalam arti lain.
“Mahiru?”
“… AC membuatku kedinginan.”
Mahiru memutuskan untuk duduk
tepat di antara kedua kaki Amane dan menatapnya dengan seringai nakal. Amane
menghela napas dalam-dalam dengan campuran kelegaan dan keraguan.
“Seberapa jauh kita akan melakukannya?”
“Sejauh yang kamu mau,
Amane-kun. Kamu sudah tahu apa yang akan terjadi pada minuman cokelat ini jika
kamu melakukan sesuatu yang aneh.”
Tempo hari, Mahiru menyebutkan
bahwa dia senang disentuh olehnya, tetapi Amane tahu bahwa ini adalah caranya
untuk membalasnya.
“Kalau begitu, jangan keberatan
jika aku melakukannya.”
“Silakan, luangkan waktumu.”
“Tapi aku takkan melakukan
sesuatu yang aneh.”
“Mm.”
Itu adalah pendekatan yang
dramatis untuk menyandera dirinya sendiri, tetapi Amane tahu bahwa jika ia
tidak melakukan sebanyak ini, semuanya akan menjadi tidak pasti. Amane juga
tidak berniat melakukan sesuatu yang aneh, tapi karena Mahiru sengaja melakukan
serangan di siang bolong, Amane tertawa dan memberi isyarat seolah dirinya
takkan melakukan apapun. Ia merentangkan tangannya dengan longgar untuk memohon
bahwa dia tidak berbahaya.
“Drafnya membuatku kedinginan.”
“Mahiru, kamu menjadi sedikit
egois.”
“Apa kamu tidak suka kalau aku
seperti ini?”
“Mustahil. Aku yakin kamu bisa
lebih egois dari ini.”
Mahiru biasanya mengendalikan
dirinya dengan cukup baik, jadi mungkin dia ingin pacarnya memanjakannya karena
mereka sedang berduaan di rumah. Amane memutuskan untuk melakukan apapun yang ia
bisa untuk menyenangkannya, dan jika itu membuatnya tersenyum bahagia, maka itu
menjadi alasan yang lebih kuat untuk melakukannya.
Namun, Mahiru sering mencoba
memanjakannya, tetapi Amane ingin menjadi orang yang mengambil inisiatif, jadi
ada banyak strategi ofensif dan defensif yang dimainkan. Meski demikian,
tampaknya Mahiru yang mengambil inisiatif hari ini. Amane tidak yakin apakah
ini hasil yang bagus untuknya atau tidak.
Mahiru mempercayakan segalanya
kepada Amane saat dirinya memeluknya dan tampak santai saat Mahiru dengan
tenang menyeruput cokelatnya.
“… Kalau dipikir-pikir, kamu
tidak membuatnya untuk dirimu sendiri, kan?”
“Aku tidak terlalu suka minuman
manis, hanya melihatmu meminumnya sudah cukup membuatku kenyang.”
“Bagaimana kamu bisa begitu
kenyang bahkan sebelum makan siang?”
“Maksudku, aku sudah puas secara
mental.”
“Kalau begitu, kamu tidak perlu
makan siang."
“Tidak tidak. Mana mungkin aku
tidak memerlukannya.”
Amane mengencangkan lengannya
di sekitar tubuhnya sebagai protes, dan Mahiru terkikik dan berdeham geli.
“Aku tahu kamu sangat cepat
menarik kata-katamu… mungkin kamu harus memasak sekali ini saja, Amane-kun.”
“Aku tidak akan puas kecuali
itu hidangan yang kamu buat, Mahiru. Aku benar-benar ingin memakan masakanmu,
meskipun aku merasa tidak enak membiarkanmu memasak terus, sih.”
Amane sadar bahwa dirinya
mengatakan sesuatu yang sedikit menyedihkan, tetapi ia harus mengatakannya.
Tampaknya makanan yang tidak dibuat oleh Mahiru membuatnya menginginkan sesuatu
yang lebih. Tentu saja, bukan karena masakan yang dibuat oleh orang lain itu
buruk, tetapi selera Amane benar-benar dijinakkan oleh Mahiru, dan dirinya
tidak puas jika bukan Mahiru yang membuatnya.
“Kamu benar-benar putus asa,
Amane-kun.”
“Aku sudah lama tahu bahwa kamu
menahan perutku.”
“Aku penasaran bagaimana kamu
akan hidup tanpaku.”
“Sama, aku tidak suka
membayangkannya.”
Meskipun Amane mampu menjalani
hidupnya sendiri tanpa masalah setelah menghabiskan waktu bersama Mahiru,
kehadirannyalah yang memungkinkannya menjalani kehidupan yang cerah dan
memuaskan. Ini adalah pertama kalinya Amane memiliki perasaan cinta yang begitu
kuat pada seorang gadis, dan ia benar-benar ingin menghargai dan merawatnya.
Jika dirinya dipisahkan dari Mahiru sekarang, Amane merasa seolah-olah seluruh
dunia telah kehilangan warna cerahnya.
Baginya, mengulangi rutinitas
tanpa warna yang sama hari demi hari sama saja dengan kematian. Bukan hanya
makanannya. Kehadiran Mahiru dalam hidupnya membantu membentuknya menjadi pria
seperti sekarang. Itulah yang dimaksud Amane saat ia bilang dirinya tidak bisa
hidup tanpanya. Ketika dia mengatakan itu, Mahiru menjadi tegang secara
signifikan dari dalam pelukannya.
“Ka-Kadang-kadang kamu
benar-benar bertingkah seperti ini.”
“Apa maksudmu?”
“... Aku tidak bermaksud
apa-apa.” Setelah meminum setengah dari es cokelat yang tersisa dalam satu
tegukan, Mahiru berdiri, menghilangkan kehangatan dan kelembutan yang dia
pegang dengan sangat baik. “Sekarang, aku harus pergi memasak.”
“Kamu tidak ingin meluangkan
waktu dan minum?” Amane menatap Mahiru dengan sedikit enggan dan bertanya.
“Menurutmu siapa yang takkan
membiarkanku menikmati waktuku? A-Aku sudah selesai minum sekarang, jadi aku
akan menyiapkan makan siang kita. Lihat, sudah waktunya!”
Amane melihat ke arah yang
ditunjuk Mahiru, dan ternyata sudah lewat tengah hari. “Kurasa kamu benar. Oh,
aku juga akan membantu.”
“Kamu tidak perlu membantu hari
ini!” serunya.
Mahiru sepertinya mengatakan
itu untuk melarikan diri. Amane hendak bersikeras, tapi dia kabur ke dapur
dalam sekejap. Amane membiarkannya dan berterima kasih dalam hatinya karena
telah membuatkan makan siangnya.
✧ ✦ ✧
Setelah menikmati makan siang,
Amane sedang mencuci piring saat menyadari bahwa Mahiru telah menghilang entah
kemana. Meskipun mereka tidak bersama sepanjang waktu, sulit membayangkan
mengapa dia bisa hilang begitu saja. Mungkin
urusan darurat? Atau dia sedang tidak enak badan? Amane tidak berpikir
kalau Mahiru masih mengamuk. Suasana hatinya tampaknya telah pulih sepenuhnya
setelah makan siang, tetapi kemungkinannya tidak sepenuhnya nol.
Aku
akan memeriksa situasi setelahnya, Amane memutuskan begitu, dan
mematikan keran. Pada saat itu, suara langkah kaki turun dari arah tangga.
Mendengar langkah kaki yang lebih ringan darinya, Amane menoleh ke belakang dan
membeku.
Syukurlah
aku tidak sedang memegang piring, pikirnya saat itu. Kalau tidak,
piring itu akan terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas meja dapur.
“M-Maksudku, jarang ada kencan
di rumah…, jadi kupikir aku akan memakai sesuatu yang sudah kusiapkan
sebelumnya.”
Mahiru terlihat sangat pemalu
dan ingin menutupinya. Dia mengenakan gaun tanpa tali, gaun yang sama yang dia
katakan akan dipakainya terakhir kali.
Mahiru biasanya mengenakan gaun
yang tidak terlalu memperlihatkan banyak kulit. Hal yang paling terbuka adalah
gaun tanpa lengan dengan tunik. Tapi sekarang dia menunjukkan lehernya, bahunya,
dan tulang selangkanya. Kulit putih yang biasanya tidak pernah ditampilkan sekarang
ditampilkan tanpa keengganan. Meskipun cuaca di luar mendung dan langit
berwarna abu-abu kusam, area di sekitar Mahiru adalah satu-satunya tempat yang
atmosfernya terang dan cerah. Lengan bajunya adalah tujuh bagian lengan, jadi
total area kulit yang terbuka sebenarnya lebih kecil daripada atasan tanpa
lengan. Namun, karena bagian yang biasanya tidak terlihat kini terekspos, hal
tersebut membuat kesan yang lebih kuat.
“Bagaimana? Apa ini terlihat
cocok untukku?”
“… Baju itu cocok untukmu dan
terlihat bagus.” Amane begitu asyik sampai lupa memberinya pujian. Ketika dia
menyadari pandangan tajam Mahiru, ia dengan cepat menyuarakan pendapatnya.
Ketika dia membeli gaun itu, Amane
berkomentar bahwa itu akan terlihat memesona baginya. Tapi dia tidak menyangka
Mahiru terlihat luar biasa ketika memakainya. Gaun one piece itu tidak terlalu terbuka, tapi seksi dan polos pada saat
bersamaan, yang pasti karena temperamen dan penampilan Mahiru.
“… Terima kasih atas pujianmu.”
“Apa aku perlu lebih spesifik
dalam pujianku? Warna kulitmu terlihat sangat bagus, dan bahkan terlihat sangat
mempesona seperti ini. Dengan bentuk badanmu yang ramping, kamu tampak menawan
dalam balutan gaun yang memamerkan lekuk tubuhmu tanpa membiarkan pakaian
tersebut mencuri penampilanmu. Warnanya membuatmu terlihat lebih tinggi dari
biasanya, dan desainnya yang ramping memunculkan pesona kedewasaan.”
Amane tidak memiliki banyak
kosakata, jadi ia tidak bisa memujinya dengan kata-kata yang benar-benar cocok
untuknya. Tapi berpikir bahwa Mahiru telah berdandan dengan sangat baik demi
dirinya, Amane ingin memujinya sebanyak mungkin. Setelah mendengar Amane
mengatakan itu, Mahiru menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Aku tahu, aku tahu, jadi jangan katakan itu lagi. Aku merasa
sangat malu, apa yang kamu mau dariku?”
“Aku hanya ingin melihatmu
menjadi malu ketika aku memujimu. Ditambah itu yang sejujurnya kupikirkan, jadi
apa salahnya mengatakannya?”
Amane tidak hanya berusaha
menyanjungnya; sebaliknya, itu adalah pujian yang datang dari hatinya. Baginya,
itu juga merupakan bentuk kepuasan diri, dan ia tidak menyangka Mahiru akan
menunjukkan reaksi apapun. Amane merasa hatinya akan kewalahan jika dia tidak
mengungkapkan perasaannya dengan jelas dengan kata-katanya sendiri.
“Terima kasih. T-Tapi itu sudah
cukup. Aku sudah puas.”
“Tentu saja. Bagaimanapun, kami
baru saja menyelesaikan makan siang kami. ”
“A-Aku merasa seperti kamu
mencoba membalasku sebelumnya…”
“Aku tidak paham apa
maksudmu~.”
Memang benar Amane bermaksud
membalas pujian itu, dan pujian itu sendiri tidak diragukan lagi tulus. Namun,
jika ia bertindak terlalu jauh, Mahiru akan mengabaikannya lagi nanti. Maka
Amane memutuskan untuk berhenti disini dan mengeringkan tangannya dengan handuk
yang telah ia siapkan.
“Oke. Aku sudah selesai mencuci
piring, dan aku sudah selesai dengan tugas orang tuaku. Apa yang harus kita
lakukan selanjutnya?”
Itu adalah kesempatan langka
bagi Mahiru untuk mengganti pakaiannya, dan di luar masih hujan. Menurut
berita, angina topan telah lewat dan cuaca baru akan mulai membaik setelah
malam tiba. Tampaknya ramalan cuaca hari ini lumayan akurat.
Sangat sedikit yang bisa mereka
lakukan di kampung halamannya. Mereka baru saja menonton film rumahan. Selain
itu, yang bisa mereka lakukan hanyalah menonton film, meminjam buku dari perpustakaan,
atau melakukan kewajiban mereka sebagai pelajar: belajar dengan giat. Ada
banyak hal yang biasanya bisa dilakukan di rumah, tapi untuk kencan rumahan
seperti ini, kegiatan itu terasa sedikit hambar.
“… Memangnya aku tidak bisa
menghabiskan waktu bersamamu tanpa melakukan apa-apa?”
“Aku tidak keberatan sih, tapi
apa kamu tidak bosan?”
“Aku sudah menyarankannya
sendiri, jadi tentu saja aku takkan bosan. Selama aku bisa bersamamu, aku sudah
merasa sangat puas.”
Mahiru sekarang menyebutkan
kata-kata yang sangat penuh kasih yang sama, dan Amane tanpa sadar tersenyum
saat mengulurkan tangan dan dengan lembut membelai kepala Mahiru.
“Kalau begitu, ayo habiskan
waktu kita dengan santai. Meskipun ini adalah rumah lamaku, tidak banyak hal
yang bisa kami nikmati dengan bebas.”
Amane memiliki videogame dan
manga yang bisa ia nikmati bersama Mahiru, tapi sayangnya, ia meninggalkannya
di apartemennya. Amane tidak membawanya karena tidak ingin menambah berat
barang bawaannya, tetapi ia setidaknya harus membawa kembali video game ketika
mengantisipasi hasil ini. Namun, dari pengalaman, Amane tahu bahwa meski tanpa
hal-hal itu, Mahiru akan tetap bahagia. Usai memikirkan itu, Amane merasa bahwa
dMahiru adalah orang yang mudah terpuaskan.
“Menghemat banyak masalah untuk
dipuaskan hanya dengan bersama-sama.”
“Ya. Aku setuju. Mungkin itu
trik untuk membuat hubungan bertahan lama.”
“Ini bukan perkara trik karena
ini masalah bagiamana kita bergaul dan kepribadian kita… Pokoknya, hubungan
kita sangat rukun.”
Aku
pikir lebih penting untuk bisa mentolerir keheningan satu sama lain daripada
bersenang-senang bersama, baik itu persahabatan atau hubungan, pikir
Amane. Ketika Amane dan Mahiru bersama, mereka bisa merasa puas bahkan tanpa
berbicara satu sama lain, jadi tidak diragukan lagi kalau keduanya sangat cocok
satu sama lain.
Meski demikian, hari ini adalah
kencan, jadi tentu saja, mereka harus berkomunikasi dan berinteraksi.
“Kalau begitu ayo pergi ke
kamarku… Tapi jangan salah paham dulu, aku takkan melakukan hal yang aneh-aneh.”
“Aku tidak akan meragukanmu
dalam hal itu.”
“Aku berharap kamu akan sedikit
ragu ...”
Tidak peduli apa yang Amane
lakukan, Mahiru akan mengizinkannya. Namun sikap Mahiru yang tidak ragu sama
sekali membuat Amane merasa sedikit rumit.
Berpikir bahwa Mahiru terlalu
memercayainya, Amane hanya bisa tersenyum pahit. Pada saat yang sama, ia meraih
tangan Mahiru dan kembali ke kamarnya. Hampir semua perabotan dan dekorasi di
ruangan itu telah dipindahkan, dan tidak ada mood untuk dibicarakan. Tapi juga
karena ini, Mahiru sendiri tampil lebih cantik.
Di
mana kita harus duduk? Amane merasa ragu sejenak, tapi dirinya
tidak tahan membuat pantat Mahiru sakit karena duduk di lantai, jadi ia sendiri
yang duduk di tempat tidur. Kemudian, meskipun Mahiru menunduk sedikit
malu-malu, dia duduk di antara kaki Amane secara alami dan menyandarkan
tubuhnya ke kaki Amane. Karena sikap Mahiru yang sepenuhnya percaya sehingga ia
tidak bisa tidak memanfaatkannya — Amane berpikir begitu, merasa senang
sekaligus ragu. Meski begitu, ia berhasil menekan keinginan yang muncul
sekaligus, dan membawa Mahiru ke dalam pelukannya. Amane memeluk Mahiru lebih
erat dan lebih dalam dari sebelumnya.
Supaya tidak menyakiti Mahiru,
Amane berhati-hati dengan cengkeramannya, sambil menjaga tubuhnya tetap dekat
dengan Mahiru dan merasakan kelembutannya. Amane menyandarkan pipinya di bahu
Mahiru, dan seluruh tubuhnya sedikit gemetar.
“…Uhmm, Amane-kun?”
“Tidak ada yang salah dengan
ini, ‘kan? Aku tidak menyentuh apa pun yang seharusnya tidak boleh aku sentuh.”
Satu-satunya bagian yang saling
bersentuhan adalah perut, punggung, dan bahu. Berkat Mahiru yang berganti ke
gaun one-piece dan memperlihatkan bahunya, Amane bisa merasakan kulit mulusnya
seperti ini.
Melihat ke bagian atas gaun
itu, Amane bisa melihat dari garis tulang selangkanya yang membulat hingga
kedalaman Lembah Terlarang di
bawahnya. Meskipun pemandangan tersebut tampak menakjubkan, Amane takut dirinya
akan memiliki pikiran jahat jika terus melihatnya, jadi ia mengalihkan pandangannya
dan menggigit telinga merah Mahiru sebagai pembalasan.
“Ahhh…! P-Pagi ini, bukannya kamu bilang kamu takkan melakukannya!
Tolong jangan bermain-main dengan telingaku!”
“Karena itu membuatmu lemah di
mana-mana?”
“...Ya. Yah, tidak seburuk itu…
tapi itu membuatku sangat geli, jadi tolong jangan lakukan itu.”
“Kalau begitu mari kita lupakan
kali ini dan nikmati nanti.”
Alih-alih menggoda
terus-menerus seperti biasa, menyentuh hanya jika diperlukan akan terbukti
lebih efektif. Jika Kamu terbiasa dengan rangsangan, perasaan tersebut takkan
sekuat dulu. Karena itu, lebih tepat melakukannya sesekali. Tapi apa ini hal
yang baik untuk Mahiru adalah cerita yang berbeda.
“Tapi kurasa aku takkan bisa
mengatasinya….”
“Lalu, apa kamu ingin mulai
membiasakannya sekarang?”
“Sama sekali tidak!”
Mahiru berbalik dan menatap
Amane dengan wajah merah.
Amane menilai jika dia
bertindak terlalu jauh, Mahiru akan marah lagi, jadi dirinya dengan lembut
berkata, “Maaf,” sambil memeluk tubuh
Mahiru lagi.
“… Amane-kun sangat buruk untuk
hatiku.”
“Maaf, aku takkan melakukannya
lagi… Ngomong-ngomong, kamu terlihat sangat bagus dalam hal itu. Aku bahkan
tidak ingin membiarkan orang lain melihat ini, jadi mungkin tinggal di rumah
untuk kencan adalah pilihan yang tepat.”
Faktanya, sebagian besar pakaiannya
tampak bagus untuk Mahiru, dan gaun tanpa tali ini tidak terkecuali; itu sangat
cocok untuknya. Dia bisa memakainya dengan pesona lebih dari model rata-rata.
Bahu dan tulang selangka yang
lembut terlihat tanpa halangan, dan sejujurnya, Amane tidak ingin orang lain melihatnya
mengenakan pakaian seperti itu. Mahiru telah merawat dirinya sendiri dan
bekerja keras untuk memiliki kulit yang begitu indah. Amane tidak ingin
laki-laki lain melihatnya. Ia melihat kulit porselen putihnya yang indah dan
berterima kasih kepada hujan yang melanda.
“…Aku sekarang tahu Amane-kun
memiliki selera khusus untuk jenis pakaian ini.”
“Ketimbang selera, aku hanya
berpikir itu cocok untukmu. Lebih baik bagimu untuk memiliki pakaian yang
sederhana namun bergaya daripada yang mencolok.”
“Itu bagus. Aku membeli ini
hanya untuk menunjukkannya kepada mu, Amane-kun.”
“Kalau begitu aku ingin
melihatnya lebih dekat.”
Sekarang Amane menggendong
Mahiru dari belakang, tidak mudah untuk melihat bagian depannya. Meskipun ia
sudah melihatnya dari depan di dapur tadi, tapai Amane sekarang ingin melihatnya
lebih dekat.
Setelah mendengar Amane
mengatakan itu, Mahiru menggerakkan tubuhnya dengan malu-malu dan berbalik.
Dengan kepala tertunduk dan matanya menengadah, dia menatap Amane dengan
sedikit gelisah. Dia tampak malu menatap Amane dari jarak sedekat itu, atau
mungkin dia malu saat mereka saling berhadapan di tempat tidur. Amane tidak
tahu persis apa yang dia pikirkan, hanya menyimpulkan bahwa dia pemalu.
“...Itu sangat cocok untukmu.
Kamu terlihat sangat imut, Mahiru.”
“A-aku tahu. Aku tidak asing
dengan fakta bahwa menurutmu aku lucu, Amane-kun.”
“Ya… Rasanya sedikit memalukan
untuk mengatakan ini, tapi menurutku kamu lebih manis daripada orang lain ..”
Amane tidak peduli dengan orang
lain selain Mahiru. Ketika dirinya mengatakan imut, dia juga bermaksud dalam
artian menggemaskan.Amane tidak bermaksud memuji orang lain selain Mahiru
dengan cara ini. Ia mungkin mengatakan itu kepada gadis lain di masa depan,
tapi setidaknya dia tidak berniat melakukannya sekarang. Amane memuji Mahiru
dari lubuk hatinya, dan pada saat yang sama ia mulai membelai pipi Mahiru
dengan tangannya, membuat Mahiru tidak yakin harus berbuat apa dan mengalihkan
pandangannya dari sisi ke sisi.
“…Kamu lebih jujur dari
biasanya hari ini, atau bisa dibilang, lebih berani.”
“Karena kita sedang berkencan,
meskipun di rumah.”
Dalam
hal berkencan, seorang pria harus memimpin dengan kemampuan terbaiknya,
itulah yang dikatakan Shuuto kepada Amane kemarin. Meskipun pada akhirnya
mereka tidak bisa pergi keluar, dan harus tinggal di rumah, itu tetaplah sebuah
kencan, jadi Amane berpikir kalau dirinya harus memimpin. Amane membelai pipi
Mahiru dengan gerakan seperti menggelitik, sehingga Mahiru tersipu malu dan
menurunkan tatapannya.
“… Jika kamu begitu agresif
setiap saat, aku mungkin tidak tahan dengan rangsangan itu.”
“Bukankah seharusnya aku membiarkanmu
terbiasa dengan itu?”
“Tidak, seharusnya tidak!
…Hatiku tidak akan bisa menerimanya.”
“Memangnya itu benar-benar
membuat jantungmu berdetak secepat itu?”
“…Ya.”
Mahiru mengatakannya sambil
meraih tangan Amane dan mengarahkannya ke tengah dadanya. Meski itu punggung
tangannya, Amane masih bisa merasakan kehangatan dan kelembutannya. Juga, detak
jantungnya lebih keras dari biasanya. Karena kain gaunnya tipis, Amane bisa
merasakan detak jantungnya lebih jelas. Dirinya juga bisa dengan jelas
merasakan sentuhan lembut.
Amane menahan napas ketika
menatap Mahiru, dan menatap matanya. Matanya yang berwarna karamel langsung
bersinar dengan malu-malu, dan dia menatap tajam ke arahnya, seolah ingin
mengungkapkan sesuatu.
“…Jantungmu juga harus berdetak
lebih cepat untukku, Amane-kun. Atau kalau tidak, rasanya enggak adil.”
“… Tapi ini sudah berdetak
kencang dari tadi.”
“Benarkah?”
Mahiru menekankan wajahnya ke
dada Amane. Mungkin untuk menyembunyikan rasa malunya tapi juga untuk mendengar
detak jantung Amane. Jantung Amane berdetak sangat cepat sehingga dia bisa
merasakannya dengan jelas.
“Ternyata benar.” Mendengar
jantungnya berdetak sangat kencang, Mahiru bergumam dengan senang.
“… Tentu saja, jantungku
berdetak lebih cepat saat aku diperlakukan seperti ini oleh pacarku.”
“Karena akhir-akhir ini
kamu…bagaimana cara menyampaikannya, ya? Kupikir sangat tidak adil karena kamu
selalu bersikap tenang sepanjang waktu.”
“Jika aku tidak memiliki sikap
santai, apa lebih baik kalau aku bertindak agak canggung?”
“Tidak itu tidak benar. Kamu
tidak canggung; kamu selalu tampan, Amane-kun.”
“… Kamu baik sekali.”
Mendengar Mahiru mengatakan
itu, Amane tidak bisa menahannya. Mungkinkah
Mahiru mengetahui hal ini dan mengatakannya dengan sengaja? Amane ingin
menanyakan pertanyaan ini, tapi setelah dipikir-pikir lagi, Mahiru hanya
mengatakan apa yang dia pikirkan. Jadi dirinya menelan kata-katanya lagi.
Sebaliknya, Amane memeluk Mahiru, yang bersandar di dadanya, dan mengelus
kepalanya.
“Sial, kamu sangat manis,”
bisik Amane, dan Mahiru mengangkat bagian atas wajahnya dan tersenyum padanya
dengan malu-malu. Hanya dengan melihatnya seperti ini, hati Amane dipenuhi
dengan lebih banyak cinta dan kasih sayang. Ini membuat Amane merasa bahwa dia
benar-benar terpesona.
Untuk mendapatkan kembali
ketenangannya, Amane mengelus kepala Mahiru dan mencintainya. Pada titik ini,
Mahiru terlihat tidak terlalu pemalu dan membiarkan Amane menyentuhnya,
terlihat sangat nyaman dan menikmati dirinya sendiri. Mahiru sepertinya suka
dibelai di kepala, jadi ini seharusnya membuatnya merasa sangat tenang.
“… Begini, Mahiru?”
“Apa itu?”
“Aku sedang berpikir, jika ini
dianggap sebagai kencan, maka waktu bersama kita yang biasa selalu adalah
kencan, bukan? Karena kamu menghabiskan sebagian besar waktumu di kamar
apartemenku juga.”
Amane tidak terlalu menyadarinya
karena dia sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa Mahiru ada di sampingnya. Ia
hampir selalu bersama Mahiru saat berada di rumah. Namun, mereka tidak sering
menghabiskan waktu bersama seperti ini. Mereka menghabiskan sebagian besar
waktu bersama menonton TV, mengobrol, makan, membaca, dan mengerjakan PR, jadi
tidak terasa seperti kencan. Mungkin itulah alasan mereka tidak merasa gugup
atau jantung mereka berdebar kencang saat berada di rumah bersama.
“Oh iya, benar juga. Kita
berkencan di rumah setiap hari.”
“Kamu bisa mengatakan itu. Jadi
aku ingin mengatakan bahwa kami tidak hanya melakukannya di rumahku, tetapi aku
ingin datang ke rumahmu sesekali.”
“Maksudmu… kamar apartemenku?”
“Oh, aku tidak mencoba
melakukan sesuatu yang aneh. Aku hanya tertarik pada sesuatu.”
Sebagian besar — tidak, Mahiru
selalu yang pergi ke kamar apartemen Amane, jadi dirinya juga ingin pergi ke
kamar apartemen Mahiru. Meskipun Amane pernah ke sana sebelumnya, ia tidak
diberi kesempatan untuk melihat-lihat karena keadaan saat itu. Jadi Amane
merasa penasaran ingin melihat seperti apa kamar Mahiru. Meskipun hanya itu
saja, jika seorang pria mengatakan ia ingin pergi ke kamar seorang gadis, dia
akan dicurigai memiliki motif tersembunyi. Itu sebabnya Amane selalu malu untuk
meminta hal seperti itu.
“Aku tidak terlalu keberatan,
tapi… Ini benar-benar tidak ada yang istimewa.”
“Aku sangat penasaran… Dan, aku
ingin memastikan satu hal,” Amane memulai.
“Memastikan apa?”
“Aku ingin melihat seperti apa
aku di bingkai foto yang ada di mejamu.”
Amane mengacu pada bingkai yang
Mahiru sebutkan saat itu. Dirinya benar-benar tidak melihatnya saat itu, jadi ia
tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi setelah mereka mulai berkencan, semuanya
menjadi jelas baginya. Alasan dia bertanya pada Amane apakah dia melihatnya
adalah karena orang di foto itu adalah Amane sendiri. Amane ingat bahwa dirinya,
Mahiru, dan Chitose telah mengambil gambar beberapa kali, tetapi Amane tidak
tahu gambar mana yang ada di dalam bingkai, jadi Amane merasa penasaran tentang
tiu.
“Ke-Kenapa… kamu ingin tahu tentang
itu!?”
“Tidak ada alasan khusus untuk itu.
Setelah kita mulai berpacaran, aku pikir itu pasti aku.”
Jika dirinya tahu saat itu,
Amane pasti sudah mengambil keputusan dan mengambil tindakan jauh lebih awal.
Fakta bahwa dia memiliki fotonya di mejanya adalah bukti bahwa Mahiru sudah
lama menyukainya.
“… Kamu tidak berpikir kalau menyeramkan,
‘kan?”
“Kenapa aku berpikir begitu?”
“Mengambil fotomu tanpa izin
dan mencetaknya untuk dipajang, dalam beberapa hal, itu sama dengan perilaku
penguntit.”
“Yah, itu juga tergantung
kondisinya, ‘kan? Tentu saja, aku akan merasa tidak nyaman jika ada seseorang
yang belum pernah aku temui diam-diam memotretku. Tapi kita sedang
membicarakanmu di sini, Mahiru. Dan aku pikir kamu mengambil fotonya untukku
secara langsung, atau Itsuki atau Chitose memberikannya kepadamu. Karena aku
tahu bahwa foto itu diambil, meskipun aku tidak berpacaran denganmu, aku tidak
akan menentangmu memajang fotoku di atas meja. Ngomong-ngomong, yang mana itu?”
“… Itu adalah foto senyummu.
Akazawa-san yang mengambil fotonya, jadi kupikir itu adalah jenis senyuman yang
belum pernah kulihat sebelumnya…”
“Aku tidak menyangkan anak itu
baru saja memberikan fotoku kepada orang lain tanpa izin.”
Amane sudah tahu bahwa dua pasangan
bodoh itu dan Mahiru bersekongkol, dan tidak bermaksud menyalahkan Itsuki. Tapi
Amane masih khawatir mereka akan mengirimkan foto-foto aneh ke Mahiru. Amane
percaya bahwa mereka memiliki hati nurani dan tidak akan melakukan hal seperti
itu. Jadi, ia mengangkat bahu dan berkata, “Tidak
apa-apa, tidak masalah.” Melihat reaksinya, Mahiru tampak lega.
“Syukurlah. Aku sangat takut
kamu akan membenciku karena ini…”
“Kalau begitu izinkan aku
bertanya kepadamu, jika aku memiliki fotomu di mejaku, apa yang akan kamu
pikirkan?”
“Aku akan sangat senang. Tapi aku
juga ingin tahu komposisi dan isinya, apa terlihat bagus atau tidak… jadi dalam
hal ini, aku mengerti perasaanmu.”
“Itulah yang aku maksud. Tapi
gambar di mejamu seharusnya tidak seaneh itu, dan jika aku menekan lebih jauh, Kamu
akan tersipu lagi. Jadi mari kita berhenti di situ.”
Jika dirinya bertindak terlalu
jauh, Mahiru mungkin akan meringkuk di pelukannya lagi dan mengabaikannya. Oleh
karena itu, Amane memutuskan untuk berhenti mengejar masalah tersebut. Mahiru
membayangkan skenario itu dan menatap Amane dengan sedikit air mata di matanya.
Namun, dia tidak mengatakan apapun untuk memarahi Amane; dialah yang meletakkan
foto orang lain di atas meja tanpa izin.
Melihat tatapan Mahiru yang
terdiam, Amane tersenyum kecil dan menepuk punggungnya untuk menenangkan.
“Tapi, meski bukan karena
alasan itu, kamu biasanya ingin tahu seperti apa kamar kekasihmu, kan?”
“Aku sudah sering melihat
kamarmu.”
“Karena kamu biasa datang dan
membangunkanku, atau tidur siang di kamarku.”
Mahiru sering mengunjungi kamar
Amane. Terkadang dia datang untuk membangunkannya di pagi hari, dan bahkan jika
Amane tidak ada di rumah, terkadang Mahiru akan tidur siang. Pernah ada suatu
hari, ketika Amane kembali ke kamarnya setelah berbelanja dan hendak berganti
pakaian, dia menemukan Mahiru sedang tidur nyenyak di kamarnya, membuat Amane
sangat bingung—ingatan seperti itu masih segar di benak Amane.
Amane sudah mengizinkan Mahiru
masuk tanpa izin, dan tidak ada apa pun di ruangan itu yang dirinya tidak ingin
Mahiru lihat, jadi ia tidak keberatan. Namun, sebagai pacar, mana mungkin ia
bisa melihat pacarnya tidur di tempat tidurnya tanpa merasakan apa-apa. Amane
berharap Mahiru memikirkan perasaannya.
“K-Karena… aromamu membuatku
merasa tenang…”
“Tapi melihatmu seperti itu,
aku tidak bisa tetap tenang. Itu normal bagi seorang pria untuk menyerang
ketika dia melihat pacarnya tidur di kamarnya, dan terutama di tempat
tidurnya.”
“… Kamu benar-benar pria
terhormat,” renung Mahiru.
“Aku senang kamu begitu lengah
karena kamu mempercayaiku, tapi kewarasanku lama-lama akan habis, jadi harap
berhati-hati.”
“Aku akan berhati-hati lain
kali.”
“…Lain kali, aku harus memotret
wajah tidurmu.”
“Kamu tidak boleh melakukan
itu!”
“Jika kamu tidak menginginkan
itu, maka berhati-hatilah.”
Mahiru sepertinya tidak peduli
dengan Amane yang melihat wajah tidurnya, tapi dia tidak ingin difoto.
Sejujurnya, Amane tidak mengerti mentalitas macam apa yang dimilikinya.
“Aku akan mencoba untuk tidak
tidur di kamarmu; Aku akan melakukannya hanya saat kita menginap.”
“…Jadi begitu ya.”
Mahiru berbisik, terlihat malu
sekaligus sedikit bahagia. Ketika dia mengatakan itu, Amane ingat bahwa Mahiru
akan bermalam di kamarnya, tapi dia belum mengetahui tanggal pastinya. Ketika
membayangkannya, pipi Amane terasa panas. Jika ia terus membiarkan Mahiru tidur
di sebelahnya, Amane khawatir kewarasannya tidak akan bertahan lama. Jika
Mahiru bersandar pada tubuhnya di bawah selimut, Amane tidak yakin apakah dirinya
bisa menahan diri.
“… Ingatlah untuk memakai
piyama yang lebih tebal.”
“Tapi cuacanya sangat panas
akhir-akhir ini…”
“Benar, tapi aku akan gelisah
jika kamu memakai pakaian tipis seperti itu.”
“...Kamu tidak suka piyama
tipis?”
“Jika kamu tidak peduli dengan
kecelakaan, silakan kenakan piyama favoritmu.”
Jika
kamu datang dengan piyama tipis, aku harus melakukannya, Amane
menyiratkan begitu. Mahiru menyadari hal ini, mengangkat pandangannya, dan
menatap Amane sejenak sebelum perlahan tersenyum padanya.
“Apa pun yang kamu inginkan,
aku akan menerimanya.”
“…Aku tahu.”
“Lalu, maukah kamu melakukan
sesuatu padaku?”
“…Sialan, aku tidak senang
dengan diriku sendiri karena aku tidak bisa berbuat apa-apa saat mendengar itu.
Kamu terlalu percaya padaku.”
Ekspresi wajah Mahiru terlihat polos
dan kekanak-kanakan saat dia memiringkan kepalanya. Dia begitu tak berdaya di
depan Amane. Meskipun ia tidak punya niat untuk melakukannya, ia merasa sangat
kesal, seolah-olah dirinya telah dijebak.
“… Terlebih lagi, kamu tidak
punya niat untuk melakukan apapun. Kalau tidak, Kamu tidak akan memberiku peringatan
begini.”
“Ah, jangan katakan itu.”
“Hehe, jadi aku pemenang
keseluruhan hari ini. Biasanya kamu yang menggodaku.” Kata Mahiru dengan senyum
nakal.
“Kamu sangat imut, sial,” Amane
mengeluarkan suara pelan. Itu lebih merupakan pujian daripada keluhan. Kemudian
Amane memegang si pemenang dengan lembut di pelukannya dan menciumnya. Dan
hanya dengan melakukan itu, wajah Mahiru menjadi merah dan tidak dapat berbicara,
dan entah itu kemenangan atau kekalahan kehilangan maknanya. Dia sangat lucu
untuk Amane.
“… Kamu sangat licik sekali, Amane-kun.”
“Tidak, tidak. Sama sekali
tidak.”
“Tapi aku akhirnya selalu kalah…”
“Tidak, itu sama sekali tidak
benar. Pada dasarnya, aku selalu setia padamu, dan selalu aku yang kalah, boleh
dikatakan begitu. Jadi, kamu harus berhenti mengkhawatirkannya.”
Mahiru bilang dirinya selalu
kalah, tapi menurut Amane bukan itu masalahnya. Amane selalu terpesona oleh
kelucuan Mahiru, dan berpikir bahwa Mahirulah yang harus memberinya kemenangan
sesekali.
“Jika itu masalahnya, maka
tidak ada yang bisa kita lakukan tentang itu…” Mendengar Amane mengatakan bahwa
dia setia padanya, Mahiru tersipu, menurunkan pandangannya, dan berkata
demikian.
Melihat Mahiru begitu
diyakinkan, Amane hanya bisa tersenyum. Alasan mengapa Amane tersenyum adalah
karena dia berpikir dari lubuk hatinya bahwa Mahiru selalu terlihat imut
seperti ini. Sebelum Mahiru menyadarinya, Amane memeluk Mahiru dengan erat dan
membiarkan wajahnya bersandar di dadanya.
Hal ini sepertinya membuat
Mahiru merasa sangat senang saat dia memutar tubuhnya dan menyesuaikan
posisinya sedikit untuk menyandarkan tubuhnya ke tubuh Amane. Amane tahu bahwa
Mahiru membiarkannya memanjakannya seperti ini karena dia mempercayainya
sepenuhnya. Sudut mulutnya terangkat membentuk senyuman saat mengalami jenis
cinta yang berbeda dari yang ia alami sebelumnya.
“…Kamu benar-benar suka dimanja
ya, Mahiru.”
“Kamu pernah bilang sebelumnya
bahwa aku boleh bersikap manja,” dia mengingatkan.
“Memang. Silakan dan biarkan aku
memanjakanmu sesuka hati.”
“Kamu akan mengubahku menjadi
tidak berguna, Amane-kun…”
“Kamu sudah melakukan itu
padaku, Mahiru; Aku akan membuatkanmu menjadi ebgitu juga.”
“Kamu tidak perlu membalas budi
untuk itu.” Mahiru mengangkat kepalanya dan bergumam sedikit tidak meyakinkan.
Kemudian, Amane dengan lembut mencium keningnya, dan wajah Mahiru memerah. “…
Apa kamu mencoba menipuku lagi?”
“Kamu tidak menyukainya?” tanya
Amane.
“Bukannya aku tidak
menyukainya… Erm…” Mahiru bergumam pelan, “Kamu sangat licik.”
Dia menekan wajahnya ke dada
Amane dan menggeliat. Amane tertawa lagi pada reaksinya sambil dengan hati-hati
menyisir rambutnya dengan tangannya. Rambut lurus Mahiru begitu lembut dan
berkilau sehingga dia bisa segera kembali ke gaya rambut aslinya, bahkan dengan
sisir tangan.
Rambutnya terasa sangat nyaman
saat disentuh sehingga Amane tidak bisa berhenti menyentuhnya beberapa saat setelah
menyisirnya. Selain Mahiru tidak menolaknya, tapi itu juga membuatnya merasa
lebih baik, jadi Amane melanjutkan sesuka hatinya.
Rasanya
mirip seperti mengelus kucing di pangkuanku, pikir Amane dalam hati
sambil terus mengelusnya. Mahiru tampaknya telah mendapatkan kembali
ketenangannya dan menggosokkan wajahnya ke tubuh Amane.
“…Rasanya begitu menyenangkan
dan damai menghabiskan waktu seperti ini di rumah lamamu.”
“Syukurlah kalau begitu. Aku
khawatir kamu akan merasa bosan datang ke rumahku.”
“Oh, tidak, aku kira tidak; Aku
bahkan tidak ingin kembali.”
Sebelum kembali, Amane khawatir
Mahiru tidak akan bisa menyatu dengan kehidupan di rumah lama dan akan merasa
tidak nyaman; sekarang tampaknya kekhawatirannya itu rupanya sia-sia saja.
“Kamu sudah beradaptasi dengan kampung
halamanku.”
“Itu karena Shihoko-san dan
Shuuto-san sangat baik padaku.”
“Mereka sangat menyayangimu,
tapi mereka tidak memperlakukanku dengan cara yang sama.”
“Apa kamu berselisih dengan
mereka?”
“Tidak terlalu.”
Shihoko dan Shuuto sangat
menyayangi Mahiru, seperti yang sudah Amane harapkan sebelum datang ke sini.
Dan Mahiru ingin bersama Amane lebih dari mereka berdua, jadi Amane tidak
merasa sedih. Hanya saja harapan dan kasih sayang orang tuanya terhadap menantu
masa depan mereka tampaknya terlalu ekstrim. Namun, Mahiru adalah orang yang
mereka nantikan, dan Amane menyadari itu.
“Oh itu benar. Jika kamu marah,
aku akan memberimu pelukan yang baik.”
“Jika aku tidak marah, kamu
tidak akan memelukku?”
“Tidak. Jika itu kamu, aku
selalu senang untuk melakukannya.”
“Jadi boleh aku menyusahkanmu
sekarang?”
“Boleh saja.”
Setelah itu, Mahiru berhenti
bersandar pada tubuh Amane dan membuka lengannya. Melihatnya seperti ini, Amane
mengatupkan bibirnya dan mulai memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Mahiru bermaksud agar Amane
melompat ke pelukannya. Namun, sosok Mahiru proporsional dan indah, dan dia
mengenakan gaun tanpa tali yang memperlihatkan bahunya. Jika Amane menjejalkan
wajahnya tepat di lengannya, dia akan merasa bahagia dan puas, tetapi pada saat
yang sama, dirinya mungkin tidak dapat menahannya dalam banyak artian.
Sebenarnya,
karena aku adalah pacarnya, tidak ada salahnya mengambil keuntungan darinya—gumam
iblis di dalam hatinya. Keinginan untuk melakukannya mengguncang tekad Amane,
jadi ia sedikit merintih. Menghadapi godaan tak tertahankan tersebut, Amane
akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Amane meraih punggung Mahiru dan
mendekatkan wajahnya ke tulang selangkanya yang terbuka. Jika ia menurunkan
wajahnya sedikit pada saat ini, dirinya pasti akan terkubur di antara dua
gundukan lembut nan menenangkan tersebut.
Namun, Amane, dengan keadaan
mentalnya yang sekarang, tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk mengandalkan
pengendalian dirinya bahkan untuk mencobanya. Dirinya harus puas dengan begini,
mendekatkan bibirnya ke tulang selangka yang berbentuk indah dan kulit putih
mulus, menikmati aroma manis tubuh pacarnya. Tindakannya itu sepertinya sedikit
menggelitik Mahiru, tapi dia sepertinya tidak menolaknya sama sekali.
Sebaliknya, dia sedikit senang dan mengulurkan tangan untuk memeluk dan
membelai Amane seolah dia masih kecil.
“Ara, Amane-kun sangat suka
dimanjakan, ya.”
“Berisik.”
“Tidak apa-apa, kamu bisa
memelukku semaumu. Aku akan memastikan untuk memanjakanmu sepuasnya sampai
membuatmu jadi tidak beguna.”
“Terlambat untuk mengatakannya
sekarang. Kamu sudah berhasil melakukannya.”
Amane merasa dia mulai meleleh,
dan dirinya telah membuat Mahiru melakukan hal yang sama. Keduanya saling
memuja, melebur satu sama lain, dan mengubah satu sama lain menjadi orang yang
tidak bisa hidup tanpa pasangannya — Amane merasa bahwa mereka telah mencapai
titik seperti itu dalam hubungan mereka.
Amane terus mencium tulang
selangka putih di depannya dan menatap Mahiru. Di sisi lain, Mahiru hanya
tersenyum ringan dan memeluk Amane, terlihat sangat bahagia.
“Kamu merasa sangat muda.
Biasanya, kamu sangat tinggi dan dapat diandalkan.”
“Kamu yakin? … Kamu kecil dan
cukup ramping untuk dipegang dengan mudah dan lengkap.”
“Tapi sekarang akulah yang
memelukmu… Mungkin aku tumbuh sebesar ini hanya agar kamu bisa memelukku.”
“Kalau begitu, itu membuatmu
menjadi milikku secara eksklusif, Mahiru.”
“Ya… dan kamu hanya milikku,
Amane-kun.”
“Nm.”
“Fufu.”
Mahiru tertawa puas dan terus
membelai kepala Amane. Amane merasa dirinya sudah mencapai batasnya dan
mengangkat pinggangnya untuk mencium leher Mahiru. Seluruh tubuh Mahiru
langsung mengejang; sepertinya lehernya sangat sensitif. Kelihatannya zona
sensitifnya tidak terbatas pada telinganya saja.
“Nnn…tolong jangan tinggalkan bekas apapun.”
“Tentu saja tidak, tapi aku
akan tetap menciummu.”
“I-Ini terasa geli, aku sedikit
bermasalah…”
“Kamu bisa mendorongku pergi jika
kamu tidak menginginkannya.”
“… Kamu sangat kejam. Kamu tahu
kalau aku tidak bisa melakukan itu…”
Amane mendengar Mahiru bergumam
dengan canggung. Tapi dirinya tahu bahwa Mahiru akan menolak ketika dia
benar-benar tidak menginginkannya. Jadi Amane berpikir kalau itu akan baik-baik
saja. Setelah Amane mencium kulit Mahiru sebentar, dia sepertinya sudah muak dan
ingin Amane berhenti, jadi Mahiru menepuk punggungnya. Jadi Amane melakukan apa
yang diinginkannya.
Wajah Mahiru semerah api di
dalam dirinya, dan matanya menatap Amane. Jadi Amane memeluknya erat dan
mengelus kepalanya untuk menenangkannya.
“… Kita malah melenceng di
tengah percakapan. Apa kamu tidak ingin kembali ke rumah?”
Jika mereka tetap melekat,
Mahiru mungkin akan bermasalah, jadi Amane melanjutkan apa yang dia tinggalkan.
Saat Amane menanyakan itu, Mahiru memiringkan kepalanya karena terkejut dan
kemudian tersenyum.
“Tidak, itu tidak benar. Hanya
saja… aku akan sedikit sedih.”
“Syukurlah.”
“Hah?”
“Itu berarti kamu merasa bahagia
di sini.”
“Ya itu betul.”
“Kita bisa kembali lain kali.
Mungkin akhir tahun atau musim panas mendatang.”
Begitu dirinya pergi kali ini,
Amane masih memiliki kesempatan untuk kembali ke kampung halamannya untuk
mengunjungi keluarganya di lain waktu. Dirinya sudah setuju dengan orang tuanya
untuk pulang selama liburan musim panas dan musim dingin yang lebih panjang,
jadi jika Mahiru menginginkannya, mereka bisa kembali bersama lain kali. Baik
Shihoko maupun Shuuto selalu menyambutnya, dan dengan begini Amane tidak perlu
berpisah darinya untuk waktu yang lama.
“Kembali lagi lain kali…”
“Kamu tidak mau?”
“Tidak itu sama sekali tidak
benar.”
“Ya… kamu juga bisa menyebut
ini sebagai rumahmu.”
“…Ya.”
Amane membisikkan hal tersebut kepada
Mahiru, berharap dari lubuk hatinya bahwa dia akan menjadikan tempat ini
sebagai rumahnya.
Senyum manis muncul di wajah
Mahiru, dan dia menyandarkan wajahnya di bahu Amane tanpa menyembunyikan
kegembiraan yang muncul di hatinya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya