ED/PR: Kareha
Ronde Pertama — Aku Akan Membuatmu Menjadi Penggemarku!
Mesin microwave ternyata jauh lebih berat daripada yang
kubayangkan.
Sambil menggosok-gosokkan tangan yang terasa sakit, aku menaiki
lift dan turun di lantai delapan. Saat aku berjalan di koridor, seorang wanita
tua tersenyum melihatku.
“Terima kasih banyak sudah membantu membawakan microwave ini
untukku.”
Meskipun rambutnya sudah memutih, senyumnya masih terlihat muda.
Wanita itu adalah tetanggaku.
Beberapa menit yang lalu, aku bertemu dengan wanita itu di koridor
apartemen ketika dia sedang berusaha membawa mesin microwave yang berat.
Setelah aku bertanya mengenai alasan membawa peralatan rumah tangga seberat
itu, dia menjelaskan bahwa mereka berdua sedang membersihkan rumah di luar
musim, tapi suaminya tiba-tiba punggungnya sakit. Karena itu, sebagai seorang
pelajar SMA yang energik, aku menawarkan bantuan untuk membantunya membawa
barang tersebut.
“Sekarang tinggal membersihkan kipas dan mengganti lampu, ‘kan?”
Saat aku menekuk lengan jaketku, wanita itu langsung menolak
dengan cemas.
“Maaf, tapi tidak perlu khawatir kok. Aku tidak terburu-buru juga.
Lagian, apa kamu tidak memiliki urusan lain?”
“Tidak, tolong izinkan saya melakukannya. Karena sepertinya suami
anda akan memerlukan waktu untuk sembuh.”
“Tapi...”
“Saya sedang liburan musim semi, jadi saya punya banyak waktu.
Ditambah lagi, saya juga belum sempat memberi salam kepada suami anda yang baru
saja pindah.”
Akhirnya, wanita itu mengalah dan mempersilakanku masuk ke
rumahnya.
“Sepertinya sudut koridor ini sedikit berdebu, dan lantainya sudah
mulai retak. Saya bisa saja membantu membersihkan rumah. Bahkan sepatu kulit di
dekat pintu juga sudah mulai memudar. Apa ada semir sepatu di sini? Jika suami
anda bisa bergerak, saya bahkan bisa menawarkan untuk membantunya melakukan
peregangan.”
Ah, kegembiraanku tidak bisa dibendung. Telapak tanganku sedikit
berkeringat karena terlalu antusias.
Aku menelan ludah dengan berat 'Sekarang,
pertempuran sudah dimulai!'.
Setelah semua pekerjaan selesai, langit sudah benar-benar berwarna
senja.
“Sebagai ucapan terima kasih, tolong terimalah ini.” ucap wanita
itu sambil menyerahkan kantong plastik di pintu masuk. Ketika aku melihat
isinya, di dalamnya ada wortel yang terlihat segar.
“Wah, terima kasih banyak, Bu. Saya sebenarnya ingin membelinya
hari ini juga.”
“Ini dikirim oleh kerabat yang berkebun. Meskipun terlihat agak
seperti ini, rasanya enak kok.”
“Itu sangat membantu. Oh ya, apakah anda menyukai makanan manis?
Dengan sebanyak ini, saya bisa membuat tart untuk besok. Dan juga, nanti kita
bisa membicarakan detail rencana untuk menyembuhkan sakit punggung suami
Anda...”
“Tidak usah, tidak perlu repot-repot, aku sudah baik-baik saja.
Apa kamu tidak ingin menghabiskan waktumu sendiri?”
“Tidak apa, jangan ragu-ragu.”
“Aku tidak mau merampas waktu anak muda lebih dari ini. Mohon dengarkan
permintaan orang tua ini.”
Meskipun sedikit menyesal, aku memutuskan untuk menghormati
senioritas dalam kehidupan, dan menerima tawarannya. Setelah sedikit
berbincang-bincang, aku kembali ke apartemenku yang ada di sebelah.
Baru-baru ini, keluargaku pindah ke apartemen ini. Kami tinggal di
unit 809 di lantai delapan.
Aku mengambil cucian dan melihat ke bawah dari balkon, aku melihat
truk pindahan masih beraktivitas meskipun sudah sore.
Hari ini masih bulan april awal, liburan musim semi hampir
berakhir.
Aku melihat ke taman terdekat, di mana dahan-dahan sakura yang bergerak
mempesona karena hembusan angin.
Sebentar lagi aku akan menjadi siswa kelas 2 SMA. Karena aku masih
akan ke sekolah yang sama setelah pindah, aku tidak terlalu khawatir tentang
perubahan kelas. Namun, yang lebih mengganggu pikiranku saat ini adalah salam
kepada tetangga di apartemen sebelah.
Tetangga di apartemen sebelah bukanlah wanita yang tadi.
Dia tinggal di unit 808 di sisi lift. Tetangga yang aku maksud
adalah yang berada di sisi lain, di unit 810 yang berada di ujung lorong.
Tetangga yang ada di kamar ini sepertinya memiliki jadwal hidup
yang tidak teratur, dan aku hampir tidak pernah bertemu dengannya saat aku
masih terjaga. Oleh karena itu, sampai sekarang, aku belum memiliki kesempatan
untuk memberi salam kepadanya.
Normalnya, salam tersebut harus dilakukan oleh kami bertiga,
termasuk orang tuaku, tapi liburan mereka berakhir kemarin, jadi aku harus
mengunjungi sendiri sebagai putra mereka.
Karena aku mendengar suara dari apartemen sebelah, sepertinya
tetangga tersebut sedang berada di rumah sekarang.
Saat aku membuka pintu untuk mencoba menyapa mereka, aku bertemu
dengan wanita tadi.
Aku keluar dari kamar dan berdiri di depan kamar 810 yang ada di
sebelahku. Di tangan kanan, aku membawa sesuatu yang dalamnya ada hadiah yang
di bungkus dengan pack pendingin berwarna perak.
Ah, aku merasa gugup. Aku tidak tahu apakah dia laki-laki atau
perempuan dan umur berapa aku juga tidak tahu. Karena dia tinggal di apartemen,
apa dia adalah orang tua yang hidup nyaman seperti kamar 808?
Dengan penuh tekad, aku menekan bel. Agar tidak memberikan
ketidaknyamanan yang tidak perlu kepada orang lain, aku berdiri di depan
monitor dan memegang tali kantong dengan kedua tangan. Aku mengenakan hoodie
dan jeans yang sangat sederhana. Walaupun begitu, aku yakin kalau aku takkan
memberikan nuansa mencurigakan.
“Iya?”
Suara lembut terdengar melalui monitor.
Suara itu milik seorang gadis.
“Saya baru saja pindah ke kamar 809 di sebelah. Saya berpikir untuk
menyapa anda sekali saja.”
“......”
Tidak ada jawaban. Apa dia tidak mendengarnya, atau dia ragu-ragu
untuk menjawabnya?
Yah, belakangan ini, mungkin aneh untuk bertemu muka dengan
sapaan. Namun, selama beberapa tahun, beberapa dekade yang akan datang, aku
akan membangun hubungan dengan tetangga. Aku ingin mengikuti prosedur yang
seharusnya.
“Ya, aku akan membukanya sekarang.”
Setelah jeda beberapa saat, terdengar suara jawaban.
Suara yang sangat muda. Usianya mungkin sekitar dua puluh tahunan...Tidak,
mungkin masih belasan. Jika memang begitu, kurasa wajar saja dia merasa waspada
terhadap kunjungan dari orang tak dikenal. Jika seorang wanita tua keluar, ton
suaranya akan naik 20 persen, dan senyumnya akan naik 50 persen.
Dia membuka pintunya.
Tangan putih dan ramping yang terlihat dari pintu itu sangat halus
sehingga sulit dipercaya bahwa itu adalah tangan manusia yang sama.
Mata yang bersinar seperti matahari menarik orang yang melihatnya
dalam sekejap.
Kira-kira aroma manis yang menyebaar ini mungkin berasal dari
aroma dirinya?
Aku diselimuti oleh suasana yang tidak biasa, seolah-olah
pertunjukan baru saja dimulai.
Atau mungkin pintu kamar 810 adalah jembatan yang menghubungkan
panggung dan penonton.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.”
Aku lupa untuk tersenyum.
Karena orang yang muncul di depanku adalah seorang gadis cantik.
Dia bukan wanita karir yang mengenakan setelan dengan sempurna,
maupun gadis gaul yang berpakaian mencolok. Dia hanyalah gadis remaja yang
jelas berusia belasan tahun yang tampak cocok dengan pakaiannya.
“Maaf, aku baru tahu ada orang baru yang pindah ke kamar sebelah.
Tapi, aku sempat berpikir, 'Meskipun
apartemen ini terkunci otomatis, mungkin ini penjualan pintu ke pintu?'
Makanya aku merasa tidak enakan karena merasa tidak sopan.”
Rambut hitam panjang yang mengalir seperti aliran air terjun dari
bahunya terlihat begitu indah dan berkilau. Kilauan mata berpigmen ringan
miliknya tampak seperti amber mulia.
“Tidak apa-apa, aku tidak keberatan, kok.”
“Yah, baguslah.”
Sepertinya dia tidak curiga kepadaku.
Dia mendekatkan wajahnya kepadaku. Layaknya kucing yang telah
melepaskan kewaspadaannya, dia menunjukkan tatapan mata yang tidak berdaya dan
menggemaskan.
Matanya seakan-akan bersinar layaknya permata, alisnya
mengingatkan kekuatan yang tegas, hidung yang mancung, bibir berwarna sakura
yang lembut. Bagian wajah ditempatkan dengan ukuran dan posisi yang seharusnya.
Rupanya begitu cantik sampai-sampai aku merasa seperti sedang menikmati karya
seni. Gadis yang melakukan kontak mata denganku yang sedang terpana, tersenyum
tanpa beban.
“Apa ada yang bisa aku bantu?”
Aku bisa melihat senyuman yang sangat sempurna. Senyuman alami itu
memiliki kombinasi kecantikan wanita dan kepolosan yang sesuai dengan umurnya.
Aku merasa malu karena telah merencanakan untuk “menambah senyuman sebesar 50%”.
“Ah, eh, uhmm, aku sudah tinggal di kamar 809 sebelah sejak
beberapa hari lalu, namaku Mamori Suzufumi. Aku dan orang tuaku berharap bisa
menjaga hubungan bertetangga yang baik denganmu.”
Kalimat sapaan yang sudah kupikirkan sudah hilang begitu saja, dan
karena rasa malu dan gugup, aku tanpa sadar mengucapkan nama lengkapku.
Gadis itu tersenyum kecil, seolah-olah dia bisa merasakan apa yang
aku rasakan.
“Aku tinggal di kamar 810, namaku Sasaki Yuzuki. Senang bertemu
denganmu, Mamori-san?”
Aku hampir dibuat terbuai pada senyuman manisnya.
Tidak ada tanda-tanda orang tuanya muncul. Sepertinya hanya
Sasaki-san yang ada di rumah.
“Oh, ya, ini...”
Sambil merasakan wajahku yang memanas, aku buru-buru memberikan
kantong tadi.
“Maaf, tidak ada pita di atasnya, tapi, silakan dinikmati bersama
keluargamu.”
“Wah, terima kasih. Apa ini isinya kue?”
“…Itu, daging…”
“Eh?”
Ekspresi Sasaki-san yang menerima kantong kertas membeku.
“... Daging babi.”
“Daging babi?”
Sasaki-san melirik ke dalam kantong kertas. Tentu saja. Biasanya,
di saat seperti ini, kue dan kopi yang tahan lama akan menjadi standarnya untuk
hadiah pertemuan. Astaga, bisa-bisanya aku menawarkan daging babi mentah kepada
seorang gadis cantik? Kali ini, tubuhku terasa panas karena alasan yang berbeda
dengan jantungku yang berdebar kencang.
Mulutku mulai bergerak dengan sendirinya.
“Ah, um, orang tuaku mengelola sebuah izakaya. Bisnis izakaya kami
akhirnya bisa berjalan dengan lancar dalam beberapa tahun terakhir, tapi
kondominium yang aku tinggali sebelumnya dibongkar. Benar saja, itu terlalu
kecil untuk ditinggali oleh sebuah keluarga beranggotakan tiga orang, jadi
mereka memutuskan untuk pindah. Saat ini, mereka sedang mengadakan pameran
menggunakan daging babi bermerek di toko. ‘Babi
Platinum.' Apa kamu tahu? Ini adalah babi bermerek yang merupakan
persilangan antara tiga garis keturunan, dan memiliki ciri khasnya dagingnya
lembut dan serat ototnya halus. Lemaknya kaya rasa, tapi tidak pahit dan ada
sisa rasa yang menyegarkan. Kali ini yang dipotong adalah perut babi, jadi
tentu saja bisa dibakar, tapi cocok juga untuk digoreng atau direbus...”
Apa yang aku bicarakan kepada seseorang yang baru pertama kali aku
temui?
Sasaki-san hanya melihat ke arah kantong kertas itu dan tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Dia menatap tajam ke dalam apa yang ada di dalamnya,
seolah-olah dia lupa kalau aku ada disini.
Itu gila, aku benar-benar tertarik padanya.
Ibu, ayah, aku minta maaf.
Jika hubunganku dengan tetanggaku memburuk, mungkin penyebabnya
adalah aku.
“Donburi...”
“Eh?”
“Nasi bungkus daging...”
Sasaki-san menggumamkan nama hidangannya, tatapan matanya berbinar-binar
seperti anak kecil yang menerima hadiah dari Santa.
“Sasaki-san?”
“Hah! A-Aku minta maaf! Aku sudah lama tidak makan perut babi,
makanya aku jadi sedikit bersemangat!”
Aku terkejut dengan reaksi yang jauh di atas ekspektasiku. Apa
reaksi ini berarti dia menyukainya?
“Terima kasih. Aku akan memakannya lain kali.”
Sasaki-san tiba-tiba menurunkan kegembiraannya menjadi senyuman
lemah. Aku sangat memahami bagaimana rasanya menjadi satu-satunya orang yang
menonjol di depan orang lain dan merasa malu. Aku melakukan kesalahan yang sama
beberapa detik yang lalu soalnya.
“...Yah, itu saja sih. Aku menantikan hubungan baik denganmu untuk
kedepannya...”
“Y-ya...”
Dia menutup pintu dengan pelan.
Kami berpisah dalam suasana yang agak canggung.
Tapi untuk saat ini, dia sepertinya tampak bahagia. Mari berdoa saja
agar saat kita bertemu lagi, dia akan menunjukkan senyuman manisnya lagi.
“Tetangga itu sangat manis sekali yah...”
Gayanya bagus dan tanggapannya sempurna. Yang terpenting,
senyumannya itu. Senyuman yang bisa memikat semua orang yang melihatnya, dan
senyumnya begitu sempurna hingga orang bahkan bisa memikirkan dia seperti
bidadari. Aku mengira dia sudah populer di kalangan pria sejak dia masih muda.
Jika dia seorang pelajar, mungkin ada klub penggemarnya di sekolahnya.
“...Hmm”
Faktanya, aku merasakan semacam sensasi deja vu ketika bertemu
Sasaki-san.
Tidak mungkin aku, orang biasa, bisa mengenal gadis secantik itu.
Namun perasaan deja vu itu begitu kuat hingga masih membekas di benakku,
mengingat ini pertama kalinya kami bertemu.
Yah, bagaimanapun juga aku sudah menyelesaikan tugasku, jadi kurasa
aku akan pergi berbelanja untuk makan malam. Meski baru pindah ke rumah baru,
kemungkinan besar ayahku tidak akan pulang.
Restoran Izakaya yang dijalankan oleh orang tuaku berjarak sekitar
20 menit dengan mobil dari apartemen mereka.
Ini adalah izakaya milik pribadi, yang disebut sebagai izakaya
kreatif. Bahkan sekarang setelah bisnisnya stabil, mereka secara aktif
mengembangkan menu-menu baru dan menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang
staf di bagian belakang toko. Ruangan ini dilengkapi dengan futon, TV, dan
komputer. Fakta kalau aku sekarang adalah seorang siswa SMA dan tidak lagi
harus mengurus diri sendiri mungkin juga mendorongku untuk tetap berada di luar
setiap hari.
Dengan kata lain, meskipun sudah berkeluarga dengan tiga orang,
akhir-akhir ini aku hampir hidup sendirian.
Sekarang, apa yang harus aku masak untuk menu hari ini? Reaksi Sasaki-san
membuatku ingin menikmati daging babi juga. Tonteki, kakuni,
sushi......terkadang ada baiknya untuk makan dagingnya selagi masih panas. (TLN : Tonteki (トンテã‚) adalah steak daging pinggang babi Jepang yang disajikan dengan
saus gurih dan jeruk. Kakuni (角煮) adalah hidangan khas
Jepang yang terbuat dari perut babi rebus.)
Bang.
Terdengar suara keras dari kamar sebelah.
Aku menoleh ke kiri dan menempelkan telingaku ke pintu kamar 810.
Di dalamnya sunyi senyap. Kalau Sasaki-san sudah kembali ke ruang
tamu, seharusnya suaranya tidak akan sampai terdengar diluar. Kalau begitu,
pasti ada sesuatu yang terjadi.
“Sasaki-san?”
Aku memanggilnya sambil mengetuk pintu. Jika dia berada di
koridor, dia pasti mendengarku.
Aku menunggu sejenak, tapi tidak ada respon.
Aku mencoba membuka pintunya. Ternyata, pintunya tidak terkunci.
Aku merasa ada yang tidak beres.
“Permisi, aku buka, ya.”
Aku tidak mungkin diizinkan untuk masuk ke rumah seorang gadis
tanpa izin. Meski begitu, tak ada gunanya menyesal nanti. Yang penting adalah
memastikan dia baik-baik saja. Jika aku ditegur, aku akan melakukan apa saja,
bahkan dogeza dan minta maaf pun akan aku lakukan.
Aku membuka pintu apartemennya. Di pintu masuk, sepatu bot dan
pump seorang wanita muda tersusun rapi. Tidak ada sepatu orang tuanya.
Di sebelah kiri ada kamar mandi dan toilet, di sebelah kanan ada
dua kamar. Di ujung koridor lantai kayu, mungkin ada ruang tamu. Kebersihan
sangat terjaga, tidak ada debu sedikit pun.
Sebaliknya, ada dua tumpukan di koridor.
Salah satunya adalah oleh-oleh yang baru saja aku berikan kepada
Sasaki-san. Dari kantong kertas putih dengan nama toko daging, daging babi yang
dibungkus dengan pack pendingin terlihat lebih menonjol.
Dan yang lainnya, atau lebih tepatnya orang tergeletak di lantai.
“Sasaki-san!”
Sasaki-san ternyata tergeletak di lantai.
Karena dia jatuh tengkurap, aku tidak bisa memeriksa kesadarannya
atau ekspresinya. Tubuhnya naik turun sedikit, jadi tampaknya dia masih bernapas.
Tapi, tergantung situasinya, mungkin aku perlu memanggil ambulans.
Adegan dari masa lalu muncul kembali, membuatku menjadi panik.
Tidak, ini bukan waktunya untuk panik. Aku melepas sepatuku dan
mengangkat tubuhnya yang ramping.
“Sasaki-san, ini aku, Mamori. Apa kamu bisa mendengarku?”
“Nn...”
Bibirnya bergerak sedikit. Aku mencoba sedikit mendekatkan diriku
ke bibir Sasaki-san.
Apa dia mencoba memberi tahu sesuatu? Mungkin lokasi obat untuk
menekan penyakitnya, atau kontak dokter pribadinya.
Sasaki-san memegang tanganku dengan kedua tangannya. Tangan yang
halus dan sangat dingin, sampai-sampai membuatku meragukan apakah dia
benar-benar manusia.
“Lapar…”
“Eh? Coba ulangi!”
Aku mencoba fokus untuk mendengarkan.
Krrruyyyuuuuuuuuuuuuuuuuuuuk.
Jika harus menggambarkannya, itu adalah suara seperti orang yang
kelaparan.
Tapi itu bukanlah suaranya, melainkan suara perutnya.
“Aku laparrrrrr!”
Setelah kata-kata yang seperti pesan terakhir itu, Sasaki-san yang
wajahnya memerah karena malu, pura-pura pingsan.
☆ ☆ ☆☆
“Sungguh memalukan sekali...”
Saat sedang di meja makan, Sasaki-san meminta maaf kepadaku sambil
menyantap hidangan tahu berprotein tinggi.
Ketika aku memeriksa isi kulkas setelah menyimpan daging babi
untuknya, makanan dengan nilai nutrisi tertinggi yang aku temukan adalah
hidangan tahu ini. Yang lain hanyalah air, teh, dan jeli nol kalori.
Ruang tamu dan dapur di apartemen Sasaki-san sangat tidak rapi.
Hanya ada meja dan bantal yang ditaruh sembarangan, karpet dan tirai juga
sangat berantakan. Dan juga, tidak ada banyak peralatan makan di ruang dapur.
Singkatnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Jika mereka hidup sebagai keluarga, aku akan berpikir bahwa hobi
dan preferensi masing-masing akan lebih terlihat.
“Aku sebenarnya tinggal sendirian.”
Sepertinya Sasaki-san sudah menduga aku mau bertanya apa dan mulai
berbicara.
“Ayahku kenal dengan pemilik apartemen ini dan dia telah
memberikan banyak bantuan kepada kami. Awalnya, kami berdua pindah ke Tokyo dan
tinggal bersama, tapi, saat awal tahun ini, ayahku dipindahkan kembali ke
kampung halaman dan sekarang dia tinggal bersama dengan ibuku.”
Aku merasa apartemen ini terlalu besar untuk seorang gadis remaja
yang tinggal sendirian.
“Apa kamu baik-baik saja tidak ikut kembali pulang ke kampung
halamanmu, Sasaki-san?”
“Ya. Ayahku sedikit khawatir sih, tapi aku tetap ingin melanjutkan
pekerjaanku di sini.”
“Pekerjaan?”
Sasaki-san menatapku dengan tajam, seolah-olah sedang memeriksa
sesuatu. Setelah beberapa saat, dia berkata, “Aku merasa tidak enak kalau
menyembunyikannya setelah kamu banyak membantuku.” lalu dia mencari sesuatu di
ponselnya dan menunjukkan layar kepadaku.
Di layar, ada foto lima gadis. Mereka semua mengenakan pakaian
dengan bagian tengah yang terbuka dan berpose dengan gaya mereka masing-masing.
Aku merasa sedikit familiar dengan senyum gadis yang berada di tengah dan
menempatkan tangannya di dadanya. Itu sama persis dengan yang aku lihat saat
dia datang untuk memberi salam pindah.
Di bawah gambar gadis di tengah, tertulis 【Arisu Yuzuki(15)】.
“Jadi kamu seorang idol?”
“Walaupun masih baru, tapi yah bisa dibilang demikian.”
Senyumnya sebagai idol tampak alami, tidak seperti yang baru
memulai.
“Oh, jadi begini ya kenapa aku merasa kamu lebih dewasa daripada
aku.”
“Tidak, kamu juga cukup dewasa kok, Mamori-kun.”
“Tidak, tidak, tidak.”
“Tidak, tidak, tidak.”
Pertempuran merendah tampaknya dimulai. Berdasarkan pengalaman,
jika tidak diputuskan dengan paksa, ini akan terus mengulur sampai ada salah
satu yang mengalah.
“Bagaimana kalau kita berhenti saja menggunakan bahasa formal?
Kamu nampaknya hanya satu tahun lebih muda dariku.”
Setelah ragu-ragu sejenak karena saranku, Sasaki-san membuka
mulutnya.
“Benar juga. Senang bertemu denganmu lagi, Mamori-kun."
Arisu Yuzuki, atau dengan nama aslinya, Sasaki Yuzuki, mendekatkan
cangkir mugnya dengan wajah malu-malu.
Aku merasa sedikit familiar dengan nama grup yang ditampilkan di
ponselnya tadi.
【Spotlights】
Itu adalah grup idol wanita beranggotakan lima orang yang sering
menjadi viral di SNS dengan lagu dan koreografinya sejak sekitar setahun yang
lalu. Kurasa aku pernah melihat mereka dua atau tiga kali di acara musik atau
variety show. Jadi inilah asal dari dejavu sebelumnya.
“Jadi alasan kamu sangat lapar sampai pingsan adalah untuk menjaga
bentuk tubuhmu?”
“Iya. Soalnya aku takut kalau sampai gemuk.”
Sambil berkata itu, Sasaki-san mencubit lengannya. Lengan atasnya
yang berotot tampak kencang.
“Tapi, melakukan diet ekstrim sampai sejauh itu bisa dibilang terlalu
berlebihan, iya ‘kan?”
“Jika berat badanku naik sedikit saja, aku perlu menyesuaikan
ukuran kostum lagi, dan tentu saja, aku ingin terlihat selalu cantik karena
fotoku dan videoku akan tetap disimpan semua orang.”
Baik laki-laki maupun perempuan, selama masa pertumbuhan, tinggi
badan dan kerangka tubuh mereka akan berubah secara signifikan. Hanya karena
berat badan bertambah, bukan berarti tubuhmereka akan bertambah “gemuk”.
“Tapi, badanmu terlalu kurus, tahu? Kebetulan ada daging babi,
jadi bagaimana kalau aku membuat sesuatu yang tidak membuatmu gemuk?”
“Tidak bisa! Daging babi tuh berlemak dan berkalori tinggi!”
Meskipun nada bicaranya terlihat ceria, aku bisa merasakan
penolakan yang jelas.
“Lemak berkualitas baik bisa menjadi nutrisi juga, lho? Sebagian
nutrisi itu akan digunakan untuk metabolisme dasar.”
“Masalahnya bukan itu! Gimana kalau nanti aku bertambah gemuk?”
“Itu adalah produk terbatas, tahu? Kamu benar-benar tidak mau?”
“Tidak, aku tidak mau! Aku sudah cukup dengan makanan ringan saja!”
Kebohongannya terlihat sangat jelas. Memangnya dia pikir aku tidak
menyadari dia menatap kantong kertas itu dengan mata penuh penyesalan?
“Sayang sekali. Tidak, aku akan mengambil kembali daging babi itu.”
“Hah?”
Dengan ekspresi seperti anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya,
Sasaki-san tiba-tiba tampak murung.
Jika dia membuat wajah seperti itu, aku merasa seolah-olah akulah
yang jadi penjahatnya.
Dia tidak ingin makan, tapi dia juga tidak ingin ditinggalkan.
Jadi, aku ingin memilih sesuatu yang bisa membuat Sasaki-san
senang, meski hanya untuk sementara. Lagipula, jika nafsu makan disebut sebagai
salah satu dari tiga keinginan dasar manusia, ini bukan masalah yang bisa
diatasi dengan semangat.
“Oke, aku akan memasak sesuatu!”
Aku menggenggam tangan kananku dan berdiri.
“Tapi kan aku sudah bilang kalau aku tidak akan makan!”
Diskusi lebih lanjut tampaknya tidak akan berguna. Aku mengabaikan
Sasaki-san dan bergerak menuju area dapur.
Mungkin dia sudah menyadari keputusanku, dan suara teriakannya
sangat menusuk punggungku.
“Aku tuh idol Arisu Yuzuki. Aku pasti tidak akan makan daging babi
itu!”
Aku mengerti maksudmu. Namun, jika dibiarkan di kulkas, bahan
makanan akan terbuang sia-sia. Jika dia terjebak dalam situasi yang bagaikan
memakan buah simalakama, aku akan membuang keraguan itu.
Selain itu….
Aku tidak ingin melihat seseorang pingsan lagi.
☆ ☆ ☆☆
Pertama, aku memotong “Daging Babi” tipis sepanjang lima
sentimeter dan memasukkannya ke dalam air mendidih. Ini akan menghilangkan
lemak berlebih, sehingga dia bisa menikmati daging babi meski berlemak.
Selanjutnya, masukkan minyak wijen, pasta bawang putih, dan pasta
jahe yang aku bawa dari rumah ke dalam penggorengan panas. Setelah aroma mulai
muncul, masukkan daun bawang yang telah dipotong miring yang aku simpan dalam
Tupperware di kulkas rumah. Setelah agak lama, tambahkan daging babi yang telah
direbus tadi, dan aduk-aduk dengan spatula sambil menggoyangkan wajan.
Saat aku melihat meja di belakangku, Sasaki-san duduk bersila dan
melirik ke arahku. Dia seperti kucing liar yang tertarik dengan mainan kucing.
Dia berada di antara naluri dan kewaspadaan. Memang benar, manusia tidak bisa
menolak pesona daging dan rempah-rempah.
Oke, saatnya untuk penyelesaian. Tuangkan saus khusus yang
dicampur dengan kecap, mirin, sake, dan bumbu Cina ke dalam daging. Dengan suara
gemerisik, aroma yang membangkitkan selera makan mulai muncul. Saat aku melihat
ke belakang lagi, jarak antara aku dan Sasaki-san sudah mendekat sekitar lima
puluh sentimeter.
Dengan ini, bahan sudah selesai. Selanjutnya, siapkan nasi putih
yang dimana adalah teman terbaik daging. Aku tidak bisa mulai memasak nasi
sekarang, jadi kali ini aku akan menggunakan nasi bungkus. Bentuk nasi bungkus
tadi menjadi bentuk mangkuk di tengah mangkuk hitam. Jangan lupa menambahkan
nori. Lalu, tambahkan daging dari penggorengan dengan sendok sayur, dan
tambahkan dua irisan acar putih sebagai penyeimbang rasa di sampingnya...
“Donburi daging babi yang bikin kenyang, sudah selesai.”
Saat aku menyiapkan sumpit dan berbalik, Sasaki-san cepat-cepat
mundur dan kembali ke posisi semula.
“Ayo, makan mumpung masih hangat.”
Aku meletakkan mangkuk yang mengeluarkan uap panas di atas meja.
Sasaki-san yang menatapku menggigit bibirnya dengan kuat, dan
seperti putri yang sedang ditangkap oleh monster, dia menatapku dengan tatapan
tajam dan menakutkan.
“Jangan membuatku mengatakan hal yang sama berulang kali! Aku
benar-benar tidak akan makan makanan itu!”
Krruuuyyuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuk.
Berbeda dengan suara yang aku dengar, suara perutnya menunjukkan
sifat aslinya. Sasaki-san, seolah-olah ada arus listrik mengalir, cepat-cepat
menahan perutnya dan menatap donburi.
Tiba-tiba, iblis kecil muncul dalam hatiku.
“Lihat, ini donburi daging babi yang menggunakan daging bermerek,
lho? Baunya juga nikmat.”
“Tahan...”
“Dagingnya juga ada banyak, jadi kamu bisa mengambil sepuasnya.”
“Tahan...tahan...”
“Ada mayones dan saus yang bisa menambah cita rasanya juga, lho?”
“Tahan...!”
Aku sangat menghormati gadis bernama Sasaki Yuzuki ini.
Seorang gadis remaja dengan nafsu makan yang besar sedang berjuang
keras melawan daging, nasi putih, dan donburi. Aku tidak bisa membayangkan
betapa sulitnya harus menahan diri dari makanan, makanan memang kesenangan universal bagi umat
manusia.
“Kalau begitu, aku akan menggunakan teknik andalanku.”
Aku menunjukkan apa yang aku sembunyikan di tangan kananku.
“Hah?”
Sasaki-san terkejut.
Meskipun ukurannya hanya sekitar lima sentimeter, benda ini tidak
begitu kuat. Namun, dikatakan bahwa ketika dikombinasikan dengan masakan,
kekuatannya bisa meningkat puluhan hingga ratusan kali.
Identitas dari benda tersebut ialah telur ayam mentah.
Pertama, aku membuat cekungan kecil di tengah donburi dengan
sumpit. Kemudian, aku menghancurkan
telur di sudut meja, dan meletakkan jempol di bagian retaknya.
Tiba-tiba, ada tenaga yang menahan lenganku dari sebelah kiri.
"Tidak. Tunggu, tolong..."
Mata Sasaki-san yang menahan lenganku sedikit berair.
Maaf, Sasaki-san.
Aku memegang telur itu seperti bola fork.
“Berhenti...”
Ketika aku membuka jempolku, seorang iblis kuning turun dari dalam
cangkang.
Krak.
Pada saat itu, penahan hati Sasaki-san runtuh.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaah!!”
Sasaki-san menahan mangkuk dengan tangan kirinya dan memasukkan
sumpit ke dalam donburi dengan penuh semangat.
Cara dia menatap potongan daging dan nasi yang diangkat dengan
sumpit mengingatkanku pada pertemuan kembali dengan keluarga yang telah lama
hilang.
“Ah...ah...”
Akhirnya, donburi itu disedot ke dalam mulut kecilnya. Bibir atas
dan bawahnya bertemu, dan dia mulai mengunyah. Seperti memastikan, seperti
mengingat, dia merasakan rasanya dengan tenang. Lemak daging yang melimpah
membuat bibir merah muda tipisnya berkilau.
Pada saat berikutnya dia menelan hidangan itu…..
“Aaaaaaaaaaaaaaaah~~♥♥”
Suara yang meleleh seperti daging babi rebus tak sengaja keluar
dari mulut Sasaki-san.
“Hah...?”
Aku tidak bisa menyembunyikan kebingunganku saat mendengar jeritan
manis yang tiba-tiba keluar.
“Aku sudah tidak tahan lagi...♥”
Semua perilaku dan ekspresi wajahnya berubah. Kecepatan makannya
meningkat seketika, daging dan nasi yang tercampur dengan telur serta saus
dengan tebal meluncur ke tenggorokan Sasaki-san satu per satu.
“Daging babi yang segar dan kaya rasa ini, dilapisi oleh telur
yang lembut, membuatnya meluncur dengan mudah bersama nasi~♥ Aroma bawang putih yang kuat dan keharuman jahe
menyerang, semakin banyak aku memakannya, selera makanku jadi semakin bertambah~♥”
Sasaki-san, yang fasih berbicara seperti reporter kuliner, matanya
sepenuhnya terpesona.
Apa jangan-jangan aku sudah membebaskan monster yang mengerikan?
“Bawang hijau yang renyah ditambah dengan aroma minyak wijen,
setiap kali aku mengunyah, aroma yang lembut membuatku merasa nyaman...Nori
yang aku taruh di antara nasi juga menegaskan keberadaannya, semuanya saling
mendukung...Warna kuning telur, coklat daging, dan putih nasi. Kontras ini,
seakan-akan seperti aurora. Ah, siapa sangka aku bisa mengamati bintang-bintang
di dalam donburi~♥”
“…...”
“Perubahan rasa sausnya juga sangat bagus♥. Bahan yang semula lembut menjadi tajam, dan
sumpit bergerak lagi♥. Dan, ketika lambung mulai lengah, mayones membuatnya kembali
lembut~♥”
Meski aku tidak memasukkan alkohol, ada orang yang mabuk di depanku.
Aku pernah melihat pria dengan semangat seperti ini berkali-kali di kedai orang
tuaku.
“Hehe, tidak lupa dengan acarnya~♥ aku menyimpannya untuk waktu tambahan♥ Ya, suara renyah yang menggema di telinga
sangat menyenangkan. Karena manis dan asinnya tidak terlalu kuat, aku bisa
fokus pada tekstur lobak~♥”
Dua batang sumpit penuh dengan potongan daging babi dan nasi yang
melimpah. Sasaki-san membuka mulutnya lebar-lebar dan dengan semangat dia
memakan donburi masakanku ke dalam mulutnya.
Mengunyah dengan keras, mengunyah dengan lembut, mengunyah dengan
cepat.
Mengunyah dengan cepat, mengunyah dengan pelan, mengunyah dengan
mudah.
Mengunyah dengan kuat, mengunyah dengan keras, mengunyah dengan
renyah.
Mengunyah dengan lembut, mengunyah dengan asyik, mengunyah dengan
cepat.
Kriing.
“Tambah!”
Sasaki-san yang menunjukkan mangkuk kosong memiliki butiran nasi
di bibirnya. Dia nampaknya tidak menyadarinya dan meminta tambahan kedua.
Seorang idol yang peduli dengan penampilannya menunjukkan tatapan seperti anak
yang polos dan ceroboh.
“Ya, aku kasih nih.”
“Terima kasih!”
Sasaki-san menerima mangkuk dengan kedua tangan seolah-olah
menerima harta berharga. Atau mungkin lebih seperti seorang penggemar yang
menunjukkan tangannya kepada idol di acara jabat tangan.
Keberadaanku tampaknya sudah tidak masuk dalam bidang
pandangannya, matanya hanya tertuju pada donburi. Jika dia bisa fokus pada
makanan seperti itu, itu adalah yang kuinginkan.
Dia menjilat bibirnya dan menggenggam sumpitnya lagi. Meski ini
adalah yang kedua, kegembiraannya tidak sedikit pun berkurang.
“Oke, mari kita mulai lagi... Mmm~♥”
Sasaki-san yang memasukkan donburi ke mulutnya sampai penuh
menggerakkan kakinya dengan gembira, meledakkan kegembiraannya.
“Daging babi, nasi, dan saus, semuanya luar biasa!”
Jika dia bisa menikmatinya sebanyak ini, berarti usaha yang kulakukan
tidak sia-sia. Aku merasa akhirnya aku bisa memahami kenapa orang tuaku yang
menjalankan restoran begitu berdedikasi dalam pekerjaan mereka.
“Kamu tuh luar biasa, Mamori-kun.”
Tiba-tiba, aku terkejut ketika namaku dipanggil. Kupikir dia sudah
sepenuhnya melupakan keberadaanku.
“Aku tahu setelah aku makan. Ah, orang ini benar-benar ingin
membuatku bahagia dari lubuk hatinya.”
Aku terkejut dan merenungkan alasanku kenapa aku belajar memasak.
Aku ingin membuat orang makan makanan yang enak. Aku ingin mereka bahagia.
Sepanjang hidupku, aku telah sering memasak untuk teman-teman dan
kenalan. Semua orang senang dengan makanan dan makanan penutup yang aku buat,
dan itu sangat berarti bagiku. Tapi, Sasaki-san adalah orang pertama yang fokus
padaku, bukan pada masakanku.
“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Aku jelas tahu! Karena pekerjaanku adalah untuk membuat orang
bahagia.”
Pujian Sasaki-san terdengar jujur, bukan hanya karena basa-basi
semata. Ekspresinya penuh dengan kasih sayang, seperti Bunda Maria.
“Daging babi yang disiapkan dengan hati-hati, bawang hijau yang
dipotong menjadi ukuran yang mudah dimakan, acar dengan rasa yang pas. Setiap
kali aku menelannya, aku bisa merasakan kelembutan Mamori-kun.”
Entah mengapa, setiap kali aku menerima pujian, senyum dan gerakan
Sasaki-san menjadi lebih jelas, dan aku semakin tidak bisa melepaskan pandangan
darinya.
“Aku akan mengatakannya berulang kali! Mamori-kun, kamu luar
biasa!”
Ketika dilihat oleh Sasaki-san yang tersenyum, panas yang menyala
dalam hatiku tiba-tiba menyebar.
Jantungku berdebar kencang. Seperti menegaskan keberadaannya,
berteriak keras di tengah-tengah tubuhku.
Mana mungkin, kan? Aku hanya memasak makanan dan memberikannya
kepada orang lain.
Sasaki-san kembali fokus pada donburi... lebih tepatnya, dia
sepenuhnya terpikat olehnya. Dia menggerakkan sumpitnya dengan semangat,
mengunyah dengan mata yang berbinar, bahkan suara menelannya tampak
menyenangkan.
Dan ketika dia memasukkan suap terakhir, Sasaki-san menggumam
dengan suara yang terpesona.
“Ah, aku bahagia~...”
Sasaki-san memiliki ekspresi yang sangat tenang, seolah-olah dia telah
melupakan kalau dirinya seorang idol. Pipinya terlihat merah merona, mulutnya
sedikit terbuka dengan cengengesan, dan matanya melamun.
Bahagia.
Kata-kata yang tampaknya terucap tanpa sadar itu berubah menjadi
seperti panah dan kemudian menembus jantungku.
Aku, Mamori Suzufumi, enam belas tahun. Seseorang yang sebentar
lagi menjadi siswa kelas dua SMA.
Orang yang aku cintai untuk pertama kalinya adalah idola
yang sedang populer.
☆ ☆ ☆☆
“Ahh, aku malah kelepasan...”
Dari puncak kebahagiaan tiba-tiba menjadi kesedihan, Sasaki-san
memegangi kepalanya di atas meja.
“Uhh, semua ini karena salahmu, Mamori-kun...!”
“Yah, aku akan menganggap itu sebagai pujian.”
Sambil merapikan piring di meja, aku berusaha keras untuk
berpura-pura tenang. Tapi suara detak jantungku sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda mereda.
Aku akhirnya menatap Sasaki-san yang menatapku dengan marah, dan
menghela napas untuk menanggapinya.
“Kamu tuh tidak perlu terlalu keras pada diri sendiri. Lagipula,
idol lain juga pasti makan seperti biasa, kan?”
Makan merupakan kebutuhan penting untuk bertahan hidup, sebelum
menjadi hobi atau hiburan.
Namun, Sasaki-san mengerutkan kening pada komentar yang aku
lemparkan tanpa berpikir.
“Aku berpikir kalau aku masih belum cukup hanya dengan berusaha
keras saja.”
Suara dia sedikit memulihkan kekuatannya.
“Aku mengejar puncak sebagai seorang idol. Tempat yang tidak
diketahui apakah bisa dicapai meski berusaha lebih keras dari orang lain. Usaha
saja pasti tidak akan cukup. Tapi, karena itu, aku ingin melakukan semua usaha
yang bisa aku lakukan. Aku tidak ingin berkomporomi tentang itu.”
Dia berbicara dengan nada yang kuat, seolah-olah untuk memotivasi
dirinya sendiri.
“Orang tuaku bertemu di lokasi konser idol. Mereka berdua sangat
menyukai idol, dan ada banyak DVD di rumah. Aku juga dibesarkan dengan menonton
DVD konser sejak kecil!”
Semakin Sasaki-san berbicara, semakin bersemangat pula kata-katanya.
“Aku selalu bosan setiap hari ketika aku masih kecil. Aku tidak
tertarik sama sekali dengan drama TV atau video streaming yang anak-anak di
kelasku suka. Jadi, setelah sekolah, aku memilih dan menonton DVD idol yang ada
di rak rumahku untuk mengisi waktu. Idol yang muncul di layar selalu tersenyum,
lagu dan tariannya sempurna. Awalnya, itu hanya untuk mengisi waktu, tapi
sebelum aku menyadarinya, aku malah menjadi terobsesi.”
Sasaki-san yang berbicara dengan semangat tentang daya tariknya
tampak seperti penggemar yang hanya mempromosikan idol yang mereka sukai.
Meskipun dia sendiri adalah seorang idol, dia masih sangat menyukai idol lain.
“Bukan hanya sekedar penampilan yang menarik. Suara yang menyentuh
hati, tarian yang menonjolkan lagu, ekspresi dan gerakan yang merepresentasikan
lirik, karisma yang memikat massa. Semua elemen penting ini membuat idol
bersinar, dan tidak ada yang hilang, itu sebabnya mereka adalah idol yang sempurna,
dan mau tak mau aku jadi mengagumi mereka. Aku menjadi idola karena aku ingin
bersinar di panggung yang sama dengan mereka.”
Dia memejamkan mata sambil menempatkan tangan di dadanya. Di balik
matanya, mungkin dia melihat ribuan idol.
“Idol dalam bahasa Jepang seperti 'patung'. Objek pemujaan dan kekaguman, atau keberadaan yang
diidamkan. Idol adalah perwujudan dari ideal semua orang.”
Dia membuka matanya. Pandangan Sasaki-san menangkapku dengan
lurus.
“Aku juga ingin menjadi idola seperti itu. Seorang idola yang
bersinar begitu terang sampai-sampai rasionalitas menjadi kabur. Demi
mencapainya, aku tidak ingin melakukannya dengan setengah-setengah. Aku takkan kalah dengan
sesuatu seperti nafsu makan.”
Sasaki Yuzuki, sebagai idola
Arisu Yuzuki, berusaha untuk memenuhi harapan semua orang. Aku mengagumi
sikapnya, dan sebagai tetangganya, aku juga ingin mendukungnya dari belakang.
“...Tapi tetap saja, kamu tidak boleh mengabaikan makan, ya.”
Sasaki-san dengan lembut merespon keluhan yang aku ucapkan.
“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
Tidak ada kemarahan dalam suaranya. Dia tampaknya hanya penasaran.
“...Ini cuma cerita biasa. Saat aku masih SD, ayahku masuk rumah
sakit karena kekurangan gizi. Dia bekerja di perusahaan yang dikenal sebagai
perusahaan 'hitam'. Ia bekerja sampai
larut malam setiap hari dan tampaknya tidak makan dengan baik.”
Menurut yang aku dengar kemudian, berat badannya saat itu 15
kilogram lebih rendah dari rata-rata.
“Suatu pagi, ia tiba-tiba jatuh di pintu masuk dan langsung
dilarikan ke rumah sakit. Saat itu, aku merasa seperti akan mati karena
khawatir ayahku akan mati."
Sekarang, ia tampaknya makan dengan baik karena ia juga
mengembangkan produk baru, dan ibuku juga bersamanya, jadi aku tidak terlalu
khawatir sekarang. Mungkin jika ada apa-apa, itu cuma ayahku yang belakangan
ini bertambah sedikit gemuk.
“Aku tidak berpikir kamu harus gemuk. Sasaki-san, aku hanya ingin
kamu makan tiga kali sehari dengan baik dan melakukan aktivitas idol
sebagaimana mestinya.”
“Aku paham dengan apa yang ingin kamu katakan, Mamori-kun. Tapi
ini hanya masalah prioritas. Hal terpenting bagiku adalah untuk tetap menjadi
idol ideal. Makanan adalah prioritas terendah, tidak berlebihan untuk
mengatakan itu. Daripada membuang waktu untuk makan, aku ingin berlatih
menyanyi dan menari.”
“Kalau begitu, biarkan aku mengurus makananmu. Aku akan menyiapkan
makanan tiga kali sehari, dan juga camilan. Pokoknya, kamu tidak boleh memaksakan
diri!”
Aku tidak berusaha menunjukkan bahwa aku tidak ingin dia berhutang
budi atau ingin mendapatkan uang, apalagi ingin berhubungan dekat dengan
seorang idol. Ini hanya soal tidak ada yang lebih penting dari kesehatan.
Namun, dia menggelengkan kepalanya dengan tenang.
“Ini bukan soal memaksakan diri. Mulai besok, aku akan juga
memperhatikan keseimbangan nutrisi dengan suplemen."
Aku tidak bisa membiarkannya sendirian yang bisa jatuh kapan saja.
Jika dia kehilangan kesadaran di peron stasiun atau persimpangan dengan lalu
lintas yang ramai, itu bisa membahayakan nyawanya.
“Tapi...”
Aku masih berusaha membujuknya, dan nampaknya Sasaki-san mulai
merasa kesal.
“Ah, cukup! Berhentilah ikut campur!”
Dia menatap ke arah lain dengan tiba-tiba dan mendorong piring
kosongnya.
Ah, begitu ya. Kamu bilang seperti itu setelah makan dua piring.
Aku duduk di depan Sasaki-san dan menatap wajahnya yang marah.
Aku bukan penggemar gadis ini. Sebagai tetangga, aku benar-benar
khawatir tentang kesehatannya. Apalagi jika dia adalah orang yang aku suka,
tentu saja aku ingin dia sehat.
“Kalau begitu, aku akan datang meski kamu tidak mau! Jika kamu
tidak mengizinkanku masuk, aku akan meninggalkannya di depan pintu. Kamu
baik-baik saja dengan itu, ‘kan? Aku akan meninggalkannya di depan pintu setiap
pagi, siang, dan malam. Tiga kali sehari, walaupun kamu tidak mau! Jika tidak
ada tempat untuk meletakkannya, aku akan memasukkannya ke dalam kotak surat!
Jika kotak surat penuh, aku akan mengirimkannya dengan paket!”
Jangan meremehkan diriku yang menduduki peringkat pertama dalam “Peringkat yang Kemungkinan Akan Menjadi Ibu
Mertua yang Cerewet” di buku kelulusan SMP-ku, melebihi semua gadis di
kelas.
“Kalau dilihat dari tatapanmu, kamu sepertinya tidak bercanda,
ya?”
“Ya, aku bicara dengan serius.”
Semangat berjuang membakar dalam hatiku. Aku tidak memiliki niat
sedikit pun untuk mundur, tidak peduli apa yang dikatakan oleh Sasaki-san.
“...Oh, aku mengerti. Kamu benar-benar serius ya, Mamori-kun.”
Sasaki-san mengangguk dengan kuat, seolah-olah dia telah membuat
keputusan, dan mendekatkan jarak antara kami.
Lalu, dia perlahan mengulurkan tangan kanannya.
Sepertinya tekadku sudah mencapainya. Apakah dia ingin bertukar
jabat tangan sebagai tanda persahabatan?
Saat aku mengulurkan tangan kananku.
“Kalau memang begitu masalahnya...”
Kedua tangan Sasaki-san meraih tangan kananku yang bebas.
Itu seperti adegan dari acara jabat tangan.
“Aku akan membuat Suzufumi menjadi penggemarku!”
Seorang idol dengan senyum tak terkalahkan berdiri di depanku.
“...Hah?”
Tangan yang aku pegang tadi dingin dan putih seperti porselen,
sekarang menjadi panas.
Emosi yang membara mengalir, mengalir ke hatiku melalui telapak
tanganku.
“Seperti yang sudah aku bilang, aku akan membuat Suzufumi menjadi
penggemarku!”
“Tidak, aku sama sekali tidak paham...”
Kenapa dia mengubah cara memanggilku? Lagipula, jika berbicara
tentang suka atau tidak, aku sudah menyukainya sejak pertama kali bertemu.
“Omong-omong, Suzufumi, apa kamu tahu asal-usul kata 'fan'?”
Sasaki-san mengangkat sudut bibirnya, seolah-olah sedang mencoba
sesuatu.
“Eh, bukannya itu berasal dari
'Fun' yang berarti 'menyenangkan'?”
“Salah. Jawaban yang benar adalah 'Fanatic', yang berarti 'orang
yang sangat antusias atau fanatik'.”
Meski jawabannya salah, Sasaki-san tampaknya menikmati. Dia
menggerakkan jarinya seraya berkata “cih,
cih, cih, kamu masih naïf”.
“Cara mendukung idol itu bebas. Bisa dengan mendengarkan lagunya,
menghadiri konser atau acara jabat tangan, atau membeli photobook. Tapi, penggemar takkan pernah melampaui batas. Mereka
menjaga batas antara idol dan realitas, dan menikmati dalam aturan. Itu adalah cara
seorang penggemar seharusnya.”
Aku mengerutkan kening karena tidak mengerti kemana arah
ceritanya.
“Seorang penggemar yang khawatir tentang kesehatan idol mereka dan
menyiapkan makanan buatan sendiri, itu tidak bisa diterima. Lebih jauh lagi,
itu cuma ikut campur. Sekarang, Suzufumi bukan 'fan', tapi 'tetangga'.
Karena kita setara, kamu mencoba merawatku. Jadi, jika aku membuatmu menjadi 'penggemar yang sangat antusias', kamu
akan mendengarkan permintaanku, kan?”
Jadi begitu maksdunya, jika seseorang merupakan penggemar yang
sangat antusias, mereka akan patuh dan tidak akan mencampuri kehidupan pribadi
idol mereka. Menjaga posisi dan menjaga jarak yang tepat adalah cara penggemar
yang ideal. Jika mereka mencampuri kehidupan pribadi dengan semena-mena, mereka
bukan penggemar, tapi hanya seorang penguntit.
Bisa dibilang argumennya masuk akal.
Namun, ada satu hal yang tidak diperhitungkan Sasaki-san. Itu
adalah fakta kalau aku sudah jatuh cinta pada tetanggaku, Sasaki Yuzuki dan
bukan sebagai idola Arisu Yuzuki.
“Tetap saja, aku akan membuat makanan setiap hari untuk Yuzuki.”
Aku melepaskan tangan yang dipegang erat dan berdiri, memanggil
idol di depanku dengan nama pertamanya, seolah-olah berinteraksi dengan teman
dekat di kehidupan pribadi.
Jika kamu ingin membuatku jatuh
cinta denganmu sebagai penggemar, aku akan membuatmu jatuh cinta dengan
masakanku.
Tidak mungkin aku akan menerimamu berusaha menjadi idol sempurna
sampai mengorbankan hidupmu.
“Aku akan membuat Yuzuki jatuh cinta dengan masakanku, dan membuatmu
tidak akan bisa hidup tanpa masakanku!”
Aku mengepalkan tanganku layaknya pemilik kedai ramen yang keras
kepala dan tersenyum dengan gaya yang santai.
“Oh, kamu ingin melawanku?”
Menerima tantanganku, api semangat mulai membara di belakang
Sasaki-san.
“Aku tidak akan membiarkan seorang gadis di masa pertumbuhan
menjalani diet yang berlebihan. Aku akan merusak harga diri Yuzuki dengan
masakanku, dan pada akhirnya, aku akan membuatnya meminta donburi babi lagi!”
Sasaki-san... Tidak, Yuzuki berdiri dan merespon senyuman sinisku
dengan ekspresi yang sama.
"Itu tidak akan berhasil, lho? Emang benar donburi babi hari
ini sangat memuaskan, tapi jika aku katakan sebaliknya, nafsu makanku sudah
terpenuhi. Aku tidak akan menyerah lagi!”
“Jadi, itu tidak masalah jika aku membawa makanan lagi, kan?”
“Eh?”
Aku tidak akan melewatkan celah sekejap itu. Aku segera
melancarkan serangan.
“Kamu bilang kamu tidak akan menyerah, kan? Atau memangnya
keyakinan mulia Yuzuki sebagai idol bisa hancur dengan mudah hanya karena
makanan?”
“Tidak mungkin!”
“Kamu terdengar sedikit ragu tuh. Tidak perlu memaksakan diri
lagi, lho?”
“Aku tidak memaksakan diri, tau? Aku selalu siap menerimanya kapan
saja!”
Bagus, aku mendapatkan janjinya.
“Hmm, bagaimana denganmu, Suzufumi? Berapa lama kamu bisa tetap
tenang ketika didekati sama idol populer?”
Setelah menunjukku, Yuzuki tersenyum sombong.
“Aku sih tidak masalah. Aku bisa menangani pendekatan idol dengan
mudah.”
Kami saling menatap dan bersaing.
“Aku pasti akan membuat Suzufumi jatuh cinta denganku sebagai
penggemar!”
“Aku pasti akan membuat Yuzuki jatuh cinta dengan masakanku!”
Ini adalah pertarungan serius.
Hanya ada satu pemenang. Yang kalah harus melunakkan keyakinannya
dan menyerahkan hatinya kepada lawan.
Gong pertandingan mulai berbunyi.
Dan begitulah, pertarungan antara idol populer dan siswa SMA
laki-laki yang mempertaruhkan hati dan perut dimulai.