Bab SS 4
“Selamat
pagi.”
Mahiru,
yang tertidur di bahu Amane, perlahan mengangkat kepalanya. Melihat pemandangan itu, Amane menyesuaikan
wajahnya agar sejajar dengan tatapan mengantuk Mahiru dan tersenyum.
Mahiru,
dengan ekspresi lembut dan linglungnya,
sepertinya membutuhkan banyak waktu untuk memproses kata-kata Amane.
Setelah
momen linglungnya berlalu, ekspresi Mahiru tampak tersadar saat dia memahami
situasinya. “…A-Apa aku ketiduran?”
“Ya, kamu tidaur dengan
nyenyak.”
“Kamu
seharusnya membangunkanku.”
“Hm? Aku tidak mempunyai alasan untuk membangunkanmu
ketika kamu sedang tidur nyenyak.”
Mengingat
cuaca yang sempurna dan membuat siapa saja
tertidur pulas, Amane mengerti mengapa Mahiru merasa mengantuk. Terlebih lagi,
setelah melihat Mahiru tidur dengan ekspresi puas, Ia tidak sanggup
membangunkannya.
Namun
sebagian dari itu ialah karena Amane
menikmati melihat wajah tidurnya yang menggemaskan.
“Ya
ampun. Aku seharusnya tidak tidur padahal akulah yang datang ke tempatmu.”
“Hmm, aku
tidak bermaksud buruk, tapi… rasanya tidak istimewa lagi saat kamu datang ke
tempatku, ‘kan?
Sepertinya, itu adalah bagian dari rutinitas kita sekarang…” ungkap Amane. “Oh,
tapi jangan menganggapnya negatif seolah itu tidak penting lagi, oke? Maksudku,
menghabiskan setiap hari di ruang yang sama adalah hal yang normal bagi kita yang sekarang,
dan menurutku itu sangat menyenangkan.”
Mahiru
menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah Amane. Kecuali waktu mandi dan
waktu tidur, jadi rasanya tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa dia selalu ada di sana.
Fakta bahwa hal ini sudah menjadi hal yang biasa bagi Amane dan Mahiru adalah
kenyataan yang menyenangkan.
“…Dan aku
mendapat bonus tambahan dengan memperhatikan wajah tidurmu,” tambah Amane.
“Ja-Jangan katakan itu—rasanya memalukan, tau. Aku tidak ingin memperlihatkan
diriku dengan ekspresi tidak berdaya seperti itu.”
“Yah, itu
berarti kamu merasa santai dan aman di sisiku. Bagiku, itu menggemaskan, dan
aku merasa senang karenanya.”
“Ka-Kamu
lagi-lagi mengatakan hal-hal seperti itu…” Mahiru
menatapnya dengan sedikit rasa malu, celaan, dan frustrasi. Amane membalasnya
dengan tawa ringan, membiarkannya berlalu.
Tentu
saja, Amane menikmati adegan damai saat Mahiru tertidur lelap, tapi Ia juga
senang mengetahui Mahiru bisa tidur dengan nyenyak. Meskipun Mahiru mengklaim
bahwa pengalamannya semasa kecil sudah
menjadi masa lalu, tampaknya kenangan masa lalunya terkadang
mengganggu tidurnya, dan sering
kali menyebabkan insomnia atau mimpi buruk. Oleh karena itu, melihatnya bisa
tidur dengan tenang tidak diragukan lagi merupakan hal yang baik.
Sementara
Amane menyimpan pemikiran itu untuk dirinya sendiri dan tersenyum, Mahiru masih
memasang ekspresi agak kesal. “…Tapi kamu sering tidur di sampingku seperti
itu, kan, Amane-kun?”
“Sudah
jelas, Mahiru,” Amane dengan cepat menegaskan. “Berbaring di sampingmu
membuatku merasa nyaman dan aman.”
“H-Hngng…”
“Apa-apaan dengan tatapan itu?”
“Aku
sedikit frustasi karena kamu bisa mengatakannya dengan
santai.... Apa kamu beneran
tidak keberatan jika aku melihat wajah tidurmu?”
“Yah,
bukan berarti aku kehilangan apa pun ketika kamu
melihatnya.”
“…Kalau
begitu, ke depannya, aku akan memastikan untuk menatap wajahmu saat kamu
tertidur. Aku akan mengamatinya dengan cermat.”
Tampaknya
Mahiru benar-benar ingin membalasnya, tapi bagi Amane, hal itu tidak mengganggu
atau menyakitinya.
“Memangnya itu hal yang menyenangkan?”
“Tentu
saja. Aku akan meluangkan waktuku untuk mengagumi pemandangan wajah tidurmu
yang menggemaskan. Aku tidak sabar menunggu kesempatan berikutnya untuk
melakukannya.”
“Baiklah,
lakukan saja sesukamu.”
“Aku
harus menciptakan lingkungan tidur yang sempurna untukmu, Amane-kun…musik latar
yang menenangkan, AC yang tepat, suhu yang tepat, dan…”
Melihat
Mahiru yang begitu antusias, Amane bergumam, “Yang perlu kamu lakukan hanyalah
berbaring di sampingku, Mahiru. Aku akan tidur seperti bayi.” Terbebani oleh
komentarnya, Mahiru menyundulnya
dengan wajah yang memerah
padam, membuat Amane tidak punya pilihan selain berbalik, mencoba menahan
tawanya.