BAB SS 1
Setelah
menerima formulir jadwal survei untuk pertemuan orang tua-guru, Mahiru kembali
ke dalam kamarnya dan dengan sembarangan
meletakkan lembaran
cetakannya ke mejanya karena dia perlu menyerahkannya kembali ke sekolah. Seandainya saja itu tidak
diperlukan, dia akan membuangnya ke tempat sampah tanpa ragu sedikit pun.
Setiap
tahun, hati Mahiru bergejolak dengan kegelisahan setiap kali pertemuan itu
diadakan. Sekarang, perasaan itu telah menjadi lebih tenang dibandingkan dengan
masa lalu, dan bisa dibilang, Mahiru telah menerima pertemuan tersebut setelah
berhasil melewati masa SMP dan SMA
hanya dengan kekuatannya sendiri. Dia sudah lama tidak terlalu berharap dengan kehadiran mereka,
dan sekarang hatinya hanya sedikit tergelitik—tidak lebih.
Memang
benar. Dia sudah lama terbiasa dengan hal itu, dan dia bahkan tidak lagi
berharap hal itu menjadi kenyataan. Mengetahui sepenuhnya bahwa orang tuanya
tidak akan pernah datang dan takkan pernah peduli
padanya, Mahiru
tidak repot-repot menghubungi mereka sama sekali.
Baginya, itu cuma membuang-buang waktu saja.
Mahiru
bermaksud menulis di formulir bahwa orang tuanya tidak bisa hadir karena alasan
pribadi, dan tanggal pertemuan mana pun tidak masalah. Dia mengeluarkannya dari
tasnya dan meletakkannya di mejanya hanya untuk tujuan itu. Jika dia tidak cepat, Amane mungkin
mulai khawatir saat Ia menunggunya di apartemennya, tapi meski hanya menulis
satu baris saja, Mahiru mendapati dirinya tidak mampu mengambil pena.
“…Setelah
sekian lama, kenapa aku…”
Hal itu
tidak bisa dihindari.
Tidak ada
alasan untuk ragu.
Yang
harus dia lakukan hanyalah menulis bahwa orang tuanya tidak akan datang.
Itu saja,
namun entah kenapa, pikirannya tiba-tiba dibanjiri oleh perasaan hampa dan
penolakan yang luar biasa.
Tahun
lalu, hanya ada perasaan samar dan tidak menyenangkan, seperti tinta hitam yang
mengalir ke dalam hatinya. Lalu mengapa hatinya begitu terguncang tahun ini?
Itu pasti
karena aku bertemu Amane-kun.
Amane
harus disalahkan dan berterima kasih atas perubahan ini.
Melalui
Amane, dia telah melihat bagaimana
rasanya menjadi seorang anak yang dicintai di atas segalanya. Dia telah
menyaksikan cahaya yang damai, cerah, dan indah dari seseorang yang menjalani
kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Karena dia telah dihanguskan oleh
cahaya yang sangat indah itu, karena cahaya itu membakar matanya dengan sangat
kuat, dia menjadi pasrah
dan kecewa dengan perbedaan yang mencolok antara realitas Amane dan dirinya
sendiri.
Meskipun Mahiru terus mengatakan pada dirinya sendiri
bahwa dia sudah menyerah, namun dia masih merindukannya, iri hati,
dan memimpikannya. Penyesalan pun muncul dan dia
merasa menyedihkan saat berpegang teguh pada perasaan itu—Mahiru tidak bisa menahan diri untuk
tidak membenci dirinya sendiri. Lebih buruk lagi, dia mendapati dirinya untuk sesaat
mengarahkan perasaan-perasaan gelap itu kepada Amane. Hal itu membuatnya merasa
lebih malu daripada apa pun. Jika dia mengatakan kepadanya, dia bisa melihat
Amane tersenyum dengan wajah sedih dan menerima perasaannya. Amane akan memeluknya tanpa banyak
bicara. Tidak ada yang tahu seberapa besar Mahiru
merindukan keluarga dan kasih sayang selain dirinya. Tentunya, jika dia
menunjukkan penderitaannya, Amane
akan menerimanya.
Justru
karena Amane sangat memahami hal itu, Mahiru
harus menelan semua perasaannya sebelum pergi ke tempat Amane. Kegelisahannya,
rasa iri, rendah diri, dan kerinduannya—semua itu— dia
harus memprosesnya sendiri agar bisa menghadapinya secara langsung.
Dia
tidak bisa terus berpegang teguh pada harapan yang ingin dipegang selamanya.
“Semuanya akan baik-baik saja.”
Apa aku benar-benar menghadap ke depan
sekarang? Dengan pikiran seperti itu dalam benaknya saat dia menyemangati dirinya sendiri,
Mahiru mengambil pulpen yang tergeletak di mejanya dan menekan ujungnya dengan
kuat pada kertas.