Chapter 18 — Bonus SS Volume 5 — Masachika Tidak Memiliki Skill Penilaian
“Hmm?
Apa itu… pasar loak?”
Masachika
kebetulan melewati taman besar di sekitar tempat tinggalnya. Di
lapangan, terdapat banyak lembaran plastik yang dibentangkan, dan berbagai
barang bekas yang tersusun di atasnya. Terlihat ada papan tanda yang menyatakan
bahwa pasar loak besar sedang diadakan selama seminggu.
“Pasar
loak, ya… sudah lama juga aku tidak
mengunjungi yang beginian.”
Kunjungan
terakhirnya ke pasar loak adalah sekitar dua
tahun yang lalu. Pada waktu
itu, Masachika juga sedang kebetulan lewat dan menemukan
kartu langka dari permainan kartu yang disukainya pada waktu itu. Tertarik dengan perasaan nostalgia tersebut, Masachika memutuskan untuk
mampir sedikit.
“Hmm…
yah, sudah kuduga, kelihatannya sudah
tidak ada lagi penjualan kartu seperti
sebelumnya.”
Mungkin
karena sudah tidak populer, permainan kartu yang pernah sangat terkenal itu
tidak terlihat di mana pun. Yang ada hanyalah pakaian bekas, buku bekas,
peralatan makan, dan furnitur, kadang-kadang ada
barang antic juga, tetapi
tidak ada sesuatu yang akan membuat menarik anak remaja. Namun,
“Oh…?”
Saat
melewati salah satu lembaran lapak,
Masachika berhenti. Yang menarik perhatiannya adalah satu set piring kecil berjumlah
delapan dengan gambar bunga dan burung.
“Oh,
kamu tertarik dengan barang
yang seperti ini, Nak?”
Ketika dirinya mengamati piring-piring kecil
itu, seorang pria paruh baya yang duduk di atas lapak lembaran plastik dengan tampak bosan
menyapanya. Sambil memberikan jawaban yang samar, Masachika berjongkok di
tempat itu.
“...Ini,
barang antik ya?”
Ketika
Masachika bertanya sambil melihat pot dan patung Buddha yang terletak di
sekitarnya, pria itu tersenyum kecut dan mengangguk.
“Ini
adalah barang peninggalan ayahku… sepertinya ia
membeli banyak barang, tetapi jujur saja, aku kesulitan untuk membuangnya. Aku
tidak mengerti nilai barang-barang ini, dan aku juga tidak suka jika dibeli
dengan harga murah oleh pedagang antik profesional, jadi aku memutuskan untuk
menjualnya di pasar loak seperti ini.”
“Begitu
ya...”
“Kamu
sendiri, Nak? Apa kamu mengerti tentang
hal-hal seperti ini?”
“Tidak,
bukannya begitu… Baru-baru ini, aku menerima
cangkir teh yang bagus sebagai hadiah ulang tahun dari seorang kenalan. Jadi,
aku jadi sedikit tertarik dengan peralatan makan.”
“Oh,
begitu ya.”
Sambil
berbicara seperti itu, mata Masachika tidak pernah lepas dari piring kecil
itu.
“Boleh
aku menyentuhnya?”
“Silahkan,
silahkan, boleh saja.”
Setelah
memeriksa bagian depan dan belakangnya dengan baik, Masachika memastikan bahwa tidak ada retakan dan mengangkat wajahnya.
“Ini,
harganya berapa ya?”
“Eh,
kamu mau membelinya? Hmm… seharusnya aku ingin bilang seribu yen, tetapi jika
kamu membeli semuanya,
harganya delapan ratus yen, seratus yen per piring.”
Setelah pria
itu berkata demikian,
Masachika dalam hati berpikir, “Bukankah
biasanya barang-barang seperti ini menjadi mahal jika dibeli dalam satu set?” Namun, ia segera menyadari, “Tapi ini hanya delapan piring
yang ada di sini, tidak berarti semuanya lengkap”. Ia pun mengeluarkan
dompetnya.
“Aku akan
membelinya. Seribu yen cukup?”
“Oh,
seriusan? Tidak kusangka pelanggan
pertamaku adalah anak semuda ini… Oh, ini kembalian dua ratus yen. Apa kamu mau lihat-lihat yang lain juga?”
“Ah,
ya sudah, mumpung sekalian
saja…”
Mungkin
karena sudah merasa sangat bosan, pria itu
tampak senang dan mengambil beberapa piring yang dibungkus kertas bekas dan
kotak dari belakang.
“Lihat,
ini sepertinya cukup bagus karena ada dalam kotak, bukan? Gambarnya juga cukup
indah. Yang ini, sepertinya cocok untuk dipajang di rumah orang kaya.”
“Haha,
aku bisa mengerti. Ngomong-ngomong,
itu harganya berapa?”
“Hmm?
Uhm~… Aku
telah memutuskan bahwa semua yang ada di dalam kotak ini bernilai seratus ribu yen… tapi, kurasa itu terlalu mahal ya?”
“Entahlah?
Tapi kurasa itu bukan jumlah uang yang biasa dikeluarkan di pasar
loak, kan?”
“Kamu juga
berpikir begitu ya…”
Setelah mendengar
kata-kata Masachika, pria itu mengerutkan kening dan mengangkat bahunya. Sambil
tersenyum pahit, Masachika melihat beberapa piring yang dibungkus kertas bekas
dan berhenti pada salah satu piring.
“Hmm?
Oh, itu? Gambarnya jelek banget,
ya. Sepertinya aku juga
bisa menggambarnya. Lagipula, aku
sama sekali tidak tahu itu burung apa.”
Melihat
piring yang dipegang Masachika, pria itu tertawa malu-malu. Mungkin dia merasa
malu karena fakta bahwa barang murah itu dijaga
baik-baik oleh ayahnya. Namun, entah kenapa, Masachika
tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gambar itu.
“Memang…
gambarnya kelihatan aneh,
tapi secara keseluruhan, sepertinya tidak
terlalu buruk, bukan?”
“Eh?
Apa iya? Sepertinya jelas-jelas barang
tiruan yang berkualitas rendah…”
“…Ini,
harganya berapa?”
“Eh!?
Kamu mau membelinya!? Ah, ya sudah… bagaimana kalau 500 yen?”
Pria itu
terkejut dan membuka matanya lebar-lebar, mengerutkan kening saat menyebutkan
harga. Masachika mengangguk dan mengeluarkan koin lima ratus yen dari dompetnya
dan menyerahkannya.
“Ya,
terima kasih… hmm, begitulah. Yah,
selera orang memang berbeda-beda… Mungkin ayahku juga merasakan sesuatu yang
sama?”
Pria itu mengangguk setengah hati dengan emosi yang tidak
sepenuhnya yakin. Menanggapi hal itu,
Masachika yang mulai merasa senang meminta untuk melanjutkan.
“Apa
ada yang lain? Terkait peralatan makan.”
“Eh?
Oh… kalau begitu, apa kamu mau lihat-lihat
cangkir teh?”
“Tentu
saja.”
◇◇◇
“…Jadi,
kamu membeli ini?”
“Benar,
kelihatan bagus, iya ‘kan?”
Beberapa
hari kemudian, seperti biasa, Masachika bertanya kepada Alisa sambil mengerjakan PR liburan
musim panas di ruang tamu kediaman Kuze. Setelah mendengar
itu, Alisa mengerutkan keningnya sambil
melihat cangkir teh di tangannya.
“Uhm~… sejujurnya, aku
sendiri tidak begitu mengerti, tetapi sepertinya teh
barley tidak cocok untuk cangkir ini."
“Sudah
kuduga, pasti begitu ya?”
Sambil
tersenyum pahit mendengar komentar Alisa,
Masachika menunjuk ke piring besar yang berisi keripik kentang di tengah
meja.
“Ngomong-ngomong,
piring itu juga yang kubeli
waktu itu.”
“Barang
antik sama sekali tidak cocok dijadikan alas buat keripik kentang…
lah, gambarnya benar-benar jelek, ya.”
Alisa menggeser keripik untuk
melihat gambar di bagian bawah piring dan mengatakannya dengan tegas. Semakin
mendengar itu, Masachika semakin tersenyum pahit dan mengangkat bahunya.
“Yah,
harganya tidak terlalu mahal sih… totalnya
sekitar tiga ribu yen, kan? Jika dipikir-pikir, aku
hanya membeli peralatan makan yang kusuka,
jadi kurasa itu bukan masalah besar?”
“Begitu,
ya… yah selera orang memang berbeda-beda…
kalau itu aku sih, aku
lebih baik membeli barang antik Eropa.”
“Set
peralatan teh dari Eropa abad pertengahan? Itu pasti mahal…”
Sambil
saling bercanda seperti itu, mereka berdua membawa cangkir teh ke mulut
mereka.
Alisa tidak tahu. Bahwa selera
estetika Masachika telah terasah melalui pendidikan unggulan keluarga Suou.
Masachika
tidak tahu. Bahwa cangkir teh yang sekarang ia gunakan adalah mahakarya dari seorang pengrajin terkenal yang bahkan disebut harta nasional dan baru meninggal tiga puluh tahun lalu.
Keduanya
tidak tahu. Bahwa nilai total barang di atas meja sekarang sangat tinggi sampai puluhan juta yen.
“Ngomong-ngomong,
bukankah barang-barang seperti ini seharusnya tidak
digunakan untuk sehari-hari, ‘kan?”
“Namun,
aku tidak mengerti jika hanya untuk
dipajang… yah, mungkin jadi sedikit
terlihat elegan? Makanya aku
berpikir untuk menggunakannya?”
“Begitu,
ya… itu sih terserah kamu saja.”
Mereka
berdua sama sekali tidak mengetahuinya…