Gimai Seikatsu Volume 13 Chapter 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — 13 Desember (Senin) Asamura Yuuta

 

Semakin hari, semakin sulit untuk bangun pagi. Bukan hanya karena cuacanya saja yang semakin dingin, tapi juga karena tekanan belajar untuk ujian yang mengurangi waktu tidur. Aku masih merasakan sedikit kantuk. 

Begitu memasuki ruang makan yang hangat karena AC, aroma ikan bakar tercium di hidungku. 

Selamat pagi, Yuuta. 

Ayahku yang sedang mengambil nasi dari penanak nasi, menoleh untuk menyapaku. Aku membalas sapaan dan bertanya, Apa ada yang bisa kubantu? 

Semua baik-baik saja. Ini sudah selesai, kok.

Sambil berkata begitu, ia meletakkan cangkir teh di depan kursi tempat aku biasa duduk. Aku melihat hidangan yang tersaji di meja. Menu utama sarapan hari ini adalah ikan masak kering. 

Bakarnya rapi sekali, ya.

Namanya juga sudah lebih dari enam bulan dilakukan, jadi ya wajar saja sudah sedikit rapi.

Setelah ujian selesai, aku juga akan melakukannya lagi.

Namun, semuanya tergantung di mana kamu diterima. Mungkin saja kamu harus tinggal di asrama, kan? Nah, untuk sekarang, lebih baik kamu fokus pada ujian dulu dan bisa memikirkan hal itu nanti. Ngomong-ngomong, kamu dan Saki-chan juga pergi ke sekolah hari ini, kan?

Rencananya begitu. Dengan berangkat ke sekolah, niatan untuk bolos belajar takkan pernah muncul. 

Mengesampingkan alasan sebenarnya, aku menjawab dengan kata-kata yang netral. Ketika kami sedang berbicara, Ayase-san juga bangun. Dia menyapa Ayah dan kemudian duduk. 

Maafkan aku, karena sudah dibuatkan setiap hari. 

Kita saling membantu ketika sama-sama sibuk. Ayo, makanlah. Meskipun tidak sebaik Saki-chan.

Itu tidak benar.

Ayase-san berkata begitu dan mengatupkan tangan sambil mengucapkan itadakimasu.

Ayahku juga duduk dan melanjutkan makan yang sempat ditinggalkannya. Ayahku berencana meninggalkan rumah pagi-pagi sekali. Kami tidak memiliki kewajiban untuk pergi ke sekolah lebih awal, jadi itu sama sekali tidak maslaah meskipun kami terlambat. 

Jadi──. 

Aku akan membereskan setelah Ayah sudah selesai.

Aku memberitahu Ayahku yang telah selesai makan. 

“Enggak apa-apa kok,.

Sambil berkata begitu, Ayahku membawa piring ke wastafel. Aku terburu-buru mengikutinya. Sekilas aku melihat ke arah Ayase-san. Dia bahkan tidak melepas earphone saat sarapan. Sepertinya dia sedang mendengarkan materi bahasa Inggris atau semacamnya. Mungkin suaranya tidak terdengar. Mungkin karena kabelnya mengganggu saat makan, dia baru-baru ini membeli earphone nirkabel. Untuk itu, aku mengulurkan tangan kananku ke depan dan memberi isyarat, Silakan terus makan. Ayase-san yang melirik ke arahku mengangguk kecil. Bibirnya bergerak membentuk kata terima kasih. 

Dia tentu mengerti bahwa tidak sopan memakai earphone saat makan bersama keluarga. Namun, semua anggota keluarga memahami bahwa dia sangat menghargai waktu, dan dia telah mengubah sikapnya setelah memberi tahu beberapa hari yang lalu. Bisa dibilang itu adalah ketidaksopanan yang sudah disetujui. 

Aku berdiri di samping Ayahku dan membantunya mencuci piring. Atau lebih tepatnya, hampir merebut piring dan mulai mencuci. 

Hei. Bukankah sudah waktunya buat Ayah berangkat kerja? 

Oh, iya.

Mencuci piring Ayah tidak terlalu merepotkan, oke?

"Begitu? Kalau gitu, boleh aku minta tolong padamu?”

Sambil melepas celemek yang dipakainya saat memasak, Ayahku tiba-tiba menghela napas. 

Jika aku melakukan pekerjaan rumah seperti ini saat tinggal bersama orang itu, mungkin semuanya akan berbeda.”

Ketika Ayahku menyebut kata ‘orang itu, jantungku berdebar kencang. Orang ituyang dimaksud pasti merujuk pada ibu kandungku. Mungkin ini pertama kalinya ayah membahas ibuku yang telah berpisah dengannya sejak ia menikah lagi. Aku melirik ke belakang. Suara ayahku terdengar pelan, dan sepertinya Ayase-san fokus pada makanan dan mendengarkan materi bahasa Inggris, jadi tidak ada tanda-tanda bahwa dia mendengarkan kata-kata ayahku.

“Meski Saki-chan berterima kasih padaku tadi. Tapi, mau tak mau aku jadi berpikir bahwa aku bisa menjadi ayah yang dihargai seperti sekarang ini hanya karena aku tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu.”

Ia mengatakan bahwa dirinya yang sebenarnya adalah orang yang lebih tidak berguna.

Yah, karena itu perubahan ke arah yang lebih baik, jadi menurutku tidak apa-apa.

Karena Akiko-san pandai memasak, sehingga ia akan menyerahkannya untuk tugas memasak lalu ia berhenti memasak sama sekali, mungkin akan ada masalah lain yang muncul di kemudian hari. Namun, jika ia benar-benar ingin menghindari mengulangi kesalahan masa lalu, maka perubahan itu pasti hal yang baik. Perubahan tidak selalu dalam hal buruk.

Seperti yang dikatakan Ayah tadi, aku mungkin akan tinggal di asrama tergantung pada kampus yang kutuju. Saat itu, keterampilan ini akan berguna. Jadi tidak ada salahnya bisa mahir memasak.

Awalnya, aku hampir sepenuhnya menyerahkan urusan memasak kepada Ayase-san. Sekarang, jika dipikir-pikir kembali, mungkin ada sesuatu yang akan rusak di kemudian hari jika dibiarkan begitu saja.

Karena perubahan yang dimaksud adalah membagi beban di antara seluarga. Semua orang bahagia, jadi tidak ada masalah.”

Ujarku dengan nada ringan.

Kamu sudah mulai mengatakan hal-hal yang baik... Sekarang kamu sudah dewasa ya, Yuuta.”

Ayahku membalas dengan penuh perasaan. Tapi, bukannya ia tidak ada waktu untuk bersantai?

“Lihat, lihat. Bukannya Ayah harus cepat-cepat keluar dari rumah? Tapi, kenapa tiba-tiba membahas hal itu?

Ketika aku bertanya padanya, Ayahku hanya tersenyum kecil.

Karena ini ulang tahun Yuuta... Meskipun ini mungkin terdengar aneh, tapi selamat ulang tahun.” katanya.

Tiba-tiba aku tersadar.

Aku mengingatnya sampai malam tadi, tetapi pagi ini aku benar-benar melupakannya. Tanggal 13 Desember. Hari ini adalah ulang tahunku. Dalam ingatan ayahku, semua tentang diriku dari lahir hingga sekarang ada, dan hanya dengan menyebutkan ulang tahun, semua kenangan masa lalu itu mungkin kembali muncul. Aku tiba-tiba berpikir tentang hal itu.

Ah, ya, terima kasih.

“Kalau begitu, aku minta tolong padamu, ya.”

Ayahku buru-buru meraih tasnya dan berkata, “Aku pergi sekarang, sambil melemparkan kata-kata itu ke arah kami. Ayase-san menyentuh smartphone-nya lalu melepas earphone. Selamat jalan, serunya ke arah punggung Ayahku, bersamaan dengan yang kulakukan.

Setelah itu, dia menoleh ke arahku.

“Apa jangan-jangan, Ayah tiri sempat mengatakan sesuatu sebelum pergi?

Oh, iya, kamu tahu, hari ini ‘kan hari ulang tahunku. Jadi ia mengucapkan selamat padaku.

Aku tidak ingin terlalu banyak membahas tentang ibu kandungku, jadi aku menghilangkan pembicaraan di situ. 

Begitu ya. Selamat. Tapi tahun ini kita tidak bisa merayakannya.

Ya, mau bagaimana lagi. Inilah nasib seorang pelajar yang sedang menghadapi ujian masuk.

Meski begitu, Akiko-san sempat bilang, Aku akan membuat makan malam sedikit lebih istimewa.

Aku harus menanggungnya dengan itu untuk tahun ini. Selain itu, aku harus fokus belajar seperti hari-hari biasa. 

Ayase-san kembali memasang earphone dan mengoperasikan smartphone-nya. Aku juga mulai menghabiskan sisa sarapan sambil mengeluarkan buku kosakata dari saku. Kami berdua tidak banyak berbicara dan hanya diam-diam menyantap sarapan

 

◇◇◇◇

 

Meskipun aku tahu kalau kami tidak akan dimarahi, tapi aku tetap tidak ingin terlalu terlambat, jadi pada akhirnya kami berdua keluar rumah pada waktu yang sama seperti biasa. 

“Rasanya sudah mulai terasa seperti musim dingin, ucap Ayase-san. 

Saat berjalan di luar, hembusan anginnya terasa dingin. Ketika melihat Ayase-san yang berjalan di sampingku, pipinya tampak sedikit memerah. Napasnya juga mengeluarkan asap putih. 

Saat ini aku tidak menggunakan sepeda. Sebagai gantinya, kami berjalan bersama sambil bergandengan tangan seperti ini. 

Sambil berjalan berdampingan, tiba-tiba Ayase-san berkata.

Tahun 1773.

Eh? ... Oh, Insiden Pesta Teh Boston?

Benar. Asamura-kun, kamu mengambil pelajaran sejarah? 

Aku berencana mengikuti ujian tes umum dengan mata pelajaran kewarganegaraan. Ya, mungkin itu saja.

Peristiwa itu dikatakan sebagai titik balik menuju Perang Kemerdekaan Amerika. 

Aku dan Ayase-san belakangan ini sering saling menguji dengan berbagai materi ujian yang kami ingat (seperti kosakata bahasa Inggris) untuk memeriksa hafalan. Meskipun terdengar seperti tindakan seorang pelajar yang sedang ujian, pembicaraan Ayase-san selalu dimulai tiba-tiba, jadi aku harus waspada. 

Kami berjalan sambil saling mengajukan pertanyaan selama beberapa waktu.

Kami hanya memiliki beberapa hari lagi untuk menapaki jalan ini bersama-sama. Perjalanan sepuluh menit ke sekolah adalah waktu yang berharga bagi kami. 

“Oh iya. Selamat ulang tahun. 

Kali ini aku dibuat terkejut mendengar ucapannya yang begitu tiba-tiba. 

“Bukannya tadi pagi kamu sudah mengucapkannya? 

Itu sih hanya dalam alur pembicaraan. Aku ingin mengucapkannya lagi. Meskipun tidak ada hadiah atau pesta ulang tahun, setidaknya aku ingin memberikan ucapan selamat.

Oh, begitu. Ya. Terima kasih. Minggu depan giliran Ayase-san, ‘kan?

Ayase-san mengangguk pelan. 

Ulang tahun kami berdua hanya terpaut selisih satu minggu. 

Selama satu minggu ini, rasanya benar-benar seperti 'Nii-san'. 

Ketika aku mengatakannya dengan nada sedikit menggoda, Ayase-san menggembungkan pipinya dan membalas dengan cemberut, “Muncul lagi deh yang begitu. Itu tidak adil.

“Em-Emangnya itu tidak adil?

“Padahal ‘kan kita seangkatan. 

Itu benar sih.

Kita bahkan mengikuti ujian masuk bersama. Aku tidak mau karena entah kenapa rasanya seperti kalah." 

Tapi menurutku itu bukan tidak adil... Itu hanya fakta. Melihat hal ini, aku sekali lagi berpikir kalau Ayase-san memang tidak suka kalah. Mungkin dia tidak terobsesi untuk menang, tetapi dia cuma tidak ingin kalah saja

“Tapi di rumah, kamu memanggilku dengan sebutan 'Yuuta-niisan'... 

“Kalau itu sih, mirip seperti gelar saja. 

Jadi, ‘Nii-san’ itu dianggap sebuah gelar ya?

Dalam situasi resmi, seseorang harus dipanggil dengan nama resminya. 

Ayase-san tampaknya mempercayai bahwa rumah adalah tempat resmi. Apa itu resmi? Persepsinya kadang-kadang terasa agak aneh. 

Tapi, itu bukan masalah utama. 

Bagaimana kemajuan belajarmu?

Yah, kurasa cukup baik.

Jika Ayase-san mengatakan cukup baik, aku berasumsi itu berarti berjalan lancar. 

Jika belajarnya tidak membuat cukup kemajuannya, dia pasti akan lebih terlihat gelisah. Aku merasa bahwa ucapan cukup baik Ayase-san memberiku rasa tenang. Sementara itu, aku— 

Dan bagaimana dengan Asamura-kun?

Rasanya biasa saja.

Aku merasa cemas karena belum memiliki banyak kemajuan. 

Kalau Asamura-kun bilang 'biasa saja', berarti sebenarnya cukup lancar, ya? 

Hah? 

...Apa iya begitu? 

Asamura-kun, kamu cenderung terlalu merendah terhadap kemampuanmu sendiri. Meskipun aslinya kamu bisa, kamu selalu merasa masih kurang. Bagaimana dengan soal-soal ujian sebelumnya? Kamu pasti bisa menjawabnya dengan baik, kan?

Itu... memang benar.

Aku merasa bahwa jika hanya mengerjakan soal ujian sebelumnya, aku sudah bisa mendapatkan tingkat ketepatan yang cukup baik dalam waktu yang ditentukan. Namun, aku masih merasa kalau itu saja belum cukup. Tidak ada gunanya menghafal jawaban secara sembarangan

Meskipun tidak mungkin ada soal yang persis sama dengan yang ada di ujian sebelumnya, tapi penting untuk memahami materi. 

Ya, tujuan utama kita berdua adalah lulus di universitas yang kita inginkan, jadi baguslah kalau semuanya berjalan lancar itu hal yang baik.” 

“Berarti itu pertandingan, ya.”

Ayase-san mengatakannya dengan ceria. 

Aku hanya bisa membalasnya dengan tersenyum kecut. 

Karena kita tidak mendaftar di universitas yang sama, jadi kurasa kita tidak bisa membandingkannya.

“Justru itulah yang ingin aku lakukan. Jika ada saingan di rumah, motivasi kita pasti akan meningkat, kan?

Ah, begitu rupanya. Kalau begitu, aku akan menerima tantangan itu.

Meskipun merasa tertekan hanya dengan merasakan persaingan, jika itu membuat Ayase-san lebih bersemangat belajar, maka itu adalah hal yang baik. 

Namun, tiba-tiba Ayase-san membungkuk lemas. 

Oh iya, benar juga... Asamura-kun sebenarnya bukan tipe orang yang suka bersaing, kan?

Itu tidak benar kok. Tentu saja aku mau bersaing. Baiklah, mari kita berkompetisi siapa yang lebih dulu diterima duluan!

Ayase-san berkata setelah menatapku sejenak. 

“Baiklah, ini benar-benar kompetisi, oke? 

Ya, kompetisi.

Aku mengangguk dengan wajah seserius mungkin yang bisa kutunjukkan

“Haaa... yah, kurasa tidak apa-apa. Justru karena Asamura-kun seperti ini, aku merasa kita bisa bersaing tanpa saling menyakiti.

Aku merasa terhormat bisa menjadi lawan yang sepadan. Jadi, aku tidak keberatan untuk bersaing.

Ya. Mari kita buat ini menjadi persaingan yang baik.

Ya.

Aku merasa nyaman jika dianggap sebagai saingan oleh Ayase-san. Kurasa bersaing dengannya akan terassa menyenangkan. 

Ayase-san mengharapkanku untuk menjadi orang yang berusaha keras dalam belajar demi bisa lulus ujian masuk, dan itu seharusnya menjadi beban jika harapannya terlalu tinggi. Faktanya, aku pernah mengalami tekanan berat ketika terlalu banyak diharapkan saat masih di SD

Meskipun Ayase-san berpikir aku adalah “saingan yang sempurna, tapi entah kenapa, aku tidak merasa stres dengan hal itu. 

Mungkin kenyamanan ini muncul karena aku percaya bahwa jika, misalnya, aku gagal dalam ujian, Ayase-san takkan merasa kecewa. 

Yang aku takutkan bukanlah kegagalan itu sendiri. 

Tapi yang membuatku takut ialah jika aku membuatnya merasa kecewa.

Ibu kandungku mempunyai harapan besar padaku, dan ketika aku tidak bisa memenuhi harapannya, dia merasa kecewa. Hal yang sama juga berlaku untuk ayah kandung Ayase-san. Pria itu—Itou Fumiya—memiliki gambaran tentang sosok ayah, sosok ibu, dan sosok putrinya yang ia ciptakan sendiri. Dan ketika kenyataannya tidak sesuai dengan harapannya, ia merasa terluka tanpa menyadarinya. Harapan itu ternyata menyakiti keluarganya, termasuk dirinya sendiri. 

Harapan kadang-kadang bisa menjadi racun. 

Baik aku maupun Ayase-san sudah sangat lelah dengan harapan sepihak yang datang dari orang lain. 

Oleh karena itu— 

Kami berjanji untuk tidak saling berharap satu sama lain

Dengan janji begitu, kehidupan kami sebagai kakak beradik tiri pun dimulai. 

Namun sekarang, kami merasa nyaman dengan harapan yang wajar terhadap satu sama lain. 

Dari mana perbedaan ini berasal? 

Aku pikir mungkin memang begitulah adanya. 

Ada harapan berlebihan yang tidak boleh dilanggar. Seolah-olah itu adalah paksaan sepihak. Seperti ibu kandungku, seperti ayah kandung Ayase-san. 

Mereka melanggar batas yang seharusnya tidak dilanggar, tanpa menyadari bahwa harapan yang tidak dapat diterima itu akan menyakiti satu sama lain. Baik ayahku dan ibu kandungku, maupun Akiko-san dan Ito Fumiya, pasti merasakan ketegangan di batas yang sangat tipis itu, di mana jika melangkah lebih jauh, itu hanya akan menyakiti satu sama lain. 

Mereka melupakan penyesuaian dan bergantung pada hubungan mereka. 

Yang penting adalah secara teratur meninjau dan memeriksa kembali perasaan satu sama lain. Dalam kedekatan, masih tetap ada etika. 

Alasan mengaoa aku dan Ayase-san masih bisa saling memberikan harapan yang wajar karena kami sudah memahami batasan yang tidak boleh dilanggar dan batasan yang boleh dilanggar, serta bisa mengukur jarak di mana kami tidak perlu menggunakan kata-kata. 

Hanya saja, kami bisa berkomunikasi pada tingkat bawah sadar berkat pengalaman. Ketika kami mulai bergantung pada kenyamanan hubungan yang sudah terbentuk dan melupakan penyesuaian, hubungan kami akan berakhir— Begitulah pikirku. 

Walaupun “kompetisi” yang disebutkan Ayase-san adalah tentang berjuang untuk menang, tetapi tujuannya bukanlah untuk menang. Tujuannya adalah proses bertarung itu sendiri, proses bersaing itu sendiri. Oleh karena itu, aku bisa ikut serta dalam pertarungan itu. Apa yang dia harapkan dari lawan bukanlah kemenangan, melainkan... 

Asamura-kun dan...

Aku menyadari bisikan Ayase-san dan menatapnya kembali. 

Aku senang kita lahir di tahun yang sama. Karena kita bisa mengikuti ujian bersama. 

...Kurasa aku juga.

Ayase-san hanya ingin menikmati proses berjuang sekuat tenaga, dan dia ingin memastikan ada seseorang yang dekat dengannya, berjalan di jalur yang sama dengannya

Orang-orang yang lewat, sebagian menundukkan wajah mereka ke dalam syal, sebagian lagi mengangkat kerah mantel mereka, semua berjalan dengan pipi yang memerah. 

Kami melewati jalan setapak yang dipenuhi daun kering, menyeberangi persimpangan, dan semakin dekat dengan gedung sekolah SMA Suisei. Sudah ada banyak siswa terlihat memasuki gerbang sekolah. Pemandangan itu tampak sama seperti biasanya. 

Begitu kami mencapai koridor lantai tertinggi tempat ruangan kelas 3, jumlah siswa yang terlihat berkurang secara signifikan. 

Satu-satunya suara yang terdengar di koridor kosong itu hanyalah suara langkah kaki. 

Seolah-olah hanya ada aku dan Ayase-san saja yang berjalan menyusuri koridor yang lebar.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama