Otonari no Tenshi-sama Volume 11 Chapter Ekstra Bahasa Indonesia

 

Chapter Ekstra — Hakikat Keluarga dan Jawabannya

 

Saat ditanya siapa saja cewek di kelas yang dekat dengan Mahiru, ia akan menyebut Chitose dan Ayaka, namun bukan berarti ia hanya bergaul dengan keduanya saja. Mahiru pada dasarnya dapat berkomunikasi dengan siapa saja tanpa masalah dan sering berbicara dengan gadis-gadis di kelas, dan seringkali percakapan itu mengalir dengan baik.

Pada sore hari setelah sekolah tanpa pekerjaan paruh waktu, Amane memiliki urusan di ruang guru, jadi Mahiru diminta untuk menunggu di kelas. Namun, ketika Amane kembali setelah menyelesaikan urusannya, dirinya melihat Mahiru tampak asyik berbicara dengan teman-teman sekelasnya, sehingga ia merasa ragu sejenak untuk masuk dan mengganggu.

Apa Shiina-san tidak punya saudara?

Saat itu, salah satu teman sekelasnya melontarkan pertanyaan itu. Mungkin mereka sedang membahas tentang keluarga atau sesuatu yang serupa. Gadis yang menanyakan tentang saudara itu, seingat Amane, memiliki adik perempuan. Dari jendela di lorong, Mahiru terlihat tidak terganggu dan hanya menunjukkan senyuman lembut seperti biasanya.

“Gimana ya, karena aku anak tunggal.”

Eh, enggak nyangka banget. Karena Shiina-san sangat perhatian, kupikir kamu pasti mempunyai adik atau kakak.

Kalau beneran ada, aku yakin merekan akan kelihatan sangat tampan dan cantik.

Suara mereka terdengar ceria. Tidak ada sedikit pun niat jahat, hanya ungkapan pikiran yang tulus. Sebenarnya, hanya Amane dan mungkin Chitose yang tahu tentang lingkungan keluarga Mahiru dengan akurat. Bahkan Itsuki tidak tahu secara detail karena Amane tidak memiliki hak atau niat untuk mengungkapkan masalah sensitif tersebut kepada orang lain.

Jadi, mereka tahu bahwa kata-kata itu benar-benar hanya suasana saat itu, tetapi bagi Amane, mereka seolah-olah sedang menaburkan garam pada luka Mahiru yang mungkin masih terbuka.

“Kira-kira Shiina-san mirip siapa?

“Yah kalau ditanya begitu, menurutku aku lebih mirip seperti ayahku.

Senyum Mahiru tetap sama. Dan dia juga tidak berbohong. Amane yang sudah bertemu dengan ayahnya, Asahi, bisa memastikan bahwa Mahiru memang mirip dengan ayahnya.

“Hee~, kalau begitu ayahmu juga pasti tampan.

Eh, aku jadi ingin melihat, ia pasti pria yang keren.

Jangan sebut ayah orang lain dengan sebutan 'kakek'.

Maaf.”

Tidak apa-apa. Ayahku juga sudah cukup berumur.

Mahiru tertawa sambil menutupi mulutnya, dan ketika pandangan matanya bertemu dengan Amane melalui jendela, Amane panik sejenak, tetapi Mahiru memperkuat senyumnya, seolah-olah ingin mengatakan, “Kamu tidak perlu khawatir.

Tapi yah, jadi kamu mirip dengan ayahmu, ya. Katanya, gadis-gadis itu biasanya mirip ayah. Sayangnya, aku juga mirip ayah.

“Kamu benar-benar sangat mirip dengan ayahmu, terakhir aku melihatnya, aku merasa kamu kelihatan seperti akan tumbuh menjadi orang seperti itu.

Eh, enggak mau ah, jangan bilang berarti di masa depan aku akan...

Setiap orang pada suatu saat nanti akan mengucapkan selamat tinggal pada rambut sehatnya, jadi mendingan jangan terlalu dibahas.

Jika ayahku mendengar kebaikanmu, ia pasti akan menangis.

Karena kebaikan yang berlebihan?”

Tidak, karena diperhatikan oleh seorang siswi SMA.

Kamu sedang menaburkan garam pada luka.

Bukan luka, tapi pori-pori?

"Hentikan.

Amane merasa sepertinya mereka sedang terlibat dalam percakapan yang tidak berguna dengan cara yang berbeda, tetapi ketika Mahiru melemparkan tatapan yang mengatakan bahwa dia sudah baik-baik saja, Amane berpura-pura menabrak meja dengan ringan untuk menghasilkan suara dan mendekati Mahiru.

Ekspresi Mahiru yang mengangkat wajahnya tiba-tiba langsung cerah, mungkin karena dia bisa keluar dari percakapan itu atau hanya karena Amane datang mendekat dan dia merasa senang.

Amane-kun.

Maaf, sudah membuatmu menunggu. Terima kasih telah menemani Mahiru.

Karena Amane merasa tidak enak membiarkan Mahiru menunggu sendirian, dirinya memberi sedikit anggukan dan ucapan terima kasih kepada tiga orang yang sedang asyik berbincang dengan Mahiru. Salah satu dari mereka terlihat panik dan melambaikan tangan.

Ah, Fujimiya-kun, maafin ya karena sudah meminjamkan pacarmu!

Tidak, tidak, dia bukan milikku.

Eh?

Bukan-bukan, maksudku dia bukan barang milikku. Dia memang pacarku, tapi aku tidak bermaksud menghalangi apa yang ingin dilakukan Mahiru. Jadi jangan salah paham.

Memang benar bahwa Mahiru adalah pacarnya Amane dan jika ia menyebut Mahiru sebagai miliknya, dia pasti senang, tetapi entah kenapa, Amane merasa tidak nyaman menyebutnya dengan cara itu di depan orang lain. Mahiru adalah pacarnya yang sangat berharga dan Amane ingin menganggapnya sebagai pasangan yang setara, jadi ia tidak suka menyebutnya sebagai milik. Jika dirinya menulis pacar dan memberi penjelasan, itu bisa diterima. Sebenarnya, ketika seseorang mengatakan milik, biasanya yang dimaksud itu berarti pacar.

Di sisi lain, Mahiru sendiri juga tersenyum dan berkata, “Padahal tidak apa-apa kalau aku disebut milik Amane-kun, membuat suasana menjadi ceria, tetapi mungkin setengah dari itu ialah demi mengalihkan pembicaraan.

Mahiru, tolong jangan menggodaku.”

Hehe, padahal aku tidak menggodamu, kok. Maaf sudah membuatmu menunggu, kamu pasti sudah menunggu sedikit, kan?

Karena kamu kelihatan sedang bersenang-senang, aku jadi merasa tidak enakkan untuk mengganggu. Ayo, kita pulang.

Ya. Terima kasih semuanya."

Wah, rasanya panas sekali ya, hyuuh~hyuuh~.

Jika kamu menyemangati mereka, orang-orang akan menyebutmu sebagai pelawak.

“Enak saja kalau ngomong!

Teman sekelas yang menunjukkan semangat berbeda dari Chitose dan Ayaka, terlihat cemberut dengan bibir yang menyempit, tetapi ketika matanya bertemu dengan Mahiru, dia tersenyum lebar tanpa beban.

Selamat tinggal, sampai jumpa besok!

Ya, sampai jumpa besok!

Sampai jumpa besok!

Karena mereka masih bersekolah keesokan harinya, mereka tidak merasa enggan untuk pergi, jadi Amane dan Mahiru melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat tinggal dan yang lainnya membalas dengan melambaikan tangan saat mereka pergi.

 

 

Tentu saja,  Amane tidak bisa memulai pembicaraan dalam perjalanan pulang, karena dirinya tidak tahu siapa yang mungkin akan mendengarnua, jadi setelah tiba di rumah, Amane mengintip Mahiru yang duduk di sebelahnya.

Mahiru yang duduk dengan rapi dan melepas sepatu dengan hati-hati terlihat seperti biasanya.

Mahiru.

Aku akan memberitahumu lebih dulu, aku baik-baik saja, kok?

Hanya dengan memanggil namanya, dia sudah bisa menebak niat Amane dan menghentikannya terlebih dahulu, mungkin karena ekspresinya sangat terlihat atau kepekaan Mahiru yang sangat tinggi.

Mungkin keduanya, tetapi Mahiru yang tertawa melihat Amane yang terdiam, dia tampak sangat tenang dan mengangkat bahunya seolah tidak peduli dengan kekhawatiran Amane.

“Kamu itu terlalu khawatir, Amane-kun.... atau lebih tepatnya, jika kamu terlalu perhatian, itu malah membuatku kesulitan. Aku justru merasa khawatir tentang Amane-kun ketimbang diriku sendiri.

“Aku benar-benar minta maaf. Rasanya akan sia-sia jika aku sampai membuatmu khawatir padaku, Mahiru.

“Mouu, kamu memang orang yang begitu perhatian dan gampang cemas, ya.

Aku juga menyukai sisi itu darimu, imbuh Mahiru dengan nada nakal, dia kemudian berjalan ke arah kamar mandi dengan suara kecil dari sandal yang dia kenakan. Amane hanya tersenyum tipis dan mengikuti gerakan rambutnya yang berwarna cokelat.

“Emangnya aku terlihat seperti orang yang gampang menangis?

Setelah mencuci tangan dan berkumur dengan baik, Mahiru bertanya sambil menikmati teh yang dibuatnya di sofa. Amane tidak bisa menyangkal atau mengiyakan, jadi ia perlahan mengalihkan pandangannya dari Mahiru.

Kenapa kamu mengalihkan pandangan?”

“Yah, meskipun kamu memang bukan tipe yang gampang menangis, tapi kamu tipe orang terus-menerus memikirkan hal-hal negatif dalam hati, jadi wajar saja jika aku merasa khawatir.

Pada dasarnya, Mahiru tidak pernah menangis di depan orang lain. Mungkin karena merasa malu, tetapi tampaknya dia mempunyai keinginan kuat untuk tidak membuat orang lain khawatir dan tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya. Bahkan jika orang yang melihatnya adalah Amane, dia tidak mudah menunjukkan air mata.

Belakangan ini, dia tidak memiliki kesempatan atau alasan untuk menangis, tetapi tetap saja, ada kalanya dia merasa terluka. Sisi buruk Mahiru, atau hal yang membuat Amane merasa kesulitan, ialah dia bersikeras merahasiakan segala gejolak emosi negatif.

Jika dia memang tidak ingin mengatakannya, maka itu tidak masalah, tetapi jika dia merasa sakit dan memendam perasaan itu di dalam hatinya, Amane ingin dia berbagi. Meskipun itu mungkin hanya keegoisan Amane.

Aku tidak akan merasa depresi atau terpuruk hanya karena hal sepele seperti ini. Mereka tidak tahu situasinya, dan aku juga tidak berniat memberikan informasi lebih dari itu, jadi tidak apa-apa.

Begitu, ya.

Selain itu, rasanya tidak wajar jika tidak ada pembicaraan sama sekali. Lebih baik menyimpan informasi dan memberikannya secara bertahap agar lebih aman.

...Jika Mahiru bilang begitu, maka aku hanya bisa mengawasi saja.

Silakan lakukan itu.

Amane takkan mengangguk jika Mahiru benar-benar merasa terluka dan sedih, tapi saat ini, tampaknya Mahiru hanya merasa sedikit tidak nyaman, jadi Amane mengangguk.

“Pertama-tama, sebenarnya tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Amane-kun. Kamu tahu aku mirip dengan ayahku, kan? Mana mungkin aku merasa sedih dan ingin menangis hanya karena mengakui hal itu.

Yah, kamu memang kelihatan lebih mirip dengan ayahmu. Aku hanya melihat ibumu sekejap, jadi aku tidak bisa berkomentar banyak.

Amane pernah bertemu dan berbicara dengan Asahi, ayah Mahiru, meskipun hanya sekali, dan meskipun tidak bisa menilai hanya dari pertemuan itu, tampaknya Mahiru mirip dengan ayahnya. Wajahnya yang lembut dan suasana yang tenang membuat siapa pun dapat merasakan hubungan darah di antara mereka.

Lalu, bagaimana dengan ibunya? Sebenarnya, Amane hanya melihat sekilas dan bahkan belum pernah berbicara, tetapi bisa dipastikan bahwa suasananya sangat berbeda, lebih tepatnya tidak mirip sama sekali.

Ibuku memiliki wajah yang cukup galak. Untungnya aku mirip dengan ayahku, kalau mirip ibu, sepertinya aku akan membuat banyak musuh.

Ibumu memang cantik, tapi ya, dia terlihat seperti orang yang berkemauan kuat. Hanya dengan menatapnya orang-orang mungkin mengira dia sedang melotot.

Menjadi orang yang terlihat lembut di permukaan lebih menguntungkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal itu, aku berterima kasih kepada ayah. Aku mendapatkan banyak hal baik dari mereka.

“....Begitu, ya.

Aku mungkin sudah pernah bilang sebelumnya, tapi aku tidak membenci mereka atau semacamnya. Aku berterima kasih karena mereka melahirkanku, memastikan aku tidak kesulitan secara finansial, dan mempertemukan aku dengan Koyuki-san. Meskipun mereka mengabaikan pengasuhan, mereka tidak pernah melukaiku dengan kekerasan atau kata-kata kasar. Sebenarnya, aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk bertemu dengan mereka.

Dia yang dulu berkata sambil tersenyum sedih, Seharusnya mereka tidak usah melahirkanku jika merasa kesulitan, kini sudah tiada. Amane merasa senang bahwa dia telah melewati itu, tetapi melihatnya yang sedikit merendahkan diri karena kurangnya hubungan, membuatnya merasa campur aduk.

Apa ibuku jadi semakin membenciku karena aku mirip ayah?

Amane merasakan ketegangan di bibirnya saat mendengar kata-kata itu. Ah, pada akhirnya, aku telah membuatnya merasa sedih, pikirnya, Amane berusaha menelan kebodohannya dan rasa benci yang tidak beralasan terhadap orangtua Mahiru.

Namun, Amane berpikir dari apa yang dilihatnya saat itu, ibunya, Sayo, tampaknya tidak memiliki keinginan untuk menyakiti Mahiru.

Aku tidak tahu banyak tentang orangtuamu, Mahiru, tapi saat itu, aku tidak melihat kebencian sama sekali. Hanya saja, aku merasa kalau mereka tampaknya tidak ingin terlibat.

“Orang itu bahkan tidak ingin berurusan dengan ayahku, apalagi denganku. Dia pernah bilang tidak ingin terlibat dalam hal-hal yang tidak penting.

Jadi, tampaknya dia tidak tertarik pada Mahiru, ya?

Sepertinya begitu. Dia tidak berniat menjalankan perannya sebagai ibu, tetapi dia juga tidak berniat menyiksaku. Mungkin lebih baik seperti ini daripada dibenci dan disakiti secara fisik atau dijadikan boneka yang terlalu diintervensi.

Ketika Mahiru tertawa dan mengenang masa lalu, Amane merasakan kalau hatinya terasa sakit, tetapi orang yang sebenarnya merasa kesakitan adalah Mahiru sendiri. Amane tidak mungkin mengeluh, dan itu tidak diperbolehkan.

Yah, pada akhirnya, apa pun yang terjadi pada orang-orang itu, masa lalukulah yang membuatku menjadi diriku yang sekarang. Aku tidak akan menyangkalnya.

Ya.

“Karena aku sudah bahagia sekarang. Kurasa aku tidak akan bisa mendapatkan kebahagiaan yang kumiliki sekarang tanpa proses yang kulalui selama ini. Semua kesulitan dan penderitaan telah menjadi bagian dari diriku, dan sekarang aku berada di sini, bertemu dengan Amane-kun dan dicintai.

“Benar juga.... Jika ada satu hal yang salah, mungkin kita tidak akan berada di sini sekarang.”

Pertemuan Amane dengan Mahiru, kedekatan yang terjalin, dan perasaan suka yang muncul semua terjadi karena perjalanan yang telah dilalui sekarang. Meskipun jalan yang dilalui sangat sulit dan gelap, menyangkal fakta tersebut berarti menyangkal keberadaan Mahiru yang sekarang. Meskipun Amane merasa marah dengan lingkungan yang dialami Mahiru, ia tidak bisa menyangkalnya. Tanpa masa lalu, Amane tidak akan bertemu Mahiru dan tidak akan merasakan kebahagiaan seperti sekarang.

Jika Mahiru mengatakan bahwa dia merasa bahagia sekarang, lebih baik bagi Amane untuk berusaha mempertahankan kebahagiaan yang ada daripada mengutuk dan menyalahkan masa lalu. Masa lalu tidak bisa diubah, tetapi masa depan masih bisa diubah sebanyak yang diinginkan.

Benar, kan? Jadi, aku bisa menerima kenyataan bahwa aku tidak dicintai. Lagipula, tidak ada gunanya mengubah masa lalu.

Ya.”

“Meski demikian, apa mereka pantas disebut sebagai orang tua. Mereka tidak bertindak dengan cara yang bisa diakui secara objektif sebagai orang tua. Dalam pandanganku, aku tidak menempatkan mereka dalam kategori orang tua.

“Menurutku itu hakmu, Mahiru. Apa yang kamu pikirkan merupakan kebebasanmu sendiri, jadi tidak perlu merasa bersalah tentang itu.

...Aku senang mendengarnya.

Amane memahami perasaan Mahiru yang tidak bisa mengakui mereka sebagai orang tua, dan itu adalah hak Mahiru, jadi dirinya tidak ingin mengomentari hal itu. Secara pribadi, Amane merasa tindakan mereka sebagai orang tua tidak dapat diterima dan tidak seharusnya menginjak-nginjak kebahagiaan anak, tetapi ia merasa tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan keluarga orang lain, jadi dirinya menahan diri.

...Saudara, ya. Tidak ada saudara itu adalah keputusan yang tepat. Setidaknya, aku tidak mempercayai bahwa anak yang lahir dari mereka berdua akan mendapatkan kebahagiaan sebagai sebuah keluarga.

Setelah beberapa saat terdiam, Mahiru tampaknya teringat percakapan dengan teman-teman sekelasnya, lalu dia mengucapkan kata-kata yang keluar dengan lembut.

...Yang namanya keluarga itu sulit, ya. Aku tidak tahu mana jawaban yang benar.

Alih-alih menunjukkan kesedihan, gumaman itu tampaknya menunjukkan sedikit rasa lega, mungkin itu benar-benar keluar dengan alami.

Jadi, Amane pun tanpa ragu mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. 

“Kurasa memang tidak ada yang namanya jawaban yang benar.”

Eh?

Mungkin karena tidak mengharapkan jawaban, atau mungkin terkejut dengan respon tersebut, Mahiru mengangkat wajahnya dengan ekspresi bingung yang terlihat agak kekanak-kanakan. 

Atau lebih tepatnya, mungkin tidak ada satu jawaban yang benar.

Meskipun Amane menyadari bahwa dirinya sangat beruntung dalam lingkungan keluarga dan merasa dicintai, ia jarang mendefinisikan cara keluarganya sebagai 'jawaban yang benar'. 

“Menurutku ada kalanya di mana kita bisa tahu bahwa ini adalah jawaban yang benar setelahnya, tetapi jika kita menganggap ini sebagai jawaban yang benar dan berlari lurus ke arahnya, hal tersebut justru tidak akan menjadi jawaban yang benar. Setiap anggota keluarga adalah variabel dan rumusnya berbeda, jadi rasanya mustahil ada satu solusi ideal untuk keluarga. Kupikir ideal, kenyataan, dan jawabannya bisa berbeda-beda tergantung pada setiap keluarga. 

Memang benar bahwa mereka bahagia, tetapi menetapkan ini sebagai jawaban itu sendiri adalah hal yang sombong. Amane merasa tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hanya satu cara ini yang diperbolehkan dan semua yang lain salah. 

“Kita mencarinya dengan hati-hati dan akhirnya merasa bersyukur dengan keluarga ini, jadi aku tidak percaya ada cara yang pasti untuk menemukan kebahagiaan. Yah, tentu saja ada beberapa hal yang jelas-jelas salah. 

Amane meyakini jika menyiksa anak, menyakiti orang tua, atau mengorbankan seseorang adalah jawaban yang benar, maka keluarga itu salah. Dirinya tidak ingin mengakui itu dan tidak akan melakukannya. Meskipun ia tidak berniat memaksakan pendapatnya, Amane tidak akan pernah menyetujui hal itu dalam keluarga yang akan dibentuknya di masa depan

Mahiru, apa kamu mencari jawaban sempurna untuk orang lain? 

...Tidak, meskipun tidak sempurna, aku menginginkan sesuatu yang bisa membuatku merasa puas. Aku tidak perlu mendengarkan omongan orang lain.

“Iya, ‘kan?”

Saat Amane mengangguk dengan bangga, ia melihat pipi Mahiru yang sedikit tegang mulai melonggar. 

Jika kamu begitu khawatir, seharusnya kamu membicarakan hal itu dengan seseorang. Emangnya aku terlihat seperti orang yang mengabaikan diskusi?

...Tidak, kamu selalu mendengarkan dan selalu ada di sampingku, Amane-kun.

Ya, aku akan mendengarkan dan bersama-sama mencari solusi. Mari kita pilih opsi yang menurut kita terbaik setelah banyak berpikir. Jika kita gagal, saat itu kita akan mencari solusi bersama lagi.

Mungkin akan ada saat-saat di mana mereka membuat pilihan yang salah dan menyesalinya, mungkin juga ada hal-hal yang tidak bisa diperbaiki. Karena manusia hidup hanya sekali dan tidak bisa kembali. 

Namun, jika ada orang yang bersama-sama berjuang dan memilih di sampingnya, segala sesuatunya tidak akan terasa seburuk itu. Sekalipun memang itu yang terjadi, mereka ingin terus berusaha dan berdiskusi untuk meraih yang terbaik dari situasi tersebut. 

...Kalau begitu, aku bisa merasa tenang.

Serahkan padaku, aku akan berpikir keras.

“Mouu, jangan merendahkan dirimu seperti itu.

Sekarang, Mahiru akhirnya mulai tertawa dengan ceria, sehingga membuat Amane merasa lega dan membalas senyumannya. Mahiru mendekat seolah mengatakan bahwa semua kekhawatirnya sudah menghilang, dan Amane dengan senang hati menerima berat tubuhnya. 

……Eh?

Ya?

Sambil menggenggam telapak tangan Mahiru dan merasakan kehangatan serta kelembutannya, Mahiru tiba-tiba mengeluarkan suara yang penuh rasa penasaran. 

Apa ada yang salah? tanya Amane sambil menatap wajah Mahiru, tetapi Mahiru menatapnya sebentar sebelum dengan jelas mengalihkan pandangannya. Pipinya yang sedikit memerah mungkin disebabkan oleh tangan mereka yang masih bergandeng. 

……Tidak, sepertinya tidak usah deh. Tolong anggap ini hal yang sepele.

“Meski disuruh untuk menganggapnya hal yang sepele...”

“Tolong jangan terlalu banyak bertanya. 

Baiklah, baiklah. Jika kamu tidak mengatakannya, aku tidak akan bertanya.

“Hal itu juga kedengarannya agak aneh, jadi tolong tanyakan dengan baik." 

Ehhh? 

"Hehehe, aku hanya bercanda kok. …Kamu tidak perlu bertanya, dan aku juga tidak akan memberitahumu. Untuk saat ini.

Untuk saat ini?”

Semuanya tergantung pada Amane-kun di masa depan nanti. 

Mahiru mengangkat jari telunjuknya ke mulutnya sambil membuat ekspresi manis namun nakal, dan Amane sejenak dibuat terpesona. Ia kemudian mengarahkan tangan yang kosong ke rambutnya, mengacak-acak seolah mencoba mengurai pikirannya yang kusut. 

“Sepertinya aku memiliki tanggung jawab yang sangat besar di masa depan. 

“Benar sekali.

Melihat Mahiru memamerkan senyum paling ceria hari itu, Amane tidak bisa berkata apa-apa. Dirinya berpikir, yah, jika Mahiru bahagia, itu sudah cukup, dan membiarkan pipinya yang rileks merasakan kebebasan.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama