Chapter Ekstra — Hakikat Keluarga dan Jawabannya
Saat ditanya
siapa saja cewek di kelas yang dekat dengan Mahiru, ia akan menyebut Chitose
dan Ayaka, namun bukan berarti ia hanya bergaul dengan keduanya saja.
Mahiru pada dasarnya dapat berkomunikasi dengan
siapa saja tanpa masalah dan sering berbicara dengan gadis-gadis di kelas, dan
seringkali percakapan itu mengalir dengan baik.
Pada sore
hari setelah sekolah tanpa pekerjaan paruh waktu, Amane memiliki urusan di
ruang guru, jadi Mahiru diminta untuk menunggu di kelas. Namun, ketika Amane
kembali setelah menyelesaikan urusannya, dirinya
melihat Mahiru tampak asyik berbicara dengan teman-teman sekelasnya, sehingga
ia merasa ragu sejenak untuk masuk dan
mengganggu.
“Apa Shiina-san tidak punya saudara?”
Saat itu,
salah satu teman sekelasnya melontarkan pertanyaan itu. Mungkin mereka sedang
membahas tentang keluarga atau sesuatu yang serupa. Gadis yang menanyakan tentang saudara itu, seingat Amane, memiliki adik perempuan. Dari
jendela di lorong, Mahiru terlihat tidak terganggu dan hanya menunjukkan senyuman
lembut seperti biasanya.
“Gimana ya,
karena aku anak tunggal.”
“Eh,
enggak nyangka banget. Karena
Shiina-san sangat perhatian, kupikir
kamu pasti mempunyai adik atau kakak.”
“Kalau beneran
ada, aku yakin merekan akan kelihatan sangat
tampan dan cantik.”
Suara mereka terdengar ceria. Tidak ada sedikit
pun niat jahat, hanya ungkapan pikiran yang tulus. Sebenarnya, hanya Amane dan
mungkin Chitose yang tahu tentang lingkungan keluarga Mahiru dengan akurat.
Bahkan Itsuki tidak tahu secara detail karena Amane tidak memiliki hak atau
niat untuk mengungkapkan masalah sensitif tersebut kepada orang lain.
Jadi,
mereka tahu bahwa kata-kata itu benar-benar hanya suasana saat itu, tetapi bagi
Amane, mereka seolah-olah sedang menaburkan
garam pada luka Mahiru yang mungkin masih terbuka.
“Kira-kira Shiina-san
mirip siapa?”
“Yah kalau
ditanya begitu, menurutku aku
lebih mirip seperti ayahku.”
Senyum
Mahiru tetap sama. Dan dia juga tidak berbohong. Amane yang sudah bertemu
dengan ayahnya, Asahi, bisa memastikan bahwa Mahiru memang mirip dengan
ayahnya.
“Hee~,
kalau begitu ayahmu juga pasti tampan.”
“Eh,
aku jadi ingin melihat, ia pasti pria yang keren.”
“Jangan
sebut ayah orang lain dengan sebutan
'kakek'.”
“Maaf.”
“Tidak
apa-apa. Ayahku juga sudah cukup
berumur.”
Mahiru
tertawa sambil menutupi mulutnya, dan ketika pandangan
matanya bertemu dengan Amane
melalui jendela, Amane panik sejenak, tetapi Mahiru
memperkuat senyumnya, seolah-olah ingin mengatakan, “Kamu tidak
perlu khawatir.”
“Tapi
yah, jadi
kamu mirip dengan ayahmu, ya. Katanya, gadis-gadis itu
biasanya mirip ayah. Sayangnya, aku
juga mirip ayah.”
“Kamu
benar-benar sangat mirip dengan ayahmu, terakhir aku melihatnya, aku merasa kamu kelihatan seperti akan tumbuh menjadi orang seperti itu.”
“Eh,
enggak mau ah, jangan bilang berarti di masa depan aku akan...”
“Setiap
orang pada suatu saat nanti
akan mengucapkan selamat tinggal pada rambut sehatnya, jadi mendingan jangan terlalu dibahas.”
“Jika
ayahku mendengar kebaikanmu, ia pasti
akan menangis.”
“Karena
kebaikan yang berlebihan?”
“Tidak,
karena diperhatikan oleh seorang siswi SMA.”
“Kamu
sedang menaburkan garam pada luka.”
“Bukan
luka, tapi pori-pori?”
"Hentikan.”
Amane merasa sepertinya mereka sedang
terlibat dalam percakapan yang tidak berguna dengan cara yang berbeda, tetapi
ketika Mahiru melemparkan tatapan yang mengatakan bahwa dia sudah baik-baik
saja, Amane berpura-pura menabrak meja
dengan ringan untuk menghasilkan suara dan mendekati Mahiru.
Ekspresi
Mahiru yang mengangkat wajahnya tiba-tiba langsung cerah,
mungkin karena dia bisa keluar dari percakapan itu atau hanya karena Amane datang mendekat dan dia merasa senang.
“Amane-kun.”
“Maaf,
sudah membuatmu menunggu. Terima kasih telah
menemani Mahiru.”
Karena Amane merasa tidak enak membiarkan Mahiru menunggu sendirian, dirinya memberi sedikit anggukan dan
ucapan terima kasih kepada tiga orang yang sedang asyik berbincang dengan
Mahiru. Salah satu dari mereka terlihat panik dan melambaikan tangan.
“Ah, Fujimiya-kun, maafin ya karena sudah meminjamkan pacarmu!”
“Tidak,
tidak, dia bukan milikku.”
“Eh?”
“Bukan-bukan,
maksudku dia bukan barang milikku. Dia memang
pacarku, tapi aku tidak bermaksud menghalangi apa yang ingin dilakukan Mahiru.
Jadi jangan salah paham.”
Memang benar bahwa Mahiru adalah pacarnya Amane dan jika ia menyebut Mahiru sebagai miliknya, dia pasti senang, tetapi entah
kenapa, Amane merasa tidak nyaman menyebutnya
dengan cara itu di depan orang lain. Mahiru
adalah pacarnya yang
sangat berharga dan Amane ingin menganggapnya sebagai pasangan yang setara,
jadi ia tidak suka menyebutnya sebagai ‘milik’. Jika dirinya menulis ‘pacar’ dan memberi penjelasan, itu bisa
diterima. Sebenarnya, ketika seseorang
mengatakan ‘milik’, biasanya
yang dimaksud itu berarti pacar.
Di sisi
lain, Mahiru sendiri juga tersenyum dan berkata, “Padahal tidak
apa-apa kalau aku disebut
milik Amane-kun,” membuat
suasana menjadi ceria, tetapi mungkin setengah dari itu ialah demi mengalihkan
pembicaraan.
“Mahiru, tolong jangan menggodaku.”
“Hehe,
padahal aku tidak menggodamu, kok. Maaf sudah membuatmu
menunggu, kamu pasti sudah menunggu sedikit, ‘kan?”
“Karena
kamu kelihatan sedang bersenang-senang, aku jadi
merasa tidak enakkan untuk mengganggu. Ayo, kita pulang.”
“Ya.
Terima kasih semuanya."
“Wah,
rasanya panas sekali ya, hyuuh~hyuuh~.”
“Jika
kamu menyemangati mereka, orang-orang
akan menyebutmu sebagai pelawak.”
“Enak saja
kalau ngomong!”
Teman
sekelas yang menunjukkan semangat berbeda dari Chitose dan Ayaka, terlihat
cemberut dengan bibir yang menyempit, tetapi ketika matanya bertemu dengan
Mahiru, dia tersenyum lebar tanpa beban.
“Selamat
tinggal, sampai jumpa besok!”
“Ya,
sampai jumpa besok!”
“Sampai
jumpa besok!”
Karena
mereka masih bersekolah keesokan harinya,
mereka tidak merasa enggan untuk pergi, jadi Amane
dan Mahiru melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat
tinggal dan yang lainnya membalas dengan melambaikan tangan saat mereka pergi.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Tentu
saja, Amane
tidak bisa memulai pembicaraan dalam perjalanan pulang, karena dirinya tidak tahu siapa yang mungkin akan mendengarnua, jadi setelah tiba di rumah, Amane mengintip Mahiru yang duduk di
sebelahnya.
Mahiru
yang duduk dengan rapi dan melepas sepatu dengan hati-hati terlihat seperti
biasanya.
“Mahiru.”
“Aku
akan memberitahumu lebih dulu,
aku baik-baik saja, kok?”
Hanya
dengan memanggil namanya, dia sudah bisa menebak niat
Amane dan menghentikannya terlebih dahulu, mungkin
karena ekspresinya sangat
terlihat atau kepekaan
Mahiru yang sangat tinggi.
Mungkin
keduanya, tetapi Mahiru yang tertawa melihat Amane
yang terdiam, dia tampak
sangat tenang dan mengangkat bahunya seolah tidak peduli dengan kekhawatiran Amane.
“Kamu
itu terlalu khawatir, Amane-kun....
atau lebih tepatnya, jika kamu
terlalu perhatian, itu malah
membuatku kesulitan. Aku justru merasa khawatir tentang Amane-kun ketimbang diriku sendiri.”
“Aku
benar-benar minta maaf. Rasanya
akan sia-sia jika aku sampai membuatmu khawatir padaku, Mahiru.”
“Mouu,
kamu memang orang yang begitu perhatian
dan gampang cemas, ya.”
Aku juga menyukai sisi itu darimu, imbuh Mahiru dengan nada nakal, dia kemudian berjalan ke arah kamar
mandi dengan suara kecil dari sandal yang dia kenakan. Amane hanya tersenyum
tipis dan mengikuti gerakan rambutnya yang berwarna cokelat.
“Emangnya
aku terlihat seperti orang yang gampang
menangis?”
Setelah
mencuci tangan dan berkumur dengan baik, Mahiru bertanya sambil menikmati teh
yang dibuatnya di sofa.
Amane tidak bisa menyangkal atau mengiyakan, jadi ia perlahan mengalihkan
pandangannya dari Mahiru.
“Kenapa
kamu mengalihkan pandangan?”
“Yah,
meskipun kamu memang bukan tipe yang gampang
menangis, tapi kamu tipe orang
terus-menerus memikirkan hal-hal negatif dalam hati, jadi wajar saja jika aku merasa khawatir.”
Pada
dasarnya, Mahiru tidak pernah menangis di depan orang lain. Mungkin karena
merasa malu, tetapi tampaknya dia mempunyai
keinginan kuat untuk tidak membuat orang lain khawatir dan tidak
ingin menunjukkan sisi lemahnya.
Bahkan jika orang yang
melihatnya adalah Amane, dia tidak mudah
menunjukkan air mata.
Belakangan
ini, dia tidak memiliki kesempatan atau alasan untuk menangis, tetapi tetap
saja, ada kalanya dia merasa terluka. Sisi buruk Mahiru, atau hal yang membuat Amane
merasa kesulitan, ialah dia bersikeras
merahasiakan segala gejolak emosi negatif.
Jika dia memang tidak ingin mengatakannya, maka itu tidak masalah, tetapi jika
dia merasa sakit dan memendam
perasaan itu di dalam hatinya,
Amane ingin dia berbagi. Meskipun itu mungkin hanya
keegoisan Amane.
“Aku
tidak akan merasa depresi
atau terpuruk hanya karena hal sepele seperti ini. Mereka tidak tahu
situasinya, dan aku juga tidak berniat memberikan informasi lebih dari itu,
jadi tidak apa-apa.”
“Begitu,
ya.”
“Selain
itu, rasanya tidak wajar jika tidak
ada pembicaraan sama sekali. Lebih baik menyimpan informasi dan memberikannya
secara bertahap agar lebih aman.”
“...Jika
Mahiru bilang begitu, maka aku hanya bisa
mengawasi saja.”
“Silakan
lakukan itu.”
Amane takkan
mengangguk jika Mahiru benar-benar merasa terluka dan sedih,
tapi saat ini, tampaknya Mahiru hanya merasa sedikit tidak nyaman, jadi Amane
mengangguk.
“Pertama-tama, sebenarnya tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Amane-kun. Kamu tahu aku mirip
dengan ayahku, ‘kan? Mana mungkin aku merasa sedih dan
ingin menangis hanya karena mengakui hal itu.”
“Yah, kamu memang kelihatan lebih
mirip dengan ayahmu. Aku hanya melihat ibumu sekejap, jadi aku tidak bisa berkomentar
banyak.”
Amane
pernah bertemu dan berbicara dengan Asahi,
ayah Mahiru, meskipun hanya sekali, dan meskipun tidak bisa menilai hanya dari
pertemuan itu, tampaknya Mahiru mirip dengan ayahnya. Wajahnya yang lembut dan
suasana yang tenang membuat siapa pun dapat merasakan hubungan darah di antara
mereka.
Lalu,
bagaimana dengan ibunya? Sebenarnya, Amane hanya melihat sekilas dan bahkan
belum pernah berbicara, tetapi bisa dipastikan bahwa suasananya sangat berbeda,
lebih tepatnya tidak mirip sama sekali.
“Ibuku memiliki wajah yang cukup galak. Untungnya
aku mirip dengan
ayahku, kalau mirip ibu, sepertinya aku
akan membuat banyak musuh.”
“Ibumu memang cantik, tapi ya, dia
terlihat seperti orang yang berkemauan kuat.
Hanya dengan menatapnya orang-orang mungkin mengira dia sedang
melotot.”
“Menjadi
orang yang terlihat lembut di permukaan lebih menguntungkan dalam berinteraksi
dengan orang lain. Dalam hal itu, aku berterima kasih kepada ayah. Aku
mendapatkan banyak hal baik dari mereka.”
“....Begitu,
ya.”
“Aku
mungkin sudah pernah bilang sebelumnya, tapi aku tidak membenci mereka atau semacamnya. Aku
berterima kasih karena mereka melahirkanku, memastikan aku tidak kesulitan
secara finansial, dan mempertemukan aku dengan Koyuki-san. Meskipun mereka mengabaikan
pengasuhan, mereka tidak pernah melukaiku dengan kekerasan atau kata-kata
kasar. Sebenarnya, aku tidak memiliki banyak kesempatan untuk bertemu dengan
mereka.”
Dia yang
dulu berkata sambil tersenyum sedih,
“Seharusnya mereka tidak usah melahirkanku jika merasa kesulitan,” kini sudah tiada. Amane merasa
senang bahwa dia telah melewati itu, tetapi melihatnya yang sedikit merendahkan
diri karena kurangnya hubungan, membuatnya merasa campur aduk.
“Apa ibuku jadi semakin membenciku karena aku mirip ayah?”
Amane
merasakan ketegangan di bibirnya saat mendengar kata-kata itu. Ah, pada
akhirnya, aku telah membuatnya merasa sedih, pikirnya, Amane berusaha menelan kebodohannya dan
rasa benci yang tidak beralasan terhadap orangtua Mahiru.
Namun, Amane
berpikir dari apa yang dilihatnya saat itu, ibunya, Sayo, tampaknya tidak
memiliki keinginan untuk menyakiti Mahiru.
“Aku
tidak tahu banyak tentang
orangtuamu, Mahiru, tapi saat itu, aku tidak
melihat kebencian sama sekali.
Hanya saja, aku merasa kalau mereka
tampaknya tidak ingin terlibat.”
“Orang itu
bahkan tidak ingin berurusan dengan ayahku, apalagi denganku. Dia pernah bilang
tidak ingin terlibat dalam hal-hal yang tidak
penting.”
“Jadi,
tampaknya dia tidak tertarik pada Mahiru, ya?”
“Sepertinya
begitu. Dia tidak berniat menjalankan perannya sebagai ibu, tetapi dia juga tidak berniat menyiksaku.
Mungkin lebih baik seperti ini daripada dibenci dan disakiti secara fisik atau
dijadikan boneka yang terlalu diintervensi.”
Ketika
Mahiru tertawa dan mengenang masa lalu, Amane merasakan kalau hatinya terasa
sakit, tetapi orang yang
sebenarnya merasa kesakitan adalah Mahiru sendiri. Amane
tidak mungkin mengeluh, dan itu tidak diperbolehkan.
“Yah,
pada akhirnya, apa pun yang terjadi pada orang-orang itu, masa lalukulah yang
membuatku menjadi diriku yang sekarang. Aku tidak akan menyangkalnya.”
“Ya.”
“Karena aku
sudah bahagia sekarang. Kurasa aku tidak akan bisa
mendapatkan kebahagiaan yang kumiliki sekarang
tanpa proses yang kulalui selama ini.
Semua kesulitan dan penderitaan telah menjadi bagian dari diriku, dan sekarang aku
berada di sini, bertemu dengan Amane-kun dan dicintai.”
“Benar
juga.... Jika ada satu hal yang salah, mungkin kita tidak akan berada di sini sekarang.”
Pertemuan
Amane dengan Mahiru, kedekatan yang
terjalin, dan perasaan suka yang muncul semua terjadi karena perjalanan yang
telah dilalui sekarang. Meskipun jalan yang dilalui
sangat sulit dan gelap, menyangkal fakta tersebut berarti menyangkal keberadaan
Mahiru yang sekarang. Meskipun Amane merasa marah dengan lingkungan yang
dialami Mahiru, ia tidak bisa menyangkalnya. Tanpa masa lalu, Amane tidak akan
bertemu Mahiru dan tidak akan merasakan kebahagiaan seperti sekarang.
Jika
Mahiru mengatakan bahwa dia merasa bahagia
sekarang, lebih baik bagi Amane untuk berusaha mempertahankan kebahagiaan yang
ada daripada mengutuk dan menyalahkan masa
lalu. Masa lalu tidak bisa diubah, tetapi masa depan masih bisa diubah sebanyak
yang diinginkan.
“Benar,
kan? Jadi, aku bisa menerima kenyataan bahwa aku tidak dicintai. Lagipula,
tidak ada gunanya mengubah masa lalu.”
“Ya.”
“Meski
demikian, apa mereka pantas disebut
sebagai orang tua. Mereka tidak bertindak dengan cara
yang bisa diakui secara objektif sebagai orang tua. Dalam pandanganku, aku tidak
menempatkan mereka dalam kategori orang tua.”
“Menurutku
itu hakmu, Mahiru.
Apa yang kamu pikirkan merupakan kebebasanmu
sendiri, jadi tidak perlu merasa bersalah tentang itu.”
“...Aku
senang mendengarnya.”
Amane
memahami perasaan Mahiru yang tidak bisa mengakui mereka sebagai orang tua, dan
itu adalah hak Mahiru, jadi dirinya
tidak ingin mengomentari hal itu. Secara pribadi, Amane merasa tindakan mereka sebagai
orang tua tidak dapat diterima dan tidak seharusnya menginjak-nginjak kebahagiaan anak, tetapi ia
merasa tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan keluarga orang lain, jadi dirinya menahan diri.
“...Saudara,
ya. Tidak ada saudara itu adalah keputusan yang tepat. Setidaknya, aku tidak mempercayai bahwa anak
yang lahir dari mereka berdua akan mendapatkan kebahagiaan sebagai sebuah keluarga.”
Setelah
beberapa saat terdiam, Mahiru tampaknya teringat percakapan dengan teman-teman
sekelasnya, lalu dia mengucapkan kata-kata yang keluar dengan lembut.
“...Yang namanya keluarga itu sulit, ya. Aku
tidak tahu mana jawaban yang
benar.”
Alih-alih
menunjukkan kesedihan, gumaman itu tampaknya menunjukkan sedikit rasa lega,
mungkin itu benar-benar keluar dengan alami.
Jadi, Amane
pun tanpa ragu mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
“Kurasa memang
tidak ada yang namanya jawaban yang benar.”
“Eh?”
Mungkin
karena tidak mengharapkan jawaban, atau mungkin terkejut dengan respon
tersebut, Mahiru mengangkat wajahnya dengan ekspresi bingung yang terlihat agak
kekanak-kanakan.
“Atau
lebih tepatnya, mungkin tidak ada satu jawaban yang benar.”
Meskipun Amane
menyadari bahwa dirinya sangat
beruntung dalam lingkungan keluarga dan merasa dicintai, ia jarang
mendefinisikan cara keluarganya sebagai 'jawaban yang benar'.
“Menurutku ada
kalanya di mana kita bisa tahu bahwa ini
adalah jawaban yang benar setelahnya, tetapi jika kita menganggap ini sebagai
jawaban yang benar dan berlari lurus ke arahnya, hal
tersebut justru tidak akan menjadi jawaban yang benar.
Setiap anggota keluarga adalah variabel dan rumusnya berbeda, jadi rasanya mustahil ada satu solusi ideal
untuk keluarga. Kupikir
ideal, kenyataan, dan jawabannya bisa
berbeda-beda tergantung
pada setiap keluarga.”
Memang
benar bahwa mereka bahagia, tetapi menetapkan ini sebagai jawaban itu sendiri adalah
hal yang sombong. Amane merasa tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hanya
satu cara ini yang diperbolehkan dan semua yang lain salah.
“Kita
mencarinya dengan hati-hati dan akhirnya
merasa bersyukur dengan keluarga ini, jadi aku tidak percaya ada cara yang pasti untuk menemukan kebahagiaan.
Yah, tentu saja ada beberapa hal yang jelas-jelas salah.”
Amane
meyakini jika menyiksa anak, menyakiti orang tua, atau
mengorbankan seseorang adalah jawaban yang benar, maka keluarga itu salah. Dirinya tidak ingin mengakui itu dan
tidak akan melakukannya. Meskipun ia tidak
berniat memaksakan pendapatnya, Amane
tidak akan pernah menyetujui hal itu dalam keluarga yang akan dibentuknya di masa depan.
“Mahiru, apa kamu mencari jawaban sempurna untuk orang lain?”
“...Tidak,
meskipun tidak sempurna, aku menginginkan sesuatu
yang bisa membuatku merasa puas.
Aku tidak perlu mendengarkan omongan
orang lain.”
“Iya, ‘kan?”
Saat Amane
mengangguk dengan bangga, ia melihat pipi Mahiru yang sedikit tegang mulai melonggar.
“Jika
kamu begitu khawatir, seharusnya kamu membicarakan
hal itu dengan seseorang. Emangnya
aku terlihat seperti orang yang mengabaikan diskusi?”
“...Tidak,
kamu selalu mendengarkan dan selalu ada di sampingku, Amane-kun.”
“Ya,
aku akan mendengarkan dan bersama-sama mencari solusi. Mari kita pilih opsi
yang menurut kita terbaik setelah banyak berpikir. Jika kita gagal, saat itu
kita akan mencari solusi bersama lagi.”
Mungkin
akan ada saat-saat di mana mereka membuat pilihan
yang salah dan menyesalinya,
mungkin juga ada hal-hal yang tidak bisa diperbaiki. Karena manusia hidup hanya
sekali dan tidak bisa kembali.
Namun,
jika ada orang yang bersama-sama berjuang dan memilih di sampingnya, segala
sesuatunya tidak akan terasa
seburuk itu. Sekalipun memang itu yang
terjadi, mereka ingin terus berusaha dan berdiskusi untuk meraih yang terbaik
dari situasi tersebut.
“...Kalau
begitu, aku bisa merasa
tenang.”
“Serahkan
padaku, aku akan berpikir keras.”
“Mouu,
jangan merendahkan dirimu seperti itu.”
Sekarang,
Mahiru akhirnya mulai tertawa dengan ceria, sehingga membuat Amane
merasa lega dan membalas senyumannya. Mahiru mendekat seolah mengatakan bahwa
semua kekhawatirnya sudah menghilang,
dan Amane dengan senang hati menerima berat tubuhnya.
“……Eh?”
“Ya?”
Sambil
menggenggam telapak tangan Mahiru dan merasakan kehangatan serta kelembutannya,
Mahiru tiba-tiba mengeluarkan suara yang penuh rasa penasaran.
“Apa ada yang salah?” tanya Amane sambil menatap wajah
Mahiru, tetapi Mahiru menatapnya sebentar sebelum dengan jelas mengalihkan
pandangannya. Pipinya yang sedikit memerah mungkin disebabkan oleh tangan
mereka yang masih bergandeng.
“……Tidak,
sepertinya tidak usah deh.
Tolong anggap ini hal yang sepele.”
“Meski
disuruh untuk menganggapnya
hal yang sepele...”
“Tolong jangan
terlalu banyak bertanya.”
“Baiklah,
baiklah. Jika kamu tidak mengatakannya,
aku tidak akan bertanya.”
“Hal itu
juga kedengarannya agak aneh, jadi tolong tanyakan dengan
baik."
“Ehhh?”
"Hehehe,
aku hanya bercanda kok. …Kamu tidak perlu bertanya, dan
aku juga tidak akan memberitahumu.
Untuk saat ini.”
“Untuk
saat ini?”
“Semuanya tergantung pada Amane-kun di masa depan nanti.”
Mahiru
mengangkat jari telunjuknya ke mulutnya sambil membuat ekspresi manis namun
nakal, dan Amane sejenak dibuat terpesona.
Ia kemudian mengarahkan tangan
yang kosong ke rambutnya, mengacak-acak seolah mencoba mengurai pikirannya yang
kusut.
“Sepertinya
aku memiliki tanggung jawab yang
sangat besar di masa depan.”
“Benar sekali.”
Melihat
Mahiru memamerkan senyum paling ceria hari itu, Amane tidak bisa berkata apa-apa.
Dirinya berpikir, “yah, jika Mahiru bahagia, itu
sudah cukup”, dan
membiarkan pipinya yang rileks merasakan kebebasan.
