Chapter 1 — Aku Disuruh menjadi “Guardian” oleh Gadis Cantik Penyendiri yang Halu
“Aku
harus menyelamatkan dunia.”
“...Baiklah.
Maaf sudah menyita waktumu. Aku akan
singkat saja—tolong dengarkan
saja selagi kamu
menyelamatkan dunia, oke?”
Tentu
saja, ini hanyalah sanksi hukuman.
Jika
tidak, Kusunoki Masaomi takkan berdiri di depan mesin pembakaran tua yang tidak terpakai
di belakang gedung olahraga, dan dirinya
juga tidak akan menyia-nyiakan Jumat sorenya yang berharga dengan mendengarkan suara burung gagak di kejauhan. Dirinya tidak akan menyipitkan matanya
yang sudah pucat dan lelah dengan curiga atau menggerakkan jari-jarinya dengan
tidak sabar di lengannya yang disilangkan.
Hanya
dalam waktu dua minggu lagi, liburan musim panas akan tiba—musim ketika para anak SMA menikmati kebebasan mereka yang
singkat.
Jadi,
meskipun terik matahari sore itu terasa menyengat,
atau rambutnya yang berantakan belum sepenuhnya tertata rapi pada siang hari,
atau kemejanya berbau keringat remaja yang meresap ke dalam kain... atau bahkan
jika kebosanan yang berulang-ulang dari hari-hari ini membuatnya melamun sampai
hampir pingsan—itu masih sesuatu yang bisa ditoleransinya.
“Aku
sudah menyukaimu sejak lama. Tolong berpacaranlah
denganku. Aku mohon padamu.”
Sebuah
kalimat bodoh yang bisa diucapkan dengan sekali tarikan napas—namun, ia tidak
bisa memaafkan lelucon ini.
“...Ehh. Yah,
baiklah. Jika kamu sampai bersikeras seperti itu.”
Sinar
matahari, yang sekarang miring tajam di langit, memantulkan jepit rambut
berbentuk sayap yang dikenakannya saat dia memberikan persetujuannya.
Bahkan Orito Keiji, dalang dari seluruh
lelucon ini, tidak dapat meramalkan hal ini. Peluang kegagalan seharusnya lebih
tinggi daripada peluang hujan di musim hujan. Namun bencana itu menjadi lebih
buruk lagi—lelucon itu telah berputar jauh melampaui prediksi siapa pun.
(Tunggu—dia
mengangguk setuju?
Langsung menyetujuinya? Bukannya itu bagian di mana dia
seharusnya menolakku?)
Tidak
seorang pun peduli untuk mempertimbangkan perasaan Masaomi yang sebenarnya. Dirinya hanya bisa mengutuk ‘efek samping’-nya—bagaimana emosinya hampir
tidak pernah terlihat di wajahnya.
“Jika
kamu bertindak sejauh itu, maka kamu akan menjadi—Guardianku, peringkat ketiga di antara
Empat Kilatan Surgawi Windflower: Noble
Lark. Kamu seharusnya merasa terhormat,
oke?”
“...Y-Ya, tentu saja. Ak-Aku
sangat senang, woahh, menjadi
seorang guardian, luar biasa.”
Masaomi,
yang tidak memiliki keberanian untuk membalikkan keadaan atas pengakuannya
sendiri, sudah terlambat untuk mundur sekarang.
Jika kamu mengiris dadanya dengan pisau
bedah, jantungnya mungkin akan menggulung seperti bola dan berkata, “Gawat, gawat, gawat, apa yang
telah kulakukan benar-benar tidak bisa ditarik
ulang”, gemetar dan menyemburkan
darah saat wajahnya berubah pucat pasi. Kepucatan itu kini menyebar, terbawa
oleh aliran darahnya, membuat wajah aslinya menjadi biru.
Ini
salah. Tidak ada yang ‘normal’ sama
sekali tentang ini.
Ini
seharusnya menjadi sanksi hukuman
yang bodoh. Suara gagak itu sangat keras. Matanya yang lelah tidak bisa
bersembunyi dari semua itu. Cuaca yang panas, poninya menghalangi, dan keringatnya berbau tidak enak. Itu adalah musim panas semasa kelas dua SMA-nya.
Musim
panas ketika gadis paling aneh dan nyentrik
di sekolah, Sasuga Hibari, terus memancarkan ‘energi nyentrik' khasnya.
Di musim
panas yang absurd dan penuh dengan kehaluan inilah
Kusonoki Masaomi mendapatkan pacar pertamanya.
※※※※
Jika
berbicara tentang Orito Keiji, dirinya
termasuk orang yang bisa disebut tipe orang “garis keras”.
Dari
rambutnya yang diwarnai karena melanggar peraturan sekolah, hingga rambut
panjang dan suram yang melekat padanya di tengah teriknya musim panas,
anting-anting merah terang, highlight neon yang bersinar di bagian dalam—tidak
ada yang tampak “keras” dari penampilannya. Bahkan
Masaomi tidak yakin apa yang membuatnya mendapat julukan itu. Namun jika kamu bertanya pada Kasuka, itu karena
dia tidak mengejar gadis, hanya pernah membeli baguette dari toko, bersikeras
yakisoba harus yang renyah, dan lebih suka kerupuk beras daripada cokelat.
Dengan kata lain, inti dari leluconnya adalah: dia hanya menyukai hal-hal yang
keras.
Dan si
garis keras ini, yang mengenakan kemeja lengan panjang yang dengan keras kepala
tidak mau dilepas bahkan di musim panas, mengayunkan lengan panjangnya dengan gaya dan menyeringai saat
memanggil Masaomi tepat setelah makan siang dimulai.
“Masaomi,
aku punya cerita yang bikin ngakak.”
“Aku
lagi sibuk. Ceritakan saja nanti.”
Pada saat
itu, Kusonoki Masaomi sedang sibuk menghadapi bulu mata pemberontak yang telah
melancarkan pemberontakan besar-besaran. Air mata mengalir di matanya, ia
bersumpah akan membalas dendam sementara jari-jarinya kembali dengan tidak ada
apa-apa selain kotoran mata. Kekecewaan itu nyata.
Keiji mencolok
dalam segala hal, sementara Masaomi tidak memiliki ciri-ciri yang menonjol—dalam artian baik atau buruk. Namun,
mereka duduk bersebelahan pada hari pertama sekolah dan, setelah semua suka
duka yang dilalui,
akhirnya sering nongkrong bareng. Dulu ketika sekolah pertama kali dimulai,
Masaomi berada dalam kondisi yang aneh, diam-diam terbiasa dengan suasana yang
monoton. Keiji, meskipun berbeda kelas, pernah berada dalam situasi yang sama.
Mereka
tidak lagi sekelas sejak kelas dua,
tapi mereka masih sering mengobrol, seperti sekarang. Di suatu tempat, Kasuka
bergabung dengan mereka, dan sekarang mereka bertiga menghabiskan hari-hari
mereka dengan bersantai. Masaomi takkan meneriakkannya dari atap sekolah,
tetapi di balik semua kebosanannya, ia berpikir bahwa kehidupan sekolahnya cukup menyenangkan. Ia adalah anak SMA pada umumnya.
"Jika
bulu matamu tidak terlalu panjang, hal-hal seperti ini tidak akan terjadi
padamu. Sekarang, kamu harus memangkasnya—seperti potongan rambut cepak selama
lima menit. Penglihatan yang jernih, akhirnya
terbuka.”
“Kamu hanya membiarkan lebih banyak
sampah masuk, dasar bodoh—oh, sial. Apa-apaan, orang ini ternyata liar. Pantas
saja menusuk mata. Kehadirannya sama seperti bulu hidung yang tumbuh di titik
butamu. Lihat ini, Keiji.”
Keiji,
yang selalu beraliran keras, menepis bulu mata yang terlalu panjang itu dengan
presisi yang dingin.
“Si
idiot yang pergi membeli roti sekarang seharusnya membawa makanan untuk kita.
Tapi aku jamin anak itu palingan cuma membeli baguette dan bagel polos. Liburan
musim panas sudah dekat dan itu sudah sangat repetitif.”
“Yah,
ia memang idiot. Tidak ada alasan untuk mengganggu rutinitas. Sebenarnya,
kitalah yang menyuruhnya membeli barang itu, jadi jika dia kembali dengan
sesuatu yang berbeda, itu juga akan menjadi masalah.”
“Si
idiot” yang dimaksud mereka tentu saja Kasuka. Kasuka
yang bodoh, telah menerima aturan konyol Keiji— “orang
terpendek dalam kelompok harus pergi membeli makan siang saat istirahat dimulai”—begitu
saja. Apa yang awalnya merupakan lelucon bodoh menjadi rutinitas karena Kasuka,
yang menyeringai lebar, dengan bangga memamerkan ‘rampasan
perang’-nya
setiap hari dari kantin sekolah.
Selama dia bahagia, kedua orang lainnya tidak mengeluh. Mungkin dia adalah
anjing yang setia di kehidupan sebelumnya atau semacamnya.
Dalam
beberapa menit, Kasuka pasti akan kembali, sambil mengibaskan ekor yang tak
terlihat.
“Itulah
sebabnya kupikir aku akan membumbui semuanya. Ayo, bantu aku. Aku bosan.”
“Huh...
terserah. Jadi, apa yang kamu
rencanakan kali ini?”
Masaomi
menyerah untuk mencoba memahami rencana acak Keiji. Jika omong kosong ini menjadi bagian dari rutinitas harian
mereka, maka begitu pula jeda aneh antara akhir ujian akhir dan awal liburan
musim panas. Yang harus ia lakukan hanyalah mengangguk sesekali dan ia akan
memenuhi tugasnya sebagai seorang teman. “Mungkin
aku akan mampir ke arena permainan dalam perjalanan pulang hari ini...” Dirinya
membayangkan kenyataan yang tidak penting dari hasil ujiannya—tidak baik atau
buruk. Begitu membosankan hingga hampir terlihat, pikirnya, lalu
mempertanyakan apakah itu benar-benar baik. Tidak apa-apa. Harusnya begitu.
Selalu
seperti ini. Masaomi hidup di dunia yang samar-samar berwarna, di mana semuanya
terasa samar-samar tidak nyata. Seolah-olah fondasi kehidupan yang membosankan
ini bisa retak hanya dengan sedikit tekanan—
Pada saat-saat
seperti itu, ketika kegelisahan yang tak dapat dijelaskan merayapi dirina terus terjadi. Meskipun
ia sangat berharap tidak ada yang berubah, masih ada bagian dari dirinya yang
ingin menghancurkan semuanya. Seolah-olah ada sesuatu
yang membawanya menjauh dan menariknya dengan godaan
diam-diam.
Dan saat
itulah kekacauan Keiji menyelinap ke dalam pikirannya yang melayang.
“Menembak
gadis.”
“Huh...
terserah. Jadi, apa yang kamu
rencanakan kali ini?”
“Aku
akan memanggil si target. Kamu muncul. Kamu menyatakan perasaanmu.
Sederhana. Jika berjalan dengan baik, kamu
akan menghabiskan seluruh musim panas dengan pacar yang cantik. Jika gagal, aku
akan tertawa terbahak-bahak. Tidak ada yang kalah. Itu adalah strategi saling menguntungkan yang
sempurna untuk kekacauan yang tidak berbahaya.”
“Huh...
terserah. Jadi, apa yang kamu
rencanakan kali ini?”
“Kupikir
aku akan memanggil Sasuga
dari Kelas 3. Kamu
melindunginya tempo hari ketika Takei menyerangnya, ‘kan? Dia bukan pilihan yang
buruk, ya? Haha! Entah kamu dicaci
maki atau berhasil dan mendapatkan wanita cantik—bagaimanapun juga, pemandangan itu pasti sangat
menghibur. Aku sudah menyiapkan persiapannya.
Sepulang sekolah, di belakang gedung olahraga. Pengakuan
perasaan adalah tradisi yang sudah lama ada. Menambah
sedikit gaya puitis, kan?”
“Huh...
terserah... tunggu, apa?”
Dengan
suara terbelalak, Masaomi kehilangan posturnya
dan menjerit bingung. Teman-teman sekelasnya, yang sedang makan siang dengan
damai, menoleh ke arah suara kagetnya.
Ah,
tidak, bukan apa-apa,
sungguh, maaf mengganggu, dirinya memberi isyarat samar-samar
sambil tertawa tegang sebelum menatap tajam ke arah si tukang iseng yang suka jahil.
“Jangan
tunjukkan wajah serius seperti itu padaku. Kamu tahu
sendiri bagaimana sifatku.”
Keiji
memasang ekspresi aneh, seperti orang yang mencampur ketegasan, seringai,
sarkasme, dan seringai puas diri dalam blender. Orang ini sama sekali bukan
'garis keras', pikir Masaomi sambil
menampar Kasuka dalam hati. Kasuka khayalannya menanggapi dengan hidung
berdarah dan seringai bodoh yang lebar. Jangan ‘yay’ begitu—lawanlah sedikit bego!
Masaomi
tidak mempermasalahkan permainan pengakuan cinta itu
sendiri. Oke, sebagian besar memang begitu. Tapi sebenarnya, yang penting
adalah bagian kedua dari rencana bodoh Keiji—bagian yang tidak bisa diabaikannya bahkan dengan otaknya dalam ‘mode sopan’. Karena nama itu...
“Kamu benar-benar memilih orang yang
tidak boleh kamu ajak
main-main untuk bercanda... Tidak, ini bahkan bukan tentang dirinya saja. Apa otakmu sudah berjamur karena musim hujan atau
semacamnya? Apa sih yang kamu pikirkan?”
“Banyak yang
bilang dia punya nama seperti penyanyi enka dan dia adalah 'gadis Jepang
yang tidak bisa bahasa Jepang' atau 'Nona Nyentrik.' Tapi
hei, dia ‘kan cantik.
Nilainya bagus. Konon katanya dia keluarga kaya. Misalnya
saja, karena efek terowongan kuantum, kamu akhirnya
berkencan dengannya, bahkan kamu, Tuan 'Pekerja Biasa yang Membosankan,'
akan naik kasta dua
tingkat. Dramanya sudah tergambar jelas, ‘kan?”
“Kamu
benar-benar berbicara seolah ingin aku mampus saja.
Aku tidak tahu banyak tentang terowongan kuantum, tapi kamu bilang peluang
keberhasilannya pada dasarnya nol, ‘kan?”
“Tentu
saja. Kalau kamu berhasil,
aku harus melihatmu dengan pacar yang seksi dan menikmati
kejayaan. Di mana letak
kesenangannya? Yang ada malah jadi
siksaan. Aku akan terlalu tertekan untuk bertahan hidup di liburan musim panas.”
Dasar
bajingan yang sangat egois.
“Jika
kamu benar-benar berpikir aku akan
menyetujuinya, kamu lebih
bodoh dari Kasuka. Pergi minta maaf dan katakan padanya bahwa 'undangan' itu
salah.”
“Bahkan
si idiot yang asli terkadang melakukan keajaiban. Jadi, mari kita bertaruh.
Jika—hanya untuk hari ini—Kasuka tidak kembali dengan bagel polos, maka
Kusonoki Masaomi harus menembak Sasuga.
Ayo, bertaruhlah demi melindungi rutinitas harianmu yang berharga, oh wahai Pelindung Kenormalan.”
“Mana maulah.
Tidak ada untungnya bagiku—tidak ada taruhan di sini.”
“Cukup
adil. Kalau si idiot itu tetap pada kebiasaannya, aku akan mengakuinya. Aku
akan mendapatkan gadis kaya dan pergi begitu saja.”
Masaomi
menghitung dengan tenang. Dirinya
tidak bisa dibandingkan dengan Keiji, yang tampak seperti anak punk jalanan tetapi ternyata rajin dan
berprestasi. Tapi tetap saja—ia cukup pandai matematika. Dirinya begitu hebat, bahkan saat masih
di sekolah SMP, dia
benar-benar percaya bahwa teorema sudut tertulis ditemukan oleh seorang pria
Tiongkok bernama Sun Tzu.
Kasuka
telah bertugas membeli roti selama sekitar setengah tahun sekarang, dan selama
waktu itu, hanya ada beberapa kali dia tidak kembali dengan baguette dan bagel
polos. Itu hanya terjadi ketika toko tutup dan dirinya
harus pergi ke minimarket,
atau ketika ada promosi yang menarik minat orang-orang yang membeli bento
dengan barang-barang baru.
Hari ini,
toko buka. Tidak ada promosi yang terlihat.
Itu
berarti ini adalah pertempuran yang dapat dimenangkan. Bahkan Sun Tzu sendiri akan berkata, “Bertarunglah dalam pertempuran
yang dapat kamu menangkan. Tidak ada gunanya bertarung dalam pertempuran yang
akan membuatmu kalah”. (Apa
dia benar-benar akan mengatakan "aru" di akhir tidak jelas, tetapi intinya bukan begitu.)
Lebih
dari apa pun, Masaomi sangat ingin menyaksikan momen Keiji—sang garis keras
yang terkenal—ditolak dan dihancurkan sepenuhnya. Berhasil? Tidak mungkin.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada rumor bahwa Sasuga Hibari dari Kelas 3
bahkan tidak mengerti bahasa Jepang.
Kemenangan
sudah di depan mata. Dan kemudian datanglah pukulan terakhir:
“Menyatakan cinta dan semacamnya—bukankah itu terdengar seperti
musim panas SMA yang klise dan sempurna?”
Itulah komentar yang jelas-jelas dimaksudkan untuk memukulnya di
bagian yang menyakitkan, dan Masaomi tahu itu. Namun, dia tidak bisa menahan
diri untuk tidak tertarik dengan kata-kata itu.
Ada
sesuatu tentang kata ‘normal’ yang
membuatnya tertarik setiap saat.
“...Baiklah.
Aku akan meladenimu. Kehidupan sehari-hari
yang membosankan ini tidak akan mudah terguncang.”
Tepat
sekali. Ia tidak bisa membiarkannya
terguncang.
Karena
jika itu terjadi, ia mungkin akan menemukan dirinya kembali dalam pola pikir
aneh dan tidak pada tempatnya saat pertama kali masuk sekolah.
“Kukuku...
ya, kupikir begitu. Tapi—”
Pintu
kelas tiba-tiba terbuka. Kasuka masuk sambil mengayunkan dua potong roti di tangannya. Si idiot yang selalu tersenyum
riang itu tampak sedikit menyesal hari ini.
Itu
membuat Masaomi merasakan firasat
tidak enak—seperti adegan setelah pertarungan bos di mana penjahat itu
tiba-tiba mulai mengoceh tentang ‘wujud
asli’ mereka
entah dari mana.
“Kamu tahu sama
sepertiku—kadang-kadang, bahkan hari-hari yang paling normal pun bisa
terguncang.”
“Maaf,
kupikir tidak akan terjual habis. Ini, aku belikan bagel gula merah sebagai
gantinya.”
Yang
disodorkan Kasuka jelas-helas
bukan roti bagel biasa. Itu bagel cokelat
tua yang hanya tampak lebih gelap di antara rambut putihnya. Cukup tambahkan
ham, keju, dan selada dan rasanya mungkin akan sangat lezat.
Masaomi
menatap benda di tangannya, dan Kasuka—yang mengira dia akan dimarahi—menciut,
tubuhnya yang kecil semakin mengecil. Cambangnya yang panjang terkulai seperti
ekor anak anjing yang dimarahi. Dia mengutak-atik ujung roknya dan mendongak
dengan mata besar dan bulat yang berkata, Apakah ini tidak bagus? Sejujurnya,
itu sangat cocok untuknya, dan demi hati nurani Masaomi yang lemah, dirinya berharap Kasuka berhenti.
“...Tidak,
jangan khawatir tentang itu. Bukannya aku membenci jenis ini. Dan itu dijual—”
Terjual
habis, ya.
Menelan
sisa kata-katanya, Masaomi menyerahkan beberapa koin dan berbalik untuk melirik
Keiji.
Keiji,
masih menyeringai lebar.
Ekspresinya
itu memberitahunya segalanya.
“Kamu sengaja
merencanakannya, bukan?”
“Komplotanku
memang beda. Kamu
cepat mengerti.” Dari
bawah mejanya, Keiji meraih tasnya dan membaliknya.
Buk. Buk.
Buk. Satu bagel polos, lalu dua, lalu tiga—lalu lebih
banyak lagi yang tumpah. Si ibu kantin pasti bertanya-tanya apa yang sedang
terjadi ketika seorang punk dengan rambut dicat dan kuncir membeli barang yang tidak
populer dalam jumlah besar di pagi hari.
“Dasar bocah
kaya. Membuang-buang uang seperti tidak ada apa-apanya.
Kamu benar-benar ingin membuatku
menjadi badut sebegitu ngototnya?”
“Hah!
Aku akan menggunakan cara apa pun yang kumiliki jika itu bisa membuatku
mendapatkan apa yang kuinginkan. Dan hei, jika kamu
akan menjadi badut sirkus, sudah sepantasnya penonton membayar pertunjukan itu.
Itu pengetahuan umum.”
“Apa
yang terjadi? Kenapa suasananya aneh?”
Kasuka
menatap mereka, jelas-jelas kebingungan. Keiji mengacungkan jempol padanya.
Kasuka, sebagai Kasuka, tidak mengerti apa yang
terjadi tapi dirinya
tetap meniru gerakan itu, tersenyum seolah semuanya baik-baik saja sekarang.
“Baiklah,
tunjukkan pada kami pertunjukkan yang
menakjubkan, Badut-kun. Kamu
harus memutus rantai kebosanan ini sebelum liburan musim panas dimulai. Ayo,
makanlah. Bagel polos itu traktiran dariku.”
Ketika
mereka bertiga bermain-main seperti ini, Masaomi mengira kehidupan sekolah
baik-baik saja dengan caranya sendiri yang bodoh.
“...Terserahlah.
Itu hanya pertunjukan satu kali sebelum aku ditolak
mentah-mentah.”
Dan
begitu saja, hari ini menjadi terlalu kacau untuk mampir ke arena permainan.
※※※※
Sebenarnya,
seluruh situasi ini bermula dari kejenakaan tak bermutu dari sekelompok pria.
Terlepas dari kondisi mental Kusonoki Masaomi, mengaku kepada seorang gadis
yang sebenarnya tidak kamu sukai
hanya dapat digambarkan sebagai tindakan yang tidak bermoral dan kurang ajar. Namun, ketika rencananya dilaksanakan, entah bagaimana dirinya berhasil. Dan bagi seorang siswa
SMA kelas dua, jurang pemisah semacam itu hampir mustahil untuk diatasi. Tentu,
itu adalah keadilan puitis, dan diriny
pantas untuk dikritik dan ditertawakan dari belakang.
“...Hei,
boleh aku bertanya sesuatu?”
"Apa?
Kita sekarang resmi menjadi pasangan, jadi kamu tidak
perlu segan atau ragu-ragu.”
“Kenapa
kamu menerima pengakuanku?
Maksudku... kita bahkan hampir tidak saling kenal.”
“Apa
ada aturan atau hukum yang mengatakan kamu tidak boleh berpacaran dengan seseorang yang tidak kamu
kenal baik?”
“Yah,
tidak, kurasa tidak ada sih...”
“Lagipula,
kamu sendiri yang mengajakku berpacaran. Bukankah seharusnya aku yang
menanyakan itu?”
—Karena
itu adalah sanksi
hukuman. (Senyum datar ☆)
Mana mungkin
Masaomi tega
mengatakan itu. Bahkan badut setengah-setengah tidak bisa merias wajahnya
dengan baik di depan penonton. Lagipula, dirinya
sudah memakan tiga bagel polos itu.
“Uh,
yah, kamu tahu... sekarang sedang musim
panas, ‘kan? Rasanya seperti musim di
mana kamu ingin punya pacar yang imut untuk diajak jalan-jalan.”
“Begitu.
Karena sekarang musim panas. Hal-hal seperti itu menyenangkan saat kamu sedang
dalam masa pubertas.”
Maka,
dengan tirai yang menutupi sedikit takdir mereka sepulang sekolah, mereka
berdua berjalan pulang bersama seperti pasangan biasa.
Yah,
bukan ‘seperti’ lagi—mereka sekarang sudah resmi berpacaran. Namun
bagi Masaomi, itu masih terasa seperti lapisan cat baru di atas kebohongan yang
belum kering. Isi kepalanya
berantakan, seperti lukisan cat minyak yang kotor. Gagasan untuk menikmati
hubungan yang manis dan penuh cinta terasa sangat jauh dari jangkauannya.
Tidak—ini lebih terasa seperti duel pedang yang menegangkan, pertukaran tatapan
antara petarung berpengalaman. Setiap langkah adalah ujian jarak, waktu, dan
apa dirinya akan menyerang atau dipukul.
Tidak ada yang ‘normal’ tentang ini.
Karena pasangan yang berada di sampingnya
adalah Sasuga Hibari.
Masaomi
melirik ke samping—diam-diam—pada gadis yang berjalan di sebelahnya.
Wajahnya
yang anggun bersinar di bawah matahari terbenam. Semakin lama Masaomi melihatnya, semakin cantik penampilannya.
Masaomi tidak tahu banyak tentang tata rias, tetapi jika dia memakainya, itu
tampak seperti pemborosan—seolah-olah dia sudah lengkap tanpanya. Tinggi
badannya hampir sama dengan Masaomi, meskipun ia sedikit di atas rata-rata
untuk seorang pria. Anggota tubuhnya panjang dan ramping, kulitnya pucat, dan
yang terpenting, postur tubuhnya sempurna. Gadis itu,
singkatnya, merupakan
kecantikan yang sesuai dengan buku teks.
“Kamu
terlalu sering melihatku. Bukannya itu agak kasar? Atau ada yang
salah dengan wajahku?"
“Tidak,
menurutku kamu sangat cantik.”
Hibari
berkedip terkejut. Apa itu benar-benar sesuatu yang mengejutkan? Karena dia memang cantik, pikir Masaomi.
“...Kurasa
aku belum pernah mendengar orang mengatakan itu di hadapanku langsung sebelumnya.”
“Oh...
maaf.”
“Tidak
apa-apa. Bukannya aku tidak senang mendengarnya. Aku ‘kan pacarmu?”
Jadi dia
sudah tahu sejak awal. Itu masuk akal. Jika dia mengatakan sesuatu seperti “Aku tidak percaya diri dengan
penampilanku”, dia
mungkin akan diburu oleh semua gadis di sekolah saat matahari terbenam.
Itulah
akhir dari percakapan. Mereka kebetulan berjalan ke arah yang sama, sampai ke
stasiun—dan itu juga jalan yang lumayan. Sebuah takdir yang kejam. Mengapa
berjalan pulang di samping seorang gadis harus terasa menegangkan seperti
berjalan melewati wilayah musuh dalam keheningan total? Bahkan si ahli strategi Sun Tzu tidak
dapat menjelaskan ketidakadilan ini.
Bahkan Si Cowok Muka Datar—Masaomi
sendiri—tentu saja, berada pada usia di mana dirinya ingin bermesraan dan tertawa haha hihi
dengan pacar pertamanya yang telah lama ditunggu-tunggu. Dan perlu dikatakan
lagi: saling tertawa dan bermesraan itu penting. Tujuan akhir bagi
setiap pasangan bukanlah untuk berjalan pulang dalam keheningan total.
Ini
membuatku jengkel... Masaomi menatap langit dalam
hati dengan jengkel. Dirinya
seharusnya menjadi badut. Tapi sekarang, ia bukan badut—melainkan seorang pacar.
Dan bukan dengan sekedar gadis mana pun melainkan dengan Sasuga
Hibari, gadis yang terkenal karena tidak mengerti sepatah kata pun yang dikatakan. Itulah situasinya, dan
tidak dapat disangkal. Namun—
...Dia
berbicara bahasa Jepang dengan baik.
Jangan
salahkan Masaomi karena mengatakan hal yang sudah jelas.
Sasuga
Hibari telah menjadi bahan pembicaraan di sekolah sejak dia mendaftar tahun
lalu—kecantikan yang tak terbantahkan. Namun pada saat yang sama, dia juga
terkenal sebagai gadis yang sama sekali tidak bisa
dibayangkan untuk dijadikan pacar.
Karena
reputasinya juga diiringi rumor
yang terus-menerus beredar:
Perilakunya sangat eksentrik dan penuh kehaluan
sehingga bahkan pria yang paling gigih pun langsung menyerah. Ada beberapa orang yang mengatakan kalau dia anggota sekte sesat, yang lain mempertanyakan kewarasannya. Ceritanya cukup beragam, tetapi semuanya
kembali ke pokok bahasan yang sama: “Tidak
peduli seberapa cantiknya dia, jika kamu bahkan tidak bisa mengobrol
dengannya, itu sama saja
seperti berpacaran
dengan manekin”.
Dia sering diperlakukan sebagai seseorang dengan keterampilan komunikasi yang
buruk.
Bahkan
jika kamu adalah dokter ternama, kamu pasti tidak akan membantu menyembuhkannya jika tidak bisa berbicara
dengan pasien. Masaomi harus mengakui—kebanyakan anak laki-laki SMA tidak
memiliki ketabahan mental untuk menghadapi gadis seperti itu.
Dalam
kasusnya, Masaomi tidak
bergabung dalam klub atau komite mana pun, jadi dirinya tidak berinteraksi sama sekali
dengan siswa dari kelas lain. Itu berarti satu-satunya hal yang ia ketahui
tentang Hibari hanyalah berdasarkan rumor yang beredar.
Jadi
fakta bahwa Masaomi berhasil
mengubah ‘si cantik
yang tidak bisa dipacari’ itu menjadi pacarnya—dirinya telah mempersiapkan diri untuk menghadapi semacam percakapan yang tidak
masuk akal, atau mungkin gelombang otak yang akan membakar neuronnya.
“...Kamu
benar-benar normal.”
“Apa
kamu mengatakan sesuatu?”
Tampaknya,
dia telah berbicara keras. Mengumpat dirinya sendiri atas kesalahannya tidak
ada gunanya sekarang. Tapi mungkin ini kesempatan. Kabarnya dia dikucilkan karena reputasinya yang aneh,
dan tidak banyak orang yang tahu siapa dia sebenarnya.
Masaomi
tidak pernah menyangkal kalau dia penasaran. Ia menembak Hibari dengan harapan akan ditolak, jadi kalaupun
sekarang keadaan memburuk dan mereka putus, hasilnya imbang—tidak ada yang
dirugikan. Dan kalau dia marah? Dirinya
tidak akan kehilangan apa-apa.
Itu
logika yang dipegang Masaomi
saat memutuskan untuk menyerang. Pada
dasarnya itu adalah strategi
tanpa pertahanan.
“Maksudku,
ya, kamu cantik, tapi... kamu jauh lebih normal dari yang kuduga.”
“...Jadi
kamu juga menyebutku orang aneh, ya?
Padahal kamu tahu semua itu dan tetap menembakku?”
“Mungkin
sebaliknya. Aku terus mendengar semua rumor aneh tentang dirimu, jadi sekarang setelah kamu benar-benar normal, aku
hanya... bingung. Sejujurnya, kupikir kamu
akan menyeretku dengan segala macam perilaku gila. Maksudku, kamu bahkan memanggilku 'Guardian'-mu
tadi. Kupikir semua yang kamu
lakukan akan seperti itu.”
“Kamu terlalu blak-blakan sekali, ya. Tidak banyak orang yang bisa
mengatakan sesuatu seperti itu dengan sangat serius, tepat di hadapanku langsung.”
Nada
suaranya sedikit jengkel. Tapi dia tidak tampak marah—bahkan, hampir terdengar
seperti dia terkesan. Saatnya untuk menutup jarak sedikit. Jika ini adalah duel
antara pendekar pedang, dia akan langsung masuk ke zona serang.
“Jadi kamu menyadari apa yang dikatakan orang-orang di sekolah tentang dirimu?”
“Tentu
saja,” jawab Hibari tanpa sedikit pun
perubahan dalam ekspresinya, mengangguk kecil.
“Aku
juga sudah mendengar rumor-rumor itu. Tapi sejujurnya, aku agak menghargainya.
Jika orang-orang menganggapku sebagai orang eksentrik terbaik di sekolah atau
semacamnya, itu membuat mereka tidak menggangguku. Itu cara yang cukup bagus
untuk menyaring kebisingan.”
“Oh.
Jadi rumor-rumor itu benar-benar hanya rumor—”
“—Tapi
sebenarnya aku memang gadis yang eksentrik.”
Dia
bahkan tidak mengatakannya dengan lantang, tapi isi pikiran
Masaomi berubah saat menanggapi balasan yang tiba-tiba itu.
Mata
mereka bertemu saat Hibari menyentuh jepitan berbentuk sayap di rambutnya. Dan
saat itu, Masaomi melihatnya—mata
yang jernih dan tidak berkabut itu.
“Sebagian
besar rumor itu memang benar adanya. Jadi itu bukan fitnah tak berdasar atau sejenisnya—itu
hanya penilaian yang akurat. Tidak ada alasan untuk mengeluh tentang itu... bukannya kamu juga setuju,
Guardian?”
Sensasi
merinding mulai menjalar di tulang punggungnya.
Ekspresi
wajah Hibari saat memanggilnya ‘Guardian’ terlalu
sempurna—begitu sempurnanya hingga tampak dibuat-buat. Kecantikan yang
berlebihan itu hanya memperkuat sensasi
ngeri yang aneh dan tak wajar. Namun, begitu pandangan mata mereka bertemu, Masaoimi tidak bisa berpaling. Bagaikan duri mawar yang indah, racun
serangga yang indah, daya tarik wanita cantik namun berbahaya. Mungkin itu
hanya dorongan primitif—sensasi menatap sesuatu yang menakutkan.
Masaomi
berhenti di tengah trotoar. Dunia di sekitarnya memudar menjadi warna sepia, hanya menyisakan dirinya
dan Sasuga Hibari yang berwarna. Mobil-mobil yang lewat, burung-burung yang
terbang tinggi di atas kepala, percakapan yang jauh, bahkan angin
sepoi-sepoi—tak satu pun dari itu yang dapat mengganggu momen mereka. Entah
kakinya membeku tanpa sadar, atau nalurinya lumpuh karena perasaan takut—atau mungkin, dirinya hanya terpikat.
Hibari
berhenti beberapa langkah di depan. Jarak yang samar di antara mereka tercermin
dalam jurang emosional yang masih belum tertutup.
“Aku
akan memberitahumu—frekuensiku, delusiku. Jika kamu
masih menginginkanku setelah itu, kita bisa menjadi kekasih sungguhan. Dan jika
tidak, itu juga tidak masalah. Hubungan dengan masa tenang—cukup ramah
konsumen, bukan? Jika menara Jenga akan runtuh, lebih efisien untuk tidak
menumpuknya sejak awal.”
Hibari
tersenyum dengan sikap angkuh yang menunjukkan bahwa dirinya sudah tahu bagaimana itu akan
berakhir.
Itu sama sekali tidak lucu. Masaomi merasa tergoda untuk mengakui
bahwa itu semua hanyalah
pengakuan palsu—berulang-ulang. Sebenarnya, mungkin Hibari sudah mengetahuinya. Dengan wajah seperti
itu... Masaomi mana mungkin
bisa menebak apa aturan atau adat istiadat dunia orang-orang cantik, tetapi
pasti ada banyak pria yang memperlakukan pengakuan padanya seperti lelucon,
seperti uji coba ‘semisalnya saja’.
Jika dia menganggap semua itu serius, dia akan kelelahan. Jadi mungkin dia
condong ke pembicaraan fantasi sejak awal, jadi mereka akan menyatakannya
terlalu aneh dan menyerah sendiri.
Tersesat
dalam rangkaian pikiran itu, sesuatu akhirnya muncul.
Seperti penyumbatan di dadanya yang tiba-tiba hilang dengan bunyi dentuman.
Hibari
menyebut dirinya “eksentrik”—istilah
yang digunakan untuk mereka yang memiliki pikiran aneh, ide aneh, dan pandangan
dunia yang begitu nyeleneh
sehingga terkadang menyimpang ke hal yang tidak masuk akal. Orang-orang seperti
itu memiliki alam semesta batin mereka sendiri, yang sama sekali asing bagi
kebanyakan orang. Kebanyakan takkan mampu mengatasinya, dan secara naluriah
menutup telinga mereka. Ini di luar jangkauanku, pikir mereka. Ini
terlalu berat untuk aku tangani.
Mungkin,
mungkin saja, semua rumor tentang Sasuga Hibari merupakan
bagian dari konsep yang
disengaja. Dengan memperlihatkan keanehannya secara blak-blakan, dia bisa mengusir kawanan hama
tak bernama yang selalu berkumpul di sekitarnya—seperti menyalakan dupa untuk
mengusir serangga. Dan jika dia menerima pengakuan hanya untuk menyabotasenya
setelah itu, ego pria itu yang terluka akan berkobar dan membesar-besarkan
semuanya dengan sendirinya.
Bagaimanapun juga, musim panas sudah dekat. Jika
dia mengantisipasi serangan para pejantan
berotak serangga yang menjadi gila karena panas, maka ini hanyalah pembelaan
diri yang cerdas.
Jika
memang begitu, maka yang harus dilakukan Masaomi hanyalah pergi, seperti yang
disarankannya, dan semuanya akan berakhir. Permainan cinta kecil mereka akan
berakhir bersih. Masaomi
bisa memahami logika pragmatisnya, dan mereka
bisa kembali menjadi orang asing. Sederhana. Kasus ditutup. Tugas badutnya bisa
selesai.
Itu...
seharusnya sudah selesai.
“Aku
seorang pengembara spiritual—Astral
Driver. Itulah sebabnya
berinteraksi dengan seseorang dari Sisi Material sepertimu tidak baik untuk
kita berdua. Jika sesuatu terjadi di Sisi Astral, aku, sebagai Juru selamat—The Messian—harus memprioritaskan
dunia itu.”
Oke, ya. Pasti itulah yang dimaksud orang-orang
saat mereka memanggilnya “gadis halu”.
Masaomi tidak akan menyangkalnya. Hibari
memiliki pandangan dunia yang beroperasi pada frekuensi lain—semacam zona suci
yang tidak bisa dimasuki
begitu saja dengan logika normal. Setiap anggukan di permukaan akan langsung
terlihat.
Tapi—tapi.
Masaomi
adalah seorang cowok SMA. Dirinya tidak pernah punya pacar, sama
sekali. Ia memang menginginkannya. Dan sekarang,
ada seorang pacar (sementara) yang cantik berdiri tepat di depannya. Yang lebih
penting, jika Masaomi
membiarkan ini terjadi, semuanya akan kembali seperti biasa, normal dan
membosankan.
Keiji
pernah berkata bahwa terkadang kehidupan sehari-hari itu goyah. Goyah itu
datang dari Keiji sendiri, yang dengan sengaja memonopoli bagel.
Jadi
mungkin, jika Masaomi pergi dan membeli semua bagel, kehidupan sehari-harinya
sendiri bisa menjadi sama mendebarkannya. Siapa pun bisa melakukannya. Yang
dibutuhkan hanyalah sedikit keberanian. Dan apa bedanya itu dengan menyatakan perasaannya kepada
seorang gadis?
Setelah
kecelakaan setahun yang lalu, Masaomi tidak memiliki keberanian itu. Jadi ia
membiarkan dirinya menjalani rutinitas yang tidak berwarna dan membosankan. Dan
tentu saja—bermain-main dengan Keiji dan Kasuka menyenangkan dengan caranya
sendiri yang bodoh. Dirinya
benar-benar percaya bahwa itu adalah semacam kebahagiaan. Namun saat ini,
seolah-olah masa pubertas itu sendiri telah menusuknya dengan garpu rumput dan
berbisik: Pacar nyentrik juga
tidak seburuk itu. ‘Kenormalan’ semacam itu juga ada, bukan?
“Adanya
Guardian di Sisi Astral juga menguntungkanku.
Tapi itu tidak menguntungkanmu. Jadi,
kupikir kamu harus
mencari seseorang yang lebih cocok untuk Sisi Material. Aku akan baik-baik
saja. Aku selalu sendirian, dan
akan selalu sendiri. Jadi, mari kita akhiri permainan cinta kecil kita di sini—”
Itulah
momennya. Langkah dari “Guardian
Kenormalan” menjadi ‘Guardian’-nya Hibari.
Jadi, Masaomi berkata—
“Kalau
begitu, ayo kita pergi berkencan besok.”
“...Hah?”
Hibari
tampak benar-benar tercengang. Tidak gugup, tidak tersinggung—hanya kosong,
seolah sistemnya tidak menangkap apa yang didengarnya. Dan pada saat itu,
Masaomi menyadari: Uwahh,
dia benar-benar bisa membuat wajah imut seperti itu. Sungguh
mengejutkan, mengubah gambaran yang ada di benaknya tentangnya. Rasa takut
sebelumnya lenyap seperti kabut.
Masaomi
benar-benar tidak punya rencana. Dirinya cuma asal mengatakan sesuatu yang terlintas di benaknya.
“Maksudku,
kalau kita mau membicarakan sesuatu, berdiri saja seperti ini agak tidak sopan,
dan melakukannya lewat pesan teks terasa terlalu impersonal. Entah kita sedang
menenangkan diri atau apa, aku tidak bisa benar-benar mengenalmu kecuali kita
berbicara dengan baik. Jadi, mari kita bertemu lagi besok. Lagipula ini hari
Sabtu—dan untuk saat ini, secara teknis kamu
masih pacarku, ‘kan?”
Berkencan
di akhir pekan. Kedengarannya seperti sesuatu yang
biasa dilakukan orang yang berpacaran, bukan? Setidaknya, Masaomi berpikir dirinya
mengatakan sesuatu seperti itu. Sejujurnya, ketika mengingatnya lagi nanti, ia
tidak ingat setengah dari apa yang dikatakannya atau bagaimana dirinya mengundangnya. Semuanya terasa begitu samar.
“Apa
kamu mendengar apa yang kukatakan? Aku tidak
bermaksud menyinggungmu, tapi
apa kamu mengerti bahasa Jepang?”
“Apa
kamu mengatakan sesuatu? Maaf. Aku terlalu sibuk menatap pacarku yang sangat
cantik dan memberanikan diri untuk mengajaknya berkencan.
Kalau kamu tidak keberatan, bisakah kita melanjutkan
pembicaraan itu besok? Kurasa aku takkan menyerap apa pun hari ini.”
Pokoknya,
otak Masaomi saat ini sedang berkembang dengan kekuatan penuh delusi remaja.
Pacar
yang diberi tahu bahwa dirinya tidak
mengerti bahasa Jepang oleh gadis nyentrik yang
kurang memahami bahasa jepang. Jelas-jelas pasangan yang ditakdirkan
untuknya.
“Kelihatannya
kamu tidak terlihat gugup sama sekali... tapi baiklah. Kamu
benar—aku adalah pacarmu.
Jadi, ayo kita pergi berkencan. Kedengarannya tidak terlalu buruk juga.”
“Keren.
Kalau begitu, ayo kita bertukar kontak. LINE oke?”
Dengan
setengah memaksa, Masaomi
mengeluarkan ponselnya dan mengiriminya undangan. Ketika nama [Sasuga
Hibari] muncul
di daftar temannya, ikon kucing hitam memenuhi seluruh bingkai melingkar.
“Kamu
punya kucing?”
“Ya.
Dia gemuk karena kurang olahraga, yang membuatnya semakin imut. Namanya
Mentsuyu. Karena dia berbulu hitam.”
“Itu...
nama yang agak lucu. Aku malah menyukainya.”
“...Terima
kasih.”
Mereka
melanjutkan obrolan ringan sambil berjalan. Akhirnya, mereka sampai pada titik
di mana mereka berpisah. Hibari berkata bahwa dia menuju ke stasiun untuk
membeli bahan makanan, jadi mereka berpamitan di dekat pintu masuk pusat
perbelanjaan lama.
Masaomi
memperhatikan rambut panjang dan rok sekolahnya berkibar saat dia berjalan
pergi, menatapnya selama sekitar lima detik sebelum menenangkan dirinya
sendiri.
Itu
adalah hubungan yang dimulai dengan kebohongan. Entah
itu akan kembali menjadi kebohongan atau berubah menjadi sesuatu yang nyata... semuanya tergantung pada hari esok.
(Mungkin
ini akan berjalan dengan baik)
Pemikiran itu mengejutkan Masaomi, namun, ia tidak dapat
menyangkal bagian dirinya yang sudah sedikit terbawa suasana.
Hibari
mungkin menyebut dirinya aneh, tapi nyatanya dia
jauh lebih mampu mengobrol daripada yang dibayangkan.
Sejujurnya, dirinya mungkin akan berterima kasih
kepada Keiji karena hal ini.
Tiba-tiba,
sebuah notifikasi menyala di ponselnya. Sebuah pesan—dari Hibari, yang baru
saja berpisah dengannya beberapa
saat yang lalu.
Dengan perasaan
bersemangat sekaligus cemas, Masaomi mengetuk untuk membacanya.
Suara
seperti dering di telinganya bergema dalam kepalanya. Jadi seperti ini suara
langkah kaki kebosanan yang meninggalkan hidupmu—sangat keras.
[Sampai
jumpa besok, Kusunoki-kun. —Kamu cowok yang
agak aneh, ya?]
Dari
kasta paling bawah di kelas— “Si Paling Normal”—dipromosikan naik tingkat mungkin
tak terelakkan.
Diberi
label resmi sebagai orang aneh oleh orang paling nyentrik
nomor satu di sekolah... yah, musim panas ini akan menjadi sangat menggetarkan.
Pacar
yang didapat dari permainan hukuman. Jika kamu bertanya apa yang akan
dipikirkan orang normal setelah mendengar kata-kata itu—
Masaomi takkan
menyangkalnya: Pasti ada semacam kepasrahan, seperti firasat pelan yang
berbisik, “Yah, ini mungkin tidak akan
berlangsung lama”.

