Chapter 6 — Aku Tidak Bisa Terus-Terusan Menjadi Karakter Sampingan
Ketika aku
kembali ke tempat terbuka, api unggun sudah menyala. Api yang
dikelilingi oleh lapisan-lapisan kayu yang disusun dengan hati-hati, menerangi
area tersebut dengan terang. Di dekatnya, sebuah panggung darurat telah
didirikan, dan berdiri di sana dengan mikrofon adalah Suzuki-sensei.
“Baiklah!
Sekarang
kita akan
memulai pertunjukan bakat terbuka—siapa pun yang ingin bergabung dipersilakan!
Jika kalian mengantuk, silakan kembali ke kamar kalian
masing-masing,
tetapi bagi yang masih mau menonton, silakan nikmati pertunjukannya! Aku
serahkan sisanya kepada tuan rumah!”
…Acara
ini
memancarkan
firasat buruk yang tertulis di mana-mana.
Sekarang
setelah ‘kebangkitan’ Ryuzaki terjadi,
siapa tahu apa yang akan dicobanya selanjutnya? Untuk saat ini, aku hanya ingin
menemukan Shimotsuki-san sesegera mungkin.
Tapi, tak
peduli di
manapun
aku mencari, aku tidak dapat menemukannya sama sekali.
Mungkin
dia belum datang?
Dia
mungkin menyelinap ke suatu tempat untuk menghindari acara
uji nyali
tadi... Mungkin dia akhirnya tertidur atau semacamnya.
(—Tidak.
Sesuatu yang tidak mengenakkan bagi Ryuzaki tidak akan terjadi begitu saja)
Menurunkan
kewaspadaanku akan berbahaya… Kupikir langkah terbaik yang
bisa kuambil ialah bertanya pada Suzuki-sensei, yang mungkin tahu di mana dia
berada.
“Eh?
Shimotsuki-san? Dia sedang beristirahat di kamarnya beberapa saat yang lalu,
tapi dia tampak pulih dengan cepat… jadi dia mungkin ada di sini.”
Jadi aku
mulai berjalan mengelilingi lokasi acara untuk mencarinya.
“Selanjutnya,
pertunjukkan juggling
oleh Tanaka-kun dari Kelas 3—!”
Waktu
terus berjalan. Pertunjukan bakat telah dimulai dan para siswa menampilkan
stand-up comedy dan berbagai aksi di atas panggung. Mungkin sekitar
tiga puluh menit telah berlalu?
Dan
hebatnya, aku masih belum menemukan Shimotsuki-san.
Tepat
saat aku memiringkan kepala, bingung karena tidak bisa menemukannya,
acara itu mulai mendekati akhir.
“Acaranya
hampir berakhir! Apa masih ada yang ingin ikut berpartisipasi?”
Kemudian———
“…Ah! Itu
dia!”
Aku
akhirnya melihat Shimotsuki-san. Dia berada di dekat
panggung, memandang sekelilingnya dengan gelisah seolah-olah
sedang
mencari seseorang.
Sayangnya,
aku berada di ujung terjauh dari area penonton, dan segerombolan siswa berdiri di antara
kami—akan butuh waktu cukup lama bagiku untuk mencapainya.
Namun,
aku membiarkan diriku bersantai sejenak, sambil berpikir, Sekarang
sudah baik-baik saja. Aku menemukannya... Betapa naifnya
diriku.
“—Aku
dari kelas
2, Ryuzaki Ryoma. Ini mendadak, tapi… ada seseorang yang kucintai sejak kecil.
Aku ingin mengambil kesempatan ini untuk menyatakan cinta padanya.”
Kepalaku
tersentak karena terkejut. Orang yang berdiri di atas panggung
sambil memegang mikrofon
di tangannya adalah… Ryuzaki Ryoma.
Ini gawat. Ekspresi
tekad di wajahnya membuatku tak bisa bernapas. Sang protagonis
yang menyatakan diri, telah terbangun sepenuhnya, memancarkan kehadiran yang
tak terucapkan.
Semua
mata tertuju padanya.
Bahkan
para gadis yang sedang mengobrol, para anak laki-laki yang bersantai di pinggir
lapangan, dan para guru yang mengantuk—semuanya tertarik pada Ryuzaki Ryoma.
“Rasanya
cukup emalukan
mengatakan ini di depan semua orang, tapi... yah, terserahlah. Aku akan
mengatakannya terus terang—aku mau menyatakan perasaanku.”
…Memikirkan
dia akan melakukan ini di sini dan sekarang—aku tidak pernah membayangkannya.
Dari
setiap situasi yang mungkin, ini pasti merupakan skenario terburuk.
“Jadi,
silakan… naik ke panggung—Shiho!”
Tepat
pada saat dia memanggil namanya, perhatian semua orang tertuju pada gadis yang
berdiri di dekat panggung.
Dan pada
saat itu—Shimotsuki-san membeku.
“…………”
Dia hanya
berdiri di sana, menatap panggung dalam diam. Tubuhnya tidak
bergerak sedikit pun. Dia tampak seperti telah berubah menjadi patung.
Tidak
mengherankan. Lagipula, Shimotsuki-san… sangat pemalu sehingga dia tidak bisa
berbicara sepatah kata pun saat ada orang di dekatnya.
Saat ini,
meskipun dia ingin menanggapi, dia tampak membeku di tempatnya.
(Jika
saja aku tetap di sisinya seperti yang aku janjikan… Kalau saja aku tahu, mungkin aku bisa membantunya
mengatasi rasa malunya—mungkin dia bisa merespons dengan baik.Aku harus
menghentikannya!)
Shimotsuki-san
menderita karena keteledoranku. Itulah sebabnya aku harus
melakukan sesuatu. Aku mengetahuinya. Tapi—tenggorokanku terasa
begitu sesak, tak tertahankan.
“!!!”
Aku tidak
bisa bicara. Seberapa keras pun aku berusaha, rasanya seperti ada sesuatu yang
menghalangi suaraku. Kalau begitu, aku akan menggunakan kakiku!
Jika aku
tidak bisa bicara, aku tinggal menaiki panggung. Dengan begitu,
aku bisa menghentikan Ryuzaki.
Aku tahu
itu. Aku memahaminya sepenuhnya… akan tetapi—!
Aku tidak
bisa bergerak.
Tubuhku
terasa berat. Seperti ada sesuatu yang tak terlihat menekanku dari atas. Tentu
saja, aku tidak dapat melihatnya. Mungkin itu hanya sekedar imajinasi
di
pikiranku saja.
Tapi… rasanya terlalu jelas
untuk menjadi suatu kebetulan.
Apa, memangnya dewa komedi
romantis benar-benar tidak ingin ada yang mengganggu Ryuzaki sampai
segitu…!?
Apa yang kualami
ini pasti sesuatu yang disebut ‘plot armor’.
Jika aku
ikut campur, hal itu akan merusak alur cerita romantis Ryuzaki.
“Peranmu
sebagai karakter latar sudah selesai. Diam saja.”
Seperti
itulah rasanya—seolah ada kekuatan tak kasat mata yang memerintahkanku untuk
tetap diam. Tubuhku tidak mau menurut.
(Jadi
beginilah kejadiannya... Pengakuan Azusa yang anehnya muncul di waktu yang
bersamaan, aku yang tak pernah menemukan Shimotsuki-san di antara
kerumunan—semuanya mengarah ke momen ini!?)
Sekarang
semuanya masuk akal.
Azusa
mengatakan di dalam bus bahwa dia akan menembak saat acara
api
unggun, tetapi dia akhirnya melakukannya lebih awal saat persiapan.
Dan rasanya
sangat aneh bahwa aku tidak
dapat menemukan Shimotsuki-san di tempat sekecil ini.
(Mereka
benar-benar menjebakku… Aku harus pergi. Aku
harus menemuinya…!)
Aku
berusaha keras menggerakkan kakiku. Aku menggertakkan gigiku, mencoba
melawan kekuatan tak kasat yang menahanku—tetapi aku bahkan tidak bisa
melangkah satu langkah pun.
Jadi yang
bisa kulakukan hanyalah... menonton panggung.
“Shiho,
maukah kamu datang ke sini? Aku ingin kamu mendengar apa yang
kurasakan.”
Ryuzaki
memanggil Shimotsuki-san.
Dia
berdiri di sana beberapa saat, tanpa ekspresi… lalu akhirnya, dengan goyah, dia
mulai berjalan menuju panggung.
Dia jelas-jelas
tidak dalam kondisi pikiran normal. Tapi tidak seorang pun di
sini yang tampaknya menyadarinya. Semua orang menunggu
pengakuan besar.
Lagipula,
‘Ryuzaki yang sangat
populer itu akhirnya menyatakan
perasaannya’ —itulah narasinya. Itulah yang ingin
dilihat semua orang.
Menyela
adegan tersebut akan terasa sangat janggal.
“Maaf
karena tiba-tiba mengatakan ini padamu, Shiho… tapi aku harus melakukannya
sekarang. Aku harus mengatakannya dengan lantang. Tolong dengarkan.”
Begitu
Shimotsuki-san melangkah ke panggung, Ryuzaki memulai pengakuannya. Wajahnya
berseri-seri karena kegembiraan.
“…………”
Sementara
itu, ekspresi Shimotsuki-san kelihatan kosong.
Kekosongan
itu justru membuat kecantikannya semakin menonjol. Ekspresinya yang datar
dan
keheningannya... memikat semua orang.
Dia
cantik———tak seorang pun di
sini bisa menyangkalnya.
Dan
karena itulah, tak seorang pun menyadari bahwa ekspresinya
membeku karena ketakutan—kecuali aku. Ryuzaki melanjutkan, tak menyadari apa
pun.
“Kurasa
aku sudah mencintaimu sejak aku masih kecil. Rambut perakmu yang indah, mata
biru langitmu yang jernih, kulitmu yang cerah, tubuhmu yang mungil—semuanya
menawan bagiku. Dan bukan hanya penampilanmu. Aku suka caramu yang tenang
membawa diri, caramu menikmati kesendirian, caramu yang lembut dan membuatku
ingin menjagamu—aku suka semuanya.”
…Pengakuan
yang mengerikan.
Untuk
seseorang yang merupakan teman masa kecilnya, dirinya tidak tahu apa-apa tentang
Shimotsuki-san.
Dibandingkan
dengan pengakuan Azusa, pengakuannya sangat dangkal dan tak dapat dipercaya.
Namun,
hanya karena Ryuzaki yang mengatakannya... kata-katanya
terasa berbobot. Itulah yang membuatnya begitu meresahkan.
“…Kupikir
kamu
sudah mengetahuinya bahkan tanpa aku
mengatakannya. Kurasa aku jadi sombong, berpikir menjadi teman masa kecilmu
sudah cukup. Kupikir Shiho akan memahamiku tanpa kata-kata—itulah
kesalahanku.”
Tidak.
Shimotsuki-san cukup sensitif untuk menangkap perasaan
yang tak terucapkan.
Tetapi
Ryuzaki memutarbalikkan fakta sesuka hatinya, hanya untuk menguntungkan dirinya
sendiri.
“Aku
memang bodoh… Kamu istimewa bagiku, Shiho, tapi aku tidak istimewa bagimu.
Itulah sebabnya kamu tidak benar-benar
mengenalku. Itulah mengapa kamu tidak bisa mencintaiku.”
‘Dia
tidak membenciku karena dia mengenalku dan menolakku. Dia hanya belum
mencintaiku karena dia belum mengenalku dengan baik.’
Begitulah
cara Ryuzaki meyakinkan dirinya sendiri.
“Shiho
agak pemalu dan bukan tipe yang suka memaksa… jadi kurasa dia terkejut dengan
pengakuan yang dipaksakan dari pria itu. Dia mungkin merasa bersalah karena
menolaknya. Itu sebabnya dia tidak bisa mengabaikannya. Awalnya, dia hanya
memperhatikannya karena merasa bersalah, kan? Aku mengerti sekarang.”
…“Pria
itu” yang
dimaksud jelas-jelas merujuk padaku.
“Aku
selalu mengusir siapa pun yang mencoba mengganggu Shiho, tetapi dia licik. Dia
berhasil lolos dari radarku.”
Jadi
sekarang dia menyiratkan kalau perasaan Shimotsuki-san padaku adalah suatu
kebetulan?
Jika itu
yang diyakininya… maka delusinya jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.
Namun tak
seorang pun di sini yang akan mengoreksinya.
Yang
berarti semua yang dikatakan Ryuzaki sekarang diterima sebagai ‘kebenaran’ oleh semua orang
yang menonton.
“Saat aku
menyadari apa yang terjadi, semuanya sudah terlambat. Shiho hendak memilih
orang lain. Bohong rasanya jika aku bilang itu tidak menyakitkan. Melihatnya
tersenyum padanya—itu menghancurkan hatiku. Aku merajuk, berpikir, aku kalah.”
Jika saja
dia tetap seperti itu. Yah, tidak mungkin tokoh utama akan tetap
seperti itu.
“Saat
itu, seseorang berkata padaku, 'Kamu yang sekarang tidak keren.' Dia
berkata, 'Biasanya kamu jauh lebih keren—dan hebat.' Kata-kata itu
membuatku sangat bahagia. Aku terkejut mengetahui dia melihatku seperti itu.”
Dan kemudian, Ryuzaki berbicara tentang pengakuan Azusa.
“Saat
itulah aku sadar—perasaan tidak akan terungkap kecuali jika kau mengatakannya
dengan lantang. Dengan kata lain, perasaanku tidak pernah tersampikan
kepada
Shiho, jadi aku memutuskan untuk mengakuinya dengan benar. Ya… Kupikir aku
sudah kalah, tetapi sebenarnya, pertarungan itu bahkan belum dimulai. Jika aku
menyerah sebelum dimulai, itu tidak akan sepertiku—dan kupikir dia akan
mengatakan hal yang sama.”
…Jadi
begitu.
Ryuzaki.
Kamu
mengubah pengakuan tulus Azusa menjadi semacam sesuatu
yang menginspirasi ?
Caramu mengabaikan
perasaannya sepenuhnya—itu sungguh mengerikan.
“Aku tahu
aku terlambat. Hati Shiho mungkin sedang tertuju ke tempat lain… atau lebih
tepatnya, kamu mungkin berpikir ini tidak adil untuknya, kan? Tapi
begitulah cara cinta bekerja. Jadi aku ingin kau menerima perasaanku juga.”
Dan
kemudian, pengakuan Ryuzaki berubah menjadi mengerikan.
“Tolong,
beri tahu aku jawabanmu sekarang. Kalau jawabannya tidak, aku akan mencoba
membuatmu jatuh cinta padaku mulai sekarang. Tapi kalau kamu bisa menerima
perasaanku—maukah kamu menjadi pacarku, bukan hanya sebagai
teman
masa kecil saja?”
Apa pun
yang terjadi, Ryuzaki akan mengejar Shimotsuki-san. Ia berencana
untuk mendekatinya secara agresif, untuk membuatnya jatuh cinta padanya.
Dan dia bahkan
tidak ragu sedetik pun bahwa pada akhirnya Shimotsuki-san akan jatuh cinta
padanya.
Namun, Shimotsuki-san
sangat mengenal Ryuzaki. Dia
menjaga jarak justru karena alasan tersebut.
Yang
artinya… dia pasti ingin menolaknya dengan jelas, untuk menghentikan rayuannya
yang tidak diinginkan.
“…………”
Tetapi
Shimotsuki-san tidak bisa berkata apa-apa.
Dia benar-benar
diam, bahkan tidak berkedip, dia hanya berdiri di sana tanpa ekspresi,
mendengarkan kata-kata Ryuzaki.
Jika dia
dalam keadaannya yang biasa—tidak kewalahan—dia akan menolak semua yang
dikatakannya tanpa ragu. Aku yakin itu. Tapi situasi ini... terlalu tidak
normal.
Mana
mungkin orang seperti dirinya yang berada di bawah tatapan begitu banyak orang, bisa
melawan.
Aku pikir
ini pun merupakan hasil dari ‘kenyamanan alur cerita’.
Karena
kalau saja dia adalah dirinya yang normal, dia pasti sudah menolak pengakuan
Ryuzaki, dan semuanya akan berakhir di situ saja.
“Cerita
romcom
Ryuzaki Ryoma tidak berakhir. Itu akan terus berlanjut.”
Itulah
jenis keinginan yang kurasakan melayang di udara.
Seandainya saja
Shimotsuki-san tetap diam seperti ini.
Kemudian,
setelah ini, Ryuzaki akan mulai mengejarnya tanpa henti. Dan melalui itu—seperti
keracunan yang berefek lambat—pikirannya akan ditulis
ulang secara bertahap... hingga Shimotsuki-san mulai
mencintainya.
Skenario
seperti itu bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Namun apa masa
depan itu akan memberinya kebahagiaan?
…Sayangnya, aku tidak
percaya hal itu akan terjadi.
Ryuzaki
sama sekali tidak memahaminya. Ia tidak bisa melihat kenyataan di luar
versinya sendiri. Mana mungkin Shimotsuki-san bisa bahagia
dengan seseorang yang begitu egois.
Aku harus
menghentikannya… Aku tidak bisa membiarkan semuanya berakhir seperti ini!
Aku mengetahui
itu.
Tapi tetap saja, tubuhku tidak mau bergerak.
Tekanan
yang menghancurkan itu semakin berat setiap saat... dan rasanya seperti terikat
pada ‘kekuatan protagonis’ yang luar biasa
yang dipancarkan Ryuzaki. Aku merasa ingin menyerah.
(Sialan!
Apa aku benar-benar tidak berdaya untuk melakukan apa pun…?)
Kamu
sudah melakukan cukup banyak, untuk karakter sampingan.
Kamu
tidak perlu menderita lagi.
Suara di
kepalaku mengatakan itu. Terpisah, tak peduli—itu adalah suara orang yang dulu
aku kenal.
“Karakter
sampingan” Nakayama Kotaro.
Jika aku
terus mendengarkannya seperti biasa, jalan yang lebih mudah
akan ada di sana. Tetapi aku tidak menginginkan itu.
Karena…
aku bertemu Shimotsuki-san.
Aku
merasakan betapa menyenangkannya menghabiskan waktu bersamanya.
Aku tidak
ingin kembali ke kehidupan yang hampa dan sepi itu.
Jadi— bergeraklah!
────
Saat
itulah kejadian itu terjadi. Saat aku berusaha keras menahan tarikan kuat
cerita itu.
Aku
sekilas melihat wajah Shimotsuki-san.
Dan aku menyadarinya… bibirnya
bergerak, suaranya nyaris tak bergerak.
Tentu
saja, aku tidak bisa mendengarnya dari jarak sejauh ini. Namun, entah
bagaimana, aku mengerti apa yang ingin dia katakan.
“Nakayama-kun.”
Dia terus
mengulang namaku tanpa suara—berulang-ulang. Dan pada saat itu, semua
kekuatan kembali pada tubuhku.
“…Ya, aku
mendengarmu.”
Pendengaranku
tidak setajam Shimotsuki-san. Tapi aku sudah
memperhatikannya dengan saksama selama ini—jadi aku mengerti.
Shimotsuki-san
memanggilku untuk meminta bantuan. Pada saat ini, dia lebih
mengandalkanku daripada orang lain.
Dia mengandalkanku.
Itulah
sebabnya… Aku ingin menanggapi harapannya.
Dan pada
saat yang sama, aku menyadari sesuatu—betapa tegangnya badanku, dan ketegangan
itulah yang menghalangiku bergerak dengan benar.
Sekali
lagi, aku menjadi budak cerita.
Aku
secara tidak sadar telah membekukan diriku sendiri, bertindak dengan cara yang
menguntungkan Ryuzaki. Tapi… Shimotsuki-san telah mengubah versi
diriku itu.
“Tunggu aku.
Aku akan membantumu… Aku janji.”
Aku mengatakannya
dengan pelan yang mana mungkin bisa terdengar sampai ke panggung.
Namun
Shimotsuki-san, dengan pendengarannya yang tajam… menoleh ke arahku, seolah
terkejut.
Saat mata
biru langitnya bertemu dengan pandangan mataku, aku merasakan
kekuatan mengalir kembali ke tubuhku.
“—Konyol
sekali.
Menurutmu pengakuan seperti ini diperbolehkan?”
Dan
akhirnya, aku pun berbicara. Bahkan suaranya pun tidak
keras. Namun dalam keheningan yang menyelimuti kami, kata-kata yang
tidak pada tempatnya itu bergema tajam di antara kerumunan.
-Klik.
Suatu
suara terdengar dalam kepalaku. Rasanya ada tombol yang berubah, sesuatu
yang
mengubah karakterku.
Rupanya, aku
telah memutuskan untuk berhenti menjadi karakter sampingan yang tidak berdaya.
Ryuzaki
Ryoma. Apa kamu tahu kalau cerita bisa berakhir dengan akhir yang buruk?
Dalam kehidupan
cerita
komedi romantismu yang hanya membawa kesengsaraan bagi para heroine, tidak ada tempat
untuk akhir yang bahagia. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
Jika itu
yang dibutuhkan, maka aku akan berhenti menjadi karakter sampingan. Aku akan menjadi
apa yang kamu butuhkan— karakter penjahat yang
menghalangi jalanmu.
Jika itu demi melindunginya…
aku rela melakukan apa saja. Bahkan jika itu
berarti menjadi antagonis yang menghancurkan cerita
itu sendiri.
“Ryuzaki.
Kamu
benar-benar pria pengecut… pengakuanmu ini benar-benar paling
brengsek.”
Aku mulai
berjalan perlahan menuju panggung.
Sementara
itu, Ryuzaki yang momennya telah terganggu, menyeringai dengan ekspresi
menantang.
“Aku tahu
kamu
akan muncul. Nakayama, aku tidak menyangka kamu akan duduk diam dan
menonton. Jadi? Kamu merasa panik sekarang? Kamu lengah karena mengira
kau sudah menang—lalu aku melakukan aksi ini dan mengejutkanmu, bukan?”
Dirinya tampak begitu
puas—tapi bukan itu masalahnya di sini.
“…Katakan
padaku. Kenapa kamu mengungkapkan perasaanmu dalam situasi seperti
ini? Kamu bilang kamu mencintai Shimotsuki-san, kan? Kalau itu
benar, ini sangat tidak masuk akal.”
Aku
melangkah ke atas panggung dan menatap tajam ke arah Ryuzaki.
Tentu
saja, para siswa di antara penonton menatapku dengan jengkel, seperti berkata, ‘Jangan menghancurkan momen ini’. Namun, aku
mengabaikan mereka.
Satu-satunya yang aku inginkan hanyalah.... melindungi
Shimotsuki-san.
“Hah? Apa
masalahmu…? Aku tidak mengerti apa yang ingin kamu katakan. Pengakuan itu
sama saja, kapan pun dan di mana pun kamu melakukannya, ‘kan? Aku
melakukannya di depan semua orang karena aku ingin menunjukkan keseriusanku.”
“Kamu selalu seperti
ini, Ryuzaki. Segalanya tentang dirimu. Selalu mementingkan dirimu sendiri... kamu tidak pernah
berhenti memikirkan orang lain. Kamu hanya memikirkan apa
yang membuatmu merasa baik.”
“…Apa kamu
merassa terkejut
dengan pengakuanku atau semacamnya? Kamu tidak masuk akal. Ayolah, jangan panik
hanya karena kamu kalah. Tenang dan berpikirlah dengan jernih.”
“Tidak.
Bukan begitu… Kamu selalu melihat sesuatu
hanya dari sudut pandangmu sendiri. Itulah sebabnya kamu terus menyakiti
orang lain. Ayolah, Ryuzaki—memangnya kamu tidak bisa melihatnya? Memangnya
kamu tidak bisa
melihat ekspresi wajah orang yang katanya sangat kamu sayangi?”
Sambil
berkata demikian, aku dengan lembut menggenggam tangan Shimotsuki-san.
“────”
Dan
kemudian itu terjadi.
“Hik… nghh…”
Dia tetap
tidak berekspresi selama ini… tapi saat aku menyentuh tangannya, butiran
air
mata besar mulai mengalir dari matanya.
Dia
mencoba mengatakan sesuatu kepadaku—tetapi isak tangisnya menghalangi. Air
matanya tak kunjung berhenti mengalir. Jadi aku hanya mengusap
punggungnya dengan lembut dan mengatakan kepadanya bahwa dia tidak perlu
mengatakan apa pun saat ini.
Dia
hancur total—dia benar-benar dibuat kewalahan.
“Shiho?
Ke-Kenapa…
kenapa kamu menangis?”
Melihat
gadis yang begitu baik menangis seperti ini—rasanya begitu menyakitkan hanya dengan melihatnya saja.
Bukan
hanya untukku maupun Ryuzaki. Bahkan seluruh siswa yang
ada di tempat itu pun memperlihatkan ekspresi sedih di wajah mereka.
Pada saat
itu…suasana hatinya berubah.
Pada awalnya,
interupsiku membuat semua orang bingung dan tegang.
Namun tak
lama kemudian,
kebingungan itu berubah menjadi simpati untuk Shimotsuki-san. Pada
saat yang sama, suasana aneh dukungan buta terhadap Ryuzaki mulai retak.
“Apa yang
sedang terjadi…?”
“Shimotsuki-san…
dia menangis?”
“Bukannya ada yang aneh
dengan semua ini?”
“Ya… ini
sama sekali tidak terasa seperti pengakuan cinta.”
Seketika
seluruh kerumunan mulai bergerak. Pada saat itu, demi memfokuskan
kembali perhatian semua orang, aku meninggikan suaraku lagi.
“Ryuzaki,
apa pengakuanmu ini cuma demi sekedar pamer? Memangnya kamu tidak pernah kepikiran
kalau
mungkin—hanya mungkin —gadis yang kamu
tembaj
itu mungkin sangat pemalu? Bahwa hanya dengan berada di dekat orang lain saja
sudah membuatnya gentar?”
Aku
berbicara dengan jelas, seakan-akan berbicara kepada mereka semua.
Jika aku
memang akan berdiri melawan… aku ingin semua orang mengerti.
Aku ingin
mereka mengerti bahwa Shimotsuki Shiho bukan hanya sekedar gadis cantik.
Ya, dia memang
istimewa—tetapi
di saat yang sama, dia juga hanyalah gadis biasa.
“Shimotsuki-san
hanyalah
orang seperti itu… jadi jangan lakukan ini padanya. Bagaimana bisa kamu menjadi teman
masa kecilnya dan masih tidak mengerti sesuatu yang mendasar? Ditembak
di depan umum,
dipertontonkan seperti semacam pertunjukan—mana mungkin dia bisa tetap tenang.”
Aku tidak
akan memaafkan pengabaian. Aku tidak akan membiarkan
hal ini dikesampingkan hanya sebagai ‘alasan yang masuk akal’.
Kalau
tidak ada orang lain yang menyebutkannya, maka aku yang akan menyebutkannya.
Jika ini
adalah tindakan yang tidak pantas bagi karakter sampingan—maka aku akan
menjadi antagonis jika diperlukan.
Jika itu
berarti bisa melindungi Shimotsuki-san… Ryuzaki, aku akan
menentang cerita komedi romantismu sampai akhir.
“...Nakayama-kun,
aku minta maaf. Aku, um...”
“Kamu tidak perlu
mengatakan apa pun. Tarik napas dalam-dalam saja... Jangan
khawatir.
Aku akan mengurus semuanya dari sini... Tetaplah di belakangku. Itu saja yang
kubutuhkan.”
Aku
memotong ucapannya dengan lembut dan tersenyum untuk meyakinkannya.
“…Baiklah.
Aku mengerti.”
Kemudian
Shimotsuki-san melangkah di belakangku. Dia mulai memainkan ujung kausku. Karena
penasaran,
aku menoleh ke belakang—hanya mendapati dirinya sedang
menyeka
air matanya dan ingusnya di sana.
Ya ampun.
Bahkan di
saat seperti ini, dia masih saja bersikap bodoh secara alami... Aku hampir
tertawa.
Namun,
ini bukan saatnya untuk bersantai. Aku kembali fokus dan berbalik menghadap
Ryuzaki.
“Shiho orangnya
pemalu?
Berkemauan lemah? Mustahil. Itu tidak mungkin benar… Shiho pendiam, suka
menyendiri, tidak menunjukkan minat pada orang lain—dia penyendiri, tidak
tersentuh… Itulah sebabnya dia tidak pernah melihat ke arahku, menghindari
berbicara dengan siapa pun, dan—bukannya dia memang gadis yang
seperti itu selama ini?”
Ryuzaki
masih berpegang teguh pada kesalahpahamannya.
Namun
kata-katanya tidak lagi berbobot.
Air mata
Shimotsuki-san dan tanggapannya telah membantahnya.
“…Kamu
selalu saja begitu. Memutarbalikkan keadaan agar sesuai dengan
narasimu sendiri. Kamu bilang dia pendiam? Suka menyendiri? Tidak tertarik pada
orang lain? Itu sama sekali tidak benar. Dia banyak bicara, dia selalu ingin
punya teman, dan dia dipenuhi rasa penasaran tentang orang lain. Dia
hanya… tidak punya keberanian untuk mengambil langkah pertama—karena dia pemalu
dan pendiam.”
Kupikir
sebaiknya aku harus meluruskan setiap kesalahpahaman tersebut.
“Lantas
kenapa— kenapa
dia bersikap dingin padaku!? Kalau dia ingin berteman, kalau dia ingin
mengobrol, aku ‘kan sudah berada di sisinya! Aku teman masa kecilnya!
Aku mengenalnya lebih dari siapa pun—jadi kenapa dia tidak menerimaku!?”
“Kamu masih belum
mengerti? … Alasannya sudah jelas.”
Senyum
mengembang di wajahku.
Awalnya
aku bahkan tidak menyadarinya. Namun, dalam upaya menemukan cara untuk
benar-benar menyampaikan perasaan Shimotsuki-san kepada Ryuzaki, aku sampai
pada hal ini: ejekan .
“Shimotsuki-san
tahu isi hatimu, Ryuzaki. Keegoisanmu. Kesombonganmu dalam
menolak memahami perasaan orang lain. 'Kebaikan'-mu yang berlebihan.
Asumsimu bahwa tentu saja dia akan mencintaimu. Ketidakpedulianmu terhadap
emosi orang lain. Caramu bersikap menawan hanya kepada gadis-gadis, memanjakan
dirimu seperti seorang penggoda wanita... Dia tidak tahan melihat betapa egois
dan tidak bertanggung jawabnya dirimu. Begitulah adanya, bukan?”
“Ma-Mana mungkin… Aku
teman masa kecilnya—!”
Sekarang status tersebut tidak berarti apa-apa. Aku takkan
membiarkan si tokoh utama yang mendeklarasikan diri sendiri itu lolos dengan
delusi lainnya.
“—Hanya
karena kalian berdua teman masa kecil, bukan berarti kalian dekat.
Bagi Shimotsuki-san, kamu hanyalah seseorang yang kebetulan dikenalnya sejak lama...
Hadapi saja. Terimalah kenyataan itu.”
Dengan
mengatakannya, aku menutup rute pelariannya yang terakhir. Dan bahkan sang
tokoh utama yang perkasa, Ryuzaki… tampak benar-benar terluka oleh kebenaran
itu.
“Itu
tidak benar… Itu sama sekali tidak… Itu tidak—itu TIDAK
BENAR!!”
Dirinya berteriak, tatapan
matanya
yang merah melotot ke arahku.
Tapi
tatapan itu pun hanya berlangsung sesaat—karena setiap kali dia menoleh, ia
melihat Shimotsuki-san berdiri di belakangku.
Dan
setiap kali ia melihatnya… dirinya teringat bahwa ia
bukanlah orang yang dipilih Shimotsuki-san.
“Sialan…!
Aku yang pertama kali bertemu dengannya! Aku yang pertama kali jatuh cinta
padanya… Jangan ambil Shiho dariku… Sialan semuanya…”
Kata-katanya
yang getir dan putus asa bergema di antara kerumunan yang terdiam.
Dan pada
saat itu… Ryuzaki terlihat begitu menyedihkan sehingga tidak
tega
untuk ditonton.
Fyuh… Entah bagaimana,
akhirnya aku berhasil merobek topeng palsu Ryuzaki Ryoma.
(Maaf
melakukan ini tepat setelah kamu ‘terbangun’, tapi kamu
kembali menjadi Ryuzaki Ryoma saja)
Karena
jika aku tidak melakukannya… Aku merasa ia tidak akan pernah menyerah pada
Shimotsuki-san. Aku tidak bisa membiarkannya terus salah paham,
mengabaikan, atau memutarbalikkan kebenaran.
Aku harus memastikannya memahami betul
bahwa Shimotsuki Shiho tidak menganggap Ryuzaki Ryoma sebagai seseorang yang
istimewa.
Demi menyadarkannya, masih ada satu hal lagi yang perlu kurenggut darinya.
Yaitu—
kepercayaan diri yang Ryuzaki
peroleh berkat Azusa.
Perasaan cinta Azusa yang seharusnya bisa mengubahnya
menjadi lebih baik, malah berubah menjadi agen doping yang
membangkitkan “kekuatan protagonisnya.”
Kepercayaan
dirinya itu— itulah
sumber masalah sebenarnya.
“Kenapa
kamu? Kenapa orang sepertimu —orang yang membosankan
dan biasa-biasa saja—bisa menjadi orang yang istimewa bagi
Shiho!? Akulah yang pantas mendapatkannya. Seharusnya akulah orangnya!”
Bahkan
sekarang, di saat-saat terakhirnya, Ryuzaki masih tidak bisa
menerimanya.
“Kenapa
Shiho tidak mau melihatku…? Aku mencintainya. Aku menolak gadis-gadis lain yang
mencoba merayuku. Aku menahan diri berkali-kali. Setiap kali aku
terbujuk, wajahnya muncul di pikiranku, dan aku menarik diri. Dialah
satu-satunya yang istimewa bagiku…”
Itulah
momen di mana aku tidak sanggup menahannya lagi.
Tanpa
sengaja, aku tertawa terbahak-bahak.
“Haha…
menyedihkan sekali. Aku benar-benar merasa kasihan pada gadis-gadis yang
menyukaimu. Sungguh menyakitkan untuk ditonton. Mereka mencurahkan segala hal
dalam pengakuan mereka, dengan tulus mengatakan betapa mereka mencintaimu… dan
kamu
mengabaikan mereka begitu saja. Kau menginjak-injak perasaan mereka,
menghancurkan mereka, dan tidak berusaha untuk membalas apa pun. Dan kamu menyebut itu
sebagai kesetiaan? …Jangan membuatku tertawa.”
Dalam
pikiranku, aku melihat wajahnya—adik perempuan tiriku.
Aku tidak
akan pernah memaafkan orang ini karena telah menyakiti seseorang yang sangat
penting bagiku.
“Aku
sangat setia!
Bahkan saat gadis-gadis lain menyatakan cintanya padaku, aku hanya
mencintai Shiho! Itulah sebabnya aku harus berhasil dengan
pernyataan cinta ini… Kalau tidak, bagaimana mungkin aku bisa menghadapi gadis
yang menyatakan cinta padaku!?”
Tidak.
Bukan begitu cara kerjanya.
“…Jika kamu ingin menghargai
pengakuannya, kamu seharusnya menerimanya. Jangan mencoba mengubah
penolakannya menjadi cerita yang mulia. Jangan membenarkan tindakanmu
yang sudah
menyakitinya. 'Kamu tidak bisa
menghadapinya'? Jangan membohongi dirimu sendiri. Kamu sudah kehilangan
hak untuk menatap matanya, Ryuzaki.”
Aku tidak
ingin cowok tak tahu diuntung ini menggunakan nama Azusa demi membenarkan
tindakannya lagi.
Bagi
seseorang yang hanya memikirkan dirinya sendiri, ia pasti senang memanfaatkan
orang lain untuk memaafkan keputusannya.
Apa jadinya jika Azusa tidak
menyatakan perasaannya? Jika dia tidak meningkatkan egonya, apa
Ryuzaki masih tetap melakukan
ini? Apa dirinya masih punya nyali untuk berdiri di atas panggung?
Aku
meragukannya. Tanpa adanya ‘doping’ itu, tidak mungkin dia berani melakukan sesuatu
yang sesombong ini.
“Coba
pikirkan.
Seperti apa ekspresinya saat kamu menolaknya? Apa dia tersenyum? Apa dia
benar-benar tampak bahagia? Atau apa dia mirip seperti Shimotsuki-san
tadi—hampir menangis?”
Wajah
Azusa yang menangis masih terbayang dalam pikiranku.
Ekspresi
menyakitkan itu… Aku takkan pernah bisa melupakannya.
“Berhentilah
mengalihkan pandangan dari apa yang tidak ingin kamu lihat. Jangan lupa bahwa
seseorang pernah terluka karena perbuatanmu. Jika kamu benar-benar menghargai
pengakuannya… maka jangan mencoreng perasaannya lebih jauh.”
“…Cih.”
Aku yakin
Ryuzaki sudah menyadarinya sekarang.
Ia sudah
kehilangan kepercayaan dirinya. Ia tahu kalau
dirinya
telah gagal.
Dan dalam
keadaan ini, ia mungkin bisa mengingatnya dengan jelas—wajah Azusa yang gemetar
dan penuh air mata.
Itulah
sebabnya dirinya tidak bisa berkata apa-apa. Dirinya hanya bisa
menundukkan kepalanya.
Dengan begitu, rasanya
sesi bagian ‘kebangkitan’ protagonis
akhirnya berakhir.
Efek
doping dari pengakuan Azusa memudar, dan Ryuzaki Ryoma kembali menjadi dirinya
yang dulu—hanya Ryuzaki Ryoma.
Sekarang...
mari kita akhiri ini.
Ryuzaki
Ryoma—romcom menyedihkanmu berakhir di sini.
◆◆◆◆
Sang protagonis, yang telah memperoleh kepercayaan diri dari pengakuan Azusa,
mengatasi kekurangannya dan bangkit. Jika cerita mengikuti naskah standar,
semuanya akan berjalan menuju akhir yang bahagia.
Setelah
hari ini, Ryuzaki Ryoma mungkin bisa tumbuh dan berkembang.
Dirinyaa mungkin telah
memenangkan hati heroine wanita, Shimotsuki-san, dan akhirnya memikat
semua tokoh sampingan wanita di cerita selanjutnya.
Namun
orang yang mengacaukan mimpi itu… ialah seseorang yang selama ini
dikenal sebagai karakter sampingan.
Nakayama
Kotaro.
Dengan
kata lain—akulah satu-satunya kesalahan perhitungan Ryuzaki Ryoma.
Dan
dengan itu, ceritanya pun hancur berantakan.
Kisah
komedi haremnya yang disusun dengan hati-hati, yang entah bagaimana tetap utuh
sampai sekarang… hancur total oleh orang luar sepertiku.
“…Tidak…
Bukan begini seharusnya terjadi…!!”
Meski
begitu, Ryuzaki tetap melawan.
Penolakannya
untuk menyerah bisa dibilang sudah termasuk melegenda. Mungkin ia
tidak ingin membiarkan orang sepertiku yang mengambil keputusan akhir.
Itulah
sebabnya orang yang harus mengakhiri lelucon ini… haruslah dia.
“──Terima
kasih, Nakayama-kun.”
Setelah
beberapa saat, Shimotsuki-san akhirnya tampak tenang. Dia
bersembunyi di belakangku selama ini—tetapi sekarang, dia melangkah maju dengan
tekad.
“Aku
baik-baik saja sekarang… Maaf sudah membuatmu khawatir, oke?”
Dia
memegang tanganku dengan lembut—lalu akhirnya menghadap langsung pada Ryuzaki.
“Aku
harus menjadi orang yang mengatakan ini.”
Dengan
tekadnya yang kuat, Shimotsuki-san kembali menjadi dirinya yang biasa. Dia
tidak membutuhkan bantuanku lagi. Jadi, aku memutuskan untuk mengawasinya saja.
“Um...Ryuzaki-kun.”
Seperti
yang kuduga, berbicara dengan Ryuzaki membuatnya sedikit
gugup—suaranya terdengar pelan.
Akan
tetapi, suara yang berhasil dikeluarkannya tetap terdengar jelas olehnya. Mana mungkin Ryuzaki
terus
berpura-pura tidak mendengarnya dengan berkata, “Hah? Kamu
bilang apa tadi?”.
“Shi…
Shiho…?”
Ryuzaki
tersentak. Namun matanya masih menyimpan secercah harapan saat
menatapnya. Lagipula, Shimotsuki-san tidak menolaknya secara
langsung—dia sendiri tidak mengatakan apa pun.
Jadi,
dalam pikirannya, masih ada kesempatan untuk kembali secara ajaib.
Tentu
saja itu takkan pernah terjadi.
“Ryuzaki-kun.
Aku mengerti perasaanmu… tapi kumohon, dengarkan aku.”
Untuk
pertama kalinya dalam cerita ini, si heroine utama menyuarakan
perasaan jujurnya kepada protagonis.
Tidak,
bukan sebagai heroine utama dalam cerita
komedi
romantis Ryuzaki—melainkan sebagai Shimotsuki Shiho, dia mengungkapkan
kebenarannya sendiri.
“Sejak
kita masih kecil, kamu selalu dikelilingi oleh cinta… tetapi tidak sekali pun
aku melihatmu benar-benar menghargainya. Aku selalu merasa itu sangat
menyedihkan. Karena jika aku pernah mencintaimu… kurasa aku akan ingin kamu
menghadapiku dengan benar.”
Mungkin,
pada saat itu, dia berbicara atas nama setiap “heroine” yang pernah
mencintai Ryuzaki.
Kalau
saja pernah ada versi cerita di mana dia jatuh cinta padanya, Shimotsuki-san
menjelaskannya dengan jelas—dia tidak akan pernah merasa puas dengan Ryuzaki
yang berdiri di hadapannya sekarang.
“Aku
harap kamu bisa belajar untuk lebih memikirkan orang lain—bukan hanya dirimu
sendiri.”
Hal yang tak
pernah bisa dilakukan Ryuzaki, dengan segala keegoisannya… merupakan hal yang paling
penting baginya.
“Dan jika
kamu bisa melakukannya…
Kurasa musik yang kamu mainkan akan terdengar jauh lebih indah.”
Tapi dengan
keadaannya sekarang—Shimotsuki-san tidak akan pernah jatuh cinta padanya.
“Aku
tidak bisa menerima perasaanmu.”
Dan
dengan begitu, Shimotsuki-san mengakhirinya
sendiri.
“…Aku
tidak pernah benar-benar menyukaimu, bahkan sejak dulu. Maaf aku tidak pernah mengatakannya
padamu sampai sekarang.”
Usai mendengarnya
langsung darinya—Ryuzaki akhirnya tidak punya pilihan selain menerimanya.
“────”
Tanpa
sepatah kata pun, dirinya segera turun dari panggung. Lalu
berjalan pergi tanpa tujuan, menuju ke arah di mana tidak ada seorang pun
berdiri.
Tidak
seorang pun mengikutinya.
Sebelumnya
Azusa pasti akan mengejarnya dan menyemangatinya.
Namun
sekarang... bahkan para sub-heroin lainnya tidak mencoba menjangkaunya. Sepertinya
mereka pun sudah menyerah pada Ryuzaki Ryoma.
Inilah nasib.... seorang protagonis harem.
Ia
mengkhianati orang-orang yang mencintainya, menginjak-injak perasaan mereka,
dan pura-pura tidak peduli. Dan pada akhirnya, mereka semua berpaling darinya.
…Dan
begitu saja, komedi romantis Ryuzaki Ryoma berakhir.
Jauh
lebih tiba-tiba daripada yang mungkin diprediksi oleh alur cerita, tirai
ditutup pada kisah cinta harem Ryuzaki Ryoma.
