Chapter 7 — Satu-satunya Protagonisku
Kami
turun dari panggung dan berjalan menuju sekelompok bangunan
prefabrikasi yang tampak seperti gudang penyimpanan. Karena letaknya
agak jauh dari alun-alun tempat api unggun diadakan, jadi tidak ada seorang
pun yang terlihat.
Akhirnya,
kami bisa menurunkan kewaspadaan dan bersantai.
“Fiuh...
aku benar-benar kelelahan.”
Sambil
mendesah, Shimotsuki-san menatap ke langit. Dia menyipitkan
matanya ke arah bulan purnama yang agak kebiruan di atasnya.
“Aku tidak
menyangka
kalau semuanya bakal jadi kayak gini... Ugh, akhirnya aku malah
menangis sejadi-jadinya.”
Bermandikan
cahaya bulan, dia menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya,
seolah-olah ingin menyembunyikannya.
“...Hei,
apa aku kelihatan jelek sekarang? Aku merasa mata dan hidungku
merah karena terlalu banyak menangis. Sungguh memalukan Nakayama-kun melihatku
seperti ini.”
“...Kamu
sama sekali tidak kelihatan kok. Aku tidak pernah sekalipun menganggapmu kurang
cantik, Shimotsuki-san.”
Mungkin
karena aku akhirnya merasa sedikit santai,
aku jadi
mengatakan sesuatu yang biasanya tidak kukatakan.
“Bagiku,
kamu seperti putri dari buku cerita... Kamu tampak seperti seseorang yang sama
sekali tidak bisa dijangkau, layaknya setangkai bung di puncak yang
tinggi.
Namun begitu kamu mulai berbicara, kamu sangat mudah diajak bergaul. Senyummu
begitu hangat dan cerah... Tentu, terkadang kamu bisa sedikit egois, tetapi itu
pun bagian dari apa yang membuatmu begitu menggemaskan.”
Aku
menceritakan padanya semua hal yang selalu kupikirkan—dan lucunya, wajahnya
malah semakin merah.
“Ka-Kamu tidak boleh
mengatakan hal-hal seperti itu! Sekarang aku akan menjadi merah padam karena alasan
yang sama sekali berbeda! Kamu mencoba mempermainkanku ya, Nakayama-kun?”
Walaupun dia
mengatakannya demikian, tapi dia jelas-jelas tidak
membencinya.
Bibirnya
berkedut seolah-olah dia menggumamkan sesuatu dengan suara pelan, dan dia tidak
dapat menyembunyikan seringainya.
“Tidak,
itu bohong. Nakayama-kun memang baik... Tidak mungkin kamu jahat. Lagipula, kamu
sudah menyelamatkanku.
Terima kasih... sungguh.”
Saat dia
mengatakan itu, Shimotsuki-san mencondongkan tubuhnya ke arahku. Kulit kami
bersentuhan, dan kehangatan tubuhnya mengalir ke dalam diriku. Sebelum aku
menyadarinya, tubuhku sendiri memanas sebagai respons.
Jantungku
mulai berdebar kencang. Lalu, dengan suara pelan, Shimotsuki-san melanjutkan.
“Waktu itu, pikiranku
benar-benar kosong... Aku tidak tahu harus berbuat apa, dan aku tidak bisa
bergerak sesuai keinginanku. Aku tidak pernah pandai berdiri di depan orang...
jadi semua mata yang menatapku itu menakutkan. Semua suara mulai bergema di
kepalaku, dan aku merasa seperti akan panik.”
Saat itu...bahkan
saat Ryuzaki menyatakan cinta padanya, Shimotsuki-san belum mampu mengungkapkan
pikirannya.
Dia pasti
benar-benar berjuang keras.
“Tapi
kemudian aku mendengar suaramu... Kamu berada di sampingku,
dan tiba-tiba, hal-hal menakutkan itu tidak terasa begitu menakutkan lagi.
Nakayama-kun, kamu adalah penyelamatku. Terima kasih telah menolongku.”
Dia
memberiku senyuman dari lubuk hatinya. Bagi seseorang seperti diriku—hanya karakter
latar belakang—Shimotsuki-san menunjukkan ekspresi yang benar-benar istimewa.
Tidak...
Baginya, aku bukan sekedar karakter latar belakang.
“Nakayama-kun,
kamulah
satu-satunya 'protagonis heroikku'!”
Dia
mungkin satu-satunya gadis di dunia yang akan mengatakan hal itu kepadaku. Hal
tersebut
membuatku sangat bahagia. Begitu bahagianya sampai-sampai aku ingin menangis.
Rasanya seperti akhirnya aku diselamatkan.
Aku tidak
pernah percaya diri. Gadis-gadis yang dekat denganku mulai
kecewa padaku, menjauh, dan akhirnya, aku mulai membenci diriku sendiri.
Tidak,
bahkan sebelum semua itu... Aku mungkin tidak begitu menyukai diriku sendiri
sejak aku masih kecil. Itulah sebabnya kata-kata Shimotsuki-san selalu
menyembuhkanku, berulang kali.
Terima
kasih? Tidak, itulah yang seharusnya kukatakan padanya.
Terima
kasih... telah menerima seseorang sepertiku.
Terima
kasih... telah memilih seseorang sepertiku.
Terima
kasih... telah menjadikan aku protagonismu.
—Jadi,
apa yang harus kulakukan untuk mengungkapkan perasaan ini?
Apa yang
harus kulakukan... sebagai satu-satunya protagonis Shimotsuki-san?
Itulah
yang kupikirkan saat itu terjadi.
— Klik.
Sesuatu
berubah dalam diriku. Saat itu juga, aku tahu persis apa yang harus kulakukan
sebagai ‘protagonis’ Shimotsuki-san.
Aku tinggal....menyatakan perasaanku saja.
Bahkan
seseorang yang merendahkan diri sepertiku pun dapat
melihat—Shimotsuki-san telah menunjukkan tanda-tanda kasih sayang yang jelas.
Karena
itulah... Aku ingin menanggapi perasaannya.
Dan jika akulah tokoh
utamanya, maka ini merupakan hal paling sedikit yang dapat kulakukan.
“Shimotsuki-san.
Aku... aku menyukaimu—”
Jadi aku
mencoba mengatakannya. Aku menyukaimu. Itulah yang aku
coba katakan padanya.
Tapi
tentu saja, Shimotsuki-san sudah mengetahui maksudku.
“—Jangan!”
Pengakuanku
tiba-tiba disangkal. Sebelum aku menyadarinya,
tangan kecilnya telah menutup mulutku.
“Nakayama-kun…
kalau hanya kita berdua, tolong jangan ubah 'nada bicaramu.'”
…Dengan
pendengarannya yang tajam secara alami, dia merasakan bahwa aku telah berubah
menjadi “karakter” yang berbeda.
“Aku menyukaimu apa adanya.
Tidak apa-apa jika kamu lemah. Tidak masalah jika kamu menyedihkan.
Tidak apa-apa jika kamu tidak keren. Nakayama-kun yang menjadi dirinya
sendiri... itulah yang paling aku suka.”
Seperti biasa, kata-kata itu menyelamatkanku. Tanpa kusadari, tombol yang kunyalakan sudah mati lagi.
Dan
kemudian Shimotsuki-san terus berbicara padaku, dengan lembut dan sabar.
“Kamu
tidak perlu memaksakan diri, oke? Setidaknya di hadapanku, jujurlah dengan
dirimu sendiri… Kamu tidak perlu terburu-buru. Aku tahu kamu berusaha memenuhi
harapanku, dan itu membuatku senang—tetapi aku tidak lagi puas dengan kasih
sayang pasif seperti itu.”
…Kata-katanya
menghantamku bagai sebuah guncangan.
Dia
mengatakan padaku bahwa apa yang baru saja aku coba lakukan—mengaku—sebenarnya
akan sangat tidak sopan padanya.
“Nakayama-kun,
apa perasaanmu benar-benar datang dari hati? Apa kamu… benar-benar mengerti apa
artinya mencintai seseorang?”
“…Itu…”
Aku
tidak bisa menjawabnya. Jadi aku mencoba
berpikir hati-hati tentang diriku sendiri, sekali lagi. Aku memang
menyukai Shimotsuki-san.
Tapi apa
perasaan ‘suka’-ku benar-benar sama dengan ‘suka’ yang dia maksud…?
“Aku
sudah memikirkan ini sejak lama… tapi Nakayama-kun, kamu sepertinya tidak
percaya diri. Itu sebabnya… menurutku kamu tidak benar-benar mencintai dirimu
sendiri. Dan jika kamu tidak bisa mencintai dirimu sendiri, bisakah kamu
benar-benar mencintai orang lain? Bisakah kamu benar-benar mengatakan… bahwa
kamu mencintaiku?”
…Ya. Dia
benar. Aku benar-benar membenci diriku sendiri.
Dan jika
aku dalam keadaan itu…apakah ucapan “aku menyukaimu”
benar-benar berarti sesuatu?
Apakah perkataanku memiliki bobot
sama sekali?
“Aku
bukan tipe gadis yang bisa puas hanya dengan ucapan biasa 'aku menyukaimu.' Kalau kamu menyukaiku hanya karena aku menyukaimu duluan, rasanya seperti kamu
mengalah. Seperti kamu berkompromi.”
Dia tidak
menginginkan cinta yang pasif. Shimotsuki-san sedang
mencari sesuatu yang aktif. Sesuatu yang nyata.
“Jadi
jangan khawatir.
Tidak perlu terburu-buru. Kamu tidak harus menjadi orang lain hanya untuk
menanggapi perasaanku. Sampai suatu hari kamu benar-benar bisa mencintai dirimu
sendiri... sampai suatu hari kamu benar-benar bisa memahami perasaanku... Aku
akan ada di sini, menunggumu.”
Kalau
saja aku mulai berpacaran dengan Shimotsuki-san di sini dan sekarang,
mungkin akan ada akhir yang bahagia.
Tapi dia
tidak peduli dengan alur cerita yang indah atau akhir yang dikemas dengan baik.
Hal
semacam itu tidak menjadi masalah baginya.
Apa yang
benar-benar dia inginkan… mungkin sesuatu yang sederhana dan murni seperti
kebahagiaan—untuk dirinya sendiri dan untukku.
“Biar
kukatakan saja sekarang—Nakayama-kun… Tidak, um, K-Kotaro-kun… Aku
m-menyukaimu, oke!?”
Shimotsuki-san
mengambil langkah maju—esuatu yang belum bisa kuambil, sebagai karakter latar
biasa Nakayama Kotaro.
Tetapi
Shiho, gadis yang bernama Shimotsuki Shiho, telah mengambil langkah
itu demi diriku.
“Aku akan
menerima pengakuanmu setelah Kotaro-kun belajar untuk benar-benar mencintai
dirinya sendiri.”
Dia
menungguku di tempat itu—di mana aku akhirnya akan menyusulnya.
Dia
percaya padaku—percaya bahwa Nakayama Kotaro akan tumbuh.
Dan
itulah sebabnya… aku memberanikan diri untuk mengejarnya.
“—Shiho.
Terima kasih… Aku akan berusaha sebaik mungkin.”
Tak ada
formalitas lagi. Aku memanggil namanya seperti orang dekatku. Dibandingkan
dengannya, itu hanyalah sebuah langkah kecil. Namun, bahkan langkah kecil itu…
membuat Shiho sangat bahagia.
“Ya!
Berusahalah, Kotaro-kun… Aku akan menunggu, tidak peduli berapa lama pun!”
Lalu dia
mencondongkan tubuhnya ke arahku lagi.
“…Akhirnya
kita bisa saling memanggil dengan nama. Rasanya agak memalukan sih, tapi… juga
sangat menyenangkan, bukan?”
Awalnya
ragu-ragu, dia perlahan melingkarkan lengannya di tubuhku. Aku membalas
pelukannya, dan dia pun merasa rileks sepenuhnya di dalam diriku.
“Mmm!
Jantung Kotaro-kun berdetak sangat cepat! Tapi tetap saja… entah mengapa
rasanya sangat menenangkan. Seperti ini bukan pertama kalinya—tunggu…”
Lalu,
seolah teringat sesuatu, mulutnya terbuka sedikit dan dia mendongak ke arahku.
“…Apa ada
yang salah?”
Aku merasa
penasaran, tetapi sepertinya dia tidak berencana menjawab.
Dia hanya
tersenyum nakal padaku, seolah mengisyaratkan sesuatu, lalu menempelkan
wajahnya lagi di dadaku.
“Bukan
apa-apa.”
Lalu dia
memelukku lagi, dan mengatakan hal yang paling manis.
“Kotaro-kun…
Aku harap kamu akan terus menjagaku mulai sekarang juga, oke?”
Tidak ada
alasan untuk menyangkal kata-kata itu.
Tentu saja… Aku juga akan senang jika kamu tetap di sisiku mulai sekarang.
