Chapter 5 — Takdir dari Sub-Heroine
Awal
Juni. Meskipun berada di tengah musim hujan, cuaca hari ini sangat cerah. Langit
biru membentang tanpa awan sedikit pun. Matahari yang mengambang di atas tampak
seperti memiliki seluruh langit itu sendiri.
“Cuacanya
panas sekali… Bukannya menurutmu Tuan Matahari berusaha terlalu keras hari ini? Aku lebih suka kepribadian yang lebih tenang
dan lembut. Sejujurnya, cuaca panas seperti ini benar-benar bukan
kesukaanku — aku benci cuaca panas.”
Di sisi halaman
sekolah, Shimotsuki-san berjongkok di bawah naungan pohon, tampak sangat muak.
"Lihat,
kulitku sensitif, iya ‘kan? Kalau aku terlalu lama berada di bawah sinar
matahari, kulitku akan langsung memerah seperti terbakar. Serius deh, kalau aku
tidak
meminjam topi jerami ini dari ibuku, mungkin sekarang aku sudah terbakar
seperti vampir kecil."
Sambil
menggerutu terus, Shimotsuki-san meletakkan tangannya di atas topi jeraminya.
Melihat
penampilannya
yang seperti
itu membuatku merasa anehnya emosional.
(Aku
tidak pernah menyangka kalau seseorang bisa
terlihat secantik itu dengan topi jerami…)
Rasanya sayang
jika menyembunyikan rambut peraknya yang indah, tetapi entah bagaimana, topi
jerami itu sangat cocok dengan kepribadian polos Shimotsuki-san.
“Aku suka
topi jerami itu. Kelihatan cocok untukmu.”
Saat aku
mengatakan apa yang sebenarnya kupikirkan, pipi Shimotsuki-san berseri-seri
karena senyum senang.
“Yah, Mama juga
bilang hal yang sama, lho? Dia bilang, 'Yang kelihatan keren pakai topi
jerami cuma kapten bajak laut yang mau jadi Raja Bajak Laut dan Shi-chan!'”
Akhir-akhir
ini, aku memperhatikan Shimotsuki-san lebih sering tersenyum, bahkan di
sekolah. Itu membuatku senang—tetapi di saat yang sama, gelisah.
(Tatapan
Ryuzaki terasa membunuhku…)
Sekalipun
aku tak ingin menyadarinya, aku tak bisa mengabaikannya yang berdiri di
kejauhan, sambil mengarahkan tatapan tajam ke arah kami.
Tiga hari
telah berlalu sejak apa yang disebut deklarasi perangnya, namun Ryuzaki belum
membuat tindakan apa pun. Gagasan bahwa ia mungkin
terlalu gugup untuk menyatakan perasaannya—tampaknya itu mustahil. Ia mungkin
menyimpannya untuk perjalanan sekolah semalam.
“Tetap
saja, ada apa dengan guru-guru sih? Mereka sangat
lambat… Aku hanya ingin naik bus yang bagus dan ber-AC.”
Shimotsuki-san
bergumam dengan nada kesal. Sejujurnya, dia mungkin berbicara mewakili setiap
siswa yang menunggu di sini. Kami baru saja hendak
berangkat untuk perjalanan sekolah kami.
Tujuannya
adalah taman alam yang berjarak sekitar dua jam perjalanan dengan bus dari sekolah. Saat
ini, kami semua sedang menunggu di halaman sekolah menantikan kedatangan guru.
Karena
cuacanya sedang panas, Shimotsuki-san dan aku menjauh dari
kelompok untuk beristirahat di bawah pohon. Karena itulah, keberadaan
kami
sedikit menonjol.
Diawasi oleh
banyak orang selalu
membuatku tidak nyaman.
Lucunya, dulu itu lebih
menjadi masalah Shimotsuki-san daripada masalahku.
“Nakayama-kun,
apa menurutmu
tempat duduk di bus itu siapa cepat dia dapat? Kalau begitu, mari kita
duduk bersama, oke? Kalau tidak, aku mungkin akan terjebak di sebelah orang itu
lagi.”
Sekarang,
dia berbicara padaku dengan santai, tanpa adanya tanda-tanda
gugup. Matanya menatap lurus ke arahku.
…Seolah-olah cuma aku satu-satunya yang dilihatnya.
Aku tidak
pernah membayangkan dia akan begitu peduli padaku.
Itu
benar-benar membuatku bahagia. Namun di saat yang sama... itu berarti Ryuzaki
Ryoma terpojok, dan itu membuatku sulit menikmati momen itu tanpa keraguan.
Karena
protagonis adalah tipe yang tumbuh lebih kuat—dan “bangkit”—ketika posisi
mereka
semakin terpojok.
…Tentu
saja, aku paham bahwa menganggap sesuatu yang langsung diambil dari cerita
terjadi di kehidupan nyata itu konyol. Jika aku terlalu memikirkannya,
baguslah. Namun, semua yang telah terjadi sejauh ini membuatnya sulit untuk
diabaikan.
Sementara
itu, Shimotsuki-san tampak sepenuhnya bebas dari kekhawatiran semacam itu.
“Nakayama-kun,
ayo kita buat banyak kenangan indah, oke?”
Dia
tersenyum padaku dengan polosnya. Sekadar melihat senyum itu
menghapus semua kenegatifanku dan aku merasa seperti bisa bernapas lagi.
…Yah, tak
ada gunanya stres memikirkan hal itu.
“Ya,
tentu saja.”
Ketika aku
mengangguk, dia mengikuti gerakanku dan mengangguk dengan
sama antusiasnya.
Tepat
saat itu, para guru akhirnya tiba, dan percakapan kami pun berakhir.
Dan
dengan itu, perjalanan sekolah—peristiwa penting dalam kisah kami—resmi
dimulai.
◆◆◆◆
Pada
akhirnya, posisi tempat duduk bus ditentukan oleh guru berdasarkan
kelompok.
Jadi
sebenarnya itu bukan "tempat duduk gratis". Menurut denah tempat
duduk yang dibagikan oleh wali kelas kami, Suzuki-sensei, Shimotsuki-san
dipasangkan di sebelah Ryuzaki.
(Ini
takdir, atau hanya sekadar plot armor demi kenyamanan
cerita sang protagonis…)
Ryuzaki
sepertinya selalu berakhir duduk di sebelah heroine utama, entah karena
tidak sengaja atau ada tangan tak terlihat—mungkin juga berkat pengaturan guru
di masa lalu.
“Oh,
sepertinya aku di sebelah Ryuzaki-kun lagi.”
Shimotsuki-san,
yang tampaknya terbiasa dengan situasi seperti ini, segera berbicara kepada
Suzuki-sensei.
“Eh…
Suzuki-sensei?”
Tampaknya
perbedaan usia membuatnya tidak terlalu malu—dia berbicara dengan jelas dan
sopan.
“Aku
mabuk perjalanan, jadi…”
Ah,
jadi begitu rencananya—berpura-pura mabuk
perjalanan untuk menjauh dari Ryuzaki. Karena Ryuzaki memperhatikannya dengan
saksama, dia mungkin mendapat kesan yang salah bahwa dia lemah atau
sakit-sakitan.
“Ah,
Shimotsuki-san mudah mabuk perjalanan. Kalau begitu, bagaimana kalau duduk di
dekat guru?”
“Y-Ya!”
Suzuki-sensei
merupakan
guru yang baik dan penuh perhatian, dan ia tidak tampak terganggu oleh
permintaan Shimotsuki-san yang sedikit canggung. Sepertinya dia berada di
tangan yang tepat.
Nah
sekarang… kira-kira aku duduk dengan siapa?
Sisa
rombongan kami dalam perjalanan sekolah itu termasuk Ryuzaki, Shimotsuki-san,
aku, adik tiriku Nakayama Azusa, mantan temanku Asakura
Kirari, dan teman masa kecilku, Hojou Yuzuki.
Jadi
totalnya ada empat laki-laki dan empat perempuan, jadi dua laki-laki yang
tersisa adalah teman-temanku Hanagishi Soma dan Ikura Taro. Duduk di sebelah
salah satu dari mereka akan menyenangkan... tapi jika aku duduk di sebelah
salah satu dari tiga perempuan itu, keadaan bisa jadi agak canggung.
Aku dengan
memeriksa denah tempat duduk—di sebelah Nakayama Kotaro ada “Nakayama Azusa.”
Baiklah,
aku sudah pernah berbicara dengan Azusa sebelumnya, jadi itu
setidaknya sedikit meyakinkan.
Setelah
memutuskan demikian, aku menaiki bus dan duduk di tempat duduk yang telah
ditentukan. Tempat duduknya dekat jendela, dekat bagian belakang bus.
Ryuzaki dan yang lainnya belum datang, jadi aku hanya menatap ke luar jendela,
melamun.
Sekitar
sepuluh menit kemudian, tepat sebelum keberangkatan, kelompok Ryuzaki akhirnya
muncul.
“Oh, jadi
aku duduk di sebelah... Nakayama-kun. Tidak, 'Nii-san’.”
Azusa
memutuskan untuk tidak memanggilku ‘Onii-chan’ di sekolah. Untuk
menghindari kesalahpahaman aneh dengan Ryuzaki, kami berpura-pura menjadi orang
yang tidak berhubungan dengan nama belakang yang sama.
“Nakayama-kun,
boleh kita bertukar tempat duduk? Aku mau duduk di dekat jendela.”
Seperti
biasa, Azusa hanya mengutamakan keinginannya sendiri. Bagian dirinya itu terasa
seperti ‘adik perempuan’ bagiku. Dia bisa
saja bersikap menuntut—hampir suka memerintah—terhadap kakaknya. Sejujurnya,
dulu di rumah juga begitu.
Merasa
sedikit nostalgia, aku menyerahkan tempat dudukku di dekat jendela.
(Aku
ingin tahu bagaimana kabar Shimotsuki-san…)
Aku
melirik dan melihatnya terkulai di dekat jendela di kursi tunggal tepat di
sebelah Suzuki-sensei. Dia masih mengenakan topi jeraminya—mungkin sebagai
penutup mata sementara.
Dan
akhirnya, bus pun berangkat.
“Selamat
pagi, semuanya! Apa kalian siap untuk perjalanan sekolah? Aku yakin kalian
sudah bosan, ya? Baiklah, kurasa guru kalian di sini harus menceritakan satu
atau dua cerita yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu~”
Secara
spontan, Suzuki-sensei memulai narasi pemandu bus dadakan untuk perjalanan itu. Meski
begitu, siswa lainnya terlalu asyik dengan percakapan mereka
sendiri.
Suasana di dalam bus sangat ramai dan berisik, sehingga sulit untuk mendengar
orang di sebelahnya.
“…Hei,
Onii-chan.”
Pada saat
itulah Azusa berbicara padaku.
Secara
naluriah aku menoleh ke arah Ryuzaki, beberapa baris di belakang. Ia bersandar
di jendela dengan mata terpejam. Dengan suara berisik di sini, mustahil ia bisa
mendengar kami.
Setelah
mengonfirmasi hal itu, aku menanggapi Azusa.
“Ada apa?
Kamu
berbicara padaku meskipun Ryuzaki ada di dekat sini… jadi itu pasti sesuatu
yang penting.”
“Ya,
kurang lebih begitu.”
Dia tidak
menatap mataku. Sebaliknya, dia berbicara kepada bayanganku di pantulan
jendela.
“Akhir-akhir
ini, Ryoma-oniichan sedang dalam suasana hati yang buruk.”
Seperti
dugaanku, topiknya mengenai Ryuzaki Ryoma.
“Bahkan
saat aku berbicara dengannya, ia bersikap begitu dingin. Sepertinya… ia
sedang berjuang melawan sesuatu. Dan karena itu, ia tidak begitu
memerhatikanku.”
Diperlakukan
dingin oleh seseorang yang dia kagumi pasti menyakitkan baginya.
“Aku tahu
alasannya. Itu karena kamu dan Shimotsuki-san akhir-akhir ini semakin dekat, ‘kan? Sepertinya
itu
benar-benar mengganggu Ryoma-oniichan.”
“…Apa
kita benar-benar kelihatan sedekat itu?”
“Kamu tidak
menyadarinya? Itu sudah menjadi rumor di kelas… Maksudku, Shimotsuki-san selalu
memperhatikanmu. Rasanya aneh jika tidak ada yang menyadarinya.”
Tepat
seperti yang kutakutkan—kami telah menarik perhatian.
“Aku
menyadari sesuatu lagi… bahwa orang yang paling spesial bagi Ryoma-onii-chan mungkin
adalah Shimotsuki-san. Tapi… aku juga mencintai Ryoma-oniichan. Dan
sejujurnya, aku hanya lelah mencintainya sendirian.”
Kedengarannya
seperti Azusa akhirnya mencapai titik puncaknya dari beban perasaan tak
terbalasnya.
“Itulah
sebabnya aku memutuskan—aku akan menyatakan perasaanku pada Ryoma-onii-chan.”
Akhirnya,
perasaan yang terpendam itu pun keluar.
“Aku
bahkan tidak tahu mengapa aku begitu mencintainya… Aku
hanya mencintainya. Dan aku tidak bisa menahannya lagi…”
Azusa
terus berbicara tanpa henti. Rasanya seperti dia berkata, 'Tolong
biarkan aku mengeluarkan ini. Aku tidak sanggup menanggung semuanya sendirian.' Dan mendengar itu
membuat dadaku sakit.
(Dia
benar-benar melakukan yang terbaik)
Azusa
menghadapi perasaannya secara langsung.
Jika
memang begitu... maka setidaknya, aku ingin menjadi
seseorang yang mendengarkan. Bahkan seorang kakak yang buruk sepertiku pun
dapat melakukan itu.
“Sebenarnya
ada rumor yang mengatakan kalau kamu menembak seseorang saat api unggun
di perjalanan sekolah, pasti akan berhasil.”
“Masa sih?”
"Ya.
Itu legenda yang diwariskan di SMA kita. Selain itu, aku berdoa
di kuil, ramalan bintang hari ini mengatakan keberuntunganku bagus, aku membawa
jimat untuk cinta yang sukses, dan aku bahkan mengenakan sesuatu dengan warna
keberuntunganku. Aku telah melakukan semua yang mungkin kulakukan.”
Azusa memberitahuku bahwa dia telah
melakukan semua yang dia bisa.
“Jadi…
aku akan baik-baik saja, ‘kan?”
Meski
begitu, dia masih takut. Mungkin dia hanya ingin kakaknya memberinya dorongan
terakhir. Tentu saja, aku tidak punya alasan untuk mengatakan tidak.
Karena
Azusa adalah adik perempuanku.
“Ya.
Aku yakin kamu akan baik-baik saja.”
Saat aku
berkata demikian, Azusa akhirnya menatapku.
Aku
menoleh ke arahnya—dan dia tersenyum, persis seperti yang biasa
dilakukannya di masa lalu.
“Terima
kasih!”
Senyum
cerah dan akrab itu tumpang tindih dengan Azusa yang kuingat sebelumnya.
Kalau
dipikir-pikir, dia mengikat rambutnya dengan kuncir dua sejak SD.
Tubuhnya
masih kecil, dan menurutku dia tidak banyak tumbuh sejak saat itu. Mungkin itu
sebabnya dia masih memiliki kepribadian yang kekanak-kanakan
walaupun sudah SMA. Dia cenderung memperlakukan semua orang seolah-olah mereka
lebih tua darinya.
Melihatnya
seperti itu… rasanya seperti waktu telah berhenti.
Sebelum
kami menjadi saudara tiri, dia kehilangan orang tua kandungnya karena sebuah
kecelakaan.
Mungkin,
sejak saat itu, waktu benar-benar berhenti baginya.
Aku
berharap hari ini menjadi hari dia mulai melangkah maju…
Sebagai kakak tirinya, itulah
keinginanku.
Teman
masa kecil bukanlah satu-satunya orang yang bisa menjadi kekasih. Ryuzaki… jika
kamu
mau melihat, kamu akan melihat seseorang yang benar-benar mencintaimu selalu
berada di sampingmu.
Jika perasaan
cinta
tulus
Azusa dapat memperbaiki apa yang terpelintir dalam diri Ryuzaki, maka
mungkin—hanya mungkin—mereka dapat memiliki masa depan yang bahagia bersama.
Aku memutuskan untuk percaya pada kemungkinan yang samar itu.
Dan
begitulah, bus terus melaju menuju tujuan kami.
Perjalanan
itu lebih sulit dari biasanya—mungkin karena jalannya tidak beraspal dengan
baik.
◆◆◆◆
Kami akhirnya
tiba
di taman alam untuk perjalanan sekolah sekitar pukul 11 siang.
Karena
saat itu mendekati jam makan siang, jadwal kami mengharuskan para murid memasak di luar
ruangan.
Begitu
sampai, kami langsung menaruh tas di kamar dan menuju ke alun-alun. Ada area memasak
yang dilengkapi dengan perapian, air mengalir, dan bahkan peralatan memasak
yang diletakkan di atas meja. Semuanya tampak siap digunakan.
Aku
berjalan ke sana bersama Hanagishi dan Ikura, tetapi Ryuzaki dan yang lainnya
belum ada di sana. Shimotsuki-san juga tidak ada di sana—mungkin kami datang
terlalu pagi.
“Aku
belum pernah memasak sebelumnya… Ikura, kamu juga belum pernah, ‘kan?”
“Tidak
seperti kamu, dasar orang yang terobsesi dengan olahraga, aku pernah
melakukannya beberapa kali. Jangan samakan aku denganmu.”
Saat kami
menunggu kelompok kami berkumpul, Hanagishi dan Ikura mulai mengobrol santai.
Ketika aku
hanya diam mendengarkan, mereka menoleh ke arahku dan mengajakku berbicara.
“Kalau
dipikir-pikir, Nakayama, apa kamu bisa memasak? Kamu tampaknya lebih jago
daripada Ikura.”
“Bagaimana
gambaranmu tentangku, Hanagishi-kun? Maksudku, Nakayama-kun tampaknya
bisa mengatasinya.”
“Kurasa
aku biasa saja. Aku tidak sepenuhnya tidak bisa, tetapi aku tidak bisa
bilang aku jago dalam hal itu.”
“Kalau
begitu, kita serahkan saja pada gadis-gadis untuk memasak, ya?”
“Sebenarnya,
Ryuzaki mungkin lebih baik dari kita. Dia tipe orang yang bisa melakukan apa
saja… tidak seperti orang yang hanya jago olahraga.”
“Diamlah.
Dasar orang bodoh bermata empat dengan potongan rambut 7:3 yang culun itu, toh
cuma bisa meniup terompet.”
“Itu
bukan terompet. Namanya eufonium. Apa yang bisa dilakukan oleh orang
berkepala plontos sepertimu?”
Candaan
mereka terus berlanjut, dan aku hanya tersenyum samar dan membiarkan
percakapan
mengalir begitu saja.
Hanagishi
dari tim bisbol dan Ikura dari band ansambel selalu seperti
ini—sedikit hubungan cinta-benci (atau mungkin hanya benci).
(Ryuzaki…
Kurasa ia bilang kalau dirinya bisa memasak?)
Aku ingat
ia pernah berbicara dengan Yuzuki tentang hal itu di dalam
kelas. Karena
tinggal sendiri, Ryuzaki sudah terbiasa memasak sendiri. Rupanya, ia punya
bakat memasak, dan dirinya bilang dia cukup ahli dalam
urusan dapur.
Meski
belum lama berselang, aku mengingatnya dengan jelas—Yuzuki yang pendiam tampak
bersemangat membicarakan minat mereka yang sama dalam memasak.
Kami
menunggu beberapa menit lagi. Akhirnya, Ryuzaki dan yang lainnya muncul.
“Nakayama,
maaf kami terlambat.”
“Hah? Oh…
tidak apa-apa.”
Sejak
hari itu di kelas kosong saat ia menyatakanku sebagai musuhnya, Ryuzaki
bersikap dingin dan menjauh... jadi mendengarnya berbicara kepadaku seperti
biasa sekarang terasa aneh. Apa yang sedang terjadi dalam pikirannya?
“Baiklah,
kalau begitu mari kita mulai.”
Senang
melihat ia termotivasi, tetapi… kami masih kekurangan satu orang.
“…Tidak,
Shimotsuki-san belum datang. Kita harus menunggu sedikit lebih lama.”
Aku sudah
mencari-cari rambut perak itu, tetapi tidak melihatnya di mana pun. Ketika aku
menunjukkannya, Ryuzaki mengerutkan kening dan melotot ke arahku, jelas-jelas
kesal.
“Dia ada
di sana. Dia berdiri di sana sepanjang waktu.”
“Hah?”
Dia
memberi isyarat agar aku melihat ke belakang.
Aku
segera berbalik—dan melihat Shimotsuki-san berdiri tepat di belakangku, hampir
menempel di punggungku.
Oh. Jadi
itu sebabnya Ryuzaki tampak tenang... Tapi itu tidak terlalu penting saat ini.
“Ka-Kamu dari
tadi ada
di sana?!”
Aku
benar-benar terkejut—aku tidak memperhatikannya sama sekali. Di
sisi lain, Shimotsuki-san tampaknya menganggap reaksiku sangat lucu.
“…Fufu.
Nakayama-kun, kamu tidak akan pernah bisa menjadi seorang pembunuh. Kamu punya terlalu
banyak celah. Berada di belakangmu terlalu mudah.”
Dia
berbicara keras-keras, tepat di hadapan Ryuzaki.
Dan
suaranya… sedikit lebih keras dari biasanya di kelas. Cukup keras untuk
didengar Ryuzaki, tidak diragukan lagi.
“…!”
Wajah
Ryuzaki berubah karena frustrasi dan tidak percaya saat dirinya melotot ke
arahku.
Seolah
berkata, “Aku
tidak pernah tahu Shiho mempercayaimu sebesar ini…”
“S-Shiho,
hari ini panas sekali, jadi jangan terlalu lama berada di bawah terik matahari,
ya? Kamu mudah sekali terbakar... jadi jangan terlalu lama memasak, ya?”
Tak mau
kalah, Ryuzaki memanggil Shimotsuki-san.
Tapi saat
dia mendengarnya, raut wajahnya berubah sedingin es batu.
“…Aku
baik-baik saja.”
Dia jelas-jelas memperlakukannya
dengan sangat berbeda dariku. Bahkan Ryuzaki, yang
sebodoh mungkin, tampak terguncang.
“H-Hei…
Aku hanya mengatakan ini demi kebaikanmu sendiri…!”
Dirinya tampak putus
asa, mencoba menyelamatkan pembicaraan.
“Nakayama-kun,
aku akan ke sana sebentar.”
Tetapi
Shimotsuki-san hanya berjalan pergi, seolah melarikan diri dari tempat
kejadian.
“...Brengsek.”
Ryuzaki
mengumpat pelan, merasa frustrasi karena segala sesuatunya tidak berjalan
sesuai keinginannya. Ia menggertakkan giginya sambil melotot ke arahku.
“Ini
belum berakhir... Pertarungan sebenarnya baru dimulai sekarang.
Jangan berpikir sedetik pun kalau kamu sudah menang.”
Setelah
itu, ia berbalik dan berjalan pergi. Sedikit demi sedikit,
Ryuzaki terpojok. Dan kecepatannya semakin meningkat—
◆◆◆◆
“Po-Pokoknya,
kita akan membuat kari, jadi... mari kita bagi tugasnya.”
Di salah
satu sudut dapur perkemahan yang didirikan di taman alam, sebuah tenda besar
telah didirikan, dan para anggota kelompok berkumpul dalam lingkaran di
bawahnya.
“Yuzuki
dan aku sudah terbiasa memasak, jadi serahkan urusan pisau dan bumbu pada kami.”
Di
tengah-tengah semuanya, Ryuzaki dengan cepat memberikan instruksi.
Rupanya,
karena ini kegiatan memasak di luar ruangan, Ryuzaki dan Yuzuki—keduanya
percaya diri dengan masakan mereka—akan memimpin.
Mungkin
dia mencoba menebus sikap dingin Shimotsuki-san padanya sebelumnya, karena
Ryuzaki tampak luar biasa bersemangat.
“Kirari,
kamu menangani
peralatan makan dan masak nasi. Azusa, aku akan menyuruhmu mengupas sayuran.
Kalian berdua di sana—orang-orang dibutuhkan untuk membantu mempersiapkan
turnamen rekreasi sore, jadi pergilah ke sana. Dan Nakayama... kamu bertugas sebagai
pengapian.
Dan pastikan kamu melakukannya sendiri, mengerti?”
Ia
berbicara kepada aku dengan nada yang sedikit mengintimidasi, mungkin karena dirinya sedang tertekan
dan tidak memiliki ruang mental untuk bersikap lebih sopan.
“Dan
untuk Shiho... mari kita lihat. Kamu bisa membantu Azusa
mengupas sayuran. Berhati-hatilah agar tidak terluka atau tergores, oke? Dan jika kamu selesai lebih
awal, jangan ragu untuk beristirahat. Jika ada sesuatu yang terjadi, beri tahu
aku, oke?”
“…………”
Meskipun
Ryuzaki bersikap sangat baik hati, Shimotsuki-san tetap bersikap
dingin. Dia hanya mengangguk diam dengan ekspresi kosong.
“Po-Po-Pokoknya, begitulah rencananya... Ayo kita
mulai.”
Respons
Shimotsuki-san yang kurang bersemangat tampaknya telah melemahkan semangat
Ryuzaki.
(Baiklah...
kurasa aku akan pergi mengumpulkan kayu bakar atau semacamnya.)
Tidak ada
gunanya melawan dan menyinggung perasaan orang lain. Aku memutuskan untuk
mengikuti instruksi dengan tenang.
Cara
menyalakan api sudah tertulis di buku panduan perjalanan menginap kami, jadi aku
ikuti langkah-langkahnya di sana. Aku mengambil beberapa kayu bakar dari
tumpukan di dekatnya dan membawanya kembali ke area kerja kami.
Aku
menata kayu bakar di tungku, menyalakan pemantik api, dan setelah beberapa
saat, api mulai membesar. Setelah itu, tidak banyak lagi yang bisa kulakukan.
Karena
tanganku kotor selama mengerjakan tugas tersebut, aku memutuskan untuk menuju
ke wastafel.
Yang di
dekat sana sedang digunakan oleh Ryuzaki dan Yuzuki, jadi aku pergi ke yang
agak jauh—dan menemukan Azusa dan Shimotsuki-san bekerja di sana.
“Apa
kamu pernah memasak sebelumnya, Shimotsuki-san? Aku sendiri belum pernah
melakukannya.”
“...Aku
juga belum.”
Shimotsuki-san
tampak sangat tegang, bahkan ketika berada di dekat Azusa. Namun,
ekspresinya sedikit lebih lembut daripada saat dia bersama Ryuzaki, yang
membuatnya merasa tenang.
Pada
tingkat ini, kupikir aku tak perlu ikut campur. Atau itulah yang kupikirkan—tapi
kemudian...
“Baiklah,
aku akan mencuci sayurannya. Apa kamu bisa mengupasnya,
Shimotsuki-san?”
“...Mengupasnya?”
Aku
lupa—Shimotsuki-san mungkin terlihat seperti itu, tetapi dia tidak terlalu
cakap dalam tugas-tugas praktis.
Dia
mungkin tidak bisa memasak sama sekali.
“Mengupasnya...?”
Sepertinya
dia baru saja mengetahui bahwa sayuran memiliki kulit. Dia
menatap wortel di tangannya dengan mata terbelalak.
“Ya!
Gunakan pengupas ini, oke?”
Azusa
menyerahkan alat itu padanya, dan Shimotsuki-san memiringkan kepalanya dengan
bingung.
“Alat
pengupas...?”
Gawat.
Itu ekspresi yang sama saat dia menghadapi soal matematika yang sulit. Ini
mungkin pertama kalinya dia melihat alat pengupas.
“...Jadi
begitu.”
Dia
menatap pengupas itu dalam diam selama beberapa detik, lalu tiba-tiba
mengangguk tanda mengerti—dan segera mulai memukul wortel itu dengannya.
Tentu
saja, dia menggunakannya secara salah.
Apa
sebenarnya yang dia “pahami”
?
“...Tunggu,
Shimotsuki-san... jangan bilang—kamu benar-benar tidak bisa memasak sama
sekali?”
Bahkan
Azusa kini menyadarinya.
“Aku
bisa memasak. Aku selalu melihat ibuku memasak.”
“Menonton
itu tidak sama dengan melakukannya! Ke-Kenapa kamu tidak
mengakuinya saja!?”
Kalau
dipikir-pikir lagi, ibu Shimotsuki-san dikenal sebagai juru masak yang hebat.
Aku sudah beberapa kali makan bento buatannya, dan hasilnya selalu lezat.
Mungkin
karena dia sangat terampil, dia bahkan tidak repot-repot menggunakan pengupas
untuk mengupas sayuran.
“A-Apa
yang harus kita lakukan... Haruskah aku meminta Shimotsuki-san mencuci sayuran
saja? Tidak, tunggu—dengan keadaannya, dia mungkin akan
menggunakan sabun dan spons untuk mencucinya...”
Jarang
sekali melihat Azusa kelihatan panik begitu. Biasanya, dia bertingkah
seperti adik perempuan pada umumnya dan cenderung memerintah orang lain, jadi
melihatnya menjadi orang yang kehilangan ketenangan terasa menyegarkan.
Saat aku
mendapati diriku sedang memperhatikan mereka berdua, mata Azusa yang sedari
tadi bergerak gelisah, tiba-tiba menatap tajam ke arahku.
Lalu,
seolah sesuatu terlintas dalam benaknya, matanya membelalak.
“Ah!
Onii-chan... baiklah, boleh aku menitipkan Shimotsuki-san padamu?"
“Hah?
Tunggu, tapi... Ryuzaki pasti akan marah.”
Orang itu
jelas-jelas berusaha memisahkanku dengan Shimotsuki-san. Saran
Azusa mungkin bukan sesuatu yang akan dihargainya, tapi dia hanya
mengangkat bahu dan tertawa kecil.
“...Mana
mungkin
Ryoma-oniichan mengamuk cuma karena hal remeh seperti itu. Biasanya
ia jauh lebih percaya diri dari ini—ia tampak tidak enak badan
hari ini. Jangan khawatir. Aku tidak menerima Ryoma-oniichan yang seperti itu.”
Dari
semua orang, Azusa tidak lagi membabi buta memihak Ryuzaki.
Selama
ini, dia selalu memandang segala tindakannya dari sudut pandang positif. Pergeseran
itu terasa seperti sebuah pertanda penting tentang apa yang akan terjadi.
...Yah,
bukan berarti memikirkannya akan mengubah apa pun.
“Baiklah
kalau begitu? Aku akan bergabung dengan Nakayama-kun. Semoga berhasil,
Azu-nyan.”
Dan saat
dia menyadariku berada di dekatnya, dia benar-benar santai di dekat
Azusa.
“A-Azu-nyan?
Apa itu?”
“Dia
adalah karakter dari anime favoritku. Dia punya aura adik perempuan, rambut
hitam dengan gaya kuncir kembar—sama persis seperti
dirimu.”
Ekspresi
kosongnya yang biasa melunak, dan dia tersenyum lembut dan hangat.
Melihat ekspresinya
yang begitu, raut
muka
Azusa menjadi merah padam—meskipun dia sendiri seorang gadis. Aku bisa
mengerti. Senyum Shimotsuki-san benar-benar sangat berdampak besar.
“Ah,
aku paham... baiklah kalau begitu...”
“Bagus.
Kalau begitu, aku akan serahkan sayurannya padamu. Kurasa aku lebih cocok untuk
sesuatu yang lebih besar . Nakayama-kun, kamu setuju, ‘kan?”
Saat dia
menyadari kehadiranku di sana, Shimotsuki-san mulai bersikap normal, bahkan di
hadapan Azusa.
“Jadi,
Nakayama-kun, apa yang sedang kamu kerjakan? Aku yakin kalau aku membantu, kita
bisa menyelesaikannya dalam sekali jalan—jadi, jangan ragu untuk
mengandalkanku, oke?”
...Yah,
kurasa mau bagaimana lagi. Ryuzaki mungkin akan kesal, tapi untuk
sekarang, aku akan memprioritaskan membuat kenangan bersama Shimotsuki-san.
“Aku
sedang bertugas sebagai pengapian.”
“Pengapian!?
Aku paham... kedengarannya seperti tugas yang tepat untukku!”
Sempurna dalam
hal apa tepatnya?
“Baiklah,
aku sudah menyalakan apinya. Yang tersisa hanyalah menambahkan kayu bakar.”
“Oh,
benarkah... sayang sekali. Aku selalu bermimpi mengendalikan api seperti
pesulap—kedengarannya sangat keren.”
Kami
mengobrol seperti itu saat aku membimbingnya kembali ke kompor.
“Oooh,
panas sekali... Hei, hei, Nakayama-kun. Panas sekali!”
Shimotsuki-san
mengulurkan tangannya ke api, tampak menikmatinya seperti anak kecil yang
gembira.
“Apa
ini kayu bakar? Bolehkah aku menaruhnya di sana?”
“Iya, tapi hati-hati saja,
jangan sampai tanganmu masuk.”
“Aku
bukan anak kecil, aku tidak akan melakukan itu—aduh, panas!?”
Seperti
yang diduga, Shimotsuki-san terlalu dekat dengan api. Dia tampak tidak
terbakar, tetapi dia gelisah karena malu atas kesalahannya.
“...T-Tanganku
jadi kotor!”
Lalu,
seolah mencoba menutupinya, dia mengulurkan telapak tangannya agar aku
melihatnya. Tidak terlihat begitu kotor, tapi aku tetap menatapnya—tertarik
pada tangannya yang kecil dan jari-jarinya yang ramping.
Lalu,
tiba-tiba saja, dia mengulurkan tangan dan menyeka tangannya di bajuku.
“Ei!”
“H-Hei!”
Sejujurnya
aku terkejut dia menggunakan bajuku sebagai handuk.
“Ahaha,
aku cuma bercanda! Jangan khawatir—tanganku tidak sekotor itu kok!”
Dia
tertawa terbahak-bahak, jelas-jelas menikmati reaksiku. Melihatnya seperti
itu, aku jadi yakin. Shimotsuki-san sedang
bersenang-senang.
Dia
benar-benar menikmati berada di sini bersamaku. Biasanya, dia sangat sensitif
terhadap orang lain di sekitarnya—tapi sekarang, rasanya dia telah melupakan
semua itu dan hanya bisa melihatku .
Karena
itu, dia bahkan tidak menyadari saat pria itu mendekat.
Seperti
seekor binatang kecil yang tak berdaya dan lengah, dia benar-benar santai.
“H-Hei...
kenapa Shiho ada di sini?”
Aku baru
menyadari keberadaannya setelah dia memanggilku.
Aku
berbalik—dan di sana berdiri Ryuzaki Ryoma.
“...Haa.”
Shimotsuki-san
menyadarinya
beberapa saat kemudian dan mendesah kesal yang berlebihan.
Kalian
mungkin berpikir Ryuzaki akan menangkap isyarat bahwa dia tidak diterima—tetapi
sebaliknya, fokusnya beralih sepenuhnya padaku.
“Nakayama,
aku sudah bilang padamu untuk melakukannya sendiri, bukan? Jadi kenapa kamu bersama Shiho?”
Ryuzaki
mendesakku,
memaksaku mundur selangkah.
Aku mulai
berpikir tentang bagaimana aku bisa menjelaskan diriku sendiri ketika—
“Azusa
yang mengatakannya.”
Perkataan tersebut tiba-tiba datang dari samping. Saat aku menoleh, Azusa sudah
berdiri di sana. Dia pasti ada di dekat situ, saat tengah mengupas sayuran.
“Azusa?
Kenapa kau...?”
“Aku
bisa mengupas sayuran sendiri, lho. Lagipula, tugas pengapian
jauh
lebih berat—jadi mengapa kamu melimpahkan semua itu pada Nakayama-kun?
Dia tampak kesulitan membawa kayu bakar yang berat itu.”
Jarang
sekali Azusa berbicara terus terang seperti itu. Mungkin itu sebabnya Ryuzaki
terkejut dan tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
“I-Itu
benar, tapi tetap saja...”
“Sepanjang hari ini kamu bertingkah aneh, Ryoma-oniichan.”
Setelah mengatakan itu, Azusa berjalan pergi. Mungkin karena
kata-katanya, Ryuzaki tampak tidak nyaman dan tidak mengatakan apa pun lagi
kepadaku.
“...Cih.
Aku tahu aku sudah bertindak keterlaluan, sialan.”
Ia
bergumam pelan, memelototiku, lalu berjalan pergi. Baru setelah
itulah Shimotsuki-san akhirnya berbicara lagi.
“Oh,
ngomong-ngomong, Nakayama-kun—berapa tinggi badanmu?”
Sepertinya
dia memutuskan untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Dia mengabaikan
Ryuzaki.
Jelaslah
bahwa segala sesuatunya tidak berjalan baik untuknya.
Sang
protagonis semakin merasa terpojok—
◆◆◆◆
Kalau cara bicara tidak
berhasil, maka aku akan memenangkan hatinya lewat perutnya.
Mungkin
itulah yang dipikirkan Ryuzaki, karena ia mendedikasikan dirinya sepenuhnya
untuk membuat kari.
“Shiho,
bagaimana menurutmu? Aku menggunakan kari roux yang dibeli di toko, tapi
hasilnya lumayan enak, kan? Cara memotong bahan atau memasaknya benar-benar
mengubah rasanya.”
Setelah
selesai memasak, kelompok kami duduk untuk makan
bersama, dan Ryuzaki dengan bersemangat mencoba menarik perhatian Shimotsuki-san.
“Kamu
benar-benar jago dalam hal ini, Ryoma-san. Rasanya lezat sekali.”
“Yup!
Masakan Ryu-kun memang selalu enak~ Tapi masakan hari ini sangat lezat,
menurutku?”
Yuzuki
dan Kirari menyanjung Ryuzaki seperti yang biasa mereka lakukan, tetapi Ryuzaki
hanya memperhatikan Shimotsuki-san. Dirinya bahkan tidak melirik
kedua orang lainnya.
“Hmm...”
Azusa
memiringkan kepalanya, jelas-jelas merasa tidak senang. Mungkin dia
punya pikiran sendiri tentang tingkah laku Ryuzaki hari ini.
Tetap
saja, Ryuzaki tetap fokus pada Shimotsuki-san.
“Shiho,
maukah kamu memberiku pendapatmu? Aku bahkan membuatnya manis, karena
kupikir kamu akan menyukainya. Jika kamu menganggapnya enak, aku
akan sangat senang.”
Bahkan
ketika diajak bicara, Shimotsuki-san tetap mengunyah dalam diam, ekspresinya tidak
berubah sama sekali.
Sepertinya
dia bertekad untuk tetap diam—tapi Ryuzaki begitu ngotot sehingga dia
akhirnya menyerah dan membuka mulutnya, meskipun dengan enggan.
“...Itu
normal.”
Rupanya,
menurut Shimotsuki-san, rasanya tidak istimewa—tidak enak atau buruk.
“N-Normal?
Mana
mungkin, ayolah...”
Ryuzaki
mungkin percaya diri dengan masakannya. Kata-kata lugasnya jelas membuatnya
terkejut, matanya berkedip karena terkejut.
(Rasanya
memang enak sekali... tapi kalau dibandingkan dengan masakan ibu
Shimotsuki-san... ya.)
Seleraku
sangat cocok dengan itu. Namun, ibu Shimotsuki-san pada dasarnya adalah seorang
profesional—dia memiliki lisensi memasak dan kualifikasi ahli gizi bersertifikat.
Melawan
orang seperti itu, mustahil pelajar seperti Ryuzaki bisa menang. Shimotsuki-san
tidak terkesan dengan masakannya.
“Hei,
hei, Nakayama-kun. Kamu tidak mau meminum airmu?”
Di sisi
lain, reaksinya kepadaku sangatlah ramah.
“Uh,
ya, aku mau meminumnya.”
“Benarkah?
Aku sudah menghabiskan semua minumanku, jadi aku akan minum sedikit saja
milikmu, oke?”
Tanpa
menunggu izinku, dia meraih cangkir aku dari sampingku dan
menyesapnya, lalu mengembalikannya.
A-Apa
yang baru saja terjadi?
Aku masih
dibuat bingung
dengan tindakannya yang tiba-tiba dan menatapnya—kemudian dia menyeringai
nakal.
“Ngomong-ngomong,
kalau kamu minum sekarang, Nakayama-kun... itu akan jadi ciuman
tidak langsung, lho. Kamu menyadarinya, ‘kan?”
“...!?”
Ya... menempelkan
mulutku di sana sekarang pasti akan sedikit... tidak,
rasanya sangat memalukan.
Tetap
saja, kalau Shimotsuki-san yang menggodaku seperti ini, aku
tidak membencinya.
(Tapi
kawan, aku sungguh berharap dia menahan diri... sedikit saja saat ini.)
Aku
melirik ke arah Ryuzaki yang duduk di seberang meja—dan ia tampak benar-benar
tercengang, setelah menyaksikan seluruh percakapan itu.
Shimotsuki-san hampir tidak bereaksi padanya, tetapi sekarang dia penuh
ekspresi, tertawa dan menggoda.
Ryuzaki
tampak seperti terkena pukulan serius karenanya.
Namun
cobaan yang dialaminya belum berakhir—
◆◆◆◆
Setelah
memasak di luar ruangan dan makan siang, kami beristirahat sejenak dan kemudian
memulai turnamen rekreasi.
Meski
namanya terdengar keren, itu hanyalah pertandingan dodgeball
antarkelas.
Meski
begitu, pertandingan itu digelar di bawah terik matahari, dan karena aku tidak
terlalu suka atau jago olahraga, aku tidak terlalu menantikannya.
Berbeda
denganku, Shimotsuki-san tampak sangat bersemangat.
“Nakayama-kun,
kamu akan menjadi peserta berikutnya dalam pertandingan dodgeball putra, ‘kan? Aku akan
menyemangatimu, jadi berusahalah sebaik mungkin! Aku akan menonton dari sana,
di tempat yang teduh.”
Dia
menunjuk ke suatu tempat di bawah pepohonan, letaknya agak jauh di mana
tidak banyak siswa lain.
Jika dia
menonton...baiklah, kurasa aku harus mencoba.
“Aku
akan beruntung jika bisa bertahan sampai akhir.”
“Kamu
bisa melakukannya! Aku mengandalkanmu!”
Dengan
sorak sorai yang meriah darinya, permainan pun dimulai.
Dan
hasilnya—adalah bencana.
“Ahaha...
T-Tidak, hentikan! Perutku sakit! Nakayama-kun, kamu benar-benar
berkata 'guhehh' saat bola itu mengenaimu, ‘kan? Aku
mendengarnya dengan keras dan jelas! Aku terus tertawa tanpa henti sejak saat
itu!”
Bukannya
aku tidak berusaha mencoba. Tapi aku terkena lemparan
pertama dari tim lain tepat di perutku dan terjatuh dengan suara yang
menyedihkan.
Berkat
Hanagishi dari tim bisbol dan Ryuzaki yang sangat atletis, kami masih berhasil
memenangkan permainan—tetapi aku tidak berkontribusi apa pun.
Rupanya,
Shimotsuki-san telah menonton semuanya, karena dia masih tertawa saat aku
kembali. Dia tertawa sangat keras hingga ada air mata di sudut matanya.
“Alangkah
baiknya jika kamu bertahan sampai akhir! Ahahaha!"
“...Tahu
enggak,
kalau kamu sampai tertawa sekeras itu, rasanya hampir menyegarkan.”
“Ahh,
lucu sekali! Sekarang aku merasa benar-benar bersemangat.”
Setelah menyeka
air matanya dengan lengan baju olahraganya, Shimotsuki-san berdiri.
Bahkan di
bawah terik matahari, dia tidak melepaskan jaketnya—mungkin karena dia tidak
ingin kulitnya kecokelatan. Itu membuatnya sedikit berkeringat, dengan semburat
merah samar di pipinya.
Meskipun...
mungkin semburat merah itu bukan hanya karena terik matahari. Mungkin dia lebih
bersemangat dari biasanya.
“Selanjutnya
giliran
para gadis, kan? Nakayama-kun, perhatikan baik-baik—aku akan menunjukkan
kepadamu bagaimana melakukannya! Aku akan mengajarimu apa
itu dodgeball!”
Entah
mengapa, Shimotsuki-san sangat percaya diri saat berlari ke lapangan. Tapi cara larinya kelihatan
canggung
dan berat—tidak terlalu atletis.
Memangnya
dia benar-benar mengajariku sesuatu tentang dodgeball?
Saat aku
memperhatikannya dari jauh, aku melihat Ryuzaki berdiri di dekat tepi lapangan.
Ia
tidak menyemangati Azusa dan yang lainnya seperti biasanya... atau setidaknya,
begitulah yang kukira.
Saat ini,
perhatian Ryuzaki hanya tertuju pada Shimotsuki-san.
Ekspresinya
tidak tenang seperti biasanya—dirinya malah tampak cemas.
Kalau
dipikir-pikir, Ryuzaki selalu memperlakukan Shimotsuki-san seperti dia lemah...
jadi mungkin dia khawatir dia akan terluka atau pingsan.
(Kurasa
ia tidak perlu terlalu khawatir...)
Shimotsuki-san
penuh energi. Kalau boleh jujur, dia sangat bersemangat sehingga bahaya seperti
itu perlu dikhawatirkan.
Prpipittttt!
Suzuki-sensei
yang bertanggung jawab atas acara tersebut, meniup peluit tanda dimulainya
pertandingan.
Berbeda
dengan pertandingan putra, permainan dodgeball putri kurang bersemangat. Bahkan
gadis-gadis atletis tampak lebih mengkhawatirkan matahari daripada menang, bermain
dengan sikap ‘ayo kita selesaikan ini
dengan cepat’.
Karena
itulah,
Shimotsuki-san yang sebenarnya berusaha sekuat tenaga, berhasil menghindari
terkena bola. Gerakannya masih cukup canggung, tetapi dibandingkan
denganku—yang langsung keluar—dia melakukannya dengan sangat baik.
Dan entah
bagaimana, dia berakhir sebagai orang terakhir yang tersisa di timnya.
Hanya
satu lawan yang tersisa. Bola berada di sisi lain, tetapi jika dia bisa
menangkapnya dan mengopernya ke luar lapangan, mereka akan memiliki peluang
bagus untuk menang.
“Ayo,
kamu sudah sampai sejauh ini—teruslah berjuang.”
Aku
berbisik pelan agar keceriaanku tidak terlalu mencolok.
Aku tak
menyangka suaraku akan sampai padanya, tapi Shimotsuki-san, dengan
pendengarannya yang super, menatap tepat ke arahku seakan-akan dia mendengarku.
Tapi…
tepat pada saat itu, lawan melemparkan bola.
“Ah!?”
Shimotsuki-san
buru-buru mengulurkan tangan untuk menangkapnya.
Namun
bola itu meluncur melewati tangannya—dan menghantam tepat di wajahnya.
“Gupehh! ”
Dengan
teriakan yang aneh dan lucu, Shimotsuki-san jatuh ke tanah.
“Uhma... Kelas 1
berhasil menang.”
Dengan
itu, permainan berakhir, dan Suzuki-sensei meniup peluit akhir.
“Shiho!?”
Ryuzaki
yang sedari tadi memperhatikannya pun segera bergegas menghampiri tempatnya
berbaring.
Ia
tampak seperti melihat sesuatu yang sangat tragis baru saja terjadi.
(Tidak,
serius... memangnya masalahnya sebesar itu?)
Itu
lemparan malas dari salah satu gadis, tidak cepat sama sekali. Tapi melihat
Ryuzaki panik seperti itu membuatku mulai merasa khawatir juga.
Aku
mendapati diriku bergerak menuju lapangan. Di depan, Shimotsuki-san berjongkok
sambil memegangi wajahnya, dan Ryuzaki berlutut di sampingnya.
“Shiho,
kamu ini lemah, jadi kamu seharusnya tidak melakukan hal-hal seperti ini sejak
awal, seperti yang kukatakan! Astaga... ini, handuk. Apa kamu terluka?”
Ryuzaki
mencoba merawatnya dengan lembut. Tapi Shimotsuki-san tidak
mengambil handuknya.
“Ugh...
uuuu...”
Tiba-tiba,
dia memegang hidungnya dengan kedua tangan dan berdiri. Masih dengan mata
berkaca-kaca, dia melihat sekeliling—dan saat dia melihatku, dia langsung
berlari ke arahku.
Semua
orang di sekitar kami hanya menatap kosong.
Bahkan
Ryuzaki yang mengulurkan handuk pun diabaikan begitu saja dan dibiarkan
tercengang.
“Nakayama-kun!
Panggil ambulans... Ini darurat!”
Meski dia
menarik perhatian dari mana-mana, Shimotsuki-san bersikap sangat alami. Seperti
biasa, saat aku berada di dekatnya, dia seakan-akan melupakan keberadaan
orang
lain.
Itu hanya
terjadi saat aku ada di dekatnya, tapi saat itu terjadi, rasa malunya pun
hilang sepenuhnya.
Meski
begitu, aku juga tidak suka ditatap, jadi aku mulai menjauh dari kelompok itu.
Shimotsuki-san mengikutiku seperti zombi yang berjalan lambat dan sempoyongan.
Setelah aku
membawanya kembali ke tempat teduh tempat kami berada sebelumnya, aku memeriksa
kondisinya.
“Bolanya
mengenai hidungmu?”
“Ya.
Rasanya
seperti salah satu bola cepat yang dilempar oleh pemain Liga Utama Jepang dua
arah—masuk tepat dan menghancurkan hidungku.”
Jika dia
bisa bercanda tentang hal itu dengan begitu fasih, maka dia mungkin baik-baik
saja.
“Kamu
keberatan
kalau aku melihatnya?”
“Tentu
saja! Lihat—aku yakin warnanya merah terang!”
Dia
menyingkirkan tangannya, membiarkanku memeriksa. Benar saja, hidungnya agak
merah.
Namun,
tidak ada pendarahan, dan tidak terlihat bengkak. Mungkin sedikit sakit, tetapi
tidak tampak serius.
“Kamu terlihat
baik-baik saja… Mau aku beri tahu Suzuki-sensei untuk berjaga-jaga?”
“Hah? Aku
baik-baik saja? Oh... benarkah? Sekarang setelah kau menyebutkannya, aku merasa tidak begitu sakit lagi?”
Karena sudah
beberapa menit berlalu, jadi kemerahannya tampak memudar juga. Dia tampak
baik-baik saja. Fiuh … kurasa itu melegakan.
“—Nakayama,
apa Shiho baik-baik saja?”
Apa dirinya menunggu pada saat yang tepat?
Saat
keadaan mulai tenang, Ryuzaki tiba-tiba angkat bicara.
“...”
Pada saat
itu, Shimotsuki-san melangkah mundur dengan hati-hati—seolah mencoba
bersembunyi di belakangku, menempatkanku di antara pandangannya dan Ryuzaki.
Melihat
itu, Ryuzaki menggigit bibirnya karena frustrasi.
“...Jika
dia baik-baik saja, maka itu yang terpenting. Maaf telah menghalangi.”
Hanya itu
saja yang diucapkannya sebelum berlalu. Bahunya terkulai saat dirinya berjalan
menjauh—jelas-jelas
ia
sedang merasa sedih.
Itu
pertama kalinya aku melihat Ryuzaki yang biasanya percaya diri terlihat seperti
itu.
Dirinya benar-benar
terpojok... Aku bisa merasakannya.
Di
sinilah semuanya dimulai.
Ceritanya yang
sudah
terbalik, sekarang jatuh ke dalam jurang.
Klimaksnya
sudah di depan mata—dan dengan itu, akhir sudah semakin dekat—
◆◆◆◆
Sisa
jadwal perkemahan berjalan tanpa hambatan. Setelah turnamen
rekreasi, hal-hal seperti mandi dan makan malam berjalan lancar.
Selama rentang
waktu itu
semua, Shimotsuki-san tak pernah meninggalkanku. Hampir seolah-olah dia
sedang
memamerkannya di depan Ryuzaki.
Mungkin
ini bentuk pembelaan dirinya sendiri. Sepertinya dia mencoba
menghentikan Ryuzaki untuk menembaknya dengan tetap berada di
dekatku.
Dan malam
pun tiba. Hanya dua acara yang tersisa dalam jadwal: uji
nyali dan api unggun .
“Ujian
nyali?
T-Tunggu, memangnya ada acara yang seperti itu!?
H-Hmph... A-Aku tidak takut hantu atau apa pun. Maksudku, mereka bahkan tidak
ada! Tapi, uh... sebenarnya, kurasa aku merasa sedikit tidak enak badan... jadi
aku akan melewatkan yang ini. Sampai jumpa! Nakayama-kun, aku akan kembali tepat
waktu untuk api unggun, oke?”
Tepat
pada waktunya, Shimotsuki-san berpura-pura sakit. Dia pasti pernah menggunakan
trik ini untuk menghindari kejadian sebelumnya... dia terlalu pandai
melakukannya.
Suzuki-sensei
tidak mempertanyakannya dan mengizinkannya beristirahat, jadi kami menjalani
ujian nyali tanpa kehadirannya. Taman
alam itu sebenarnya cukup menyeramkan di malam hari. Karena
letaknya
jauh dari perkotaan, begitu lampu dimatikan,
suasananya menjadi gelap gulita.
“R-Ryoma-san...
t-tolong jangan tinggalkan aku, oke? Kumohon, aku mohon padamu...”
“...Ya,
aku mengerti.”
“Ryu-kun,
aku tidak takut atau apa pun—Kyaa! Uh, teriakan itu palsu, oke!? Aku hanya
ingin terdengar imut sebentar!”
“...Benar,
tentu saja.”
Selama
berjalan menyusuri jalanan, Yuzuki dan Kirari menempel pada Ryuzaki,
bertingkah genit padanya. Biasanya, Ryuzaki akan menikmatinya, mungkin
sedikit pamer dan membuat hati para heroine berdebar-debar. Namun
kali ini, ia kelihatan tidak peduli sama sekali.
Balasannya
singkat dan dingin—Yuzuki dan Kirari sejujurnya tampak agak menyedihkan.
“…………”
Azusa
mengawasi mereka bertiga dari belakang.
Ia terus
memperhatikan Ryuzaki sepanjang perjalanan. Tapi tatapannya tidak tampak
seperti sedang mengaguminya—seperti sedang mencoba menilai sesuatu.
Benar...
Azusa berencana untuk menyatakan perasaannya saat acara api unggun... Itu hal
lain yang perlu dikhawatirkan.
Setelah
acara
ujian nyali selesai, api unggun pun siap dinyalakan.
Itulah
saat semuanya terjadi.
Saat aku
mencari Shimotsuki-san di lapangan untuk berkumpul kembali dengannya, aku
bertemu orang lain.
“Nakayama...
ada waktu sebentar?”
Ternyata
Ryuzaki Ryoma, yang sekarang benar-benar kehilangan semangat.
Karena
kebiasaan, aku hampir beralih ke akting ‘karakter sampingan’—tapi kemudian aku
ingat tidak ada gunanya membodohinya lagi. Jadi aku hanya berbicara jujur.
“Kamu
butuh sesuatu?”
“...Kamu jauh lebih keren
dari biasanya. Begitu rupanya—itulah sosok dirimu yang sebenarnya,
ya? Haha... Aku benar-benar tertipu. Ya, tentu saja... tidak mungkin seorang
pria bodoh dan riang bisa merebut Shiho dariku.”
Ryuzaki
bergumam seolah dia akhirnya menyadari sesuatu.
(Merebutnya?
Apa yang dikatakan pria ini... Shimotsuki-san tidak pernah menjadi
milikmu sejak awal)
Bahkan
gumamannya pun terdengar tidak menyenangkan.
Aku tidak
ingin berbicara dengannya lebih dari yang seharusnya—tetapi Ryuzaki tiba-tiba
mulai berbicara lagi.
“'Aku
akan serius mengejar Shiho,' ya? Lucu sekali... permainannya sudah berakhir
sejak lama. Kamu sudah berada di hatinya, dan apa pun yang kulakukan, sudah
terlambat.”
“…………”
“Ayolah,
katakan sesuatu... Rasanya menyenangkan, bukan? Mencuri teman masa kecil yang manis
dariku—rasanya pasti memuaskan, kan? Kalau begitu, nikmati
saja... Ejek aku, si pecundang.”
Senyum getirnya tidak
menunjukkan sedikit pun kegembiraan.
Lagipula,
aku tidak melakukan apa pun. Aku bahkan tidak bersaing dengan Ryuzaki... ia
menantangku untuk bertarung sendirian, kalah sendiri, dan hanya meyakinkan
dirinya sendiri akan hasil itu.
Cara
berpikirnya yang mementingkan dirinya sendiri, dibutakan oleh
asumsinya sendiri, sungguh melelahkan.
Aku ingin
menutup telingaku dan mengabaikannya, tetapi Ryuzaki tetap berbicara.
“Hari
ini aku mempertaruhkan segalanya. Dia selalu mengabaikanku di sekolah, tetapi
kupikir jika kami berada dalam kelompok yang sama dan menghabiskan banyak waktu
bersama, semuanya akan terasa lebih alami. Tapi... tidak ada yang berhasil.
Baik saat memasak atau berolahraga, dia bahkan tidak menoleh ke arahku. Dan di dalam
bus
dan selama uji nyali, dia terang-terangan menghindariku... Aku harus
mengakuinya—aku kalah.”
Sikapnya
terlihat seperti sedang merajuk.
“...Begitu ya. Kalau gitu,
apa kita sudah selesai di sini?”
Aku
menjawab singkat, dan Ryuzaki kembali tersenyum pahit.
“Bahkan
tidak ada sepatah kata pun untuk si pecundang, ya? Kamu punya ketenangan
yang luar biasa... Aku memberimu kesempatan sempurna untuk melampiaskan semua
kebencian dan kemarahanmu padaku.”
“Maaf,
aku tidak bisa memenuhi harapanmu.”
“Hah...
Kamu
bahkan membuatku merasa seperti aku telah kalah sebagai manusia. Jika kamu hanya
menghinaku, aku bisa saja menganggapmu sebagai orang yang picik dan merasa
lebih baik. Tapi tentu saja—kamu adalah tipe pria yang akan disukai Shiho.”
Dirinya jelas-jelas
hancur. Sambil bergumam mengeluh yang sulit didengar, ia perlahan
berjalan menuju hutan.
“Jaga
Shiho demi diriku, oke? Silakan bermesraan sesukamu—buatlah
itu cukup menyakitkan hingga membuatku merasa sengsara."
—Ryuzaki
telah mencapai titik terendah.
Aku punya
firasat ini akan menjadi titik balik.
Entah
baik atau buruk... jika Ryuzaki akan berubah, sekaranglah saatnya.
Akankah
dirinya
bangkit seperti tokoh protagonis sejati? Atau kehilangan aura
protagonisnya sepenuhnya dan menjadi sekadar karakter sampingan?
Sedangkan
aku... kuharap ini adalah saat di mana ia merenungkan dirinya sendiri dan
memperbaiki bagian-bagian dirinya yang terlalu egois. Kalau tidak, gadis-gadis
yang dulu peduli padanya tidak akan bisa menemukan kebahagiaan.
Saat aku
tengah memikirkan semua itu—tiba-tiba ada orang lain yang angkat bicara.
“...Ryoma
Onii-chan benar-benar bertingkah aneh, ya?”
Karena kaget,
aku menoleh melihat seorang gadis dengan rambut kuncir kembar berwarna
hitam tengah menatap diam ke arah Ryuzaki pergi.
Dia
tampak begitu muda sehingga bisa disangka sebagai anak SD—tapi ekspresinya
memiliki beban muram yang tidak sesuai dengan penampilannya.
“Mengatakan
hal sebodoh itu... dia benar-benar salah, bukan?”
“...Kamu mendengarkan
pembicaraan kami?”
“Ya.
Aku memperhatikan Ryoma-oniichan sepanjang hari...”
Setelah
mengamati dengan saksama, Azusa tampaknya sudah mengambil keputusan—pasti ada
sesuatu yang aneh dengan Ryuzaki hari ini.
Tetap
saja... kenapa Azusa berbicara padaku sekarang? Jangan bilang... dia akan menyatakan
perasaannya sekarang? Padahal api unggunnya belum dinyalakan?
Aku tidak
dapat memahami maksudnya, jadi aku mencoba mencari tahu respons macam apa yang
diharapkannya.
“...Saat
ini, aku mungkin bisa berbicara dengan Ryoma-oniichan sendirian tanpa
ada yang mengganggu. Apinya belum menyala, tetapi begitu menyala, suasananya
akan menjadi terlalu berisik untuk mengakui apa pun.”
…Jadi dia
benar-benar berencana untuk menembak sekarang.
Lalu
pertanyaannya—apa yang dapat kulakukan untuknya?
apa aku harus menyemangatinya dan mendorongnya?
Atau aku
menghentikannya dan mencegahnya melanjutkan hal itu?
...Tidak,
sepertinya bukan itu juga.
Karena
mata Azusa tampak membara—dengan sejenis api yang tampak seperti dia telah
mengambil keputusan.
Jika
memang begitu, mungkin yang harus kulakukan adalah memberi semangat pada api
itu dan membantunya menyala lebih terang.
“Kalau
begitu, jangan menembaknya? Menurutku, jatuh cinta pada pria menyedihkan
seperti itu adalah hal yang sia-sia.”
Aku
mengatakannya dengan cara yang tidak akan memadamkan api di hatinya. Sebagai
tanggapan, Azusa memberiku senyuman hangat dan ceria sambil menggelengkan
kepalanya.
“Tidak.
Aku takkan membatalkannya. Meskipun dirinya menyedihkan, meskipun dirinya tidak keren...
bagiku, ia tetap onii-chan idamanku ."
…Ya. Kupikir ini
pendekatan yang tepat.
Waktunya terasa
agak tiba-tiba, tapi… kurasa itu artinya perasaannya sudah meluap sampai-sampai
dia tidak bisa menahannya lagi.
“Tidak
peduli seperti apa rupa Ryoma-oniichan... aku akan selalu
menyukainya.”
Dia
mengatakannya seperti sebuah deklarasi. Atau mungkin, seolah
meyakinkan dirinya sendiri—dia kembali mengungkapkan perasaannya dengan
lantang.
“Onii-chan...
terima kasih. Dan maaf karena hanya datang kepadamu saat ada waktu luang.”
“...Jangan
khawatir. Kamu tidak perlu menahan diri di sekitar keluarga. Jadilah egois
semaumu.”
Bahkan
jika suatu hari nanti kamu mulai membenciku—
—Aku
dapat mengatakan dengan pasti bahwa aku takkan pernah membencimu.
“Aku
akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, Azusa. Jadi... lakukanlah.”
—Akhirnya,
aku bisa mengatakan kata-kata penyemangat itu langsung padanya.
Usai mendengar dukunganku, Azusa memegangi dadanya erat-erat.
“Umm...
bolehkah aku meminta satu bantuan egois lagi?”
Tentu
saja. Aku mengangguk pelan padanya, mendesaknya untuk melanjutkan.
“...
Maukah kamu menontonku? Aku akan berusaha sekuat tenaga.”
Kali ini
suara Azusa terdengar sedikit bergetar, matanya samar-samar tampak
berkaca-kaca
karena air mata. Dia akan mengumpulkan seluruh keberaniannya dan mengungkapkan
perasaannya kepada orang yang dicintainya.
Namun dia
sebenarnya pemalu, jadi mungkin dia ketakutan.
“Ya,
aku akan menontonnya. Aku janji.”
Kalau
kehadiranku bisa meredakan sedikit saja ketakutan itu, maka aku tidak punya
alasan untuk menolaknya.
Ryuzaki…
Azusa sungguh mencintaimu.
Bahkan
sisi-sisimu yang tidak keren dan menyedihkan—dia sudah menerima semuanya, dan
dia masih mencintaimu.
Aku
berharap perasaan Azusa menjadi ‘obat’ yang menyembuhkan
Ryuzaki Ryoma dari racunnya. Jika itu terjadi, maka aku percaya kebahagiaan
yang sederhana dan biasa sedang menunggu di masa depan.
Tidak
perlu ada akhir yang megah dan dramatis.
Sebuah
komedi romantis yang tenang, membosankan—bahkan menjemukan—tetapi membahagiakan
terdengar pas untukku.
Aku
benar-benar berharap Azusa bisa mencapai masa depan yang seperti itu—
◇◇◇◇
Sepanjang
hari, dia hanya memperhatikan Ryoma.
Bukan
hanya saat ia berusaha bersikap tenang di depan Shiho, tapi juga saat hal-hal
tidak berjalan sesuai keinginannya dan ia melampiaskannya pada Koutarou—Azusa
sudah melihat semuanya.
Tidak
keren.
Itulah
emosi yang dirasakan Azusa terhadap Ryoma hari ini.
Itu
bukan Ryoma-oniichan kukenal!
Ryoma
yang dia sukai jauh lebih keren dari itu.
Dirinya selalu penuh
percaya diri, menangani semuanya dengan lancar dengan ekspresi tenang—dan Azusa
menyukai
sisi santai dan dapat diandalkannya itu. Namun hari ini, orang itu tidak
terlihat demikian.
Meski
begitu… Azusa tidak merasa kecewa pada Ryuzaki.
Sebaliknya,
melihat sisi lemahnya justru membuatnya menegaskan seberapa
besar dia menyukainya .
(Aku
bahkan tidak tahu mengapa aku jatuh cinta padanya sedalam ini... tetapi
perasaan ini tidak palsu. Aku benar-benar mencintai Ryoma-oniichan dengan
sepenuh hatiku.)
Dia
selalu kurang percaya diri dengan emosinya sendiri.
Karena dia telah jatuh
cinta padanya tanpa menyadari kapan atau bagaimana, dia sering merasa
dibayangi oleh gadis-gadis lain yang juga menyukai Ryuzaki. Dirinya bahkan mulai
membenci dirinya sendiri karenanya.
Ketika Azusa mencoba membuat
pengakuan di belakang gedung olahraga beberapa waktu lalu, hal
itu merupakan
usahanya untuk mengklarifikasi perasaannya yang ambigu.
(Kalau
tidak salah… Awalnya aku tertarik dengan Ryoma-oniichan karena dia
mirip sekali dengan “onii-chan”-ku yang menghilang.)
Setelah
berpisah dengan Kotaro—
Azusa
berjalan ke arah Ryoma pergi, mengenang hari pertama mereka bertemu.
Saat
upacara penerimaan siswa baru SMA, pertemuannya dengan Ryoma membuatnya
terkejut.
Karena
dia tampak persis seperti kakak laki-lakinya yang telah menghilang dari
kehidupannya.
Azusa
kehilangan saudara kandungnya dalam sebuah kecelakaan saat dia masih duduk di
kelas empat SD. Tumbuh dalam keluarga dengan orang tua tunggal, kakak
laki-lakinya yang mengasuhnya menggantikan ayah mereka yang selalu sibuk—ia
adalah orang yang paling dapat diandalkan dan dicintai dalam hidupnya.
Saat itu,
dia masih terlalu muda untuk memahami sepenuhnya apa arti kematian. Azusa meyakinkan
dirinya sendiri bahwa saudara laki-lakinya telah tiada karena dia telah menjadi
‘gadis
nakal’.
“Jika aku
gadis baik, Onii-chan akan kembali, kan?”
Ayahnya
tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya saat dia mengatakan hal itu. Dan
sejak saat itu, aliran waktu seakan berhenti bagi Azusa.
Dia terus
menunggu kepulangan kakaknya. Dia mengikat rambutnya dengan
kuncir kembar, sambil berpikir bahwa saat mereka bertemu lagi,
kakaknya akan langsung mengenalinya. Tubuh dan hatinya pun tampaknya telah berhenti
tumbuh—seolah-olah seirama dengan momen yang membeku itu.
Karena merasa cemas dengan keadaannya, ayahnya berharap pernikahannya kembali
akan membantu Azusa untuk bangkit. Namun, sebaliknya, dia malah memproyeksikan sosok
kakaknya
kepada
Kotaro, teman sekelasnya—dan dia, yang mencoba memenuhi harapannya, memainkan
peran sebagai ‘onii-chan’-nya.
Namun
bagi Azusa, Kotaro tidak lebih dari sekadar pengganti.
Penampilan
dan tindakannya sama sekali tidak seperti kakak idealnya, dan seiring
berjalannya waktu, ia mulai merasakan perbedaan itu.
“Mungkin…
mungkin Onii-chan ini sebenarnya bukan Onii-chanku.”
Kecurigaan
itu mulai tumbuh saat dia bertemu Ryoma—dan setelah melihat kemiripannya dengan kakak
kandungnya, dia yakin bahwa Ryoma adalah ‘Onii-chan idamannya’.
Namun
jauh di lubuk hatinya, dia tahu.
Ryoma
bukanlah kakak kandungnya. Penampilannya cuma mirip
seperti kakaknya—di
dalam, mereka adalah orang yang sama sekali berbeda.
Meski
begitu, dengan mempertimbangkan hal itu, dia menyadari hal lain: pada suatu
titik, dia mulai menyukai Ryoma sebagai lawan jenis .
Kebenaran
itu menjadi jelas baginya selama perjalanan semalam itu.
(Aku
tidak ingin melihat Ryoma Onii-chan bersikap tidak keren lagi.)
Azusa
ingin orang yang paling dicintainya selalu tetap tenang dan bermartabat. Dan
itulah alasannya—dia ingin menarik Ryoma dari obsesinya terhadap Shiho, dan
membuatnya menyerah dengan lapang dada.
Maka dari
itu, dia berharap—berharap agar Ryoma jatuh cinta padanya.
Usai menyingkirkan
rumput-rumput tinggi dan dahan-dahan, Azusa berjalan semakin dalam ke taman
alam. Dia berjalan lurus ke arah Ryoma menghilang, dan
dalam waktu kurang dari semenit, dia menemukannya.
“Sialan.
Kenapa bukan aku…? Kenapa aku kalah dari orang seperti itu?”
Ryoma
duduk terkulai di tunggul pohon, menggerutu pelan. Dirinya bahkan tidak
menyadari Azusa mendekat, terlalu asyik dengan gumamannya sendiri.
“…!”
Melihatnya
seperti itu, Azusa merasa sedikit takut. Versi ‘Ryoma-oniichan’ yang kesal dan
tidak ramah ini terlihat seperti orang asing baginya.
Dia bisa
saja berbalik dan lari. Jika dia melakukan itu, dia tidak perlu berhadapan
dengan Ryoma.
Tetapi…
dia mengingat Kotarou—mungkin sedang mengawasi dari suatu
tempat, meski dia tidak bisa melihatnya.
(Karena
Onii-chan mengawasiku…)
Usai mengandalkan
dukungan keluarganya yang selalu peduli, Azusa mengambil langkah maju.
Saat
itulah Ryoma akhirnya memperhatikannya.
“…Azusa?
Apa yang kamu lakukan di sini? Aku sedang tidak ingin bicara sekarang,
jadi tinggalkan aku sendiri.”
Mengapa
Azusa ada di sini?
Perasaan
apa yang dirasakannya saat berdiri di hadapannya?
Ryoma
tidak berhenti untuk mempertimbangkan semua itu. Ia hanya memilih
kata-katanya berdasarkan apa yang dirasakannya saat itu.
Azusa
mendesah pelan.
“Kamu benar-benar
payah sekarang, Ryoma-oniichan.”
Dia
mengatakan apa yang ada di pikirannya, tanpa basa-basi. Lalu dia
melanjutkannya, dengan sangat jelas.
“Itulah sebabnya Shiho-san tidak
menganggapmu serius.”
“…Diam.”
Seketika itu juga, udara menjadi dingin. Ryoma melotot ke arahnya,
bahunya gemetar karena marah. Ketegangan di atmosfer terasa nyata.
Mungkin
itu satu hal yang paling tidak ingin didengarnya saat ini. Dan meskipun Azusa
yang mengatakannya, emosinya tidak dapat ditahan.
(Aku
tahu itu... dia menakutkan... Tapi tetap saja!)
Kotarou akan
melindunginya jika terjadi sesuatu. Perasaan aman itulah yang
memberi Azuda keberanian untuk menghadapi Ryoma secara
langsung.
“Lihat?
Ryoma-oniichan yang mengatakan hal-hal kejam seperti itu kepada
Azusa… sungguh tidak keren. Melampiaskannya pada orang lain tidak akan membuat
Shiho-san menoleh padamu.”
“…Ini
tidak ada hubungannya denganmu.”
Ia
berdiri dengan sikap mengancam dan melangkah ke arah Azusa. Namun, Azusa justru
tanpa
gentar melangkah maju ke arahnya.
“Itu
memang ada hubungannya denganku. Tapi aku juga punya hak untuk
terlibat.”
Sambil
mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, Azusa mengepalkan tangan
kecilnya dan menggenggamnya erat-erat seakan sedang mempertahankan
pendiriannya.
Lalu,
dengan mata terpejam rapat, dia memaksakan suaranya keluar dengan teriakan
gemetar.
“Karena
aku mencintaimu, Ryoma-oniichan!”
Akhirnya,
dia mengatakannya. Dia membiarkan perasaannya yang terpendam
lama meledak ke permukaan.
“…Hah?”
Sedangkan
di sisi lain, Ryoma tampak benar-benar tercengang—seolah-olah dirinya tidak percaya
apa yang baru saja didengarnya.
“Eh?
Apa-apaan
tadi? Maaf, aku kurang paham.”
Karena semuanya terjadi begitu mendadak sehingga ia
benar-benar kehilangan kata-katanya.
Sekarang merupakan
kesempatan
yang sempurna untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa… Namun Azusa terus maju,
bertekad untuk tidak membiarkan dirinya salah paham.
“Aku
bilang aku mencintaimu! Dan tentu saja aku mengatakannya dengan romantis, oke?
Bukan 'seperti saudara' atau semacamnya. Aku ingin berkencan denganmu,
memegang tanganmu, menciummu... Aku mencintaimu sebagai seorang pria, Ryoma-oniichan!”
Dia
pernah memberikan petunjuk sebelumnya, tetapi Ryoma selalu menepisnya. Karena
takut ia akan melakukannya lagi, Azusa mengungkapkannya kali ini, menumpuk
pengakuannya dengan kejelasan yang disengaja.
“Jadi,
lupakan saja Shiho-san… Aku tidak ingin melihat versi menyedihkanmu ini. Aku
ingin kamu tetap menjadi Ryoma-oni-chan keren seperti yang
selalu kucintai!”
Dia
menuangkan isi hatinya dalam setiap kata.
Jantungnya
berdebar kencang seperti akan meledak. Jika lengah
sedikit saja,
dia mungkin akan muntah karena ketegangan tersebut. Telapak tangannya
berkeringat, napasnya pendek dan cepat, dan dia bahkan tidak bisa berkedip. Dia
memfokuskan segalanya pada Ryoma.
Seorang
gadis kecil, memberikan segalanya yang dimilikinya untuk menyampaikan cintanya.
Kasih sayang
yang murni dan tak tergoyahkan itu—jika ada—bisa menjadi obat
untuk menyembuhkan hati seseorang.
Bahkan
Ryuzaki Ryoma pun tidak terkecuali.
“…Terima
kasih. Perasaanmu terdengar jelas, Azusa.”
Ryoma
membiarkan senyum lembut tersungging di wajahnya.
Melihatnya
tersenyum—benar-benar tersenyum—hampir membuat Azusa menangis karena bahagia.
“Ka-kalau
begitu…!”
(Perasaanku
akhirnya sampai padanya. Kupikir aku sudah
menunjukkan betapa aku mencintainya—betapa besar kepedulianku pada Ryoma-oniichan)
Tetapi…
“──Maaf,
tapi aku tidak bisa menerimanya.”
Perasaan
Azusa terinjak-injak.
Perasaan cintanya
tentu saja telah sampai kepadanya. Namun, Ryoma memilih untuk tidak
membalasnya.
“Aku
masih mencintai Shiho… Aku tidak bisa memulai hubungan denganmu saat aku masih
merasa seperti ini. Rasanya tidak adil bagi seseorang sepertimu, yang sangat
peduli padaku.”
Bahkan
saat dirinya mengatakan itu, Ryoma tersenyum. Senyum
gembiranya terasa aneh, dan pikiran Azusa menjadi kosong sepenuhnya.
“…Jadi
begitu ya.”
Yang bisa
dia lakukan hanyalah memberikan respons setengah hati dan gemetar. Dia tidak
bisa berpikir lagi.
Tetapi
Ryoma terus berbicara padanya.
“Tetap
saja, terima kasih. Mendengarmu mengatakan kau mencintaiku... itu benar-benar
menyelamatkanku. Kamu benar—saat ini, aku cukup menyedihkan, ya? Versi diriku yang
kamu
cintai jauh lebih keren. Jadi aku tidak akan membiarkan diriku terlihat begitu
payah lagi. Aku janji.”
Ryoma
bahkan mengubah penolakan ini menjadi bahan bakar bagi dirinya sendiri. Dirinya benar-benar
adalah ‘tokoh utama dalam cerita Ryuzaki Ryouma’.
Egois dan
mementingkan dirinya sendiri.
Justru
karena dirinya tipe orang seperti itu, ia bisa dengan mudahnya memanfaatkan perasaan murni seorang gadis demi kepentingan
dirinya sendiri.
Kini, tak
ada keraguan dalam dirinya. Beberapa saat lalu, ia telah kalah dan
terpuruk—tetapi pengakuan Azusa memberinya dorongan untuk menemukan jati
dirinya kembali.
“Akhirnya
aku terbangun. Karena kamu bilang kamu mencintaiku, aku merasa telah
mendapatkan diriku yang sebenarnya kembali.”
Dengan
kata lain… Ryuzaki Ryoma terbangun karena memakan
perasaan
cinta Azusa.
Perasaannya
yang murni mungkin berfungsi sebagai obat, tetapi racun Ryoma pasti terlalu
kuat.
Obat itu
hanya menciptakan antibodi, mengubah racun menjadi sesuatu yang lebih
ganas—sesuatu yang malah menginfeksi Azusa.
Akibatnya,
Azusa yang selama ini bergantung padanya secara emosional mulai hancur…
bagaikan seseorang yang overdosis obat.
“A-Aku
senang Ryoma-oniichan sudah merasa lebih baik… itu saja…”
Bahkan
saat dia mengatakan sesuatu yang tidak dimaksudkannya, matanya bergetar. Senyum
yang dipaksakannya pada wajahnya berubah mengerikan.
Namun
Ryoma tidak menyadari ada yang salah. Baginya, seluruh peristiwa
ini tidak lebih dari sekadar halaman yang menyegarkan dari kisah cinta masa
mudanya.
“Azusa…
Aku mencintaimu seperti adik perempuan. Aku tidak menganggapmu sebagai seorang
gadis, tapi aku akan selalu berada di sisimu—sebagai kakak laki-lakimu!”
Seraya mengatakan
sesuatu yang sangat kejam, Ryoma meletakkan tangannya di kepala Azusa.
“Jadi…
perhatikan aku, oke? Aku akan memberitahu Shiho tentang perasaanku. Terima
kasih atas segalanya, Azusa!”
──Seolah
berkata, Terima kasih atas semua bantuanmu , dia
menepuk kepalanya dan akhirnya berjalan pergi.
“…………”
Bahkan
setelah sosoknya menghilang, Azusa tidak bisa bergerak. Dia hanya berdiri mematung
di sana.
Rasanya
seolah-olah jika dia melangkah satu langkah saja, dia akan hancur total.
Jantungnya berderit dan tegang karena beban itu semua. Ryoma telah
menginjak-injak perasaannya, membuatnya benar-benar hancur.
Namun—pada
saat itu, ada seseorang yang mendukungnya.
“…Azusa,
kamu baik-baik saja?”
Sebuah
suara lembut menariknya kembali ke kenyataan. Berbeda dengan
Ryoma, suaranya dipenuhi kehangatan dan perhatian.
Kata-kata itu menyentuh hati Azusa yang hancur.
“Onii-chan…
Aku sudah berusaha sebaik mungkin, ‘kan?”
“Ya. Kamu benar-benar
melakukan yang terbaik.”
“Iya
‘kan?
Aku sudah
melakukan semua yang aku bisa… Aku benar-benar mencintainya…”
Dan
kemudian, kejutan penolakan yang tertunda itu datang menghantamnya.
Azusa
tidak membiarkan dirinya merasakannya—karena dia tahu dia tidak bisa
mengatasinya sendirian.
Namun
dengan Kotaro yang selama ini selalu mengawasinya, berdiri di sisinya… dia
akhirnya mampu menghadapinya.
“…Ugh,
aaahhh────!!”
Dan saat
itu juga, dia mulai menangis. Dia meringkuk, menangis
tersedu-sedu. Tak peduli berapa kali dia menyeka air matanya, air matanya tak
kunjung berhenti.
Kotaro
dengan lembut mengusap punggungnya, menenangkannya. Dan begitulah,
kisah komedi romantis dari salah satu sub-heroine berakhir.
Air mata
seorang gadis yang terluka begitu brutal… sungguh menyakitkan untuk disaksikan.
◆◆◆◆
“Hik…
ngh…!”
Bahkan
sekarang, Azusa masih menangis, perasaannya masih hancur setelah ditolak
oleh Ryuzaki. Di kedalaman hutan malam hari, isak tangisnya bergema melalui pepohonan.
“…Mungkin
ini sangat menyakitkan sekarang, tapi—”
Aku
memberinya segala dukungan yang aku bisa, bahkan saat dia menangis
sejadi-jadinya.
“Azusa,
aku tahu kamu akan mampu melewati rasa sakit ini. Dan saat kamu berhasil
melewatinya, kamu akan mampu melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang
berbeda… Ini bukanlah akhir dari segalanya.”
Cerita komedi romantis yang dibintangi dengan Ryuzaki mungkin
sudah berakhir—tetapi kehidupannya masih belum
berakhir.
Suatu
hari nanti, kesempatannya untuk bahagia akan datang.
Jadi
berjuanglah. Merangkaklah kembali. Gunakan rasa sakit dan kesedihan sebagai
bahan bakar—dan bangkitlah lagi.
Itulah
satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Azusa jika dia ingin menemukan
kebahagiaan sejati.
Supaya
seorang sub-heroine yang mencintai protagonis harem mendapat imbalan,
dia tidak punya pilihan selain mengatasi rasa sakit, melepaskan perasaannya,
dan menerimanya.
Kalau aku
boleh jujur, aku cuma menginginkan dirinya hidup normal, jatuh cinta
dengan pria biasa, dan menemukan kebahagiaan dengan cara sederhana.
Pada
akhirnya, apa yang dia pilih terserah padanya.
Tapi, apa
pun jalan yang diambilnya… Aku akan selalu berada di sisinya.
“Bertahanlah…
Onii-chan akan selalu mengawasimu.”
“────”
Azusa
masih terisak-isak, jadi aku tidak tahu apa yang dirasakannya. Tapi
tetap saja… Aku percaya bahwa sekarang setelah dia merasakan sakit, kata-kataku
telah sampai padanya.
“Baiklah,
aku akan pergi. Kembalilah setelah kamu berhenti menangis.”
Setelah
menepuk bahunya dengan lembut untuk terakhir kalinya, aku memunggunginya.
Tentu
saja, aku tidak suka meninggalkannya sendirian. Namun, tidak ada lagi yang bisa
kulakukan.
Pengalaman
patah
hati Azusa merupakan sesuatu yang harus diatasinya sendiri. Aku
hanya harus percaya bahwa dia akan mampu melewatinya dan bangkit.
Dan
begitulah, perasaan Azusa pun tercabik-cabik.
Cinta
yang seharusnya menjadi obat untuk menyembuhkan hati Ryuzaki yang terluka…
malah berakhir menjadi zat doping yang menguatkannya.
Berkat
itu, Ryuzaki Ryoma bangkit sebagai “protagonis”.
Dirinya menolak gagasan
hidup sebagai anak laki-laki biasa dan menerima kebahagiaan yang biasa saja.
Kesombongan
itu… tindakan memanfaatkan perasaan Azusa untuk memuaskan dirinya sendiri—aku
tidak bisa memaafkannya.
Setidaknya,
aku ingin melindungi Shimotsuki-san.
Sebagian
dari diriku mengejek gagasan itu— Untuk apa karakter sampingan bertingkah begitu
angkuh? —tapi
aku mengabaikannya dan mengepalkan tanganku.
Ryuzaki…
Aku tidak akan membiarkan hal-hal terus berjalan seperti yang kau bayangkan.
Aku
akhirnya mencapai batasku.
Aku tidak
bisa lagi hanya duduk diam dan menonton saja.

