Chapter 2 — Rahasia Yang Cuma Diketahui Satu Sama Lain
Bagi Mahiru,
sosok pria yang bernama Amane merupakan orang yang gampang sekali dipahami,
tapi tampaknya tidak demikian bagi orang lain.
Dulu, ada
seorang siswa laki-laki yang langsung berkata kepada Mahiru, “Aku tidak
mengerti mengerti apa bagusnya pria muram yang tidak pernah kamu pahami itu,” Namun,
dari sudut pandang Mahiru, dia justru ingin bertanya mengapa ia menggambarkan
seseorang yang begitu mudah dipahami sebagai orang yang sulit dipahami.
Kemungkinan
besar siswa laki-laki itu tidak pernah memperhatikan Amane, atau mungkin karena
ia bahkan tidak tahu namanya, sehingga tidak menunjukkan ekspresi apapun. Karena
dia sudah menilai Amane sulit dipahami dan muram hanya dengan melihatnya
sekilas, jadi wajar jika dia menilai orang tersebut hanya dari penampilannya.
Bagi Mahiru,
Amane adalah orang yang sangat mudah dipahami. Lebih tepatnya, daripada
mengatakan dia mudah dipahami, lebih baik dikatakan bahwa ekspresi dan sikapnya
terhadap Mahiru pada umumnya jujur dan apa adanya.
Memang benar
ketika mereka pertama kali bertemu, Amane terlihat cemberut dan kurang ramah.
Namun, Mahiru tidak pernah berpikir bahwa sulit untuk memahami apa yang
dipikirkannya.
Tatatapan Amane biasanya lembut, dan ia selalu menghormati Mahiru sebagai seorang individu tanpa menunjukkan aura yang tidak menyenangkan. Jika ditanya secara langsung, Amane pasti akan memberi tahu apa yang ada di pikirannya, jadi tidak ada yang sulit dimengerti jika seseorang mendengarnya dengan seksama.
Kini, Amane
sudah cukup menunjukkan emosinya melalui ekspresi wajahnya. Meskipun hanya
orang-orang terdekat yang bisa melihat sisi emosionalnya, ekspresi
sehari-harinya sudah jauh lebih lembut dibandingkan dulu, bahkan bisa dibilang
lebih ramah tanpa kesan tajam.
(Sebenarnya,
emosinya bisa sangat terlihat di wajahnya.)
Jika ditanya
apanya yang terlihat? Itu adalah perasaan sukanya terhadap Mahiru.
Tentu saja,
ia tidak selalu bersikap seperti itu di depan semua orang, tetapi cara Amane
memandang Mahiru biasanya lembut dan hangat. Orang lain mungkin mengatakan hal
ini sudah jelas, tetapi ketika mereka berduaan, ekspresi Amane jauh lebih
lembut dan manis.
(Siapa yang
bilang ia berwajah masam?)
Dia
tampaknya mengakui hal itu, tetapi sungguh tidak benar. Jika melihat Amane yang
duduk di depan dengan serius menyelesaikan buku referensi, tatapan manis yang
biasanya dia tujukan kepada Mahiru kini tidak ada sama sekali. Amane hanya
bergerak tenang dengan tatapan dan ekspresi yang hening, fokus pada pensil
mekaniknya.
Pria di
seberang meja rendah itu mungkin bahkan tidak menyadari bahwa Mahiru sedang
memperhatikannya; konsentrasinya terpancar penuh saat matanya menelusuri
baris-baris teks di buku pelajarannya. Tentu saja, tidak ada kelembutan dalam
ekspresinya, jadi jika hanya melihat momen ini, orang-orang mungkin akan
menganggapnya sebagai orang yang angkuh dan tidak tertarik pada orang lain.
Mahiru tidak bisa menahan tawa kecil saat memikirkan hal itu.
Ketika Amane
menyadari napas lembut Mahiru dan pensil mekanik yang terhenti, ia mengangkat
wajahnya yang tadinya sedikit tertunduk dan menatap Mahiru. Ekspresinya
terlihat bingung, memberikan kesan bulat yang lembut, tanpa jejak dingin yang
tadi.
“Ada apa?”
tanya Amane.
“Bukan
apa-apa. Hanya melihatmu sebentar sambil istirahat,” jawab Mahiru.
“Istirahat?
Aku ini bukan pemandangan yang menyegarkan untuk mata, ‘kan?”
Setelah
mereka belajar bersama untuk beberapa saat, Amane tampaknya merasa sudah
waktunya untuk istirahat dan tertawa kecil saat menyimpan pensilnya ke dalam
tempat pensil. Ekspresinya, sekali lagi, jauh dari kesan masam.
“Tapi
menurutku, ini pemandangan yang menyejukkan untuk mata,” kata Mahiru.
“Begitu ya. Kamu
menikmatinya?”
“Aku sangat
menikmatinya.”
“Kalau begitu,
tidak ada masalah.”
Mungkin ada
beberapa hal yang ingin dikomentari, tapi Amane membiarkannya melakukan sesuka
hatinya karena Mahiru berbicara seperti itu. Amane lalu menatapnya dengan
ekspresi lembut seolah-olah ingin mengatakan itu pembalasannya, menunjukkan
raut manis yang hanya ia tunjukkan pada Mahiru.
(...Jika ia
menunjukkan wajah ini pada orang lain, mereka mungkin akan terkejut.)
Ekspresi
yang tidak bermaksud untuk ditunjukkan kepada orang lain dan cuma ditunjukkan
pada Mahiru. Senyuman yang lembut dan hangat, jauh dari kata-kata kasar.
Semuanya, sepenuhnya hanya milik Mahiru.
“Mahiru tuh
sangat suka melihatku, ‘kan? Hal yang begini pernah terjadi sebelumnya,” kata
Amane.
“Aku sangat
menyukainya. …Ekspresi bisa kelihatan sangat drastis ketika kamu sedang
melihatku atau tidak, jadi aku tidak pernah bosan. Bahkan saat kamu melihatku
pun, aku sama sekali tidak merasa bosan.”
“Eh, serius?
Memangnya sebeda itu?”
“Iya,
ekspresimu sangat berbeda sekali. Jika kamu tidak percaya, tanyakan saja pada
Akazawa-san.”
Itsuki pasti
akan menjelaskan perbedaan antara Amane yang biasa dan Amane yang bersama
Mahiru. Mungkin ada senyum nakal yang menyertainya, tetapi jika Itsuki tidak
menunjukkan seringainya, Amane pasti akan mendengarkan dengan diam, meskipun
sedikit cemberut karena rasa malu.
Amane yang
bersama Itsuki menunjukkan sisi nakal yang berbeda, yang sesuai dengan usianya,
sehingga Mahiru merasa sedikit iri. Namun, itu adalah cerita yang berbeda.
“…Jika aku
bertanya pada Itsuki, ia pasti akan menggodaku.”
“Ia mungkin
akan melihatmu dengan senyuman yang menggemaskan, kan?”
“Itulah yang
paling membuatku jengkel.”
Amane
mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi tidak puas, tapi tatapannya sama sekali
tidak mengancam, melainkan lembut. Lebih tepatnya, ia sedang merajuk. Mahiru
sebenarnya cukup menyukai ekspresi seperti ini saat berhadapan dengan Amane,
karena dia merasa bahwa Amane berada di dekatnya dan diakui sebagai orang yang
penting bagi Mahiru, sehingga muncul rasa manis dan iri.
“…Mahiru, bukannya
kamu tadi menertawaiku?”
Sepertinya
Mahiru ketahuan sedang melihat Amane dengan tatapan penuh kasih, dan kini
ekspresinya berubah menjadi tidak senang yang berbeda dari sebelumnya. Mahiru
tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar dari mulutnya.
“Tidak, jika
kau digoda, bukannya kamu sadar bahwa kamu membuat ekspresi seperti itu, kan?”
“…Bagian
Mahiru yang seperti itu...”
“Apa kamu
membencinya?”
“Tidak.”
“Tidak, ya?”
“Tidak.”
Amane
melakukan penolakan yang sangat menggemaskan dan membuat wajah cemberut sebelum
melarikan diri ke sofa di belakang. Melihat hal itu, Mahiru merasa dia sudah
terlalu menggodanya, lalu berdiri dan pindah ke sampingnya kemudian
memeluknya.
“Maaf, aku
senang karena kamu menunjukkan ekspresi khusus hanya untukku.”
“Bukannya
sudah jelas kalau kamu itu sangat istimewa bagiku, Mahiru.”
“Hehe, benar
juga.”
Bahkan tanpa
Amane mengatakannya, Mahiru bisa tahu dari sikap dan ekspresinya bahwa dialah
orang yang paling istimewa. Tentu saja, Amane merupakan tipe orang yang tidak
hanya menggunakan tindakannya tetapi juga kata-katanya untuk melakukan segala
yang dia bisa guna menghilangkan hal-hal yang mungkin membuat Mahiru gelisah,
tetapi tetap ada rasa aman yang berbeda karena tahu dia menunjukkannya dengan
segala cara.
Mengungkapkan
perasaan dengan sikap dan tindakan itu penting, tetapi ada juga orang yang
mengira bahwa hanya dengan itu sudah cukup dan mengabaikan kata-kata. Mahiru sekali
lagi merasa bersyukur bisa mencintai pria seperti Amane yang menunjukkan kasih
sayang sepenuh hati tanpa terasa memaksakan.
Sambil
merasa jatuh cinta lagi pada kepribadian pacarnya, Mahiru menempelkan kepalanya
pada lengan Amane yang kekar, Mahiru merasa senyum yang tidak bisa ditahan
keluar bersama napasnya. Ketika dia menyadari hal itu, dia juga tersenyum
kecil.
Mahiru tak
bisa menahan diri untuk tidak melihat, tetapi ketika dia mengangkat kepalanya,
tatapannya melembut dan senyum lembutnya bertemu dengan Amane yang menatapnya
dengan senyum lembut dan hangat.
Senyumannya
yang semakin hangat itu tampak sangat manis, dan Mahiru merasakan kehangatan
yang menyelimuti pipinya.
(…Amane-kun
tuh benar-benar sangat menyukaiku, ya?)
Mungkin Amane
tidak sengaja menyampaikannya, tetapi justru karena itulah perasaannya
tersampaikan dengan tulus.
Ekspresi
manis dan lembut yang tak pernah ia tunjukkan kepada orang lain, seolah ia
sedang mengawasi dengan tenang dari pinggir lapangan dengan penuh kekaguman. Jika
dia terus menatap Amane sekarang, Mahiru merasa seperti akan kehilangan seluruh
tenaga dan meleleh sampai ke lubuk hatinya.
Dia
tiba-tiba memalingkan muka, dan desahan senyum yang tersungging di wajahnya
semakin keras.
“Pipimu
merah.”
“…Aku hanya
terasa hangat saja.”
“Ya, memang
terasa panas.”
Menggunakan
tangan yang berlawanan dengan tangan yang menggenggam Mahiru dengan longgar,
Amane menelusuri pipi Mahiru dengan ujung jarinya, dan panas berkilat dalam di
matanya.
Panas yang
perlahan menyerbu tubuh Mahiru pastilah sama dengan yang dirasakan Amane saat
ini.
Ujung jari Amane
yang lebih keras dari milik Mahiru meluncur dari pipi ke dagunya. Sentuhan itu
lebih terasa menyebalkan daripada geli, dan Mahiru sedikit gemetar lalu menundukkan
pandangannya. Jari-jari di dagunya sedikit gemetar, dan ia bisa mendengar suara
napas samar-samar.
“…Ekspresi
seperti itu membuatmu terlihat seolah-olah kamu sedang menunggu.”
“Me-Menunggu
apa?”
“Untuk
ciuman atau pelukan?”
“…Sepertinya
kamu sudah bisa mengatakan hal-hal seperti itu dengan santai, ya, Amane-kun.”
“Rasanya
jauh lebih aneh lagi jika aku tetap bodoh dan polos.”
Meskipun
begitu, saat Amane menyentuh Mahiru dengan maksud seperti itu, dia cenderung
mengalihkan pandangan dan sangat berhati-hati, yang hanya diketahui oleh
Mahiru. Jadi, dirinya masih polos dalam bagian itu. Namun, jika diungkapkan, Amane
akan merajuk, jadi Mahiru menahan diri untuk tidak mengatakannya.
“Ngomong-ngomong,
boleh aku berasumsi bahwa apa yang kulakukan tadi baik-baik saja?”
“...Kamu
seharusnya jangan menanyakan hal seperti itu, Amane-kun.”
Amane selalu
menghormati keinginan Mahiru, jadi ia biasanya bertanya duluan. Namun, karena Amane
terlalu mengutamakannya, Mahiru merasa khawatir apa Amane mengabaikannya.
Mungkin ini kedengarannya
egois, tapi ada kalanya dia menginginkan Amane bertindak lebih agresif.
Walaupun dia
merasa itu merepotkan dan egois, tapi Amane hanya berkedip beberapa kali dengan
ekspresi bingung yang menunjukkan sisi kekanak-kanakan. Dengan tatapan yang lembut, Amane tersenyum
tipis sambil menatap mata Mahiru yang gelap.
Dalam
sekejap, kepolosan kekanak-kanakan yang Mahiru rasakan sebelumnya sirna, dan
menggantikan kekanak-kanakan itu, aroma wangi menyebar di wajah tampannya.
Ekspresinya
berubah begitu cepat sehingga Mahiru bahkan tak sempat bereaksi karena
pandangannya dipenuhi warna kulit. Mahiru
yang secara refleks menutup matanya merasakan tekstur daging yang sedikit keras
saat menyentuh bibirnya.
Dia bisa mengetahuinya
apa itu tanpa perlu melihat, dan saat bernapas, aroma kekasihnya menyebar
melalui paru-parunya, seolah-olah akan meresap ke dalam otaknya.
Aromanya
menyegarkan sekaligus menenangkan, tetapi ketika dia menghirupnya, Mahiru
merasakan sensasi manis dan geli yang entah kenapa menyelimutinya.
Biasanya,
dia tidak merasakan pusing seperti ini, tetapi sekarang, hanya dengan sedikit
ciuman, semua kekuatannya terasa menghilang.
Amane segera
menjauhkan wajahnya.
Meskipun ia
pasti memiliki cara dan keinginan untuk menikmati Mahiru lebih dalam, tapi
Amane tidak memaksakannya. Tatapan matanya yang menatap Mahiru jelas penuh
dengan gairah, tetapi gairah itu bercampur dengan cahaya akal sehat, bukan
cahaya nafsu.
“Apa aku
boleh melakukannya sedikit lagi?”
“…Tidak meminta
lebih saat itu memang sangat khas dirimu, Amane-kun.”
“Jika boleh
lebih, aku akan melakukannya, tetapi kurasa kita berdua tidak akan tahan.”
Tanpa harus
dijelaskan, Mahiru sudah memahami maksud dari ‘tidak tahan’ itu berada di level
yang berbeda. Amane mungkin akan berhenti jika Mahiru sudah muak, tetapi jika
Mahiru menerimanya begitu saja tanpa berkata apa-apa, ia mungkin tak akan
berhenti sampai saat-saat terakhir.
Di satu
sisi, Mahiru merasa tidak keberatan dengan hal itu, mungkin dia juga
sudah cukup terbuai. Dia sama sekali tidak keberatan diguyuri kasih sayang yang
jelas dan diinginkan sepenuh hati.
Dengan
tatapan yang lebih sayu dari biasanya, Amane melirik wajah Mahiru seolah ingin
membelainya, bibirnya sedikit melengkung, dan ada sesuatu yang nyaris menggoda
dan memikat dari tatapannya.
“Atau kamu
lebih suka saat rasanya begitu menyebalkan sampai kamu tak tahan?”
Ujung jarinya
membelai leher Mahiru dengan lembut.
Sensasi yang
bisa diartikan sebagai geli dan frustrasi menjalar ke seluruh tubuhnya, dan
cukup membuat tubuh Mahiru gemetar.
Meskipun Mahiru
ingin membalas kata-kata, dia tak bisa merangkai kata dengan tepat, dan tak ada
kata yang keluar. Hanya vokal pendek yang terucap dari mulutnya.
Merasa bahwa
suara yang keluar itu terlalu berharga untuk disia-siakan, Amane tampaknya
ingin menyerapnya langsung, dan Mahiru memejamkan matanya rapat-rapat. Meskipun
begitu, dia tidak bisa menutup bibirnya karena sudah terlambat, dan dalam
hatinya, dia sebenarnya merasa senang menerima panas tersebut.
Sambil
menenangkan Mahiru yang terkurung dalam kedalaman rangkulannya, Amane
perlahan-lahan menariknya ke dalam wilayahnya, seolah-olah sudah mengetahui
bahwa Mahiru tidak keberatan. Ia tampaknya menunggu Mahiru siap untuk
menerimanya.
Tanpa merasa
malu atas suara manis yang keluar dari celah-celah bibirnya, Mahiru merasakan
panas Amane semakin menyebar ke seluruh tubuhnya.
Saat bibir
mereka akhirnya terpisah, tubuhnya sudah sepenuhnya hangat, dan rasa manis yang
membara terukir dalam dirinya, membuat jantungnya berdetak cepat dan
menyebarkan rasa nyeri yang manis ke seluruh tubuhnya.
“…Kurasa aku
masih dalam batas sedikit lagi, bagaimana?”
Sambil mendekap tubuh Mahiru yang rileks, Amane melengkungkan bibirnya di atas bibir mereka yang basah, lalu tersenyum pada Mahiru yang matanya sedikit kabur.
Meskipun Mahiru
mengerti bahwa itu perasaan yang tulus dari Amane, sebagai pihak yang
terombang-ambing, perasaan itu cukup menyiksa.
“…Kurasa ada
yang namanya, menahan diri.”
“Kurasa aku
sudah cukup menahan diri.”
Memang, Amane
bisa saja memberikan ciuman yang lebih menggoda, atau mengalihkan tangannya ke
tempat lain, bahkan mendorong Mahiru ke atas sofa dan meminta lebih banyak
darinya.
Namun, dirinya
hanya menempelkan bibir mereka dan mencampurkan panas satu sama lain, itu semua
karena Amane mempertimbangkan perasaan Mahiru.
Mahiru
mengerti hal itu, tetapi dia juga berharap Amane bisa mempertimbangkan ritme
yang masih asing baginya.
Meskipun
mereka memiliki pengalaman yang sama, kemampuan Amane untuk memimpin terasa
sangat mahir, mungkin karena kemampuan observasinya yang tinggi dan keahlian
yang dimilikinya.
(…Bagian itu
memang licik.)
Meskipun
Mahiru sudah mencapai batasnya, Amane masih memiliki cukup ruang untuk menerima
Mahiru. Meskipun Amane sangat menginginkan Mahiru, diriny tetap memikirkan
Mahiru dan menahan diri.
“…Apa kamu
tidak menyukainya?”
“Dasar mesum.”
“Mesum, ya?”
“Mesum.”
“Mesum, huh?”
Meskipun
dari luar terlihat seperti mereka saling menghina, Amane sama sekali tidak
peduli, bahkan tampak senang dan tersenyum, membuat Mahiru merasa tidak
nyaman.
“Apa kamu
tidak suka bagian diriku yang seperti ini?”
“Pertanyaan yang
seperti itu sangat licik, Amane-kun.”
“Tapi jika
kamu tidak menyukainya, aku akan berhenti… meskipun itu sulit, aku akan
berusaha untuk menahan diri.”
Amane mengetahui
betul kalau Mahiru menyukai semua sisi dirinya, tetapi dia tetap bertanya
dengan sengaja, mungkin sebagai cara untuk membalas dengan halus.
Meskipun Amane
sudah tahu jawabannya, dirinya masih menatap Mahiru dengan tatapan penuh harap,
menunjukkan bahwa dirinya masih penuh gairah.
“…Yang
penting kamu tetap menjadi dirimu sendiri, an, yah, aku akan senang jika kamu
seperti itu padaku. ...Kalau cuma kamu yang menginginkanku, ya sudah, itu
baik-baik saja.”
“Menurutmu
aku akan seperti ini dengan orang lain selain denganmu, Mahiru?”
Amane
membawa telapak tangan Mahiru yang lemas ke posisi jantungnya, seolah-olah
ingin mengatakan. ‘kamu memahaminya, ‘kan?’.
Bahkan tanpa
perlu penjelasan lisan darinya, jantungnya berbicara dengan jelas.
Sambil
merasakan detakan jantung yang kencang di telapak tangannya, Mahiru mencoba
menenangkan jantungnya yang juga berdebar kencang, lalu menatap Amane.
“Kamu
benar-benar sangat menyukaiku, ya, Amane-kun?”
“Ya.
Terlambat untuk menyadarinya.”
“…Aku baru
saja merasakannya.”
“Aku senang
kamu bisa merasakannya.”
Siapa pun
yang melihat mereka mana mungkin meragukan perasaan seseorang yang dengan
segenap jiwa menyatakan cinta seperti ini. Mahiru, yang dipenuhi dengan
semangat dan kasih sayang yang melimpah, sama sekali tidak memiliki perasaan
ragu.
Sebaliknya, Amane
menghormati Mahiru hingga merasa terlalu dicintai, dan meskipun dengan
hati-hati, dirinya terus meminta lebih banyak.
“Yah, meskipun
aku senang kamu mengerti, aku sangat mencintaimu dan tidak bisa menahan diri,
jadi jangan terlalu merayuku.”
“Bagaimana
kalau aku merayumu?”
“…Ingin tahu
apa yang akan terjadi?”
Jika dia beneran
melakukannya, Amane akan terus menyampaikan perasaannya dengan segala cara yang
mungkin, kecuali melanggar janji, sampai-sampai Mahiru memohon dengan air
matanya.
Dengan
kata-kata, tatapan, suhu tubuh, bibir, dan ujung jari. Amane telah mengajarkan
bahwa panasnya bukan hanya lembut, tetapi cukup membakar bagi Mahiru.
Sebagai
seseorang yang pernah meleleh karena panas tersebut, dia bisa memperkirakan
dengan jelas apa yang akan terjadi jika dia merayunya.
“…Aku akan
menahan diri.”
“Sangat
disayangkan.”
“Baka.”
Amane
menepisnya pelan, tetapi ia juga tampak lega dengan reaksi Mahiru.
Amane
menyadari betul bahwa jika Mahiru menerimanya, dirinya tidak akan bisa
berhenti. Begitu mulai, temperamen Amane bercampur aduk antara pendiam dan
agresif, dan dirinya bisa menjadi sangat liar dalam berbagai arti.
Jika itu yang
terjadi, Mahiru takkan bisa melawan. Karena, kegilaan yang berasal dari cinta Amane
juga disebabkan karena Mahiru mencintainya.
Mungkin rasionalitasnya
masih agak longgar, karena matanya yang basah menatap Mahiru dengan lebih basah
dari biasanya. Tatapan manis yang hanya bisa dilihat Mahiru, ditujukan hanya
padanya, dipenuhi cinta dan nafsu.
“Tolong jangan
tunjukkan wajah begitu pada siapa pun selain aku, ya?”
“Aku tidak
berniat menunjukkannya kepadan yang lain, hanya padamu, Mahiru.”
“Tolong
lakukan itu.”
Satu-satunya
yang seharusnya boleh melihatnya hanyalah Mahiru.
Memikirkan
hal itu membuat tubuhnya terasa panas dan gelisah, tapi dia merasa malu jika Amane
mengetahuinya, Mahiru berusaha menahan diri dan perlahan-lahan menempelkan
bibirnya pada bibir Amane.
