Penerjemah : Kaito
Editor : -
Chapter 03
- Natsuko
Hujan berhenti saat pagi hari, namun awan
yang tebal masih menggantung di atas langit. Sang matahari
bersembunyi di balik awan tebal itu, hal tersebut membuatmu cukup terheran bila
dibandingkan dengan teriknya sinar matahari kemarin. Aku merasa sedikit kecewa.
Biasanya, saat inilah kau akan berteriak gembira pada liburan musim panas.
Kemarin
malam aku merasa sangat kesal sampai aku tak bisa berhenti berpikir dan
berakhir tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sambil menguap, aku menemukan sesuatu
yang tergeletak di atas tanah tepat di bawah penitipan sepeda dekat dengan
papan buletin yang aku lewati kemarin.
Sebuah
gantungan kunci beruang.
Ini
adalah beruang kayu dengan warna cokelat gelap seukuran tanganku, tingginya
tidak lebih dari tiga inci. Beruang itu memiliki wajah bulat mengkilat dan
titik hitam kecil untuk mata. Mulutnya berbentuk seperti U, dan dia mempunyai
dua telinga setengah bulan di atas kepalanya. Tubuhnya bulat seperti kepalanya,
dan dia mengenakan kaos kuning dan sepatu merah di kakinya. Dia tak terlihat
lusang, mungkin karena di bawah tempat penitipan sepeda, jadi hujan tadi malam
tak membasahinya.
"Apa
itu?"
Aku menjerit
kaget karena sebuah suara mendadak muncul dari balik punggungku. Saat aku
berbalik, Miyano berdiri tepat di belakangku, dia sendiri tampak terkejut juga.
"Mengapa
kau begitu terkejut?" Tanyaku padanya.
"Yah
... maksudku ... jika kau berbalik seperti itu ..."
Awalnya
aku merasa penasaran mengapa dia terbata-bata dengan kata-katanya sendiri,
namun saat aku mengingat kembali percakapan kita kemarin, aku mulai merasa
marah lagi. Aku berpaling darinya dan pergi menjauh.
"Kau
tidak mau mengambilnya?"
Aku
akan mengabaikannya, namun aku berbalik perlahan. Miyano menunjuk gantungan beruang
di tanah.
"Itu
bukan milikku."
"Tapi
kau terlihat sangat tertarik dengan itu."
Untuk meresponnya, aku hanya bisa terdiam.
Sepeda dan angin sepoi-sepoi bertiup melewati kami.
Miyano
berjongkok untuk melihat gantungan kunci seperti anak kecil yang sedang
mengamati semut.
"Ada
nomor seri di bawah kakinya!"
"Jadi?"
"Ini
mungkin barang berharga bagi seseorang."
"Dan?"
"Jadi
mengapa kau tidak mengambilnya?"
Mengapa aku harus mendengar ini darimu?
"Jika
itu memang sesuatu yang berharga, bukankah akan lebih mudah bagi si pemiliknya
untuk menemukan ini jika kita tinggalkan
saja di sini?"
"Tapi
..." Miyano berdiri dan menatap wajahku dengan serius.
"Ini
adalah tempat penitipan sepeda, ada kemungkinan akan dilindas oleh sepeda, atau
kucing liar, atau tertabrak mobil. Itsuko, apa kau masih akan meninggalkan beruang
malang ini setelah mengetahui itu?"
... Mengapa aku yang diserang di sini,
seperti aku menelantarkan seekor anjing liar?
"Kenapa
bukan kau saja yang mengambilnya, Miyano?"
"Kurasa
lebih baik beruang ini diselamatkan olehmu, Itsuko."
Apa
maksudnya itu? Dan sejak kapan kita saling memanggil dengan nama depan?
"Pastikan
kau merawatnya!" katanya.
"Hei!"
Aku berteriak padanya, tapi dia lepas landas ke arah yang berlawanan tanpa
memberiku waktu untuk menghentikannya.
"Apa
yang salah denganmu?"
Aku
menyadari bahwa aku berteriak terlalu keras dan langsung berhenti. Saat aku
melihat ke sekelilingku, ada beberapa siswa lain yang sedang menuju ke sekolah,
dan mereka sedang menonton kami. Aku mengambil gantungan kunci dan berlari.
Ini
sudah sangat panas, tapi wajah dan tubuhku mulai merah padam.
Aku
tidak tahan padanya!
*****
Aku
sampai di kelasku dan menarik napas. Tirai biasanya tertutup rapat, tapi saat
ini benar-benar terbuka. Aku merasa lebih baik. Dengan cuaca hari ini, tidak
perlu menutup jendela.
Aku hendak
bersantai saat gadis dari geng-ku yang biasa memulai percakapan.
"Natsuko,
apa kau kemarin pingsan lagi?"
Sungguh
sangat menakutkan untuk mengetahui informasi bisa menyebar dengan cepat.
Kukatakan pada mereka bahwa aku baik-baik saja, dan duduk di mejaku.
"Pasti
sulit sekali, menjalani hidup dengan alergi UV."
Mereka
mengatakannya seolah-olah hal itu adalah masalah orang lain. Tinggalkan aku sendiri,
hentikan pembicaraan ini. Aku jadi ingat
percakapan yang sama dari minggu lalu.
Pada
hari itu, pelajaran olahraga kami ialah berenang di kolam renang luar ruangan,
jadi aku belajar sendiri di kelas. Teriknya sinar matahari cukup untuk membakar
kulitmu, dan bahkan duduk di kelas pun mulai terasa tidak nyaman. Aku menyerah
untuk belajar dan memutuskan untuk tidur siang. Teman-temanku kembali setelah
pelajaran olahraga selesai, mereka tertawa dan bau badan mereka seperti klorin.
"Apa
kau baik-baik saja?" Aku langsung bangkit saat melihat temanku menatapku
dengan ekspresi khawatir.
"Yeah,
aku baik-baik saja" kataku sambil tertawa.
"Sayang
sekali," teman-temanku mulai berbicara, satu demi satu.
"Ini
hari yang menyenangkan!"
"Kolamnya
terasa enak dan sejuk."
"Setidaknya
kulitmu takkan berwarna cokelat aneh, Natsuko."
Di
tengah-tengah temanku berbicara di sekelilingku, kiri dan kanan, saat itulah
sesuatu yang putih terbang ke penglihatanku.
Handuk
putih basah terjatuh ke temanku yang duduk tepat di depanku, pas di kepalanya.
"Ups, maaf!"
Miyano
meminta maaf, meski sepertinya dia tidak melakukan kesalahan.
"Tanganku
tergelincir," katanya sambil menertawakannya.
"Hei,
singkirkan itu!" kata temanku Ia tampak seperti sedang bersenang-senang,
bahkan jika dia bertingkah seperti dia tidak menyukainya. Dia melemparkan
handuk itu kembali kepada Miyano, dan topik pembicaraan pun berubah.
Sebenarnya
aku sangat berterima kasih kepadanya karena menjadi alasan mengapa topik pembicaraan
bisa berubah, meski sepertinya dia tidak melakukannya dengan sengaja.
Aku
melihat tas sekolahku yang disandarkan di lututku. Gantungan kunci yang Miyano katakan
padaku untuk mengambilnya, gantungan itu
berada di dalam tasku.
Apa yang harus aku lakukan dengan gantungan
ini?
Aku
mengistirahatkan pipiku di tanganku, dan sedikit mendesah. Teman sekelasku
pasti senang karena liburan musim panas akan segera dimulai, karena semuanya
penuh ceria. Aku tidak melihat setitik pun depresi pada mereka.
Semasa
SD dulu, kapan pun musim panas tiba, aku harus mengenakan topi jerami besar
untuk menghalangi sinar UV.
"Saat It-chan mengenakan topinya,
musim panas akan tiba!"
Aku
tidak ingat siapa yang bilang, tapi ketika seseorang mengatakan itu, dan nama panggilanku,
yang dulu saat itu adalah It-chan, berubah menjadi Natsuko, yang artinya anak
musim panas. Pada saat itu, aku menjadi objek lelucon musim panas setiap orang
dan parodi puisi musim panas mereka, walaupun aku membenci musim panas. Bahkan
saat kami sudah menjadi siswa SMP dan topiku sudah berubah menjadi payung,
semua orang masih terus memanggilku Natsuko.
Bunyi
bel berdering menandakan dimulainya kelas, dan kita semua mengambil tempat
duduk masiing-masing. Sensei kami memasuki kelas. Homeroom pagi selesai lebih cepat dari biasanya dan kami semua
berbaris menuju ke gedung olahraga. Waktunya untuk upacara penutupan semester.
Berbincang-bincang dengan teman-temanku, aku melihat ke dalam kelas. Meskipun
dia berjalan keliling kota sebelumnya dengan seragam sekolahnya, Miyano masih belum
muncul.
Salah
satu teman kelasku melihat ke luar jendela lorong dan aku mendengarnya berkata,
"ini Hujan." Aku bisa melihat awan kelabu di luar, tapi dari tempatku
berdiri, aku tak bisa melihat tetesan air hujan.
"Mungkin
karena Miyano membolos lagi." Seseorang menimpali.
Upacara
selesai tanpa aku sadari. Pidato kepala sekolah dan semua guru yang beritahukan
pada kami selalu saja sama, tak peduli apakah itu liburan musim dingin maupun
musim semi, dan aku tak bisa mengingat apa yang sudah mereka bilang saat aku
kembali ke dalam kelas. Apa yang ada di dalam pikiranku ialah bahwa berkat
hujan, gedung olahraganya menjadi pengap dan lembab, lantai serta jendela mejadi
basah karena pengembunan. Aku tidak keberatan dengan bau hujan saat berada di
luar, tapi di dalam gedung olahraga ini, yang tercampur dengan bau banyak orang
di satu tempat, membuatku sulit untuk bernafas.
Kami
menerima buku rapot kami, dan dengan suasana tidak-bagus-tidak-buruk, kami
memulai kelas homeroom terakhir kami.
"Sasahara-san?"
Sensei memanggil Mana Sasahara, dan ia berjalan untuk berdiri di depan kelas.
Segera, suasana kelas menjadi hening. Mana mengelus rambut cokelat pendeknya
yang sedikit bergelombang, dan terlihat sedikit kalau dia tidak suka berdiri di
sana. Dia memiliki mata yang besar dan berkemauan keras, tapi matanya tampak
gugup.
Didorong
oleh Sensei kami untuk berbicara, dia menatap kami dan mulai.
"Terima
kasih telah berteman baik denganku selama ini."
Bukankah
itu ungkapan yang cukup bagus? untuk seorang Mana, yang merupakan chatterbox, dan biasanya selalu terus terang
dan tanpa ragu-ragu.
"Jika
kalian pergi ke Osaka, pastikan hubungi aku," pungkasnya, dan membungkuk.
Seseorang mulai bertepuk tangan lambat, dan kelas segera penuh tepuk tangan.
Ketua kelas memberinya kartu besar yang berisi pesan dari semua orang di
dalamnya. Mana malu-malu mengambilnya. Ini adalah kartu persegi yang ditutupi
dengan pesan kami yang ditulis dengan warna merah muda, hijau, dan biru. Dia
mengucapkan terima kasih untuk itu dan membungkuk lagi.
Semoga beruntung di Osaka.
Aku
bisa melihat pesanku tepat di bawah tangan kirinya. Itu pesan yang pendek, dan
ada banyak ruang kosong di sekitarnya. Terkadang, orang-orang berkata,
"baca di antara garis," tapi aku yakin kau tidak dapat membaca apapun
dari pesanku.
"Kalau
begitu, berhati-hati dan nikmati liburan musim panas kalian," kata Sensei
kami, dan semester pertama pun sudah berakhir.
Seseorang
memanggil Mana dan hampir semua siswa perempuan mulai berkerumun di sekeliling
mejanya, mengeluarkan amplop bermotif warna pink dan kuning dari tas mereka
untuk diberikan kepadanya. Beberapa dari mereka bahkan membawa hadiah
perpisahan untuknya.
Mana
berterima kasih pada mereka, terlihat seperti dia akan menangis.
"Terima
kasih banyak, aku akan menghargainya!"
Aku
melihat hal itu dari kejauhan, sangat sulit untuk meninggalkan kelas dengan
suasana yang seperti ini. Aku merasa canggung walaupun yang kulakukan hanya
sekedar menontonnya, dan berpaling. Mataku mendarat di meja kosong Miyano.
Ini adalah
hari terakhir semester, namun dia tidak datang ke sekolah.
tttt
Ini
sudah tengah hari, jadi aku pergi meninggalkan kelas. Langit masih dipenuhi
dengan awan tebal dan kelabu. Siswa yang berada di klub membawa makan siang mereka
dan akan tinggal di sekolah untuk latihan. Aku berjalan lurus ke arah gerbang
belakang melalui sekelompok siswa yang bersemangat untuk menantikan liburan
musim panas mereka.
"Hei."
Miyano
bersandar pada pilar batu gerbang. Dia masih berseragam sekolah dan tidak
memegang apapun, sama seperti tadi pagi. Aku penasaran apa yang dia lakukan
selama dia membolos upacara penutupan.
"Apa
kau mengambil gantungan beruang itu?"
Aku
tidak ingin menjawabnya, jadi dengan diam aku mengambil gantungan kunci dari dalam
tas sekolahku dan menunjukkan gantungan itu padanya.
"Ayo
cari pemiliknya bersama-sama!"
"Mengapa!?"
Aku menyadari bahwa aku berteriak, dan menutup mulutku dengan tergesa-gesa.
Beberapa siswa di sekitar melihat ke arah kita dengan penuh rasa ingin tahu,
dan tatapan mereka tertuju padaku. Aku lari ke pagar dan mulai berdebat.
"Mengapa
aku harus melakukan itu?"
"Kenapa
tidak? Apa ada hal yang harus kau lakukan hari ini?"
Tentu
saja ada! Aku mencoba menghitungnya dengan jari-jariku, dan mengetahui bahwa
itu tak ada gunanya.
"Aku
tak peduli siapa pemilik beruang itu, apa itu bisa dihitung sebagai
alasan?" Aku bertanya.
Miyano,
mulai berpura-pura menangis tersedu-sedu. "Bagaimana kau bisa menjadi
kejam sekali?" tangisnya. "Aku akan pulang, selamat tinggal."
Dia
menghentikan isak tangis palsunya seketika saat aku hendak berbalik.
"Apa
kau yakin tentang itu?"
Dia
melihat ke wajahku seperti sedang memeriksa sesuatu. Kemudian dia mulai
mengatakan dengan cara yang terlalu berlebihan, "Kau tahu, aku tidak ingin
mengatakan ini, tapi ... aku melihatmu kemarin."
Aku
punya firasat buruk tentang apa yang akan dia katakan selanjutnya, tapi aku
tetap bertanya.
"Apa
yang kau lihat?"
"Kau
tidak menggunakan payungmu."
Dia terus
melanjutkan dengan cepat.
"Kau
tak pernah meninggalkan sekolah tanpa payungmu, tapi kau tak menggunakannya
kemarin dengan sengaja, dan karena itulah kau pingsan, aku melihatmu, dan
membawamu ke ruang kesehatan."
Aku
ingat bagaimana penglihatanku menjadi putih karena terik matahari, lalu dunia
memiringkan ke samping, meliuk seperti naik permainan cangkir di Disneyland.
Kapan pun ini terjadi, saat tubuhku kehilangan gravitasi, satu pemikiran selalu
terlintas di kepalaku -
Mulai lagi deh.
Aku
melotot kembali padanya.
"Apa
kau punya bukti tentang itu?"
"Tidak,
tapi aku melihatnya," katanya tegas. "Mungkin sebaiknya aku memberi
tahu Nakahara-san tentang apa yang Kau lakukan, ya? Aku yakin dia juga harus
memberi tahu orang tuamu, dan kemudian ..."
Aku
tidak percaya. Tanganku, di ambang gemetar, mengepalkan erat kepalan tangan.
"Aku
tidak percaya kau mencoba memerasku!"
"Tapi
bukankah lebih bagus kalau kita menemukan pemilik gantungan kunci itu, ya?
"
Aku
memelototinya dengan sekuat tenaga, tapi dia adalah Raja Kera, tidak ada yang bisa
mengganggunya. Dia hanya tersenyum dan tidak bergeming sama sekali.
Aku
mendepak tanah dengan frustrasi.
"Baiklah,
aku akan pulang, ganti pakaian, dan makan siang dulu, lalu kita bisa bertemu,
mengerti?"
Miyano
menjawab dengan semangat. "Baiklah, temui aku di Central Park!"
Dia berlari
seperti hembusan angin yang menari. Aku berdiri di sana mengamatinya pergi, sama
seperti kemarin.
Kudengar
suara teriakan sebuah klub olahraga berlatih dari kejauhan, dan mulai sepi
lagi. Tiba-tiba aku merasa kesepian dan menggelengkan kepala. Aku merasa
seperti daun mati dan sampah tertinggal di pinggir jalan setelah ditiup angin
topan. Aku merasa telah dipermainkan oleh kepribadian kuat Miyano dan mendepak tanah
lagi dengan frustrasi.