Chapter 1 — Upaya Pendekatan Ojou
“Kira-kira bagaimana
rasanya bepergian menggunakan
kereta, ya?”
Pada pagi hari, di dalam mobil yang menuju
Akademi Tenjoin, Ojou
tiba-tiba mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
“Apa
kamu tidak puas dengan layanan antar
jemput? Jika kamu memiliki
permintaan, silakan beritahu kami.
Kami akan segera menanggapinya.”
“Bukan
begitu,” jawabnya. “Teman-teman sekelasku
membicarakan tentang bepergian dengan kereta, dan itu menggelitik rasa penasaranku.”
Dengan
kata lain, rasa ingin tahunya pun muncul.
Ojou,
mungkin karena nalurinya yang tajam dan kemampuannya untuk unggul dalam banyak
hal, memiliki rasa penasaran
yang sangat kuat. Dia mudah tertarik pada hal-hal yang belum pernah dialaminya.
Kali ini, rasa minatnya
beralih ke “berangkat
dengan kereta.”
“...Sekarang
setelah kupikir-pikir, kamu tidak
sering menggunakan kereta, iya ‘kan,
Ojou?”
“Jika
ada tempat yang ingin aku kunjungi, aku bisa diantar saja. Jadi, dalam hal
bepergian dengan kereta, kurasa aku belum punya pengalaman. Mungkin aku harus
mencobanya setidaknya sekali.”
“Meskipun
kamu berkata demikian...bepergian dengan kereta tidak semenarik seperti yang
Ojou bayangkan. Persis seperti namanya,
bepergian dengan kereta berarti menaiki gerbong kereta untuk berangkat ke
sekolah. Terutama pada jam-jam sibuk di pagi hari, suasana di dalam gerbong
bisa sampai saling berdesak-desakan.”
“Berdesak-desakan?”
“Bukan hanya
pelajar; ada banyak
orang dewasa yang pergi bekerja juga menggunakan kereta. Akibatnya, gerbong kereta bisa sangat sesak, dan
pada waktu-waktu tertentu, kamu
bahkan mungkin tidak mendapatkan tempat duduk.”
“Hmm.
Jadi, ini sesulit yang pernah kudengar.”
“Khususnya,
pada jam sibuk, kamu akan
berdesakan dengan orang lain di dalam kereta yang penuh sesak. Itu bukan
sesuatu yang akan kurekomendasikan untuk seseorang seperti dirimu, Ojou—”
“Perjalanan
pulang hari ini ayo naik
kereta.”
“Apa kamu mendengarkan apa yang kukatakan?”
“Tentu
saja.”
“Kalau
begitu, hari ini—”
“Kita
akan pulang dengan naik kereta pulang.”
“Ojou!?”
Apa yang terjadi? Apa dia salah mendengar perkataanku?
Untuk
memastikannya, aku
memutuskan untuk menjelaskan lagi.
“Ojou,
kurasa naik kereta pulang tidak akan semenyenangkan yang kamu bayangkan.”
“Begitukah?”
“Ya.
Jika kamu terjebak di jam-jam sibuk sore hari, kamu akan berakhir berdesakan dengan
orang lain sehingga kamu bahkan
tidak punya ruang untuk bergerak.”
“Bahkan
jika dunia terbalik dan bencana alam melanda hari ini, aku benar-benar akan
naik kereta pulang.”
Kenapa...?
Kenapa Ojou begitu ngotot naik kereta...?
“Eito.
Kamu juga akan
naik kereta bersamaku hari ini.”
“Tentu
saja, aku berencana untuk melakukannya. Tapi, Ojou, apa pun yang kamu harapkan, tolong jangan terlalu
memaksakan diri, oke?”
“Aku
sama sekali tidak memaksakan diri. Malahan,
aku begitu gembira sampai-sampai
jantungku bisa meledak, jadi tenanglah.”
Untuk
alasan yang tidak dapat kupahami, Ojou tampak sangat bertekad untuk naik
kereta. Kali ini,
keinginannya berubah menjadi aneh.
Yah, itu
bagian dari pesonanya. Sebagai pelayannya, satu-satunya tugasku adalah memenuhi
keinginannya.
(Aku
sudah memetakan jalur
dari stasiun dekat akademi sampai ke
kediaman. Aku sudah memperhitungkan kemacetan
rata-rata pada waktu yang berbeda dalam sehari, dan cuaca tidak akan menjadi
masalah. Yang tersisa hanyalah waktu keberangkatan kami. Kalau saja aku bisa
menghindari jam sibuk, tetapi itu sepenuhnya tergantung pada suasana hati Ojou.
Yang bisa kulakukan hanyalah berharap yang terbaik.)
Saat aku
menyusun rencana perjalanan pulang secara mental, aku melihat Ojou mengetik
sesuatu di telepon pintarnya dengan ekspresi yang luar biasa serius.
…Itu
jarang terjadi. Meskipun dia selalu berbakat dan pekerja keras, dia juga
seseorang yang mengerjakan sebagian besar tugas dengan mudah akhir-akhir ini.
Apapun yang dia capai dengan mudah
sekarang didukung oleh usahanya
bertahun-tahun, tetapi sikapnya yang tenang jarang berubah. Melihatnya begitu
fokus pasti berarti itu sesuatu yang sangat penting.
(Aku
ingin mengatakan sesuatu, tapi aku mungkin mengganggu konsentrasinya. Aku akan
mengawasinya untuk saat ini.)
Jam
pelajaran hari ini berakhir tanpa insiden tertentu, dan segera tiba saatnya untuk pulang.
Ojou, dalam
suasana hati yang luar biasa baik—hampir menyenandungkan sebuah lagu—bergabung
dengan arus siswa lain yang langsung menuju stasiun.
…Ini
mungkin pertama kalinya dia berjalan dari akademi menuju stasiun. Namun langkahnya begitu
percaya diri, seolah-olah dia sudah menghafal rute dari mempelajari peta
sebelumnya.
“Ojou,
apa jangan-jangan kamu pernah melewati
jalan ini sebelumnya?”
“Ini
pertama kalinya aku melewati jalan.
Lagipula, aku biasanya naik mobil.”
Lalu
bagaimana dia bisa berjalan begitu alami, tanpa sedikit pun keraguan?
Mungkinkah dia benar-benar mempelajari peta secara terperinci dan mengingat
rutenya? Tidak, tentu saja tidak, meskipun
dia sangat tertarik untuk bepergian dengan kereta api.
“Ah,
Eito-kun dan Tendou-san!”
“Apa
yang terjadi hari ini? Kamu biasanya menggunakan mobil, kan?”
Tampaknya
tidak biasa bagi Ojou dan aku
untuk berjalan pulang dari sekolah bersama-sama, yang telah menarik perhatian
beberapa gadis dari kelas kami.
“Halo.
Hari ini, kami memutuskan untuk mengubah suasana dan pulang dengan menaiki kereta,” jawabku.
Gadis-gadis
itu berasal dari kelas sebelah.
Aku tidak pernah sekelas dengan mereka selama SMP
dan mereka tidak punya hubungan langsung dengan Ojou.
Namun, itu mungkin akan berubah ke depannya.
Aku
mengingatkan diriku untuk tetap tersenyum ramah tetapi tenang yang tidak akan
membuat siapa pun merasa tidak nyaman. Hal terakhir yang kuinginkan adalah
melakukan sesuatu yang dapat mencoreng reputasi Ojou.
“Be-Begitu ya... Jadi, kau akan naik
kereta bersama kami!”
“Kenapa
kamu tidak ikut dengan kami? Aku
ingin mendengar lebih banyak tentangmu, Eito-kun!”
“Ojou,
bagaimana menurutmu—”
"Maaf,
kami sedang terburu-buru hari ini."
Penolakan
Ojou yang sopan namun tegas tidak memberikan ruang untuk diskusi lebih lanjut.
Dengan senyum yang sempurna dan berseri-seri, Ojou meraih
lenganku dan melangkah cepat, tidak memberikan ruang untuk ragu-ragu.
“O-Ojou? Ada apa?”
“Apa
maksudmu, 'ada apa'? Apa-apaan dengan senyumanmu tadi?”
“Aku
hanya berusaha memastikan reputasimu tetap tidak tercoreng—”
“Jika
itu yang diperlukan, maka mendingan buang saja!”
“Aku
khawatir aku tidak bisa melakukan itu!”
“Pokoknya,
kita harus pergi sekarang! Saat ini juga!
Kita harus segera keluar dari zona bahaya ini!”
Jadi, sambil dia berjalan di depanku, kami
terus berjalan cepat hingga akhirnya tiba di stasiun.
Pada jam
segini, stasiun masih jauh dari kata ramai. Kereta jam sibuk sama tidak
mungkinnya seperti langit dan bumi yang terbalik. Satu-satunya orang di sekitar
hanyalah para pelajar seperti kami,
mungkin juga dalam perjalanan pulang.
“Eito.
Aku tidak melihat ada kotak bento yang dijual di sini.”
“Kotak
bento biasanya dijual di
stasiun yang lebih besar, terutama yang dilewati kereta
Shinkansen. Stasiun sebesar ini tidak akan menyediakan kotak
bento.”
“Begitu ya. Padahal
aku selalu ingin mencobanya; sungguh mengecewakan.”
Nada
suaranya tenang, tetapi sedikit kerinduan dalam suaranya memperjelas bahwa dia
benar-benar menantikan hal itu.
“Mari kita
simpan saja untuk lain waktu. Aku akan mengaturnya saat ada kesempatan.”
“Tidak.
Aku ingin membeli bento di stasiun."
Saat kami
bertukar obrolan kecil, kereta
tiba tepat waktu. Pintunya
terbuka, dan aku mengikuti Ojou masuk. Seperti yang diharapkan, gerbong kereta
itu sepi penumpang pada jam segini.
Selain
beberapa siswa dari akademi, hampir tidak ada penumpang lain.
“Ojou,
silakan duduk. Ada banyak tempat kosong.”
“Tidak usah,
aku akan berdiri.”
Karena
tidak pantas bagiku untuk duduk sementara majikanku
berdiri, tentu saja aku tetap berdiri di sampingnya di kereta yang hampir
kosong.
(Kuharap
pengalaman ini memuaskan rasa penasarannya
tentang naik kereta...)
Saat aku
berdiri diam di sampingnya, kereta bergoyang pelan hingga berhenti di stasiun
berikutnya. Pintunya
terbuka lagi, dan kemudian—tanpa diduga—kerumunan
orang menyerbu masuk ke
dalam gerbong.
“Hah?”
Sebelum
aku bisa memahaminya, gerbong itu tiba-tiba penuh sesak, Tanpa menyisakan ruang
untuk duduk, apalagi untuk bergerak dengan
nyaman.
(Apa… apa
yang terjadi? Ini bahkan bukan jam sibuk. Mengapa ada begitu banyak orang di
sana…?)
Aku telah
meninjau semua detail rute ini sebelumnya—waktu, tata letak stasiun, dan arus
penumpang secara umum. Tidak ada yang menyebutkan tentang acara besar hari ini.
Paling-paling, area itu mungkin menjadi tempat penyelenggaraan sesuatu yang
kecil seperti undian berhadiah atau pembagian balon.
“Ya
ampun, rassanya kok mendadak ramai,
ya?”
“Y-Ya.
Maafkan aku, Ojou. Ini kesalahanku.”
“Ini
bukan salahmu. Ini hanya kebetulan—kumpulan orang yang tak terduga masuk ke dalam gerbong ini. Kamu tidak mungkin bisa memprediksi
setiap gerakan kerumunan, jadi kamu tidak
perlu menyalahkan dirimu sendiri."
“Tapi
membiarkanmu mengalami ketidaknyamanan seperti ini—”
“Aku
baik-baik saja. Aku sama
sekali bukannya merasa tidak
nyaman.”
Seperti
yang diharapkan darinya. Bahkan dalam menghadapi kerumunan yang tak terduga
seperti jam sibuk, Ojou tetap tenang, menunjukkan
senyum yang tenang dan berseri-seri kepadaku.
Aku perlu
belajar darinya. Jika aku terguncang oleh
sesuatu yang remeh seperti kerumunan yang tak terduga, aku masih punya jalan
panjang yang harus ditempuh.
“Wah—”
Saat
kereta bergoyang, kerumunan itu pun bergeser seperti gelombang pasang yang tak
kenal lelah. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga jarak di sekitar Ojou, tetapi dengan banyaknya orang,
itu hampir mustahil.
“Maafkan
aku, Ojou. Mohon bersabarlah sedikit lebih lama...”
“Jangan
khawatir. Yang lebih penting, berhentilah ragu-ragu. Lindungi aku dengan baik.”
perkataannya
terdengar tegas tetapi tenang, tatapannya
tak tergoyahkan. Otoritas halus dalam nadanya tidak menyisakan ruang untuk
berdebat.
Aku
menyesuaikan posisiku, menempatkan diriku sebagai penyangga terhadap kerumunan
yang melonjak. Jika aku tidak bisa menciptakan ruang, setidaknya aku bisa
melindunginya agar tidak terguncang.
“Dimengerti.
Aku akan memastikan kamu aman,
apa pun situasinya.”
Senyum
tipisnya sebagai tanggapan sudah cukup untuk memperkuat tekadku. Tidak peduli
seberapa tidak terduga situasinya, kenyamanan
dan keselamatan Ojou lah yang menjadi
prioritas utamaku.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Hoshine)
Saat naik
ke sekolah SMA, aku tidak pernah
membayangkan akan bertemu dengan ‘kucing
garong’ secepat ini.
Sejujurnya,
aku merasa terkejut. Aku
harus bertindak, melakukan sesuatu. Namun, tidak peduli seberapa banyak aku
berpikir, aku tidak dapat membuat rencana yang matang. Lalu—apa maksud pepatah
itu? “Tempat tergelap ada di bawah
mercusuar.”
Jawabannya sudah ada di hadapanku
sejak lama.
Kereta
yang penuh sesak. Aku telah mengabaikan pilihan yang sangat jelas itu. Jelas sekali kalau aku masih harus
banyak belajar.
Biasanya,
kamu mungkin berpikir kereta yang
penuh sesak tidak menawarkan keuntungan apa pun.
Ya, aku
mengerti. Bahkan aku sendiri takkan dengan senang hati memilih untuk
menaikinya. Namun… bagaimana jika ada keuntungan? Keuntungan yang luar biasa
dan tidak dapat disangkal. Lalu apa?
“Khususnya
di kereta yang penuh sesak, tidak ada pilihan selain berdekatan dengan orang lain, jadi untuk Ojou,
aku tidak akan merekomendasikannya—”
“Ayo kita pulang dengan naik
kereta hari ini.”
Kontak
dekat. Tepat sekali. Kedekatan fisik mungkin merupakan langkah terbaikku.
Bukannya
menyombongkan diri, tetapi aku
sangat menyadari bentuk tubuhku, katakanlah, berkembang. (Baru kemarin,
dadaku terasa sedikit sesak karena seragamku.)
Dan di dalam
kereta yang penuh sesak, tidak perlu berpura-pura—itu wajar, situasi yang tak terelakkan. Situasinya
praktis menuntut jarak yang dekat. Ini adalah kesempatan yang sempurna untuk
menggunakan asetku secara maksimal. Ditambah lagi... Aku tidak dapat menyangkal
bahwa itu juga membuatku sedikit bahagia.
Saat ide
itu muncul di benakku, aku tidak membuang-buang
waktu untuk mewujudkannya.
Aku
mengeluarkan ponselku dan membuka aplikasi pribadi keluarga Tendou—yang aku
rancang sendiri, kreasi khusus. Dengan cepat, aku mengirim pesan. Rencana itu
hanya butuh dua detik untuk dirumuskan. Langkah selanjutnya ialah mengumpulkan personel yang
diperlukan. Dan dengan sumber daya keluarga Tendou, itu bukan tantangan.
Tugasnya
sederhana.
Pada
waktu yang ditentukan, naiklah ke gerbong yang ditentukan.
Itu saja.
...Yah,
aku tidak mengantisipasi adanya ‘kucing
garong’ lain muncul ketika Eito
memutuskan untuk naik kereta. Itu mengejutkan.
Tapi
tidak apa-apa. Kereta yang penuh sesak ini akan membereskan semuanya. Ketika personel yang sudah aku atur mulai naik, Eito tampak
bingung.
Bagaimana
denganku? Aku justru merasa puas.
Tidak—puas bukanlah kata yang tepat. Pertarungan yang sebenarnya dimulai
sekarang.
“Maafkan
aku, Ojou. Tolong tahan ini sedikit lebih lama...”
“Jangan
khawatir. Yang lebih penting, jangan menahan diri. Lindungi aku dengan benar.”
“...Dimengerti.”
Berkat desakan
kerumunan yang diatur oleh personel suruhanku,
menyebabkan jarak di antara Eito
dan diriku semakin menyempit. Ia memposisikan dirinya di dinding
kereta, menopang lengannya untuk melindungiku dari kerumunan orang, tetapi
banyaknya penumpang mau tidak mau membuat kami saling berdekatan.
...Hmm.
Merasakan tubuhnya begitu dekat denganku sedikit... terasa memalukan.
Tetapi
ini mungkin akan membuat Eito lebih memperhatikanku.
Hehehe. Maaf banget ya, kalian
si
‘kucing garong’ yang mengincar Eito.
Waktunya
bakalan tidak lama lagi sebelum aku dapat membuat
pernyataan kemenanganku.
“Ojou,
apa kamu merasa tidak
nyaman?”
“Aku
baik-baik saja. Kalau begitu, kamu bisa lebih mendekat
lagi—”
Aku
mendongak.
(...Oh.)
Jaraknya jauh lebih dekat dari yang kuduga,
wajah Eito ada di sana, tatapannya tertuju padaku. Sorot matanya yang mirip seperti langit tengah malam, seakan-akan menyedotku masuk.
Dan begitu saja, semuanya—rencana yang telah kubuat, ketenanganku,
kepercayaan diriku—menghilang menjadi suara bising.
(Ia sangat dekat. Rasanya lebih dekat dari yang
kukira. Dan ini... posisi
ini...)
Aku
pernah melihatnya dalam drama dan manga yang kupelajari untuk ‘penelitian’.
Bukannya ini...
adegan yang begitu? Posisi ‘kabedon’. Aku tidak pernah menyangka aku akan
mengalaminya dari Eito dari semua orang, bahkan jika secara kebetulan...
(Ap-Apa ini?)
Wajahku
tiba-tiba menjadi panas. Jantungku mulai berdebar sangat kencang di dalam dadaku...
“Ojou.”
“Y-Ya?!”
“Wajahmu
tampak memerah. Apa kamu merasa
tidak enak badan?”
“T-Tidak kok! Aku baik-baik saja. Baik-baik
saja, jadi...”
...Sepertinya
aku meremehkan kapasitasku sendiri untuk menangani situasi ini.
“Jadi...jangan... lihat aku sekarang.”
Aku baru
menyadari seberapa berlebihannya aku bertindak
setelah kami turun dari kereta dan kakiku menolak untuk bergerak.
Ngomong-ngomong,
di kemudian hari.
Aku
mengetahui bahwa rumor menyebar tentang sosok Eito
yang melindungi seorang gadis dengan
melakukan ‘kabe-don’, yang menyebabkan sedikit
peningkatan jumlah penggemarnya. Setelah mendengar
itu, aku hampir meninju dinding.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
Kelas 1-A Divisi SMA Akademi Tenjoin.
Di kelas
inilah, Ojou dan aku terdaftar sejak musim semi.
Sekarang
setelah sebulan berlalu sejak upacara penerimaan, para siswa di kelas tersebut
secara alami mulai membentuk kelompok masing-masing.
Di dalam
akademi, siswa seperti Ojou dan aku, yang telah naik kelas dari divisi sekolah SMP menuju divisi
sekolah SMA melalui sistem eskalator,
disebut sebagai [siswa
internal].
Sementara itu, mereka yang masuk sekolah melalui ujian masuk eksternal disebut [siswa eksternal]. Tidak
mengherankan, kelompok-kelompok tersebut sebagian besar terbagi berdasarkan penggolongan tersebut.
Wajar
saja bagi siswa internal, yang sudah memiliki hubungan sebelumnya dari masa SMP, untuk berkumpul bersama. Akibatnya, sulit bagi
siswa eksternal untuk beradaptasi ke
dalam lingkaran yang sudah mapan ini, sehingga mereka harus berkelompok di
antara mereka sendiri.
Dan saat
ini, salah satu tantangan yang membebani pikiranku ialah:
(Ojou sama sekali tidak
punya teman, ya...)
Meskipun
sudah hampir sebulan berlalu
sejak kami mulai masuk SMA, dia
masih belum punya teman. Faktanya, Ini bukan masalah baru—hal ini juga terjadi selama masa
SMP-nya.
Bukannya
dia dihindari oleh orang-orang di sekitarnya. Justru
sebaliknya, dia lebih sering dikagumi dengan tatapan iri. Jika
diajak bicara, dia menanggapi dengan cara yang normal. Beberapa hari yang lalu,
dia didekati oleh beberapa siswi yang tidak dikenalnya dalam perjalanan pulang.
Namun,
meskipun begitu, dia tampaknya tidak memiliki hubungan dekat yang cukup dalam
untuk memanggil seseorang sebagai teman.
Dalam artian
baik maupun buruk, mungkin akan lebih baik untuk menggambarkannya
sebagai orang yang gampang
didekati oleh semua orang. Itu bukan hal yang buruk, dan tidak perlu memaksakan
persahabatan. Tetap saja, mau tak mau aku dibuat
khawatir jika ini mungkin akan mempersempit dunianya.
“Apa-apaan dengan wajah seriusmu itu, Eito? … Tunggu, jangan
bilang pemikiranmu ketinggalan di gedung olahraga,
membayangkan tentang gadis-gadis dengan
seragam olahraga mereka yang berkeringat. Aku mengerti—aku mengerti, oke. Terutama penampilan seragam
olahraga Tendou-san. Kemontokan itu sudah hampir
mendekati tingkat kriminal....”
“Jika
kamu mengatakan lebih dari itu,
Yukimichi, sebaiknya kau segera bertobat.”
“Seperti
biasa, kamu selalu cepat marah jika berhubungan dengan
Tendou-san...”
Yukimichi
memiliki rambut sedikit panjang yang
diwarnai cokelat, dan tubuh ramping namun seimbang dengan jumlah otot yang pas.
Jika aku harus membandingkannya dengan sesuatu, ia seperti anjing yang ramah. perkataan dan tindakannya memiliki bakat
untuk menyelinap ke dalam hati orang-orang sebelum mereka menyadarinya,
memberikan kesan yang mudah didekati dan santai.
Para siswa
laki-laki saat ini mengenakan seragam olahraganya, meskipun biasanya berpakaian
santai dengan seragam sekolahnya, adalah Kazami Yukimichi.
Berkat
hubungan dekat antara orang tuanya dan orang tua Ojou,
Yukimichi dan aku sudah saling mengenal
sejak kecil. Meskipun tidak setingkat dengan Ojou
dalam hal akademis, ia memiliki standar prestasi akademi
yang tinggi. Selain itu, ia memiliki keterampilan sosial yang luar biasa, berkenalan dengan [siswa eksternal] dalam
waktu kurang dari sebulan dengan lancar.
Mengingat Penampilannya yang mencolok, sungguh mengejutkan betapa kompetennya
dia di banyak bidang.
“Jadi,
jika kamu duduk di sana dengan wajah yang gelisah, itu pasti sesuatu yang berhubungan Tendou-san, kan?”
“…Kamu
sangat peka seperti biasanya.”
Pria ini
bisa dianggap sebagai teman Ojou.
Setidaknya, mereka berhubungan dengan baik.
Ojou
saat ini hampir tidak memiliki teman dekat—hampir menjadi kata kuncinya, karena
Yukimichi adalah pengecualian.
“Kamu
punya lingkaran pertemanan yang cukup luas, bukan?”
“Ya.
Bukannya bermaksud menyombongkan diri sih,
tapi aku mungkin bisa berhubungan dengan setiap siswi perempuan eksternal dalam
seminggu. Itu perkiraanku.”
“Itu…
benar-benar bukan sesuatu yang bisa dibanggakan.”
“Yah,
jika ada sesuatu yang mengganggumu, katakan saja. Mari kita hadapi saja, cuma aku satu-satunya pria yang bisa
kamu ajak bicara dengan santai.”
Meskipun ia selalu bertingkah konyol, tapi memang tidak dapat disangkal
bahwa keterampilan sosial Yukimichi lumayan
hebat.
…Mungkin
ada baiknya berkonsultasi dengannya. Jika ada sesuatu
yang bisa berdampak negatif pada Ojou, aku bisa
mencegatnya sebelum kejadiannya menjadi terlalu jauh.
“Sebenarnya—”
Sambil setengah berharap gagal, aku
memutuskan untuk berbagi kekhawatiranku dengan Yukimichi.
“Sekarang
aku mengerti. Ya, memang benar Tendou-san hampir tidak punya teman perempuan di
sekolah—kecuali mungkin mereka yang terkait dengan lingkaran sosial kalangan atas.”
“Bahkan
di antara kalangan atas,
jarang sekali bisa menemukan keluarga yang
dapat menyaingi keluarga Tendou…”
“Meskipun
kadang-kadang, kamu mendapatkan seseorang yang tidak tahu tempat mereka. Tapi
mari kita kesampingkan itu untuk saat ini. Aku mengerti kekhawatiranmu.”
“Ah, jadi
kamu mengerti.”
“Aku
mengerti, tapi... itu akan sulit. Terutama karena kewaspadaannya lebih tinggi
dari biasanya akhir-akhir ini.”
“...Dan
mengapa begitu?”
Aku tidak
bisa membayangkan Yukimichi sampai
menyebut sesuatu ‘sulit’ tanpa alasan yang kuat.
“Yah...
sebelum aku membahasnya, ada beberapa hal yang ingin aku pastikan terlebih dahulu.”
“Silakan.
Jika ini tentang Ojou, aku mengetahui sebagian besar hal.”
“Baiklah,
pertanyaan pertama: Kamu baru
saja mendapat pengakuan cinta dari seorang
gadis, bukan?”
“Ya,
benar.”
“Apa
kamu menceritakan hal itu kepada
Tendou-san?”
“Iya.”
“Begitu ya. Sekarang aku mengerti semuanya.”
“Bagaimana!?
Apa yang bisa kamu
simpulkan dari semua itu!?”
“Aku
belum pernah bertemu pria yang sedongo dirimu.”
“Memangnya
aku seburuk itu...? Apa aku benar-benar membuat kesalahan sebanyak itu...?”
Sial. Aku
tidak mengerti... apa pun sama sekali!
Apa yang
telah kulakukan!?
“Ngomong-ngomong,
aku mendengar sesuatu tentangmu baru-baru ini.”
“Tentang
aku? Bukan tentang Ojou?”
“Benar.
Bukan tentang Tendou Hoshine, tapi kamu—Yagiri
Eito. Coba jawab jujur denganku, apa kamu
kebetulan berjalan melewati alun-alun dekat stasiun sendirian beberapa saat
yang lalu?”
“...Ya,
aku ingat pernah melewati sana untuk beberapa keperluan.”
“Dan
saat kamu di sana, apa kamu melihat seorang siswi yang dirayu oleh seorang pria?”
“Ya.
Aku memang melihatnya.”
“...Dan
apa kamu berusaha membantunya untuk menghentikan itu
dan akhirnya malah dipukul
oleh pria itu?”
“Jangan
menghinaku. Mana mungkin
pukulan amatir akan mengenaiku. Ketika ia
mulai mengayunkan pukulannya tanpa
mendengarkan alasan, aku hanya menangkis serangan mereka.”
“....................................Begitu ya.”
“...Kenapa
kamu menengadah ke atas langit?”
“Yah,
sebagai teman masa kecilmu, aku hanya merasa sangat kasihan pada Tendou-san...
Kurasa pertahanannya akan tetap terjaga untuk beberapa saat.”
Sebelum
aku bisa meminta penjelasan rinci Yukimichi tentang maksudnya, peluit guru
olahraga berbunyi.
“Pemukul
berikutnya, maju ke base plate!”
“Hei,
sekarang giliranmu, Eito. Ayo maju sana.”
“Ah...
ya...”
Sialnya
bagiku, pelajaran hari ini adalah bisbol, dan aku tidak punya pilihan selain
mengambil giliran di kotak pemukul. Percakapan
berakhir di sana, dan aku kehilangan kesempatan untuk meminta lebih banyak
detail pada Yukimichi.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Hoshine)
“Um,
um... Tendou-san, boleh aku bicara sebentar denganmu...?”
Tepat
setelah menyelesaikan pelajaran olahraga,
berganti pakaian, dan keluar dari ruang ganti, gadis ini memanggilku. Aku tidak
begitu mengenalnya. Dia tampak tidak familiar, jadi dia mungkin dari kelas
lain... atau mungkin salah satu 'siswa
eksternal'.
Jika ada
satu hal yang bisa kukatakan tentangnya... yah, dia benar-benar menggemaskan, mirip seperti binatang kecil. Jelas
bukan tipe yang berkepribadian kuat. Baginya untuk mendekati seseorang
sepertiku, yang tidak dikenalnya, pasti butuh banyak keberanian.
“Tentu.
Aku tidak keberatan. Kira-kira ada apa ya?”
“Aku
punya sesuatu yang ingin kuberikan pada Eito-kun...”
“...Sesuatu
yang ingin kamu berikan
padanya?”
Seseorang,
tolong puji aku karena tidak membeku. Serius, siapa saja boleh.
“Ya.
Beberapa saat yang lalu, ia membantuku dengan sesuatu...”
“...Maaf,
aku tidak tahu apa-apa tentang ini. Bisakah kamu
menceritakan itu lebih detail?”
Dia mulai
menjelaskan secara terperinci.
Dia
sedang berjalan di alun-alun di depan stasiun ketika seorang pria mulai
mengganggunya. Pria itu
terus mendesaknya untuk ikut dengannya, dan dia terlalu takut untuk
melepaskannya.
Kemudian,
Eito datang dan menolongnya.
Ia
seperti pangeran di atas kuda putih—keren sekali... Ah, gadis ini tampak
sedikit tenggelam dalam imajinasinya. Kali ini aku meladeni tipe gadis yang seperti ini, ya...
“Begitu...
jadi begitulah yang terjadi. Aku sama sekali tidak
tahu. Terima kasih sudah memberitahuku.”
Ya, aku
benar-benar tidak tahu. Cerita
yang sangat penting, dan aku sama sekali tidak mengetahuinya.
“Jadi,
apa yang ingin kamu berikan
pada Eito?”
“Ini...
di sini...”
Gadis itu
mengeluarkan sebuah bungkusan cantik berbungkus warna merah muda.
Teksturnya...
makanan panggang. Kue. Kemungkinan besar buatan sendiri.
“Ini
untuk berterima kasih padanya karena telah membantuku... Apa kamu
tidak keberatan untuk memberikannya
pada Eito-kun untukku?"
“...Kamu yakin tidak ingin memberikannya
padanya sendiri?”
Sekali
lagi, tolong seseorang, pujilah aku karena tidak tertegun. Serius, siapa pun itu.
“Um...
kalau aku bertemu dengannya secara langsung, aku akan mengingat apa yang
terjadi, dan aku akan merasa malu... Tapi aku ingin memastikan aku mengucapkan
terima kasih dengan cepat...”
“Begitu ya... Baiklah, aku akan memastikan
untuk menyerahkannya untukmu.”
“Terima
kasih banyak...!”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
“Ojou,
bagaimana pelajaran olahragamu?”
“Biasa-biasa
saja. …Yang lebih penting, ini. Ambil ini.”
“Apa
ini? Kue...?”
“Ini
hadiah terima kasih karena telah menolong seseorang di depan stasiun. Pastikan
kamu memakannya dengan benar.”
“Ah,
dari waktu itu ya...”
“...Eito.
Kita akan mampir di suatu
tempat dalam perjalanan pulang hari ini.”
“Aku
tidak keberatan, tapi... kemana?”
“Hmm,
bagaimana dengan alun-alun di depan stasiun?”
“Mestinya
tidak ada yang baru di sana...”
“Tidak
apa-apa. Kita akan pergi juga... Aku tidak boleh kalah.”
Ini benar-benar menjadi masalah. Jika aku lengah,
suatu hari aku mungkin tiba-tiba mendengar, “Aku
telah menemukan seseorang yang kucintai”,
dari mulut Eito. Aku harus bertindak cepat.
Namun,
pendekatan yang biasa akan menghasilkan hasil yang sama seperti sebelumnya. Aku
perlu mengubah polanya, atau itu mungkin akan berakhir dengan kegagalan lagi.
Aku butuh sesuatu yang baru... mungkin meminta bantuan seseorang?
Jika aku
akan melakukan itu, aku harus melakukannya dari sudut pandang yang
berbeda—bukan gadis lain sepertiku, tapi pria seperti Eito. Seseorang yang
mengenal Eito sebagai temannya ketika ia sedang tidak
bersamaku.
Kalau
saja aku punya sekutu seperti itu…
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya