Penerjemah : Kaito
Editor : -
Chapter
04 - Pencarian
Lima menit dari stasiun, ada
taman untuk anak-anak dengan ayunan dan bak pasir yang kita sebut Central Park. Saat aku tiba, Miyano melambaikan
tangannya padaku. Entah kenapa, dia duduk di bangku, masih mengenakan seragam sekolahnya.
"Kau
tidak pulang? Bagaimana dengan makan siang?" Tanyaku.
"Aku
makan di luar," jawabnya, berdiri dengan cepat. Dia membersihkan celananya
dengan lembut, dan menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Apa?"
Aku
menunduk menatap pakaianku. Aku memakai kaos kuning, rok denim panjang, dan sandal
kulit. Tidak ada yang spesial. Aku menatap kembali padanya, dan dia bilang
bahwa ini terlihat langka bagiku sembari memalingkan wajahnya.
"Bagaimana
dengan gantungan kuncinya?" dia bertanya.
Atas
permintaannya, aku mengeluarkannya dari tas kecilku. Miyano mendekatkan
wajahnya untuk melihatnya lebih dekat. Aku selalu mengira dia pasti bau tak
sedap karena berlari-lari sepanjang waktu, tapi bau yang keluar dari lehernya
terasa sejuk seperti hujan, tanpa ada yang dicampur di dalamnya. Sesaat, ini
terasa memalukan. Lalu, aku sedikit mundur darinya.
"Lihatlah
punggungnya."
Miyano,
yang sama sekali tak peduli terhadap kegugupanku, menunjuk ke bagian belakang
pakaian yang dikenakan beruang. Ada semanggi hijau berdaun empat dengan kata
'Clover' yang dicetak dengan huruf hitam.
"Kedengarannya
seperti nama toko. Apa kau tahu ada toko
bernama Clover?" dia bertanya padaku
"Ada
toko dengan nama itu di dekat jembatan layang," jawabku.
Dia
kemudian menunjuk ke bagian bawah kaki kanan beruang itu. Angka empat digit
terukir di atasnya.
"Jika
kita memiliki nomor seri, mungkin kita bisa meminta seseorang dari toko tentang
hal itu," katanya, dan segera, kami menuju ke toko tersebut.
Dia
tidak tahu jalannya, jadi aku yang memandunya, sembari bertanya-tanya mengapa aku
melibatkan diriku bersama orang ini selama dua hari berturut-turut.
Belum
turun hujan sejak pagi ini. Aspal agak lembap, dan terlihat jauh lebih gelap
dari rona abu-abu biasa. Jalan yang kita lewati tidak terlalu ramai, dan area
perumahan yang kita telusuri terlihat tenang dan sepi. Tetesan hujan yang
terkumpul pada daun pepohonan hijau di sekitar kota memantulkan cahaya
sesekali, bersinar dan berkilauan di bawah sinar matahari siang.
"Di
sinilah tokonya." Aku berhenti di depan toko. Kami berada di trotoar jalan
utama, dan ada jendela peraga di lantai satu gedung apartemen tinggi dengan
selimut, boneka, manik-manik dan aksesori yang berjejer rapi di dalamnya untuk
dipajang. Di pintu kayu pada toko kecil itu ada sebuah tanda yang bertuliskan "Import Shop Clover" dalam
bentuk huruf bulat. Aku pernah mendengar tentang toko ini, tapi belum pernah
melihatnya secara langsung.
Aku
melihat-lihat toko melalui jendela
peraga. Toko itu memiliki suasana yang cerah dan hangat, dengan wallpaper
kuning di dindingnya. Aku melihat boneka binatang dengan berbagai ukuran yang
disusun di rak kayu, dan barang-barang kain seperti taplak meja. Tidak ada pelanggan
di dalam, hanya ada seorang pekerja wanita tengah melihat-lihat buku catatan di
kasir.
"Baiklah,
kau masuk ke dalam dan bertanya pada penjaga."
"Kenapa
harus aku?"
"Karena,"
kata Miyano, menatapku dengan gaya sok penting sambill tangannya di letakkan
pinggulnya. "Aku ini seorang lelaki, kau tidak bisa mengharapkan aku untuk
pergi ke toko seperti itu, aku akan menunggumu di luar."
Aku
meninggalkannya di sana dan membuka pintu tokonya. Bagian dalamnya ber-AC dan membuat
kulitku menggigil kedinginan, serta aku dikelilingi oleh aroma bunga. Si
penjaga wanita menyambutku dengan salam yang ceria. Dia tersenyum padaku.
Rasanya sangat canggung karena aku tidak berniat untuk membeli apapun disini.
Ketika aku
berbalik, aku melakukan kontak mata dengan Miyano melalui pintu kaca. Dia
menyeringai lebar sampai tkelihatan giginya dan membuat tanda jempol, seolah
mengatakan, "Ayo!"
Jangan
lagi.
Aku
berjalan ke meja kasir, mengambil gantungan kunci dari tas kecilku, dan
meletakkannya di atas meja.
"Aku
ingin bertanya tentang gantungan kunci ini," kataku pada penjaga wanita.
"Apa benar ini dijual di sini?"
"Oh,
ini membuatku ingat kembali." Dia tersenyum lembut, menyentuhnya dengan
jari putihnya.
"Kami
memilikinya tahun lalu, hanya ada dua, karena gantungan ini buatan dari sang pemilik
toko ini!" "Begitu ya," kataku sambil mengangguk dan memikirkan
apa yang harus ditanyakan lagi selanjutnya. Dia pasti suka berbicara, karena
dia terus menaga percakapan.
“Seorang
gadis seusiamu datang dan membeli semuanya. Dia terlihat sangat bahagia saat
kuberitahu padanya bahwa hanya ada dua di toko ini, karena itulah aku ingat
gantungan kunci ini dengan baik, kurasa dia sedang mengenakan seragam sekolah,
dari sekolah menengah di dekat sini. Apakah dia memberikannya padamu? “Dia
bertanya.
*****
Saat aku
meninggalkan toko, aku pergi ke sebuah taman kecil di dekat toko bersama
Miyano. Taman ini berisik karena ada anak SD yang sedang bermain-main. Aku
duduk di pagar besi dan menceritakan apa yang aku dengar dari penjaga toko tadi.
"Jadi
orang yang menjatuhkannya adalah seorang gadis dari sekolah kita,"
Miyano
mengulangi informasiku, dan mulai berpikir keras. Aku melihatnya berpikir
sambil meminum teh botolku.
"Kurasa, kita tak bisa mendapatkan petunjuk lagi di
sini, selain itu, liburan musim panas kita akan dimulai besok, kita takkan bisa
menemukan pemilik beruang ini meski kita menginginkannya. Untuk
mengembalikannya, tidak bisakah kau meminta Sensei untuk memberi pemberitahuan
di papan buletin sekolah? " Kataku padanya
Aku sangat
berkeringat, mungkin karena berjalan terlalu jauh dari biasanya. Bahkan jika
matahari tidak nampak, sekarang masih musim panas, dan panasnya sungguh tak
tertahankan.
Aku
menggunakan handuk untuk menyeka keringat dari wajahku dan pengembunan dari
botolku dan menyadari bahwa Miyano sedang menatapku. Berbeda denganku, dia memmiliki
kulit kecokelatan dan bahkan tidak berkeringat. Wajahnya terlihat khawatir, tidak
seperti wajah bahagia yang biasa dia buat.
"...Apa?"
Aku
benci mengakuinya, tapi aku terkaget karena itu. Aku tidak tahu bahwa dia bisa
membuat wajah serius seperti itu.
"Apa
kau serius bilang begitu?" dia bertanya.
"Kenapa
tidak?" Aku berdiri, melangkah dengan kuat di atas pasir. "Mengapa
kau menganggap ini sangat serius?"
Miyano
tidak menjawab, dan rasa jengkel yang hampir kulupakan mulai muncul kembali dan mengambil bentuk.
"Aku
sudah cukup denganmu dan leluconmu, aku tak takut padamu."
Mengatakan
demikian, aku mencoba meyakinkan diriku bahwa aku benar.
Aku
berjalan melewatinya ke pintu keluar taman.
Aku
tidak peduli pada siapa dia menceritakannya. Dia bisa langsung memberi tahu
Nakahara-san, atau siapa pun yang dia inginkan. Aku mendengar dia memanggil
namaku, tapi aku pulang tanpa menengok ke belakang.
****
Aku membanting
pintu depan dengan suara keras saat aku
pulang. Aku masuk dan berlari ke lantai atas ke kamarku.
Pintu
telah ditutup untuk sementara waktu, jadi kamarku terasa pengap. Keringatku,
yang menetes tadi, mengalir deras di wajahku.
Oh, Ayolah!
Aku semakin
frustrasi, dan mataku hampir menangis.
Apa-apaan sih?!
Di
sudut ruangan, aku melihat tas sekolah biru-ku, yang lebih besar dari yang
terlihat dan cukup fungsional untuk menampung tidak hanya buku teks, tapi juga
pakaian olah ragaku. Ada dua kantong di dalamnya, yang besar dan kecil, salah
satunya memiliki gantungan beruang yang menempel pada ritsleting.
Dia
terbuat dari kayu, memiliki wajah bulat kecil, memakai pakaian kuning, dan
memiliki nomor seri yang terukir di sepatu merahnya.
Seharusnya
aku melepaskan dan memasukkannya ke belakang laci mejaku. Tidak, seharusnya aku
membuangnya ke suatu tempat, seperti yang dilakukan Mana padanya.
Aku
melepas tas kecilku dari bahuku dan meletakkannya di sudut ruangan yang
berlawanan, menyesali bahwa aku tidak memberi Miyano gantungan kunci di tas itu
untuk diurus.
Aku
berdiri tak bergerak di antara tas sekolah dan tas kecil, meneteskan keringat.
Jarum
jam di dinding berdetak dengan perlahan. Sedikit cahaya menyinari tirai
tebalku, tapi redup dan membuat ruangan cukup gelap untuk mengaburkan bentuk
perabotan di kamarku.
Seandainya
saja aku bisa meleleh menjadi kehampaan. Ruangan ini sepi, tapi di dalam
pikiranku terasa ramai dan ribut.
Aku tak
bisa tidak merasakan betapa kesalnya diriku, tentang gantungan kunci yang
dilemparkan, tentang Miyano, dan segalanya.
Aku
ingat bagaimana dia memanggilku Itsuko, bukan Natsuko, dan merasa lebih marah
lagi.
Satu-satunya
orang yang tidak pernah memanggilku Natsuko adalah Mana.
Mana
lulus dari sekolah SD lain, dan kami berada di kelas yang sama untuk pertama
kalinya pada kelas 1 SMP. Dia pasti merasa aneh bahwa setiap orang memanggilku
Natsuko, karena suatu hari, dia mendadak bertanya mengapa, meski sebenarnya
kami bukan teman sejati.
"Semua
orang memikirkan musim panas saat mereka melihatku." Jawabku.
"Kenapa?
aku tidak mengerti sama sekali." Mana membalas sambil terkejut.
"Aku
pikir Akiko, atau mungkin Fuyuko adalah panggilan yang lebih baik cocok,
maksudku, Kau tidak mudah bergairah, jadi kau tidak terlalu musim panas, jika
kau bertanya padaku, kau lebih condong ke tipe suram!" (TN : Natsuko mempunyai arti anak musim
panas, Akiko mempunyai arti anak musim gugur sedangkan Fuyuko, anak musim
dingin.)
Melihat
kembali saat itu, aku pikir memanggil seseorang memiliki suasana muram selama
percakapan pertamamu dengan mereka seharusnya agak kasar, tapi hal itu tidak
menggangguku saat itu. Aku lebih terkejut karena menemukan orang lain yang juga
mengerti fakta bahwa "Natsuko" bukanlah nama panggilan yang tepat
untuk diriku.
Memanggilku
suram mungkin sangat kasar, tapi rasanya sangat menyegarkan untuk memiliki seseorang
seperti Mana yang selalu berbicara terus terang. Dia tidak pernah percaya rumor
atau mengikuti mayoritas untuk menyesuaikannya. Mana merupakan satu-satunya orang
yang memanggilku "Itsuko" sementara semua orang memanggilku
"Natsuko". Itu sudah cukup bagiku, selama Mana adalah satu-satunya
orang yang benar-benar memahamiku.
Setidaknya,
itulah yang kupikirkan.
Aku
berjongkok untuk melepaskan gantungan beruang itu dari tas sekolahku.
"Selamat ulang tahun, Itsuko!"
Mana
memberikannya padaku untuk ulang tahunku saat tahun lalu.
"Aku juga punya satu, mereka sepasang!
Lihat, nomor serinya hanya berbeda satu sama lain!"
Tapi
dia membuangnya.
Air mata
mulai terjatuh tanpa aku sadari. Ini tidak lebih dari penghinaan yang
disarankan Miyano agar kita cari pemilik gantungan kunci.
Aku
mendepetkan beruang yang aku pegang ke dalam tas kecilku, Aku yakin mereka tak
pernah menduga akan bertemu satu sama lain lagi seperti ini. Aku akan
mengembalikan mereka berdua ke Mana.
Aku
menyeka air mataku dengan saputangan, menggenggam tas kecilku, dan bergegas
keluar dari kamarku lagi.