Penerjemah : Kaito
Editor :-
Chapter 06 - Janji
Editor :-
Chapter 06 - Janji
Awan tebal yang sebelumnya menutupi langit mulai menyebar. Saat
aku melihat ke arah timur, ada warna oranye cantik yang kontras dengan abu abu
di langit.
Mana
dan aku membuat rencana untuk bertemu besok sebelum kita berpisah. Ada banyak
hal yang harus kukatakan kepadanya bahwa aku tidak dapat berdiam diri. Meraih
payungku dari tas kecilku, aku membukanya dan berlari melewati area perumahan
berwarna oranye-jingga.
Tinggalkan aku sendiri!
Kata-kata
yang aku katakan tadi menusuk hatiku seperti duri, dan aku mulai membenci diriku
sendiri karena telah mengatakannya. Penyesalanku berubah menjadi perasaan
gelisah di hatiku yang membuatku berlari lebih cepat lagi.
Ketika
sampai di sekolah, aku berhenti berlari. Kudengar suara para siswa, suara ping dari sebuah bola bisbol dipukul,
dan suara instrumen musik tiup dari band di kejauhan. Miyano membolos sekolah;
dia takkan berada di sini Aku terus berlari
Aku
mengambil rute rumahku yang biasa, berbelok di tikungan dan berlari di
sepanjang dinding blok batu. Segera, aku melihat gedung apartemen bertingkat
tinggi. Aku menemukan rumah yang memiliki pintu dengan tulisan
"Miyano" tertulis di atasnya. Darahku berdebar-debar di pembuluh
darahku. Ini adalah rumah berlantai dua dengan atap genteng, dan dinding
luarnya begitu tua sehingga warnanya yang krem telah memudar.
Tepat
di sebelah rumah adalah garasi beratap timah, tapi tidak ada mobil yang
diparkir di dalamnya. Yang bisa kulihat hanyalah sebuah sepeda gunung berwarna biru
tua yang diparkir di sudut jalan. Di atas sepeda, nama TAKESHI MIYANO ditulis dalam spidol permanen,
ditulis dengan huruf besar. Aku menyeka keringatku dengan belakang tangan
kiriku, yang masih memegang payungku, dan dengan gugup menekan tombol di interkom.
Aku
menunggu beberapa detik, tapi tidak ada yang menjawab.
Aku
mundur selangkah dari rumahnya, dan melihat lagi di jalan perumahan yang sedang
aku jalani. Tak ada tempat tersisa untuk pergi, dan aku tak bisa pergi ke mana
pun bahkan jika aku mau. Aku sudah kehabisan napas dari tadi dan lututku
gemetaran, tubuhku sudah berada pada batasnya. Sungguh menyedihkan betapa
lemahnya diriku.
Aku
tidak memiliki kemauan atau kekuatan untuk mulai berlari lagi, dan menyeret
kakiku melalui pinggiran kota. Di luar jalanan, aku sampai di tanggul yang
menyusuri sungai dan juga berfungsi sebagai batas kota. Berjalan di sepanjang
itu, aku bisa melihat ke bawah di tepi sungai yang ditutupi rumput liar. Ini
adalah tempat yang menyenangkan bagi siswa SD untuk bermain sepanjang tahun.
Dari
tanggul, beberapa anak tangga dengan pohon tinggi ditanam di samping mereka
mengarah ke tepi sungai. Diantaranya ialah pohon ceri tinggi nan besar itu yang
memberiku naungan di sore hari, tempat favorit milikku. Aku suka bukan hanya
karena itu cocok untukku, tapi juga karena aku bisa melihat ke daerah
sekitarnya, termasuk dasar sungai dan jembatan yang melintasi sungai.
Kupikir
aku bisa beristirahat di sana, tapi Miyano tengah duduk di sana di bawah pohon.
Dia menghadap
ke sungai sambil duduk dengan tenang, tidak bergerak sama sekali. Dia memeluk
lututnya, dan meletakkan wajahnya di sana.
Sangat
mengejutkan melihat dirinya seperti itu sampai-sampai rasanya tampak tidak nyata.
Aku merasa ingin berlari untuk memeriksa apakah dia hanya khayalan dari
imajinasiku atau hantu. Sebagai gantinya, aku tidak bisa mengabaikan perasaan
takut yang muncul dalam diriku. Pada akhirnya, aku menuruni tangga secara perlahan,
memeriksa setiap langkahku.
Saat
aku memanggil namanya, dia mengangkat kepalanya perlahan. Dia orang yang asli.
Aku merasa lega, sebelumnya aku melihat wajahnya dan mulai khawatir. Dia tidak
ceria dan energik seperti biasanya, dan dia memiliki kulit pucat yang sama
seperti saat aku meninggalkannya tadi.
Dia menungguku
mengatakan sesuatu.
"Hei,
umm ..." Aku mulai memikirkan apa yang harus kukatakan selanjutnya. Aku
tahu ada hal lain yang harus aku katakan, tapi aku malah bertanya padanya apa
yang ingin aku ketahui.
"Apa
kau sudah tahu bahwa gantungan beruang itu milik Mana?"
Alih-alih
menjawab pertanyaanku, Miyano berdiri tegak dan menawariku duduk di kaki pohon.
"Duduklah
di tempat teduh," katanya.
Setelah
sedikit ragu, aku menutup payungku dan bersandar di batang pohon. Nampaknya ini
menjadi pilihan yang tepat. Batang pohon kasar di punggungku terasa sejuk serta
nyaman menyandarkan tubuhku yang kelelahan.
Miyano
melangkah keluar dari tempat teduh. Disoroti oleh sinar matahari, tubuhnya
bersinar kuning keemasan.
"Awalnya,"
dia memulai dengan punggungnya menghadap padaku, "Kupikir itu adalah
gantungan kunci milikmu. Tapi kau membuat wajah yang lucu saat kau melihatnya,
jadi aku pikir itu adalah milik Mana. Sejujurnya, aku melihat dia mencari
sesuatu sebelum kau menemukan gantungan kunci itu. Kupikir kau bisa
mengembalikannya sendiri padanya. "
"Mengapa
kau tahu kalau gantungan itu ada dua? "Tanyaku.
"Maksudku..,"
dia menatapku seolah ini bukan hal yang aneh.
"Ini
gantungan kuncimu, tentu saja aku tahu tentang itu."
Aku
tidak tahu bagaimana membalas pernyataanya. Dia ingat gantungan kunci yang ada
di tas orang lain? Sungguh aneh sekali.
"Apa
boleh buat ‘kan, karena itu selalu ada di tasmu. Namun, kau melepasnya
baru-baru ini."
Aku
merasa panas langsung membanjiri wajahku. Apalagi aku langsung menatapnya dan aku
tak tahu apa yang harus kulakukan.
"Kau
memiliki ingatan yang bagus," kataku, berusaha mati-matian untuk
mengatakan sesuatu yang baik. Dia tersenyum padaku. Senyum lembut yang belum
pernah kulihat selama di sekolah. Bahkan orang sarkastik seperti aku bisa mengerti
bahwa itu bukanlah senyum palsu. Pipiku memerah seolah-olah terkena sinar
matahari, dan aku menunduk menatap kakiku. Aku menggali tanah cokelat di bawah
mereka dengan ujung sandalku.
Aku
tidak tahu kenapa.
Aku tak
tahu sama sekali mengapa dia menyukaiku, meski sekarang aku yakin dia tidak
hanya bercanda mengenai hal itu.
Dia
melihat ke atas langit dan berkata,
"Aku
selalu berpikir kalau kau itu adalah orang yang menakjubkan. Kapan pun ada yang
bertanya tentang alergimu, Kau hanya meladeninya, seperti, 'Ya, aku punya
alergi, ada masalah dengan itu?' kau selalu ... bagaimana bilangnya ya? Menjadi
dirimu sendiri? Aku selalu berpikir bahwa itu hebat. "
Tidak, aku tidak sehebat itu.
Aku hampir
mengatakannya, tapi aku dapat mengendalikan diriku.
Aku
sama sekali tidak tangguh.
Aku
selalu berpura-pura menjadi kuat, tapi nyatanya, aku merasa minder dengan orang
lain. Aku cemburu dan iri pada mereka. Aku ingin berlari mengelilingi lapangan,
berenang, dan bergabung dengan marching band pada hari-hari yang cerah.
Tapi aku
tidak bisa, tidak peduli apa yang aku katakan. Aku hanya menyakiti diriku
sendiri dengan mengatakannya keras-keras. Jadi aku menyerah. Aku harus puas
dengan apa yang aku miliki, dan terbiasa dengan hal itu. Satu-satunya cara
untuk melindungi diriku sendiri adalah berpura-pura baik-baik saja dengan hal
itu.
"Awalnya
aku pikir kau itu luar biasa," lanjutnya. "Sebelum aku menyadarinya, aku
selalu memperhatikanmu. Aku mulai berpikir bahwa kau terlihat lebih santai
dengan Mana dibandingkan dengan gadis-gadis lain di geng-mu sendiri. Aku
penasaran kenapa. Lalu, aku melihat bahwa Mana memanggilmu 'Itsuko', bukan
'Natsuko'. Ketika aku menyadari itu ... "Miyano berhenti, dan aku
menatapnya. Saat kita melakukan kontak mata, dia berkata,
"Aku
mengerti, ada beberapa hal yang tidak bisa kau terima. Kau sebenarnya tidak
suka dipanggil dengan nama panggilanmu. Jadi, aku berpikir, 'Kau adalah gadis
biasa'."
Aku
merasa seperti simpul yang terikat di perutku mulai terurai, menyebarkan pola
warna-warni dan cerah di tubuhku. Sinar matahari menyilaukan mataku. Aku heran
mengapa matahari yang sangat aku benci bisa terlihat begitu indah saat
bersinar. Jantungku berdegup kencang, tubuhku terasa seperti gemetaran, dan aku
mengalami kesulitan bernafas, seperti ada sesuatu yang menempel di tenggorokanku.
Kenapa aku tidak menyadari kalau dia
mengawasiku sampai sekarang?
Kenapa aku tidak menatapnya dengan benar
sampai sekarang?
Mengapa aku tidak mencoba mengenal dirinya
yang sebenarnya?
Aku
membatasi diriku dengan seluruh dunia, dan menghabiskan hari-hariku untuk
memotong segala hal dari hidup aku. Untuk pertama kalinya, aku menyesali apa
yang telah aku lakukan.
Aku
tidak bisa menang melawan tatapannya yang tak tergoyahkan, dan melihat ke bawah
ke kakiku, dengan sedikit bersuara, "Apa kau ... apa kau bisa memberitahuku
mengapa kita sama jika aku pergi ke festival bersamamu besok?"
Dia
tidak menjawab, dan saat aku menengadah kepadanya, dia menatapku dengan tatapan
bingung di wajahnya. Oh, benar. Aku sendiri yang memberitahunya
"Pergilah!"
Perasaan
hangatku berubah menjadi berat, tenggelam ke dalam, dan sulit bernafas kembali,
dengan cara yang berbeda dari sebelumnya.
Aku
merasa ingin menangis, jadi aku menundukkan kepalaku dan bertepuk tangan.
"Maaf,
Lupakan apa yang baru saja kukatakan."
Dia
melambaikan tangannya dengan tergesa-gesa.
"Tidak,
tidak, tidak, aku sedikit terkejut! Yah….”
Sambil
menggosok wajahnya dengan jarinya, dia mendongak.
"Aku
sangat senang."
Dia
tersenyum lembut, mencoba menenangkanku.
"Aku
benar-benar ingin pergi ke festival
bersamamu, baik hujan maupun cerah," katanya, menambahkan, "Mari
bertemu di bawah jembatan setengah enam sore besok." Aku memberinya anggukan,
dan dia mengepalkan tangannya ke udara.