Kimitsuki Chapter 3.1 Bahasa Indonesia


Chapter  03  -  Kau adalah Juliet

Di sekolah SMA kami, sudah diputuskan bahwa siswa kelas satu akan memainkan drama untuk festival budaya. Apa yang akan kami lakukan sudah diputuskan oleh voting.
Drama kisah Romeo dan Juliet.
Bukannya itu terlalu klise? Pikirku.
Dan kemudian kami harus memutuskan para pemainnya.
“Pertama-tama, peran Juliet. Aku berpikir bahwa kita akan mengusulkan kandidat, lalu angkat tangan yang ingin memerankan peran juliet,” kata wali kelas kami, Yoshie-sensei.
Dia memiliki ekspresi santai; tidak terlihat bahwa dia mengungkit masalah dengan Kayama. Itu mungkin Kayama sudah memilih timing-nya sehingga ia bisa mendapatkan kembali perasaannya selama liburan musim panas.
Aku melihat ke sekitarku, ada aura penghindaran di semua orang. sekolah kami berfokus pada mempersiapkan siswa untuk universitas, jadi ada banyak orang yang mengikuti les walaupun masih kelas satu, jadi orang-orang yang berpartisipasi dalam event seperti ini adalah minoritas. peran pendukung mungkin tak masalah, tapi peran utama dengan banyak kalimat yang memerlukan banyak latihan adalah yang paling tidak populer. Ini diterapkan untuk setiap kelas, bukan hanya kita. Rupanya, hal ini sudah biasa bagi guru untuk memilih orang.
“Tidak ada yang minat ya, apa ada ...” kata Yoshie-sensei, terdengar kecewa.
Aku mengambil napas dalam-dalam sejenak, menguatkan tekadku dan kemudian mengangkat tanganku dengan semua kekuatan yang ada.
“Aku akan melakukannya,” kataku.
Seluruh kelas meledak dengan tawaan keras pada saat itu juga. Tapi aku pasti tidak mengangkat tanganku untuk membuat orang tertawa.
“Kau tahu kita sedang berbicara tentang peran Juliet, ‘kan?” Kata Yoshie-sensei. “Kau ini seorang lelaki, ‘kan, Okada-kun?”
“Aku selalu tertarik memakai pakaian wanita,” kataku.
Lebih banyak gelak tawa bergema di dalam kelas.
“Kau tidak bisa. Apa tidak ada gadis yang ingin melakukannya?” Yoshie-sensei dengan ketus menolak pernyataanku dan mencari siswi lain. Meski begitu, tidak ada yang mengangkat tangan mereka. Sudah jelas bahwa tak seorang pun ingin melakukannya. Dan kemudian seseorang mengatakan.
“Tapi mungkin saja itu akan benar-benar lebih populer jika seorang lelaki yang  melakukannya.”
Pendapat itu seolah memicu suara persetujuan dengan tanggapan seperti, “Kau benar,” “Ini akan menjadi lucu,” dan, “Ini akan berhasil, bukan?”
Akhirnya, Yoshie-sensei hampir menyerah. “Hmm ... meski aku menentangnya. Yah, pada akhirnya, hal ini diputuskan oleh kalian sendiri. Baiklah, orang yang mendukung Okada-kun dalam peran Juliet, angkat tangannya.”
Beberapa tangan mengangkat di kelas, dan jumlah mereka terus meningkat. Sepintas, tampak lebih dari dua pertiga dari kelas telah mengangkat tangan mereka.
“Kalau begitu, kita akan memberikan Okada-kun peran ini sekarang. Tapi jika ada gadis lain yang ingin mengambil peran itu, dia akan mendapatkannya. Itu tak apa-apa, ‘kan?”
Aku tidak bisa membayangkan bahwa ada orang lain yang maju ke depan, tapi  dengan kata-kata Yoshie-sensei, masalah peran Juliet sudah selesai.
“Selanjutnya, peran Romeo. Kalau begitu, haruskah kita memberikan peran ini pada seorang gadis?”Kata Yoshie-sensei, dengan nada bercanda.
Tapi tak seorang pun mengangkat tangan mereka. Akhirnya, Yoshie-sensei melihat ke sekeliling kelas dengan ekspresi yang bermasalah.
Dan kemudian Kayama mengangkat tangannya. “Baiklah, aku akan melakukannya.”
“Be-Begitu ya. Lalu, kurasa aku akan mengandalkanmu, Kayama-kun.” Yoshie-sensei tampak terkejut, tapi dia menulis nama kami di papan tulis.
Peran Romeo: Kayama Akira
Peran Juliet: Okada Takuya
Sungguh kombinasi yang mengerikan, pikirku saat melihat huruf-huruf itu di papan tulis.
“Kayama, kenapa kau mengangkat tanganmu?” Aku bertanya padanya setelah homeroom selesai.
“Karena aku ingin menonjol,” jawabnya dengan tenang.
“Aku yakin kau hanya ingin menimbulkan masalah bagi Yoshie-sensei,” kataku.
“Kau terlalu memikirkannya. Dan sebenarnya, Kau yang menjadi Juliet jauh lebih aneh daripada diriku. Apa-apaan itu? Kau sudah banyak berubah daripada diriku.”
“... Aku memiliki keadaanku sendiri, juga.”
Yah, aku biasanya bukan tipe orang yang berpartisipasi dalam kegiatan sekolah seperti ini. Aku tak berpikir reaksi Kayama tidak masuk akal.

****

Setelah homeroom, jam pelajaran keenam, ialah olahraga.
Dalam kebanyakan pelajaran olahraga, Kayama hanya menonton. Kayama hanya menyaksikan dari sudut lapangan basket pada hari itu juga. Setelah berada di dalam kelas yang sama seperti dia, aku selalu gugup selama pelajaran olahraga. Tapi satu pelajaran olahraga yang membuatku paling gugup adalah basket.
Bola dilemparkan padaku. Aku bingung apa aku harus men-dribble bola atau menembak. Pada saat itu, Kayama tiba-tiba memasuki jarak pandangku. Di saat berikutnya, bola yang kupegang diambil oleh seseorang dari tim lawan.
“Kau sangat lamban, Juliet!” Kayama berteriak padaku, terdengar sedikit marah. Aku bisa mendengar tawa cekikian di sekelilingku.
Aku menoleh ke belakang untuk melihat proses pertandingan, dan skor yang di dapat tim lawan begitu mudah melawan timku. Saat aku sedang berpikir bahwa itu mungkin kesalahanku karena tidak mendapatkan kembali ke posisi yang benar,  lemparan bola terbang ke arahku dari rekan setim. Aku mendengar dia berteriak.
“Juliet Okada!”
Kedengarannya seperti nama panggung dari seorang pelawak yang gagal. Sambil mendesah, aku melompat dan melemparkan tembakan.
Bola melayang di udara seperti panah dan jatuh ke dalam ring basket.
Terkejut, aku melihat Kayama. Mata kami bertemu.
“Apa?” Kata Kayama, terdengar jengkel.
Aku berdiri tertegun, tidak bisa mengatakan apapun. Mengapa aku melihat Kayama setelah mencetak gol? Aku sedikit menyesali itu.

***

Di masa lalu, Kayama merupakan seorang pemain basket.
Sampai pada saat kami kelas dua SMP.
Kayama dan aku berada di kelas yang sama saat itu. Dan selama waktu itu, aku sedang dibully oleh geng anak nakal tertentu di kelas yang menargetkan diriku.
“Lompat, Okada!” Salah satu anak nakal berteriak.
Aku memegang pegangan dari beranda, menghadap ruang kelas kami.
“Jika kau segera mati, itu akan membuat kita semua bahagia, juga.”
Itu semua dimulai ketika aku melindungi orang lain yang sedang ditindas. Aku sendiri tidak pandai berkelahi, dan aku sendiri tidak percaya bahwa aku bisa menang melawan mereka, tapi aku tidak tahan ketika aku melihat bahwa orang itu dilemparkan isi bento di atas kepalanya.
Di beranda, aku menertawakan pada diriku sendiri karena telah melakukan sesuatu tindakan yang sangat bodoh. Untuk beberapa alasan, orang yang telah dibully saat itu telah bergabung dengan kelompok yang membully-ku sekarang. Aku tidak mengerti. Apa dia melakukan hal ini untuk menghindari rasa takut bahwa dia mungkin menjadi orang yang akan dibully lagi nanti?
"Mati! Mati! "
Tampaknya semua orang di kelas berpura-pura tidak melihat pembully-an yang ditargetkan padaku. Hal ini memang sudah kuduga; Aku sendiri adalah bukti hidup bahwa setiap orang yang mencoba untuk menghentikannya akan menjadi target baru.
Ada beberapa bentuk pembully-an; ada yang berbahaya seperti pelecehan verbal dan caci-makian, tapi pembully-an yang aku hadapi adalah kekerasan langsung, dipukul dan ditendang. Pada saat itu, aku menjadi lelah oleh kekerasan itu.
Ketika aku melihat tanah di bawahku, aku merasa seperti aku akan tersedot. Mungkin mati akan baik-baik saja, pikirku. Aku tidak benar-benar mengerti, tapi ada banyak hal merepotkan untuk menjadi hidup. Ketika aku berpikir tentang hal itu, aku tidak sangat menikmati apapun saat aku hidup.
“Baiklah,” aku berkata cepat, memanjat pegangan beranda.
Memegang pegangan di belakangku, aku menempatkan kakiku di tepi beranda, di mana ada hanya cukup ruang untuk menyesuaikan setengah dari sepatuku, dan melihat ke bawah. Aku menoleh dan melihat teman sekelasku yang menatapku dengan ekspresi kosong melalui jendela yang terbuka. Mereka sedang melihat, tapi tidak menunjukkan respon tertentu. Aku merasa seperti hal yang seperti ini terasa baik juga dengan caranya sendiri, sehingga aku tidak harus menjadi seperti mereka.
Aku menunduk sekali lagi.
Sang Angin berhembus.
Aku teringat Meiko, yang meninggal tahun lalu.
Mati itu sederhana, pikirku.
Tapi kakiku gemetaran.
Aku tidak bisa menegaskan pikiranku.
Dan saat itulah hal itu terjadi.
“Oi, kelas akan segera dimulai.”
Kayama membuka pintu ke beranda dan mendekatiku.
Terkejut, aku membalikkan badanku.
“Diam, Kau. Cepat mundur kembali."
Mengabaikan kata-kata anak nakal seolah-olah dia tidak mendengarnya sama sekali, Kayama semakin mendekatiku.
Aku bahkan tidak pernah berbincang dengan Kayama sebelum itu. Satu-satunya hal yang kutahu tentangnya adalah bahwa Ia anggota di klub basket.
Tapi, meski begitu, kami berdua memang memiliki hubungan tertentu.
Kayama Masataka.
Kakak Kayama yang sudah meninggal dan juga merupakan pacar dari Meiko. saudara kami telah menjalin hubungan satu sama lain, jadi kami harus mengakui keberadaan masing-masing baik suka maupun tidak. Bukan berarti  kita memiliki percakapan yang mendalam tentang hal itu atau semacamnya, tapi mata kami sering bertemu dari waktu ke waktu.
Tapi hanya itu saja hubungan yang kita miliki. Sampai saat itu.
“Kalian semua orang yang membosankan,” kata Kayama dengan suara yang jelas.
Aku sangat terkejut. Menyembunyikan kekagetanku, aku berbicara dengan Kayama dengan suara tenang.
"Tinggalkan aku sendiri."
“Biarkan aku bergabung denganmu,” kata Kayama, dengan ringan menyambar bahuku.
Dengan itu, Kayama melakukan lompat tinggi di atas pegangan dan berdiri di sampingku.
“Apa kau sudah gila?” Salah satu anak nakal berteriak.
“Okada memiliki seratus kali keberanian dibandingkan dengan kalian,” kata Kayama, dan kemudian melepaskan pegangan. Dengan tangannya yang sudah tidak memegang pegangan, ia mulai bertepuk tangan dengan irama tertentu. “Yah, walaupun aku ini lebih berani daripada Okada.”
Dan kemudian, sambil berjinjit, Kayama mulai melangkah di pijakan yang luasnya hanya setengah dari kaki kita di luar pegangan, dia seolah-olah tengah menari dengan irama dari tepuk tangannya.
Aku tidak mempercayainya.
Semua orang yang ada di sana menatap Kayama tercengang. Semua orang telah tersedot ke dalam atmosfernya.
Ini adalah panggung tunggal Kayama.
Ini terlihat seolah-olah Kayama tidak takut mati sama sekali. Dia menari, dengan terampil dan ringan.
Dia gila.
Dia sudah gila.
Ada sesuatu yang salah di dalam kepalanya.
Itulah yang aku pikirkan.
“Apa yang kau pikirkan!” Kayama berpaling padaku dengan ekspresi penuh kemenangan, penuh kepercayaan diri.
Dan kemudian dia membiarkan dirinya terjatuh.
Kali ini, aku bahkan tidak punya waktu untuk terkejut.
Aku menjulurkan tanganku, tapi tidak bisa menggapainya.
Saat aku menatap Kayama dalam keadaan linglung, ia tengah berada di udara.
Dia berhasil mendarat di kakinya, tapi kemudian ia jatuh terbaring di tanah, memegangi kakinya sendiri.Bahkan dari lantai dua, aku bisa melihat bahwa wajahnya dirundung kesakitan. Ada teriakan orang lain dari bawah.
“Oi, siapa saja tolong panggil ambulans!” Aku mendengar seseorang berteriak.
Merasa panik, para anak berandalan mulai melarikan diri.
Hanya ada aku yang tersisa di beranda.
Aku gemetaran.
Dan kemudian aku tak bisa menahan tawa.
Kayama, yang seharusnya meringis kesakitan, malah tersenyum ke arahku dan mengacungkan jempol untuk beberapa alasan.
Jangan bertindak sok keren, lu.
Tapi lu emang benar-benar keren Kayama, pikirku jujur.
Ini akan baik-baik saja jika ceritanya berakhir di sana, tapi kenyataannya jauh sedikit kejam dari itu. Kayama menderita patah tulang dalam di kakinya. Ia melalui rehabilitasi berat setelah itu, dan pulih ke titik dimana cedera itu tidak lagi mempengaruhi kehidupan sehari-hari, tapi dokter mengatakan kepadanya bahwa akan lebih baik untuk berhenti berpartisipasi dalam kegiatan olahraga yang menuntut fisik.
Seolah-olah sebagai renungan, Kayama memberitahuku kemudian, “Kakiku takkan melakukan bahkan jika aku terus berolahraga.” Dan begitu, ia berhenti dari tim basket.Rupanya, sebagai orang yang tinggi dengan refleks yang baik, dia telah menjadi pemain andalan, dan klub basket telah menempatkan harapan yang tinggi pada dirinya.
Aku benar-benar tidak langsung mengatakan satu hal pada Kayama tentang hal ini.
Aku tidak pernah mengatakan maaf, terima kasih untuk melakukan hal itu demi diriku, atau sesuatu seperti itu.
Tapi aku pernah bertanya kepadanya mengapa ia melakukan hal gila seperti itu.
“Aku memiliki firasat bahwa jika kau melompat, kau akan benar-benar mati, Okada. Bahkan dari lantai dua, jika kau mendarat dengan cara yang buruk, kau mungkin akan mati. Dan aku merasa bahwa rasanya kau ingin mati. Tapi aku merasa seperti jika aku melompat, aku tidak akan mati. Aku abadi, tahu. Ah, tapi aku juga berpikir bahwa hal itu takkan mereda jika aku tidak melakukannya. Aku ini tidak bisa berkelahi, tahu. Pembully-an langsung berhenti dalam sekejap, jadi semuanya berubah menjadi baik, bukan? ”
Meski pada akhirnya, Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Kayama pikirkan, bahkan setelah mendengar penjelasan ini darinya.
Terkadang, Kayama adalah seorang pria yang mengatakan dan melakukan hal-hal yang gila dimana orang biasa tidak bisa mengerti.
Tapi setelah itu, meskipun aku mengatakan banyah hal tentang dirinya, aku memiliki sedikit rasa hormat terhadap Kayama, dan apa yang dia lakukan di hari itu adalah penyebab Ia menjadi penyelamatku.

***

Saat aku berjalan di sepanjang koridor selama istirahat makan siang, aku berpapasan dengan Kayama, yang sedang berbicara dengan seorang gadis dari kelas lain. Saat aku mencoba untuk melewatinya, dan berpura-pura bahwa aku tidak melihatnya, gadis itu tiba-tiba menampar wajah Kayama. Semua siswa lain di koridor berbalik untuk melihat apa yang sedang terjadi.
“Orang seperti dirimu seharusnya mati saja sana,” kata gadis itu, dan kemudian dia buru-buru pergi menyusuri koridor. Dia adalah seorang gadis cantik.
Kayama memiliki ekspresi yang sedikit segar di wajahnya. Saat dia melihatku, dia tersenyum. Aku tidak tahu mengapa dia  tersenyum di saat seperti ini.
“Ikut aku sebentar,” katanya, berjalan menuju tangga darurat di bagian belakang koridor. Karena tidak ada pilihan lain, aku mengikutinya.
Angin bertiup kuat pada lantai tangga darurat. Kayama duduk di salah satu tangga dan menatap langit.
“Dengan itu, aku akhirnya sudah tidak memiliki beban lagi,” katanya.
“Memutuskan hubunganmu dengan wanita?” Tanyaku.
"Ya.Astaga, Aku merasa lelah sekali,” katanya emosional, menggosok pipinya yang baru saja ditampar.
“Hei, Kayama, mengapa kau melakukan sesuatu seperti itu?”
“Hmm ... aku sudah bosan dengan permainanku. Maksudku, tidak ada game yang membuatmu tidak bosan, ‘kan?”
Caranya yang egois untuk mengatakan sesuatu masih sama seperti biasa, pikirku. Sikapnya yang seperti itu pasti membuat jengkel para gadis yang berpacaran dengannya.
“Katakankah, Okada. Apa kau pikir hidup ini dapat dimulai kembali?” Tanya Kayama.
“Itu mustahil,” jawabku segera.
“Aku pernah bermimpi,” kata Kayama dengan mata tertutup, seakan mengingat sesuatu. “Itu adalah mimpi di mana aku melakukan perjalanan pada waktu sebelum kakakku meninggal dan mengulang kembali seluruh hidupku dari awal.” Dan kemudian dia tiba-tiba berseru sambil berdiri. “Kupikir aku akan mengunjungi Watarase Mamizu.”
Apa Kayama memutuskan semua hubungannya dengan wanita untuk tujuan ini? Aku penasaran. Saat aku menyadari apa maksud dari perkataanya, aku merasa terkejut, tapi sebelum aku bisa mengkonfirmasi itu dengan Kayama, dia sudah berjalan jauh, meninggalkanku di belakangnya.
Entah mengapa, aku merasa benar-benar terkejut.

****

Beberapa saat setelah liburan musim panas berakhir, Mamizu dipindahkan dari ruang bersama menjadi ruang pribadi. Ternyata, itu tidak terkait dengan hasil pemeriksaannya sebelumnya. Sedikit demi sedikit, Dia semakin kurus, dan wajahnya tampak terlihat pucat.
Mamizu tidak memberitahuku maksud dari “Maafkan aku” saat aku mengakui perasaanku padanya di hari itu, dan aku juga tidak menanyakannya. Ini karena aku sedikit mengerti bahkan tanpa bertanya atau penjelasan darinya, dan aku merasa seperti itu akan sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
“Aku diberitahu berapa lama lagi aku bisa hidup,” kata Mamizu.
Ternyata, kondisinya tidak sangat baik hari ini. Dia bisa merasakannya sendiri di kulitnya.
“Dia seorang dokter tidak berguna, kan? Mungkin dia salah mendiagnosis lagi,”kataku, dengan rasa keinginan dalam kata-kataku.
“Mungkin ... siapa yang tahu?” Suara Mamizu terdengar sedikit tak berdaya. Ekspresinya sangat berbeda dari saat kita pertama kali bertemu. “Apa kau ingin tahu berapa bulan lagi tersisa?”
“Aku tidak ingin mendengarnya.”
Itulah perasaanku yang sebenarnya. Ini bukan seperti aku bisa melakukan sesuatu dengan mengetahuinya. Aku mungkin ingin tahu jika yang ditanyakan itu umurku, tapi aku tidak ingin mendengar tentang Mamizu. Mungkin aku ini orang yang lebih berhati lemah daripada yang aku pikir. Senyum pahit hampir muncul di wajahku.
“Aku berhasil mendapatkan peran Juliet,” kataku.
Tidak, itu benar. Hanya ada satu hal yang bisa aku lakukan. Melakukan hal-hal di daftar Mamizu dari 'hal yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggal,' satu per satu, dan menjalani mereka.
"Sungguh? Itu layak dicoba, ‘kan!”Seru Mamizu.
Tentu saja, ini adalah sesuatu yang sudah  Mamizu minta. Ketika aku mengatakan padanya bahwa proyek kelas untuk festival budaya adalah drama Romeo dan Juliet, Mamizu mengatakan bahwa dia ingin menjadi bagian dari itu. Aku menjawab, “Baiklah,” sebelum Mamizu bisa mengatakan lebih jauh lagi.
“Nah, selanjutnya tentang 'hal yang ingin aku lakukan sebelum aku mati,'” kata Mamizu, menyodorkan buku kecil yang ia pegang. “Aku ingin mengunjungi makam penulis yang aku suka.”
Aku memandang sampul buku kecil yang telah diserahkan kepadaku. Penulisnya adalah Shizusawa Sou, dan judulnya, 'One Ray of Light.' Aku membuka buku itu dan melihat bahwa isinya ditulis dengan bahasa kuno; rasanya seperti selembar sastra. Ini adalah buku yang selalu dibaca Mamizu.
“Ini adalah penulis yang paling aku suka,” kata Mamizu. “Aku ingin mengunjungi makamnya, tapi ...”
"Baiklah."
Aku mungkin bisa mendapatkan informasi yang aku butuhkan dengan sedikit Googling. Aku tidak tahu di mana itu, tapi aku memutuskan untuk membuat janji bahwa aku akan melakukannya.
“Takuya-kun. Terima kasih untuk semuanya,” kata Mamizu dengan nada mengagumi.
"Apa yang kau katakan? Itu tidak menyenangkan.” Kata-katanya tidak membuatku senang sama sekali.“ Kau terdengar seperti kau akan mati besok.”
Kata-kata itu terceletuk dari mulutku. Sialan, pikirku, saat aku mengatakan itu, ekspresi Mamizu tiba-tiba berubah.
“Tak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir, ini akan baik-baik saja,” kata Mamizu, seolah-olah sedang menghibur anak kecil.
Aku tidak tahu apanya yang baik-baik saja.




close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama