Three Days Happiness Bahasa Indonesia Chapter 1






Pada akhirnya, cinta yang kamu peroleh setara dengan cinta yang sudah kamu buat.

The End
The Beatles

Chapter 1 - Sebuah Janji untuk Sepuluh Tahun ke Depan.

Ketika ada yang memberitahu kepadaku tentang bagaimana aku bisa menjual masa hidup yang sudah kujalani hingga saat ini, membuatku teringat tentang sebuah pelajaran hidup yang kuperoleh semasa SD dulu.

Waktu itu kami semua hanyalah sekumpulan anak-anak berusia sekitar 10 tahun yang masih tidak berpengalaman dalam mengambil keputusan-keputusan hidup. Lalu, Sensei kami, seorang wanita yang berusia hampir 30 tahun, menanyakan sesuatu kepada kami:

"Kalian semua pasti pernah mendengar kalau kehidupan seorang manusia itu tidak ternilai, dan jauh lebih berharga dari apapun yang ada di dunia ini.  Sekarang, jika harus dinilai dengan uang, kira-kira berapa harganya?"

Segera, dia mengambil gerakan seperti memikirkan sesuatu, menurutku caranya untuk mencari antusiasme para murid masih belum cukup.

Hampir 30 detik berlalu, ketika dia masih mempertahankan posisi seperti itu.

Pada saat dia dengan posisi seperti itu, murid-murid tenggelam dalam pemikiran mereka mengenai pertanyaan tersebut. Kebanyakan dari mereka menyukai Sensei muda yang cantik itu, sehingga mereka ingin mengatakan sesuatu yang memuaskan agar mereka mendapatkan pujian darinya.

Seorang anak yang cerdas mengangkat tangannya.
" Saya pernah membaca sebuah buku bahwa total biaya hidup untuk seorang pegawai bisa mencapai antara 200 juta sampai 300 juta yen. Jadi, Saya pikir rata-rata orang bisa mencapai angka sekitar itu."

Sebagian murid berseru "ooh" dan "aah". Sebagian yang lain terlihat bosan dan muak,  apalagi murid-murid yang membenci anak yang cerdas itu.

Mendengar jawaban dari anak yang cerdas itu, Sensei tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

" Itu  benar, mungkin banyak orang dewasa memberimu jawaban yang sama. Jawaban yang menyatakan bahwa uang yang dikeluarkan pada waktu hidup setara dengan nilai hidup itu sendiri.  Tapi aku ingin kalian menjauhi jalan pemikiran seperti itu..... aku tahu, mari kita jadikan perumpamaan, sebuah perumpamaan yang sulit dimengerti"

Tidak ada yang mengerti apa maksudnya.....sebuah bentuk yang dibuat oleh Sensei di papan tulis dengan kapur biru adalah mungkin maksudnya.
Kamu bisa melihat bahwa itu adalah seorang manusia, atau mungkin sesuatu seperti segumpal permen karet di jalan. Tapi ini pasti maksudnya.

"'Sesuatu yang Tidak Dikenal Alam' ini memiliki lebih banyak uang daripada yang  dibutuhkan. Tapi 'Sesuatu' ingin menjalani kehidupan seorang manusia. Kemudian, 'Sesuatu' ini mencoba untuk membeli kehidupan orang lain. Suatu hari, kamu tiba-tiba berjalan berdampingan dengan 'Sesuatu'. Ketika kamu bersamanya, 'sesuatu' bertanya kepada kamu:
"Hei, apakah kamu ingin menjual kepadaku kehidupan yang akan Kamu jalani?" kata 'Sesuatu'.”

Dia menghentikan ceritanya, kemudian bertanya:
" Jika aku menjualnya, apa yang akan terjadi?",
 Anak laki – laki yang terlalu serius menjawabnya " Sensei pasti akan meninggal,"

Sensei pun melanjutkan lagi ceritanya.
 " Jadi kamu menolak tawaran 'sesuatu', untuk saat ini. Tapi itu tergantung padamu. " baiklah, setengah saja tidak apa - apa. hanya jual kepadaku 30 tahun dari 60 tahun yang tersisa dari yang kau punya? aku benar-benar membutuhkan itu, kau tahu""

Aku ingat pernah memikirkannya sementara mendengarkan cerita tersebut dengan menyangga daguku ditangan, " aku mengerti". Memang, jika berumpama seperti itu, aku merasa ingin menjualnya. Aku punya batas dalam hidup. Dan itu terlihat jelas bahwa kehidupan pendek yang berharga akan lebih baik daripada kehidupan yang lama  tapi kurang berharga.
"Sekarang, inilah pertanyaannya. 'Sesuatu' yang menginginkan kehidupan manusia ini, pasti telah memberikan harga per-tahun untuk sisa hidup kamu,kan?....aku beri kalian nasihat, tidak ada jawaban yang benar. Aku ingin tahu apa pendapat kalian, dan bagaimana kalian menjawabnya. Sekarang, bicaralah dengan orang - orang di sekitarmu.

Ruangan kelas mulai gaduh dengan beberapa percakapan. Tapi aku tidak mengambil bagian dari percakapan itu. Lebih tepatnya, aku tidak bisa. Karena, seperti anak cerdas yang menjawab seluruh biaya waktu hidup, aku adalah orang yang dengan kepribadian buruk dikelas.
Aku berpura-pura tidak tertarik dengan pembicaraan itu dan hanya menunggu waktu berlalu.

Aku mendengar kelompok yanga ada di depanku berbicara tentang " Jika jumlah keseluruhan hidup berjumlah 300 juta yen..."
Aku pikir, jika mereka 300 juta, lalu...aku tidak berpikir itu aneh bahwa aku bisa mendapatkan sekitar 3 miliar yen.

Aku tidak ingat seperti apa hasil dari diskusi itu. Tapi yang pasti, dari awal sampai akhir hanya argumen bodoh saja yang dikeluakan.
Ini bukanlah tema yang sedehana untuk ditangani oleh anak anak sekolah dasar. Dan jika kamu menambahkan dengan kumpulan anak-anak sekolah menengah, mereka mungkin memasukan seks ke dalam percakapan tersebut.

Bagaimanapun juga, aku mengingat jelas seorang gadis dengan suasana yang suram berkomentar secara kasar " Kamu tidak bisa menetapkan sebuah harga untuk kehidupan seseorang."
Yeah, jika kamu menjual kesempatan hidup yang sama seperti kehidupan gadis tersebut, aku tidak bisa memberi itu sebuah harga. Malahan kamu  diminta untuk biaya pembuangan.

Seorang murid badut sok bijak, pembuat suasana kacau yang bisa kamu dapatkan di setiap kelas sepertinya memikirkan sesuatu yang sama.
" Tapi jika kalian menjual kesempatan  hidup sama seperti hidupku, bukankah kalian tidak bisa membayar bahkan untuk 300 yen?" katanya sambil tertawa.
Aku mungkin setuju dengan pemikirannya, tapi apa yang menggangguku adalah bahwa dia sadar bahwa dia cukup berharga daripada kumpulan murid - murid serius di sekitarnya, yang tertawa mencela diri tentang hal itu.

Bersamaan dengan Sensei mengatakan bahwa tidak ada jawaban yang benar. Tapi jawaban yang benar memang ada.
Karena sepuluh tahun kemudian, ketika aku menginjak dua puluh tahun, faktanya aku menjual masa hidupku dan menerima harganya.

****

Ketika aku masih kecil, kupikir, aku akan tumbuh menjadi seseorang yang terkenal, aku mengira berada di depan dan unggul dibandingkan orang lain digenerasiku.
Sayangnya, di bagian kecil neraka yang aku tinggali, dengan orang tua yang membosankan dan putus asa yang melahirkan anak-anak yang membosankan dan putus asa adalah norma, yang membantu memacu kesalahpahaman itu.
Aku selalu memandang rendah anak anak di sekitarku, aku tidak punya keterampilan yang layak dibanggakan atau kerendahan hati, jadi wajar saja teman sekelasku tidak merasa simpati.
Bukan hal yang langka bahwa aku ditinggalkan dari sebuah kelompok, atau barang - barangku diambil dan disembunyikan dariku.

Aku selalu bisa mendapatkan nilai yang sempurna dalam ujian, tapi aku bukanlah satu - satunya yang bisa seperti itu.
Ya, mungkin juga Himeno, si anak cerdas yang disebutkan di atas.
Terima kasih kepadanya, aku tidak bisa menjadi nomer satu, dan terima kasih kepadaku, Himeno juga tidak bisa menjadi nomer satu.

Dipermukaan, kami ini sering berselisih, atau sesuatu seperti itu. Kami hanya berpikir mencoba saling mengungguli satu sama lain.
Tapi dilain sisi, dengan jelas bahwa hanya kami yang bisa mengerti satu sama lain. Dia adalah seseorang yang selalu tau apa yang aku bicarakan tanpa adanya kesalahpahaman, dan sebaliknya mungkin juga sama.
Oleh karena itu, akhirnya, kami selalu bersama.

Sejak awal, rumah kami hampir saling berhadapan. Jadi kami selalu bermain bersama sejak kecil, aku kira istilah "teman masa kecil" dapat digunakan.
Keluarga kami saling berteman, jadi sampai ketika kami masuk sekolah dasar, aku diurus oleh keluarganya saat keluargaku sedang sibuk, dan himeno diurus oleh keluargaku saat keluarganya sedang sibuk pula.

Meskipun kami melihat satu sama lain sebagai saingan, tetapi ada kesepakatan tersembunyi untuk berperilaku akrab di depan keluarga kami.
Sejujurnya,tidak ada alasan khusus untuk itu. Hanya saja kami pikir itu adalah jalan yang terbaik, meskipun kenyataannya hubungan kami tidak akur. Paling tidak di sekitar keluarga kami, kami berperilaku ramah seperti teman masa kecil.


Himeno tidak disukai oleh teman sekelas kami dengan alasan yang sama sepertiku. Dia yakin dengan kecerdasannya sendiri dan memandang rendah orang yang ada di sekitarnya, dan karena sikap itu sangat terang - terangan, dia dijauhi di dalam kelas.

Rumahku dan Himeno terletak di lingkungan atas bukit, sangat jauh dari rumah para murid yang lain.
Oleh karena itu, kami bisa menggunakan ini sebagai alasan pembenaran ketika diajak oleh teman kami ke rumahnya.

Hanya ketika perasaan kami sedang bosan, kami bisa berkunjung satu sama lain, dengan  berpura-pura dan enggan untuk menyatakan " Aku di sini bukan karena aku ingin menemuimu."

Di hari - hari seperti festival musim panas atau natal, untuk membuat keluarga kami tidak khawatir, kami pergi dan menghabiskan waktu bersama; di hari seperti aktivitas keluarga-anak dan kunjungan kelas, kami berpura pura menjadi akrab.
Kami berakting seolah - olah mengatakan "Kami sangat menyukai ini ketika hanya kami berdua, jadi kami melakukan ini dengan pilihan"
Aku pikir ini lebih baik untuk dilakukan dengan teman masa kecil yang aku benci dari pada untuk memaksa jalanku menjadi baik dengan teman sekelasku yang berpikiran lemah.

Untuk kami, sekolah dasar merupakan sebuah tempat dimana motivasi untuk menuju kematian.  Karena sering kali, gangguan yang langsung kepadaku dan himeno menjadi masalah. kami ditunjuk menjadi perwakilan kelas.
Sensei yang mengajari kami dari kelas empat sampai kelas enam punya pemahaman mengenai masalah ini. Dan selama itu tidak menjadi terlalu mengerikan, yang membuat kami harus menghubungi orang tua kami tentang hal itu.

Memang, jika keluarga kami mengetahui bahwa kami diintimidasi,kedudukan kami akan menjadi sulit. Sensei menyadari bahwa kami membutuhkan setidaknya satu tempat di mana kami bisa melupakan perlakuan kejam kami.
Tapi bagaimanapun, Himeno dan aku selalu muak. Jadi, semua orang samar-samar berhubungan dengan kami. Karena "muak" adalah satu-satunya hubungan yang kami miliki
dengan mereka.

Masalah terbesar kami adalah bahwa kami tidak mempunyai senyum yang bagus. Aku tidak dapat mengatasi "waktu" saat semua orang tersenyum sekaligus.
Ketika aku mencoba memaksa otot-otot wajah untuk bergerak, aku mendengar sesuatu di dalam diriku menjadi rusak. Himeno pun sepertinya punya perasaan yang sama.

Bahkan di dalam situasi bahwa kami harus membawa senyum menyetujui, kami tidak bisa menggerakan satu alispun, tidak bisa menggerakan satu alispun, aku katakan itu dua kali.
Kami diejek karena sombong dan berpikiran tinggi. Memang, kami sombong, dan kami berpikiran tinggi tentang masing-masing.

Tapi itu bukanlah alasan kami tidak bisa tersenyum dengan yang lain, Himeno dan aku tidak sejajar pada tingkat yang lebih mendasar, seperti bunga yang mencoba mekar di musim yang salah.

Waktu itu merupakan musim panas ketika aku berumur sepuluh tahun. Himeno membawa tasnya yang dilempar ke dalam tempat sampah puluhan kali, dan aku menggunakan sepatu dengan beberapa bekas potongan yang dibuat oleh gunting. Kami duduk di tangga batu yang menuju ke kuil dengan warna memerah karena matahari tenggelam, menunggu sesuatu.

Dari tempat kami duduk, kami bisa melihat ke arah lapangan festival. Jalan sempit yang mengarah ke kuil penuh dengan gerobak. Dan dua baris lampion kertas lurus seperti cahaya landasan pacu, menerangi lingkungan yang redup. Semua orang yang lewat tampak ceria, dan karena itulah kami tidak bisa pergi ke sana.

Kami berdua terus diam karena kami tahu bahwa jika kami membuka mulut, sebuah suara akan keluar. kami tetap menutup mulut kami dan duduk disana.
Apa yang Himeno dan aku tunggu adalah 'Sesuatu' yang bisa mengakui keberadaan kami dan memahami kami sepenuhnya. Sejak kami berada di kuil yang dikelilingi oleh suara jangkrik yang terus menerus, ini memungkinkan kami untuk berdoa.

Ketika matahari setengah terbenam, Himeno tiba - tiba berdiri, mengusap kotoran dari roknya, dan menatap lurus  ke depan.
" Masa depan kita akan menjadi sangat cerah," Dia berkata dengan suara jernih yang dia punya. Itu seperti dia menyatakan sebuah fakta yang baru dia sadari.
"...Seberapa jauh masa depan yang kita bicarakan?", Tanyaku.
" Tidak segera, aku pikir. Tapi juga tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar sepuluh tahun ke depan."
" Sepuluh tahun," Jawabku. " Berarti kita akan berusia dua puluh tahun."
Untuk kami yang berusia sepuluh tahun, umur dua puluh tampak benar-benar tumbuh dewasa. Jadi kurasa ada sedikit kebenaran dengan pernyataan Himeno.

Dia melanjutkan. "Ya, 'sesuatu' itu pasti akan terjadi di musim panas. 'Sesuatu' yang benar-benar baik akan terjadi kepada kita di musim panas sepuluh tahun dari sekarang. Dan kemudian akhirnya kita akan benar-benar merasa bersyukur untuk hidup. Kita akan kaya dan terkenal, dan melihat kembali pada sekolah dasar, kita akan mengatakan...." sekolahan ini tidak memberikan kita apapun, semua muridnya adalah orang - orang yang bodoh, Itu bahkan tidak ada gunanya sebagai kesalahan untuk dipelajari. Sekolah dasar yang benar-benar busuk, "kata kita."
"Yeah, itu benar-benar penuh dengan orang bodoh. Itu benar-benar busuk," kataku.
Sudut pandang itu agak baru bagiku saat itu. Bagi seorang siswa sekolah dasar, sekolah mereka adalah seluruh dunia mereka, jadi tidak terpikirkan bahwa hal itu akan menjadi sesuatu seperti pro dan kontra.

"Jadi dalam sepuluh tahun, kita harus menjadi kaya dan terkenal. Begitu kita terkenal, teman sekelas kita akan mengalami serangan jantung karena cemburu."
"Mereka akan menggigit bibir mereka karena cemburu," Kataku dengan setuju.
"Dan jika tidak, itu nanti akan sia-sia," Dia tersenyum.
Aku tidak menganggapnya sebagai penghiburan. Begitu perkataan itu keluar dari Himeno, aku hampir merasa seperti itu adalah jaminan masa depan kami, terdengar seperti sebuah pertanda.
Mungkin kami tidak perlu menjadi terkenal. Tapi dalam sepuluh tahun, kami akan lebih berhasil daripada mereka, kami akan membuat mereka menyesal memperlakukan kami dengan cara ini sampai ke kuburan mereka.

"Aku tidak sabar untuk menjadi umur dua puluh," kata Himeno dengan meletakkan tangannya di belakang punggungnya dan menatap ke langit dimana matahari tenggelam.
" Dua puluh tahun dalam sepuluh tahun...."
" Kita bisa minum, merokok, serta menikah...tunggu, itu kan bisa beberapa tahun lagi," kataku.
"Benar. gadis bisa menikah di umur enam belas tahun."
"Dan laki-laki di umur delapan belas tahun....tapi sepertinya aku tidak akan bisa menikah."
"Mengapa?"
"Terlalu banyak hal yang tidak aku sukai, aku benci banyak hal yang terjadi di dunia ini. jadi aku tidak bisa berpikir bahwa aku bisa menjalani sebuah perkawinan dengan lancar."
"Hah. Yeah, mungkin aku juga sama." Himeno menundukkan kepalanya.
Disinari saat matahari terbenam, wajahnya tampak berbeda dari biasanya. Rasanya lebih dewasa, tapi juga lebih rapuh.

"...Hey,lalu…" kata Himeno, melihatku sekilas, tapi dengan cepat memalingkannya.

" Ketika kita menjadi dua puluh tahun dan terkenal...bila kami belum menemukan seseorang yang ingin kita nikahi..."
Dia terbatuk dengan cepat.
" Jika hal itu terjadi, dan kita berdua masih sendiri, apakah kamu ingin kita terus bersama?"
Perubahan tiba-tiba dalam suaranya membuktikan bahwa dia sedang tersipu malu. Bahkan saat itu aku mengetahuinya dengan baik.
"Apa-apaan itu?" jawabku dengan nada sedikit sopan.
" Hanya bercanda. Lupakan saja," Himeno tertawa seolah-olah mendorong itu menjauh.
" Hanya ingin mendengar diriku mengatakannya, bukan seperti aku tidak laku."
"Itu bagus," jawabku tertawa.

Tapi - dan aku tahu ini terdengar sangat bodoh - bahkan setelah Himeno dan aku berpisah, aku selalu ingat janji tersebut.
Jadi, bahkan jika seorang gadis yang menawan menunjukkan kasih sayangnya kepadaku, aku pasti akan menolaknya. Bahkan di SMP, SMA, maupun di perguruan tinggi.
Oleh karena itu, bila nanti aku bertemu dengannya lagi, aku bisa menunjukkan kepadanya bahwa aku masih "sendiri."
Sebagai sebuah fakta, ya, aku tahu itu sungguh pemikiran yang bodoh.

Sudah sepuluh tahun sejak saat itu.
melihat ke belakang itu sekarang, kupikir mungkin itu adalah saat-saat yang menyenangkan, dalam caranya tersendiri.





                                                                           Daftar isi    Selanjutnya ->

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama