Penerjemah : Kaito
Editor : Nero
Chapter 5 - Pertarungan Melawan
Pembunuh Berantai II
"Hei! Kenapa kita
kabur?"
"Karena Ia mengejar kita,
lah!"
"Kenapa Ia mengejar
kita?"
"Mana aku tahu ?!"
Yuichi menyeret Aiko dengan tangannya sampai mereka tiba di ujung koridor.
Untungnya, Pembunuh Berantai II
sepertinya tidak terburu-buru. Mereka memiliki jarak yang jauh dengan dirinya.
Semua anak kelas satu, ruangan
kelas mereka berada di lantai empat. Kelas dua bertempat di lantai tiga, dan
kelas tiga di lantai dua. Lantai pertama berisi ruang musik, ruang seni, dan
ruang guru.
Jam pelajaran untuk hari ini
sudah berakhir. Setidaknya, tidak ada tanda-tanda satu pun murid di lantai
empat. Tapi tetap saja masih ada murid dan guru di lantai pertama yang sedang
melakukan kegiatan klub.
Yuichi merasa gundah. Haruskah
Ia meminta bantuan? Atau haruskah Ia mencoba menghadapi pembunuh berantai itu
sendiri?
"Apa yang harus kita
lakukan?" Tanyanya pada Aiko, karena tidak ada orang lain. Tapi Aiko
tampak kurang yakin pada dirinya.
"Oh! Um ... Pertama, apa
yang dia inginkan? Apa dia mengejarmu?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak
tahu apakah dia menyerang tanpa pandang bulu, atau mengejarku secara
khusus."
"Jika dia menerobos ke
sekolah secara ilegal, kita harus memberi tahu guru, bukan?"
"Biasanya sih begitu, tapi
dia seorang pembunuh. Untuk saat ini, kita harus lari. Menuju ke atas akan
membawa kita ke atap, jadi kurasa kita harus turun ke bawah! "
Keluar dari sekolah merupakan
prioritas utama mereka. Yuichi baru saja memikirkannya dan mengalihkan
pandangannya ke arah tangga, hanya untuk melihat anak laki-laki bertopi bisbol
berdiri di sana.
"Hei. Apa kau
Sakaki?" Tanyanya dengan santai.
"Aku tidak menyangka
serangan pertamaku bisa gagal. Kudengar kau hanyalah orang biasa."
Saat mereka berdua tidak
memperhatikannya, Ia pasti sudah turun ke lantai tiga untuk bertemu mereka. Ia
cukup cepat.
"Maaf, Noro!" Yuichi
menggendong Aiko di pelukannya dan berlari secepat mungkin. Aiko tampak bingung
saat mendadak diangkat begitu saja.
"Ayolah, kita perlu bicara
sebentar!" Teriak anak laki-laki itu, mengejar mereka berdua.
Tidak bagus! Ia mengejar kita! Tidak
mungkin Yuichi bisa pergi saat membawa Aiko.
Ada benda terbang melewatinya
dari belakang.
Hah?!
Kemungkinan besar, Kunai.
Yuichi terus waspada terhadap arah belakangnya. Anak laki-laki terus melempar
beberapa lusin kunai ke arah mereka, berusaha menekan mereka.
Tidak ada tempat untuk lari.
Yuichi terus menggerakkan kaki, membanting ke jendela kelas dengan kecepatan
penuh.
"Kyaaa!" Teriak Aiko,
tapi Yuichi mengabaikannya, menendang meja saat dia sampai di dalam kelas.
Pada saat yang hampir
bersamaan, pintu berterbangan, ditendang oleh si pembunuh.
Yuichi lari ke jendela yang
menghadap ke area luar.
Aku tidak bisa melakukan ini
dengan tangan yang sudah kerepotan begini! Yuichi merubah posisi
Aiko dan membawanya hanya dengan tangan kirinya.
"Hei! Hah? Apa- "
Yuichi menancapkan tangannya di
bingkai jendela yang terbuka dan melompat ke luar. Sesaat, Ia merasa seperti
sedang melayang.
"Waaaah!" Teriak
Aiko.
Di saat berikutnya, tangan
kanannya menemukan bingkai jendela bagian bawah kelas sebelah. Dia menguatkan
genggamannya, meregangkan lengan dan menendang dinding untuk mendorong dirinya
ke atas lagi.
Meraih bingkai atas jendela
hanya dengan ujung jarinya, dia menendang kaca dan meluncur ke kelas di
sebelahnya dengan satu gerakan halus. Lalu ia berlari menuju pintu keluar,
membanting pintu sampai lari ke lorong.
Bagus! Itu bisa memberi kita
sedikit waktu!
Yuichi tidak berhenti sedetik
pun. Ia terus berlari sampai ke ujung lorong. Ada tangga yang bisa membawa
mereka ke atap, atau turun ke lantai tiga.
Yuichi melihat ke belakang.
Bocah pembunuh itu tidak menunjukkan dirinya sendiri. Dia mungkin masih berada
di dalam ruangan kelas.
Apa yang harus kulakukan? Pikir
Yuichi.
Sebelumnya, dia mempertimbangkan
untuk melarikan diri dari sekolah. Tapi sekarang dia tahu itu takkan berhasil.
Anak laki-laki itu pasti seorang Pembunuh. Dia tidak akan ragu untuk membunuh
siapapun yang Ia temui. Jika Yuichi turun sekarang, itu hanya akan menambah
korban.
Namun, jika mereka pergi ke
atap, mereka akan terpojok ...
"Hei! Apa kau bisa
menurunkanku? "Aiko merengut padanya.
Yuichi menurunkannya ke lantai.
"Apa –apaan itu
tadi?" Teriak Aiko. "Aku pikir kita sudah mati! Jantungku masih
berdebar kencang!" "
"Apa lagi yang bisa aku
lakukan? Jika kita terus berlari lurus ke lorong, Ia pasti sudah melempar lebih
banyak shuriken pada kita."
Tidak ada waktu untuk cemas
saat ini. Yuichi menguatkan tekadnya. "Aku akan menunggu di sini dan
memancingnya ke atap. Kau melarikan diri ke bawah."
Jika sendirian, dia mungkin
bisa menahan anak itu.
"Aku tidak mau!"
"Hah?" Yuichi tidak
percaya apa yang Ia dengar. Jika mereka berpisah, ada kemungkinan besar kalau
Aiko bisa tetap aman. Karena, Yuichi lah yang diincar oleh anak laki-laki itu.
"Aku bilang tidak mau! Aku
tidak bisa pergi sendiri! Lebih baik jika kita tetap bersama! La-Lagi pula,
bagaimana kalau aku berlari ke bawah, dan pembunuh itu mengejarku ...?
"Aiko mencengkeram lengan baju Yuichi. Dia gemetaran, takut membayangkan
ditinggalkan sendirian dalam situasi seperti ini.
Dia ada benarnya. Yuichi
menduga pembunuh itu mengejarnya, tapi Ia sendiri tidak yakin. Lagi pula, jika
mereka berpisah dan anak laki-laki itu menyandera Aiko, dia akan kehilangan
harapan untuk keluar dari situasi ini.
"Maaf. Aku tidak bermaksud
membuatmu takut. Kita akan keluar dari sini bersama-sama." Kata-kata itu
meyakinkan Aiko, dan membuatnya sedikit tersenyum. "Jadi? Apa yang akan
kita lakukan di atap?"
"Aku bermaksud menahannya
di atap, dan kau bisa menghubungi kakak perempuanku dan membawanya
kemari."
"Hah? Kenapa kau ingin
kakak perempuanmu kemari? "Aiko menatapnya dengan bingung.
Mungkin itu wajar. Tapi kakak
Yuichi selalu memikirkan skenario seperti, "Bagaimana jika teroris
menyerang sekolah?" Dia mungkin tahu apa yang harus dilakukan tentang
pembunuh berantai yang mengamuk.
Anak laki-laki itu keluar dari
kelas dan mulai berjalan perlahan menuju mereka berdua.
"Sudahlah, kita ke atap
sekarang," kata Yuichi. "Aku punya ide." Dia menyeret tangan
Aiko dan menaiki tangga.
Pintu atap segera terlihat,
tapi di samping pintu itu ada sesuatu yang menarik perhatian Yuichi. Disana ada
setumpuk meja yang rusak. Meja-meja tersebut pasti sudah disimpan di sana untuk
selanjutnya dibuang.
Yuichi menarik keluar meja dan menariknya
ke puncak tangga.
"Apa yang kau
lakukan?" Tanya Aiko.
"Seperti yang kau lihat,
Jika dia mengejarmu, aku akan menjatuhkan ini padanya! "
"Um, Sakaki, itu ...
berani ..."
"Setelah itu ... Noro, apa
kau punya uang? Pinjamkan aku — maksudku, beri aku beberapa uang! "Kata
Yuichi.
"Apa ini benar-benar waktu
yang tepat untuk melakukan itu?!"
"Ya! Berapa banyak uang
yang kau punya? "
"Um, sekitar 100.000 yen?
"
"Anjayyyy! Kenapa seorang
siswi SMA punya uang saku sebanyak itu? "
"Bukan urusanmu! Kenapa kau
butuh uang?"
"Ada koin 500 yen?"
"Ya kenapa?"
"Berikan saja!"
Yuichi sadar bahwa tindakannya
nyeleneh. Tapi kenekatannya ini mungkin berhasil tersampaikan pada Aiko, karena
dia langsung mengeluarkan sepuluh koin lima ratus yen dari tas sekolah yang
terus dipegangnya sepanjang waktu.
Yuichi mendengar langkah kaki
menaiki tangga.
Begitu melihat sesosok bayangan
di tangga, Yuichi langsung melempar meja. Meja-meja jatuh menuruni tangga
dengan suara keras, seolah siap untuk memukul mati pengejar mereka ...
Anak laki-laki itu menggerakan
tangannya ke samping. Itu adalah tindakan santai, seperti gerakan mengusir
lalat, tapi hasilnya sangat dramatis. Tumpukan meja dipukul ke samping
membentur dinding. Perangkap yang Yuichi pasang tidak bisa memperlambatnya.
Topi bisbol anak laki-laki itu
terjatuh, memperlihatkan kepala dengan rambut emas pendek. Tapi bukan itu yang
menarik perhatian Yuichi.
Itu tanduknya.
Ada tanduk biru serta tembus
pandang yang tumbuh dari dahinya, kira-kira panjangnya satu kepalan tangan.
Tidak mungkin dia bisa memasukkan barang seperti itu di bawah topi bisbol.
Dengan tampilan tembus
pandangnya, mungkin itu adalah hologram.
"Astaga, dia lebih kuat
dari yang kupikirkan ..." gumam Yuichi.
Anak laki-laki itu perlahan
menaiki tangga. Sepertinya dia sama sekali tidak terburu-buru.
Ia ... mempermainkan kita... Yuichi
berasumsi anak itu datang untuk membunuh mereka berdua, tapi anak itu
sepertinya tidak terburu-buru sama sekali. Yuichi tidak bisa memahami apa yang
dipikirkannya.
"Apa yang akan kau lakukan?"
Tanya Aiko.
"Kita tidak bisa terus
berlari tanpa berpikir. Kita perlu menemukan rute tercepat ke ruangan klub
kakakku ... ah!"
"Apa?!"
"... Mereka mungkin sedang
melakukan perjalanan wisata ..." Perkataan kakaknya melintas kembali ke
pikirannya.
Yuichi menarik Aiko ke atap.
Ada pagar rantai di sekelilingnya. Sepintas, tidak ada tempat tersisa untuk
berlari. Yuichi membawa Aiko ke tengah atap dan berbicara dengannya.
"Noro! Berpeganganlah
padaku dari depan seperti koala! Aku butuh kedua tanganku kalau kita mau keluar
dari sini! "
"Apa sih maksudmu? Aku
tidak bisa melakukan itu! "
"Tidak apa-apa, kamu ‘kan
kecil!"
"Jangan panggil aku kecil!
Dan itu bukan masalahnya! "
"Lakukan saja!
"Yuichi menarik Aiko ke arahnya. "Hah?! Tu-Tunggu sebentar!"
"Lingkarkan kedua lenganmu
di pundakku, dan kakimu di pinggangku!" Bentakan suara Yuichi pasti
mengejutkannya, karena dia melakukan seperti yang Ia minta.
Pemandangan tubuhnya yang
menempel di bagian depan badan Yuichi pasti terlihat menggelikan bagi orang
yang melihatnya.
"Mungkin ini sedikit sulit
untuk bergerak, tapi kupikir ini akan berhasil," katanya.
"Apa yang sedang kalian
berdua lakukan?" Anak laki-laki pembunuh itu berdiri di pintu masuk atap,
terbata-bata karena keadaan mereka saat ini.
"Kami siap melakukan
sesuatu untukmu!"
"Oh, ya?" Anak itu
sama sekali tidak terancam. Dia pasti sudah percaya diri pada mangsanya yang
tidak mampu melarikan diri.
Yuichi mengepalkan tangan
sampai berbentuk pukulan. Ada dua koin 500 yen di antara masing-masing jarinya:
total delapan.
"Ambil ini!" Dari
posturnya yang sedikit terbatasi, Ia mengangkat lengan kanannya, membawanya
kembali ke belakang sejauh yang dia bisa, lalu meluncurkannya ke depan. Sambil
menggenggam pergelangan tangannya, ia melepaskan koinnya.
Cakram logam yang berat
menghujani anak itu.
Kesombongan anak laki-laki itu
lenyap dalam sekejap, dan dengan tergesa-gesa ia menyilangkan lengannya untuk
menahan diri dari serangan tersebut.
Segera setelah lemparan itu,
Yuichi berbalik, berlari ke pagar, dan memanjatnya, dengan Aiko yang masih
menempel di depannya.
"Hah?" Aiko merasa
bingung, tapi bisa ia lakukan hanya menempel erat padanya.
Yuichi mulai berlari sepanjang
bagian atas pagar dengan kecepatan penuh.
"Hei! Apa yang sedang kau
lakukan?"
"Melompat. Pegang erat-erat!"
"Hah?" Mereka berada
di atap sebuah gedung berlantai empat. Jatuh dari sini akan mencederai mereka,
jika tidak itu akan membunuh mereka secara langsung. Keragu-raguan Aiko bisa
dimengerti, tapi Yuichi memiliki kesempatan untuk sukses.
Merasakan ada banyak kunai yang
melewatinya, Yuichi menambah kecepatan. Itu adalah penumpukan kekuatan untuk
lompat jauh.
Saat dia mendekati tepi pagar,
dia menguatkan dirinya sendiri, mempersiapkan kakinya ...
... dan melompat dari atap.
Kejatuhannya singkat. Hanya butuh
beberapa detik sebelum mereka menyentuh tanah.
"Hah? Hah? Hah?" Aiko
berteriak bingung.
Yuichi membiarkan tubuhnya
lemas saat ia menabrak tanah, dimulai dengan ujung jari kakinya. Dia menekuk
lututnya dan memutar untuk mengurangi kekuatan benturan saat punggungnya
menabrak tanah, berguling, dan kemudian bangkit kembali.
"Uhhh?" Sebuah
rintihan bingung keluar dari bibir Aiko.
Yuichi menunduk untuk
memeriksanya. Dia tampak linglung, tapi dia tidak terluka sama sekali.
"Aku tidak pernah berpikir
aku akan memiliki kesempatan untuk menggunakan roll lima poin di sekolah
..." Ucap Yuichi dengan lega dan sedikit terpesona.
Nama yang tepat untuk teknik
ini adalah Parachute Landing Fall. Biasanya digunakan oleh penerjun payung.
Tentu saja, kakaknya yang dengan senang hati mendorongnya untuk mempelajarinya,
setelah membacanya sekali di manga aksi.
Yuichi mendongak ke atap. Dia
merasa pembunuh berantai itu menunduk dan menertawakannya.
✽✽✽✽✽
Aiko begitu tegang,
sampai-sampai tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Setelah menyadari hal ini,
Yuichi menurunkannya dengan lembut ke tanah.
Dia masih pusing, dan pijakan
kakinya masih belum stabil. Dia terhuyung, tapi sebelum dia bisa jatuh, Yuichi
mengulurkan tangan untuk menyokongnya.
Jantungnya berdegup kencang
seperti ketel. Aiko kehabisan napas, dan tenggorokannya kering karena cemas.
"A-A-A-A-A-A-A-Aku-Aku
..."
"Kau...?"
"Kupikir kita akan mati!
Apa-apaan itu ?! "Aiko tidak dalam kondisi untuk bisa menjerit saat ini,
tapi dia tidak bisa menahan diri.
"Ya, itu memang sedikit
ceroboh. Maafkan aku."
"Sedikit?! Kamu bilang itu
sedikit ?!" Dalam satu menit, Ia sudah berlari di sepanjang pagar.
Selanjutnya, dia langsung melompat dari situ. Dia masih belum bisa
mempercayainya.
Dia mulai merasa pusing, dan
pasti sudah pingsan dari tadi jika Yuichi tidak terus menahannya. Nafasnya
sudah ngos-ngosan.
"Hei, tenanglah.
Pelan-pelan, ambil nafas dalam-dalam. "Yuichi berkata dengan tenang.
Kata-katanya membantu
menenangkannya, tapi saat itulah Aiko menyadari kalau dia sedang berpegangan
tangan dengannya. Wajahnya menjadi merah padam, dan jantungnya mulai berdetak
kencang.
Tidak ada yang melihat kita,
‘kan? Aiko menatapnya dengan sungguh-sungguh. Dia begitu tidak
beres, dia bahkan tidak mempertimbangkan bahwa terlihat melompat dari atap akan
jauh lebih buruk daripada terlihat di pelukan anak laki-laki.
"Apakah kau baik-baik
saja? Aku tahu kau mungkin letih, tapi kita tidak bisa berdiri diam terus,
"kata Yuichi meraih tangan Aiko dan mulai berlari.
Bangunan sekolah tua tempat
klub bertahan hidup masih agak jauh. Ia benar: Tidak ada waktu untuk berdiam
diri.
"Hei ... kita tetap pergi
... untuk menemui kakakmu, ‘kan?" Tanya Aiko sambil terengah-engah.
"Meski aku ragu ... dia bisa melakukan sesuatu ..."
"Aku tidak tahu caranya,
tapi mungkin dia bisa menolong kita menghadapi situasi seperti ini!"
Kata-katanya yang tanpa bukti tidak membuat Aiko yakin.
*****
Anak laki-laki itu tertawa, Ia
melihat ke permukaan tanah melalui celah pagar dan tertawa lagi. Apa lagi
yang bisa dia lakukan? Itu sama sekali tidak masuk akal. Ini menentang
semua logika.
Serangan awalnya bisa
dihindari. Ia melemparkan kunainya tanpa berkata-kata, saat pintu terbuka.
Namun Yuichi masih bisa mengelaknya. Itu tidak mungkin. Yuichi seharusnya sudah
mati di tempat sebelum dia tahu apa yang sedang terjadi.
Kemudian, rentetan serangan
kunai-nya dihindari dengan mudah. Sambil melontarkan lusinan proyektil yang
dilemparkannya, Yuichi memecahkan kaca di jendela kelas untuk melompat, dan
kemudian, tanpa kehilangan momentum, Ia menerbangkan diri menuju jendela luar
ke ruang kelas berikutnya.
Tapi pencapaian yang paling
briliannya adalah cara dia melarikan diri. Mendaki pagar, berlari pada bagian
atas pagar yang goyah dengan kecepatan penuh - sambil menghindari kunai lagi -
dan kemudian melompat dari atap ...
"Maksudku, apa nggak salah
tuh? Apa dia masih manusia? "Dia bahkan tidak pernah mempertimbangkan
bahwa Yuichi akan melompat dari atap. Tidak hanya itu, Yuichi sudah bangun
lagi, terlihat tidak terluka, dan kembali berlari.
Itu sangat mustahil. Jadi, apa
yang bisa dia lakukan selain tertawa?
Begitu tawanya mereda, anak itu
mengingat prioritasnya. Yuichi sudah pergi saat dia sedang tertawa. Dia tidak
bisa membiarkannya lolos.
Dia melompati pagar dengan satu
tali. Terdengar suara mengerikan saat tubuhnya menabrak tanah.
"Ow!"
Dia perlahan mengangkat
tubuhnya. Ini sangat menyakitkan, tapi kerusakannya kecil ...masih sesuai
harapan.
Tapi mencoba sendiri untuk
melompat dari pagar hanya menegaskan kepadanya betapa sulitnya mengendalikan
postur tubuhmu di udara. Mengatur pendaratan yang lembut, kaki dulu, yang
mendekati mustahil. Pelatihan macam apa yang harus dilakukan Yuichi untuk bisa
bertahan dari ketinggian itu?
"Aku tahu apa yang mereka
pikirkan. "Dan mereka berhasil lolos dari pembunuhan itu dengan sukses,
dan semuanya hidup bahagia selamanya." Tapi, itu tidak akan terlalu
mendebarkan, bukan? "Ia mulai berlari ke arah kedua orang itu.
✽✽✽✽✽
Dalam perjalanan menuju tujuan
mereka, Yuichi dan Aiko berlari di belakang gedung olahraga, sehingga bahkan
jika si pembunuh menyerang mereka lagi, itu akan mengurangi kerusakan yang
tidak perlu.
Setelah melewati gedung
olahraga, gedung sekolah tua bisa terlihat dan hanya sedikit lebih jauh.
"Jika terlalu sulit untuk terus berlari, aku bisa membawamu, oke?" kata
Yuichi dengan cemas, saat menyadari bahwa Aiko kehabisan napas.
"A-aku baik-baik saja,
oke!" Wajah Aiko memerah saat dia menanggapinya. "Hei, apa kamu tahu
nomor ponsel Takeuchi?" Sebuah pertanyaan yang mendadak muncul dipikiran
Yuichi saat mereka berlari.
"Apa?" Aiko terengah.
"Ya, kami saling bertukar nomor. Memangnya kenapa?"
"Jika dia dipanggil
sebagai Pembunuh Berantai II, mereka mungkin berhubungan. Yang berarti mungkin
dia bisa membantu kita ... "
Natsuki pernah mengatakan kalau
dia tidak akan membunuh di sekolah, yang berarti dia mungkin tidak bertanggung
jawab atas kejadian ini. Jika seperti itu, ini adalah masalah yang menjadi
kepentingan bersama: Natsuki tidak ingin pembunuhan terjadi di sekolah, dan
Yuichi tidak mau terbunuh.
Aiko mengeluarkan ponsel dari
saku blazer-nya. Yuichi menyambarnya dan membuka daftar kontaknya, bersiap
untuk menelepon.
"Tunggu! Kamu hanya akan
meneleponnya dengan ponselku? "
" Hah? Oh, benar ... Itu
akan menjadi masalah, ya? "
Natsuki mengancam akan membunuh
semua orang jika Ia memberi tahu siapa pun. Ia tidak bisa membiarkannya tahu
kalau Aiko sudah tahu rahasianya. Jadi, Yuichi memanggilnya dengan ponselnya
sendiri.
Dia langsung menjawab.
"Ini Sakaki,"
katanya. "Apa yang terjadi di sini?"
"Sakaki? Aku tidak pernah
ingat saling bertukar nomor denganmu. Dan aku tidak tahu apa yang sedang kamu
bicarakan. "
"Jangan main-main
denganku," Teriak Yuichi. "Seorang pembunuh berantai sedang
mengejarku! Jangan mencoba berpura-pura tidak tahu apapun tentang itu! "
"Di mana kau sekarang,
Sakaki?" Tanyanya.
"Sekolah."
"Orang tolol itu ..."
Dia mendecakkan lidahnya dengan jengkel.
"Jadi kamu ada hubungannya
dengan orang itu!"
"Ya. Dia ingin menggunakan
tempat berburuku, jadi aku menawarinya kondisi jika dia akan menghabisi seseorang
yang mengetahui identitasku. "
"Hei!"
"Aku pikir tidak apa-apa
asalkan aku memiliki alibi. Aku tidak percaya dia akan mengejarmu di
sekolah."
"Apa-apaan dengan
tanggapan itu? Cepat hentikan Iah! "
"Hmm. Tapi aku tidak bisa.
Ia adalah jenis orang yang terus memburu mangsanya sampai ke ujung dunia .
"
"Oh, Astaga!" Hanya
itu respon yang dia bisa keluarkan.
Tidak ada yang lebih efektif
yang datang kepadanya.
"Aku sedang menuju ke sana
sekarang. Aku tidak mau ada pembunuhan di sekolahku. Jangan mati, oke? Teruslah
berlari. "Lalu dia menutup telepon.
"Takeuchi bilang dia akan
datang ... tapi kurasa dia juga akan melawan kita ..."
"Ap-Apa yang harus kita
lakukan ?!"
"Yah, aku yakin kakakkku
bisa mengatasinya ... setidaknya, kuharap dia bisa ..." Yuichi mencoba
menyembunyikan kegelisahannya.
Mereka terus berlari sembari Ia
di telepon. Sekarang mereka sampai di pintu masuk gedung sekolah tua.
Mereka berlari menaiki tangga
pertama yang mereka lihat di dalam, menuju ke ruangan klub survival yang berada
di ujung lorong di lantai dua.
Yuichi berlari ke arah situ
dengan segenap kekuatannya. Tepat saat Ia sampai di pintu, pintu itu terbuka.
Mutsuko melangkah keluar,
tampak sedikit terkejut saat melihat Yuichi. "Yu? Ada apa? Sudah kubilang
kamu tidak perlu datang hari ini. Kamu benar-benar ingin naik di bawah
eskalator, ya? "
"Tentu saja, tidak!"
Teriaknya.
Mengunci pintu ruang klub di
belakangnya, pasti hanya ada dia di ruangan klub itu. Mungkin yang lain sudah
pergi dalam perjalanan lapangan mereka.
"Bagaimana denganmu, Noro?
Kau benar-benar ingin pergi latihan bertahan hidup dengan kami, ya? Aku akan
memberimu formulir pengiriman ..." Mutsuko mulai mengaduk-aduk di tasnya.
"Kita tidak punya waktu
untuk itu! Ada pembunuh berantai yang mengejarku! "
"Hah ?! "Wajah Mutsuko
menyala dengan gembira.
"Tidak mungkin! Itu luar
biasa!"
"Tentu, itu kata yang
cocok... "
"Hmm, tapi munculnya si
pembunuh setelah sepulang sekolah bukan yang paling keren. Dia pasti muncul di
tengah-tengah kelas, seperti Shorty Alien, atau Shimada yang berlumuran asam!
"
"Itu akan menjadi bencana!
Bencana yang traumatis untuk seumur hidup! "
"Jadi, apa masalahnya?
Tinggal kalahkan saja," kata Mutsuko seenak jidat.
"Mengalahkannya?! Aku
bahkan berpikir kalau Ia itu bukan manusia! Tidak mungkin aku bisa
mengalahkannya! "
"Tunggu! Apa kau baru saja
bilang kalau Ia bukan manusia ?! "Mutsuko menyambar bahu Yuichi dan
mengguncangnya.
"Jangan bersemangat
begitu! Dia memiliki tanduk, dan menyingkirkan tumpukan meja dengan satu
tangan. Itu saja sudah menjadi bukti kalau Ia bukan manusia! "
"Tanduk ... berapa
banyak?"
"Hanya satu."
"Oh, Kau akan baik-baik
saja!"
"Bagaimana ,mungkin aku
akan baik-baik saja?!"
"Kalau hanya satu tanduk
itu berarti dia mungkin lemah!"
Dia tidak bisa membayangkan
atas dasar apa kakaknya mengatakan itu. Rasa dingin mulai menyebar ke seluruh
tubuhnya.
"Apa yang harus aku
lakukan?" Teriaknya.
"Kurasa kau harus
mengalahkannya," kata Mutsuko.
Itulah yang Ia takutkan. Ia
akan dipaksa bertempur. "Lihat, ‘kan? Kita sudah menemukan kakakmu, tapi
itu tidak mengubah apapun! "Kata Aiko dengan sangat keras Tapi di balik
dugaannya, ekspresinya sangat gugup. "Jangan terlalu di ambil hati ... aku
hanya berpikir sendiri ..."
"Hei! Apa itu pembunuh
berantainya?" Mutsuko menunjuk ke ujung lorong, dimana seorang anak
laki-laki berdiri, berambut pirang, dan mengenakan seragam berkerah tinggi.
Mereka sudah terpojok. Yuichi
melihat area sekitar dengan panik.
Tangga yang didekat mereka
ditutup karena sudah rusak. Akan berbahaya untuk menggunakannya.
Anak laki-laki itu melangkah ke
arah mereka dengan santai. Ia tersenyum, seolah-olah dia menantikan apa pun
yang Yuichi tunjukkan padanya selanjutnya.
"Hmm, kalau aku harus
bilang sih ..." Mutsuko mengintip si bocah pembunuh berantai, tatapannya
sangat terfokus. "Ada sesuatu yang tidak jelas tentang caranya berjalan.
Kurasa dia tidak tahu pusat gravitasinya. Tipe orang yang mengandalkan otot dan
bukan otaknya. Dan dia mengalami kerusakan di sisi kanannya. Aku tidak berpikir
Ia menyadarinya, tapi caranya itu menunjukkan ada kerusakan pada organ dalam.
Dengan kata lain, pukulan yang baik mungkin bisa menyebabkan banyak kerusakan.
Mengapa kau berpikir kalau kau tidak bisa mengalahkannya?"
"Apa kau bercanda?!"
"Yu, kamu harus mulai
mengukur kekuatan lawanmu sendiri."
"Aku tidak punya waktu
untuk itu! Dia langsung menyergapku!" Teriaknya.
Tapi kakaknya benar. Sekarang,
setelah menenangkan diri, Ia bisa menebak kurang lebih kekuatan si pembunuh.
Jika tanpa tingkat kecermatan kakaknya ...
"Baiklah! Yu, sudah
waktunya untuk meluluskan keperjakaanmu! "Serunya.
"Ke-Keperjakaanku?"
Yuichi tergagap.
Rujukan yang tiba-tiba itu
sontak saja menyebabkan wajah Aiko menjadi merah padam.
"Aku tidak ingin membunuh
orang!" Tambahnya.
"Jangan khawatir, Ia itu
bukan manusia! Hanya sebuah alat yang berguna bagimu untuk meluluskan
keperjakaanmu, "Mutsuko menegaskan, mengulangi metafora yang memalukan
itu. Kalimat itu mengacu pada tindakan membunuh seseorang, sebuah istilah yang
biasa digunakan oleh tentara untuk menyebut pembunuhan pertama mereka. Tentu
saja, pengetahuan Mutsuko tentang itu berasal dari manga.
"Oh, lupakan saja! Yang
penting, aku bisa mengalahkannya, ‘kan? Jadi aku serahkan sisanya padamu!
"
"Oke! Jika kau berakhir
sebagai seonggok daging berkedut di tanah, aku akan membawamu pulang dengan
bahuku! "
"Tidak di atas bahu,
tolong. Itu akan sedikit terlalu menyedihkan. "Yuichi berpaling kepada si
pembunuh berantai dan mulai berjalan. Si pembunuh menyadari bahwa Yuichi akan
menghadapinya, namun pembunuh itu tidak mengubah langkahnya.
Mereka berada tepat di ambang
jarak dekat saat mereka berdua berhenti.
"Apa? Aku sudah tak sabar
untuk melihat bagaimana kau bisa lolos kali ini. Mungkin Kau akan melompat lagi
melalui jendela "
"Maaf sudah
mengecewakanmu, tapi aku sudah lelah melarikan diri. Sudah waktunya
menghentikanmu."
Tidak dapat memutuskan apa yang
harus dilakukan melawan si pembunuh, Yuichi baru saja melarikan diri. Lagi
pula, ini bukanlah perkelahian biasa. Untuk melawan pembunuh berantai, kau
harus bersiap menghadapi hal-hal tertentu. Kau takkan menang jika kau menahan
diri. Ini adalah saat dimana kau membunuh atau dibunuh.
Dia belum bisa melakukan itu
sebelumnya, tapi sekarang, kakak perempuannya sudah mengatakan bahwa Ia bisa
mengalahkannya.
Itu berarti Ia bisa mengalahkannya.
Kakaknya juga mengatakan bahwa dia akan menangani akibatnya, jadi apa pun yang
terjadi, mereka akan baik-baik saja.
Yuichi mengambil keputusan.
"Furukami," bisiknya.
Dia memulai dengan kaki
kirinya, menegangi otot-otot kaki itu melewati batasnya. Kaki kirinya sekarang
tidak ada gunanya.
Dia mendepak tembok kanan dari
si pembunuh, terbang lebih tinggi ke udara, lalu langsung mengarahkan dirinya
ke jarak dekat untuk menghadapi si pembunuh dan menurunkan tumitnya.
Untuk si pembunuh, Yuichi
seolah-olah telah lenyap dalam sekejap, sebelum muncul kembali saat tumit
menabraknya dari udara.
Si pembunuh nyaris tidak bisa
bereaksi. Ia hanya berhasil menghindari tumit kiri yang menghampirinya. Tapi
dia tidak bisa menghindari tumit kanan yang datang bersamaan. Ini membuat celah
di atas kepalanya, dan memang begitu.
Yuichi mendarat, melangkah
lebih jauh ke dalam ruang pribadi sang pembunuh, dan memukul punggung si
pembunuh dengan tinjunya. Suara retak yang rendah bergema di lorong.
Dalam sekejap, pertarungan sudah
usai.
✽✽✽✽✽
"Gwuh?" Aiko
menyalak.
Yuichi memulai dengan kaki
kirinya, dan hal berikutnya yang dia tahu, si pembunuh itu sudah terkapar di
atas lantai. Dia tidak tahu apa yang baru saja terjadi.
"Itu furukami! Ini adalah
teknik yang sering kau lihat dalam seni bela diri kuno! Ini memungkinkanmu
melampaui batas manusia dalam waktu sementara! Sekresi Dopamin, penghambatan
persepsi rasa sakit, pelepasan batas, dan lain-lain. Yu mendorong otot-otot
kaki kirinya melewati batas mereka, mendorongnya lebih cepat dari yang bisa
dilihat lawannya. Lalu dia menggunakan tendangan kampak ganda! Jika yang kiri
sudah memukul, itu hanya akan menyebabkannya sakit, jadi Ia menggunakannya
sebagai umpan untuk tendangan sebenarnya! "
"A-Ah. "Aiko tidak
bisa menanggapi sepatah kata pun. Tapi Mutsuko sepertinya tidak meyadarinya,
terus melanjutkan.
"Bagian selanjutnya bahkan
lebih sederhana. Dia memusatkan semua kekuatan di tubuhnya ke dalam tinjunya,
lalu melepaskannya! Ini mirip - meski tidak begitu- dengan konsep bela diri Cina
fa jin! Aku menyuruh Yu berlatih sampai dia bisa memasukkan satu inci ke futon
saat keluar dari jalur pengeringan! Oh, cara dia biasa menangis waktu! Sangat
lucu sekali!"
"U-Um ... apa yang sudah
kamu lakukan pada Sakaki?"
"Melatihnya! Seorang pria
harus menjadi kuat! "Mutsuko tersenyum bangga.
Tags:
Nee-chan wa Chuunibyou
Mantaap min! ❤️❤️❤️
BalasHapusWkwkwkw
BalasHapusdilatih ama KKnya