Lantai pertama rumah sakit yang
Mamizu tinggali berisi meja resepsionis pasien rawat jalan, dan itu dilengkapi
dengan bangku-bangku dari warna pudar yang khusus untuk lembaga-lembaga publik.
Ketika aku mengunjungi rumah sakit di hari lain, aku melihat Ritsu-san duduk di
sana. Saat aku mendekati untuk menyambutnya, aku menyadari bahwa ada sesuatu
yang aneh tentang dirinya.
Wajahnya tampak seolah-olah dia
akan mati.
Kulit wajahnya pucat, dan
ekspresinya kaku. Saat aku melihat lebih dekat, aku menyadari bahwa ia gemetaran.
Tidak hanya jari-jari atau kakinya, tapi seluruh tubuhnya gemetaran. Itu adalah
pemandangan menyedihkan. Membatalkan kata “halo” yang telah kurencanakan untuk
menyambutnya, aku menggantinya dengan perkataan, “Apakah anda baik-baik saja?”.
Ritsu memalingkan wajahnya ke
arahku, ekspresinya terlihat seolah-olah dia sedang mengalami mimpi buruk, “...
Apa kau di sini untuk mengunjungi Mamizu juga?”
“Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Tanyaku, menekan kecemasanku.
“Aku tidak bisa seperti ini,
‘kan?” Kata Ritsu-san.
Tidak dapat merespon dengan
“Itu benar,” atau “Itu tidak benar sama sekali,” aku tetap diam. Selama diamku,
Ritsu-san mengulurkan kantong kertas yang ia tempatkan di sampingnya.
“Maafkan aku, tapi apa kau bisa
memberikan ini pada Mamizu?”
Anda bisa memberikan kepadanya
sendiri, itulah yang ingin kukatakan, aku berpikir sejenak, tapi kemudian aku
mengambilnya tanpa berkata apa-apa.
“Sepertinya lebih baik kalau
aku tidak melihatnya sekarang.” Ritsu-san berdiri. “Baiklah, aku mengandalkanmu,”
katanya sambil mulai berjalan menuju pintu keluar dengan langkah goyah.
Aku tertegun menyaksikan dia
pergi dan kemudian menuju ke kamar Mamizu. Aku menghabiskan seluruh perjalanan
lift dengan merenungkan kata-kata Ritsu-san. Aku terus memikirkan makna di balik
perkataannya. Aku tidak bisa membayangkan bahwa itu berarti sesuatu yang baik.
Saat aku memasuki ruangan, mata
Mamizu langsung menatapku segera.
“Kupikir kau tidak akan datang
lagi,” katanya.
Cahaya yang mengalir dari
jendela, samar-samar menerangi tubuhnya.
Dia memiliki wajah yang cantik,
pikirku. Jika Mamizu tidak sakit, aku ingin tahu kehidupan macam apa yang akan
dia jalani. Aku yakin dia akan selalu dikelilingi oleh orang-orang, dan
memiliki kepribadian yang jauh lebih cerah daripada yang dia miliki sekarang.
Dan mungkin dia bahkan tidak mau berbicara denganku.
"Kenapa?" Tanyaku
sambil duduk di bangku dekat tempat tidur dan menyilangkan kaki.
"Kupikir kau mungkin
marah."
"Tentang apa?"
"Aku mengatakan bahwa kita
akan pergi ke suatu tempat, tapi ternyata tidak seperti itu."
"Mengapa aku harus marah
karena hal itu?" Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya sama sekali.
"Aku selalu memikirkannya.
Aku selalu mengatakan hal-hal yang egois dan selalu menyebabkanmu bermasalah.
Jadi tak lama lagi, kau akan muak denganku, dan suatu hari nanti, kau akan
mendadak berhenti mengunjungiku, Takuya-kun. Dan itu akan menjadi akhir. "
"Itu takkan terjadi,"
kataku tanpa berpikir panjang, untuk menenangkannya.
"Hei, suatu hari, kalau
aku bersikeras mengatakan untuk jangan pernah datang lagi, apa kau masih akan
datang dan melihatku?" Tanya Mamizu.
Pertanyaannya yang tidak masuk
akalnya membuatku sulit untuk mejawabnya.
... Dia sepertinya menjadi
berhati lemah. Aku tidak tahu apakah itu karena pemeriksaannya berjalan buruk
atau karena hal lain, tapi sepertinya dia kehilangan ketenangannya dan menjadi
berkecil hati.
"Jangan mengkhawatirkan hal
aneh seperti itu." Untuk mengakhiri percakapan ini, aku menyerahkan tas
kertas pada Mamizu yang telah dipercayakan padaku. "Aku bertemu ibumu di
pintu masuk tadi. Dia tampak sibuk, dan dia menyuruhku untuk memberikan ini
padamu. "
"Sebenarnya ibuku bukanlah
orang jahat. Takuya-kun, aku minta maaf tentang masalah waktu itu. Di masa
lalu, dia adalah orang yang lebih lembut. Dia mungkin lelah karena diriku,
" kata Mamizu sambil mengeluarkan apa yang ada di dalam kantong kertas.
Itu adalah sepasang jarum rajut dan sepotong rajutan yang baru sebagian.
"Apa itu?" Tanyaku
penasaran.
"Aku memulai ini tepat
setelah aku masuk sekolah SMP, dan kemudian merasa berkecil hati karena tidak
segera menyelesaikannya ini. Tiba-tiba aku mengingatnya dan berpikir bahwa
sementara aku melakukannya, aku mungkin juga bisa menyelesaikan hal-hal semacam
ini juga, sehingga aku tidak meninggalkan apapun yang belum selesai. "
Entah kenapa, Mamizu menatap
bulu wol yang tidak lengkap itu, seolah-olah bingung apa yang harus dilakukan. Rajutan
itu belum mengambil bentuk yang tepat.
"Waktu itu, kupikir aku
akan merajut sweater, tapi ini takkan
selesai tepat waktu, bukan?"
"Pada waktu apa?"
"Musim dingin. Tidak ada
gunanya memakai sweater di musim
semi, ‘kan?” Mamizu menghela napas panjang dan menjatuhkan diri ke tempat
tidurnya. Dan kemudian dia menatapku dengan mata yang tampak depresi.
“Hei, apa yang ingin kau lakukan
selanjutnya?” Tanyaku, seolah-olah ini adalah hal wajar bagiku untuk menanyakan
hal ini.
"… Baiklah, kalau begitu. Aku
ingin pergi melihat bintang! Aku suka bintang,” tambahnya dengan suara manja,
tersenyum seolah-olah dia tahu bahwa dia meminta sesuatu yang tidak masuk akal.
Ini
pertama kalinya aku mendengar suaranya seperti itu, pikirku.
Mungkin jarak antara kita sudah
sedikit dekat. Atau mungkin sudah terlalu dekat.