Chapter 1 : Short Season, Cold feeling
Bunga sakura bermekaran di
sepanjang jalan di atas bukit. Saat aku selesai mendakinya, logo rumah sakit
baru bisa terlihat dalam pandanganku. Itu adalah bangunan baru dan relatif
bersih, dan entah bagaimana tidak terasa seperti ada orang tinggal di sini. Meski ini
adalah rumah sakit, namun memiliki nuansa yang mirip seperti bangunan kantor.
Hal tersebut membuatku merasa sedikit lebih nyaman. Aku memberitahu resepsionis
tentang keperluanku di sini dan segera diberitahu kamar mana yang di tuju.
Berpikir tentang bagaimana aku
akan segera bertemu orang asing, Aku merasa sedikit gugup. Belum lagi fakta
bahwa orang tersebut adalah seorang gadis yang telah dirawat di rumah sakit
karena penyakitnya.
Aku merasa sedikit gelisah saat
menunggu lift datang.
“Kudengar dia sangat cantik,”
Seseorang mengatakannya padaku.
Nama gadis tersebut adalah Watarase
Mamizu.
****
Selama jam pelajaran pertama di
kelasku, Yoshie-sensei, guru wali kelas kami, berbicara dengan suara yang lantang.
“Watarase Mamizu-san telah
dirawat di rumah sakit sejak SMP karena penyakit serius,” katanya. “Aku berharap
bahwa dia bisa keluar dari rumah sakit secepat mungkin dan menikmati kehidupan
sekolahnya dengan semua orang.”
Ada satu kursi kosong di kelas.
Sekolah kami merupakan gabungan dari sekolah SMP dan SMA, sehingga murid yang
hadir tidak banyak berubah sejak dari
SMP. Meski begitu, kelihatannya banyak yang tidak mengetahui siapa Watarase
Mamizu.
“Aku dengar kalau itu penyakit
luminesensi.”
“Jadi, dia mungkin takkan bisa
datang ke sekolah, ya.”
"Siapa dia?"
“Rupanya dia belum pernah ke sekolah
sejak Mei kelas 1 SMP.”
“Aku tidak ingat sama sekali.”
“Apa tidak ada yang punya
fotonya ?”
Semua murid di kelas mulai sedikit
bergosip tentang dia, tapi karena kurangnya informasi mengenainya, sehingga itu
cepat berhenti.
Jika itu penyakit luminesensi,
mungkin akan sulit baginya untuk kembali ke sekolah. Ini dikenal sebagai
penyakit yang tak bisa disembuhkan.
Penyebabnya masih belum
diketahui, metode pengobatannya pun belum ada.
Sangat mustahil untuk
menyembuhkan penyakit ini. Itu sebabnya, kebanyakan orang yang menderita
penyakit seperti ini akan menghabiskan seluruh hidupnya di rumah sakit.
Penyakit tersebut akan
berkembang seiring pasien tumbuh dewasa,
dan gejalanya tiba-tiba muncul. Dikatakan bahwa kebanyakan pasien mengembangkan
gejala-gejala di masa remaja mereka atau di usia dua puluhan. Setelah gejala
muncul, tingkat kematiannya akan sangat tinggi; kebanyakan pasien meninggal
sebelum menjadi dewasa. Ada banyak gejala yang berbeda, tapi ada satu
karakteristik yang khas, yaitu fenomena aneh yang terjadi pada kulit pasien.
Kulit mereka bersinar.
Dikatakan bahwa pada malam
hari, ketika cahaya bulan menyinari tubuh seseorang dengan kondisi tersebut, akan
memancarkan cahaya samar-samar. Rupanya, cahaya yang dipancarkan akan menjadi kuat
seiring kondisi berlangsung. Itulah mengapa penyakit ini disebut penyakit
luminesensi.
...
Bagaimanapun juga, tidak mungkin kalau
gadis yang bernama Watarase Mamizu ini bisa kembali ke sekolah, pikirku,
dan memutuskan untuk segera melupakan semua ini.
uuu
Beberapa hari kemdian, selama
waktu istirahat, ada sebuah kertas
berwarna yang disodorkan di hadapanku.
“Okada, tulis sesuatu di sini,”
kata orang yang memberi kertas padaku.
“Apa ini?” Tanyaku.
“Kau tahu, apa lagi itu?
Seseorang-san, orang yang menderita
penyakit luminesensi. Semua orang harus menulisnya dan kemudian itu akan
diberikan kepadanya.”
Tidak
tertarik , pikirku sembari menggerakkan pulpenku di atas kertas
berwarna.
Aku
harap penyakitmu segera membaik. Okada Takuya.
Aku menulis kata-kata tersebut
dengan lancar dalam waktu tiga detik dan kemudian melihat sekeliling untuk
memberikan kertas tanda tangan untuk orang yang selanjutnya.
“Wow, Okada, itu polos sekali.”
“Selanjutnya, harus kuberikan
pada siapa?”
“Semua orang di sini sudah
mengisinya. Ah, kurasa Kayama masih belum. Pergi dan berikan padanya. Kau dan
Kayama cukup dekat, bukan?”
“Kami tidak sedekat yang kau
kira,” jawabku sebelum mendekati kursi Kayama.
Kayama Akira selalu berantakan seperti
biasanya. Baju seragamnya keluar dari celananya, dan ia sedang berbaring di
atas mejanya, terlelap seperti kayu. Dia memiliki tubuh yang tinggi serta
rambut yang panjang. Namun Ia tidak memberikan suasana yang mirip seperti anak
berandalan dan tidak memiliki kecenderungan terhadap kekerasan, tapi Ia bisa
digambarkan sebagai orang yang “tidak
serius.”
Dia masih populer dengan
kalangan gadis karena dia memiliki wajah yang cukup tampan, tapi Ia biasa
menanggapi orang dengan sikap yang agak arogan. Oleh karena itu, sebagian besar
dari siswa laki-laki sedikit menghindarinya.
“Kayama, bangunlah,” kataku.
“Tak kusangka kalau aku terpilih
sebagai manajer asrama perempuan yang dipenuhi dengan gadis-gadis cantik ...”
Kayama mengigau dalam tidurnya.
Sepertinya, dia sedang mengalami mimpi yang sangat indah, Namun aku terus
mengguncangnya, mengembalikannya pada kenyataan.
"Hah? Okada? Ada apa?”
Tanya Kayama.
Jika aku mempunyai pilihan, aku
benar-benar tidak ingin mendekatinya. Tapi itu bukan karena ada hubungannya dengan
diriku yang tidak bisa berurusan kepribadian menyimpangnya.
Di masa lalu, Kayama melakukan
sesuatu yang membuatku berhutang budi padanya. Itu sebabnya, hal itu kurang
benar untuk mengatakan bahwa kita ini adalah teman. Kata “penyelamat” adalah yang
paling tepat untuk mendeskripsikan Kayama bagiku.
Ada sesuatu yang aneh tentangku
saat aku berinteraksi dengan Kayama – entah kenapa aku merasa gugup di dalam
diriku, bahkan ketika kami hanya sekedar mengobrol.
“Ini surat bersama,” kataku.
“Kau tahu, untuk seseorang dengan penyakit luminesensi.”
“Ah.” Kayama mengambil kertas
berwarna, dan kemudian menatap dengan pandangan agak linglung. “Watarase
Mamizu, ya.”
Ekspresi dan suaranya tampak
seperti sedang mengingat sesuatu di masa lalu.
“Apa kau mengenalnya?” Tanyaku,
merasa terkejut.
“Tidak ......yah sedikit, di masa lalu. Jadi, dia bermarga
Watarase sekarang,” kata Kayama, seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Yah,
aku akan menulisnya.”
Setelah dia berkata begitu, aku
kembali ke tempat dudukku sendiri.
“Okada, bagaimana akhir-akhir
ini?” Tanya Kayama padaku.
“Bagaimana apanya?”
"Apa kau baik baik
saja?"
“Aku baik-baik saja,” jawabku,
sambil menekan rasa jengkelku.
“Kau selau menderita dari waktu
ke waktu,” kata Kayama dengan nada yang terdengar seolah-olah dia bisa melihat
apa yang kurasakan.
“Aku normal,” kataku. Ini bukan urusanmu, pikirku, namun aku
tidak bisa mengatakan ini dengan keras.
*****
“Surat bersama yang ditulis
oleh semua orang akhirnya telah selesai, jadi aku berpikir untuk meminta
seseorang untuk membawa surat ini kepada Watarase-san di hari libur nanti. Aku
yakin Watarase-san akan jauh lebih senang jika siswa yang mengantarnya
dibandingkan diriku. Apa ada yang ingin pergi?” Tanya Yoshie-sensei.
Yoshie-sensei adalah wanita
yang cukup cantik yang berusia awal dua puluhan, tapi mungkin karena dia belum
lama menjabat menjadi seorang guru, cara dia melakukan homeroom masih agak kaku.
Bahkan setelah diberitahu semua
ini, tidak ada seorang pun yang mengajukan diri dan hanya berpikiran, “merepotkan
sekali.”
Tidak ada satu murid pun yang mengangkat
tangan. Semua orang sudah menduga ini. Jika terus seperti ini, Yoshie-sensei pasti
akan menunjuk seseorang untuk melakukan tugas tersebut. Semua orang menutupi
wajah mereka, tidak mencoba untuk menyembunyikan
fakta bahwa mereka berharap tidak akan terpilih.
Dan kemudian, tiba-tiba, Kayama
mengangkat tangannya. Semua orang terkejut dan menatap ke arahnya secara
bersamaan.
“Aku akan pergi,” katanya.
“Ah, kalau begitu, maaf tentang
ini, tapi kurasa aku bisa mengandalkan hal ini padamu,” kata Yoshie-sensei.
Pada saat itu, ada sesuatu jejak
misterius di dalam ekspresi Kayama. Sesuatu yang menyerupai keberanian suram.
Sulit untuk membayangkan bahwa dia rela menjadi sukarelawan.
... Jika memang tidak menyukainya, seharusnya Ia tidak mengatakan apapun.
Mengapa Kayama mengatakan bahwa ia akan pergi? Pikirku, merasa sedikit
penasaran.
*****
Akhir pekan pun tiba, dan pada
hari Minggu, Kayama tiba-tiba meneleponku dan memintaku untuk menemuinya.
“Aku ingin minta bantuanmu,”
katanya.
Kami tidak terlalu dekat untuk
membuat kebiasaan bertemu satu sama lain pada hari libur, jadi ini bisa
dianggap sebagai kejadian yang langka.
Merepotkan sekali, tapi aku
menuju ke rumahnya karena aku sudah diberitahu.
“Aku terkena demam,” kata
Kayama, yang datang ke pintu depan dengan menggunakan piyama, dan memakai
masker. “Kau bisa lihat sendiri.”
Tapi Ia tidak terlihat seperti orang
yang sedang menderita demam. Seolah-olah dia hanya menunjukkan cosplay orang sakit padaku.
“Jadi, bantuan apa?” Tanyaku,
sedikit kesal.
"Ah, jadi ... aku tidak
bisa pergi mengunjungi Watarase Mamizu," kata Kayama.
“Dan kau memintaku untuk pergi
menggantikanmu?” Tanyaku, memastikan situasi.
“Yeah,” Jawab Kayama.
Dia kembali ke dalam rumahnya,
dan setelah beberapa saat, dia kembali dengan tumpukan kertas dan barang-barang
yang harus diberikan kepada Watarase-san.
“Aku mengandalkanmu,” katanya sambil
memberikannya padaku.
Seakan tidak ingin
memperpanjang percakapan lebih lanjut, Kayama masuk kembali ke dalam rumahnya.
Sejujurnya, aku tidak bisa mempercayai semua ini.