Omae wo Onii-chan Vol.2 Chapter 02 Bahasa Indonesia


Selasa, 23 April - Kenangan. Penyergapan. Badai musim semi.

Menurut ramalan cuaca, badai musim semi akan melanda pada malam hari ini.
Sejak pagi Mariko tidak bisa tenang dan terus gelisah.
Apa Dia cemas karena cuacanya? Pikirku dan bertanya padanya. Tapi nampaknya, bukan cuaca yang Dia khawatirkan melainkan tentang keluarganya.
Mariko memiliki adik yang berusia sekitar anak SMP, Chitose-chan. Dia menyadari perilaku adiknya terasa aneh baru-baru ini ... dan dia khawatir kalau mungkin adiknya mendapatkan pacar.
Chitose-chan yang aku kenal adalah seorang gadis pemalu. Setidaknya itulah kesan yang aku punya karena dia selalu bersembunyi di balik Mariko.
Jadi, rasanya sedikit mengejutkan kalau dia punya pacar. Dia seperti bebek muda yang mengejar orang tua dan mengikuti Onee-channya ... Aku pikir Mariko terlalu overprotective.
Saat itu, Dia terlalu malu untuk melakukan kontak mata denganku, yang mana adalah sahabat Mariko.
Aku menasehatinya "Tidak peduli seberapa banyak kau khawatir, itu tidak ada gunanya kecuali kau melihatnya sendiri, aku yakin tidak apa-apa".
Mariko menanggapi dengan putus asa "kurasa kamu benar". Dia tampak cukup cemas.
Tidak peduli bagaimana pacarnya, sepertinya Mariko merasa cemas hanya dengan mengetahui kalau itu lelaki. Tentu saja, jika adikku mendapat pacar ... aku juga akan khawatir.
Adikku juga, suatu hari nanti akan menemukan seseorang yang mereka cintai.
Meski aku harus memberkatinya sebagai kakak mereka, namun masih membuatku sedikit ... gelisah.

Aku entah bisa memlalui pelarajaran di kelas dan segera pulang ke rumah, perubahan harian pada kunci elektrik masih terus berlanjut.
Aku berdiri di depan pintu kamar 601 dan membunyikan bel. Kuncinya sudah membuka pintu, namun memasuki kamar seorang adik tanpa mengetuk rasanaya sangat tidak sopan. Harus ada menunjukkan rasa hormat.
Namun, Tomomi si penyuka game mungkin telah terlalu focus pada game-nya.
Pintu tidak membuka ... Aku mencoba membukanya sedikit dan melihat ke dalam.
Bukannya mendengar tembakan dan ledakan, aku justru menemukan ... Tomomi duduk dalam posisi bersimpuh dan menunggu diriku. Dia mengenakan pakaian  T-shirt dan celana jeans pendek khasnya.
"Aku sudah menunggumu, Nii-chan!"
Dia menatapku dengan ekspresi kaku dan mencoba untuk berdiri.
"Kenapa kau melakukan itu?!"
"Aku sangat menantikan Nii-chan sampai-sampai aku merasa sedang menunggu perilisan permainan epik. Baiklah, aku berdiri! Yeahh!"
Karena dia duduk bersimpuh, kakinya masih terasa kaku, dan Tomomi yang biasanya lincah, berlari ke arahku layanya seperti zombie.
Aku pun menangkapnya.
Di saat dia memelukku, aku merasa tekanan lembut nan elastis pada diriku.
"Nii-chan, aku tidak bisa merasakan kakiku! Ini kesemutan yang super ekstra!"
"Sudah berapa lama kau duduk dalam posisi seperti itu?"
"Sekitar tiga puluh menit. Mufuun, Aku sangat senang bisa mendapatkan pelukan dari Nii-chan."
"Ayo pergi ke ruang tamu dulu. Apa kau bisa berjalan?"
"Kumohon tolong bawa aku mirip dengan gendongan ala putri."
"Akan kulepas kau nanti."
"Jangan, jangan, jangaaaannn. Cih. Nii-chan pelit."
Aku membiarkan Tomomi menyender pada bahuku dan kami tiba di ruang tamu. Dia duduk di sofa dan meregangkan kakinya. Aku juga duduk di sofa. Ruangan ini tidak banyak berubah dari sebelumnya, masih ada speaker dan TV besar. Serta model plastik yang masih menghiasi rak-rak.
"Jadi, untuk apa Nii-chan datang ke sini? Apa kamu datang untuk manja-manjaan denganku?"
"Manja-manjaan ... tentu saja aku berpikir untuk mengakrabkan diri bersama Tomomi sebagai saudara ..."
"Aku menolak!"
Tomomi mencodongkan badannya ke depan dari sofa dan menyela perkataanku. Aku mengalihkan pandanganku dari dadanya yang mengguncang.
"Nii-chan, lihat ke arah sini dengan benar."
"Y-ya, maaf ... kau menolak?"
Dia mengangguk.
"Apa Nii-chan ingin membuatku menjadi adiknya?"
"Tentu saja. Tidak hanya Tomomi, aku ingin kalian semua menjadi adikku. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi aku berniat seperti itu."
"Bukannya sudah bilang kalau aku tidak ingin menjadi adikmu, ‘kan? Sebaliknya, aku siap untuk membuatmu menjadi kakakku."
"Jadi, apa itu ada bedanya?"
Tomomi penuh semangat mengangguk lagi.
"Yup. Aku tidak ingin dilindungi oleh Nii-chan. Setidaknya aku ingin sejajar denganmu. Itu sebabnya aku tidak ingin kamu membuatku menjadi adikmu. Oleh karena itu, aku bilang 'Haruskah aku membuatmu menjadi kakak ?!'."
Setelah selesai mengatakan itu, dia menunduk dan tersipu.
"Tapi, aku yang ingin manja-manjaan dengan Nii-chan juga benar. Aku ingin bersenang-senang selama waktu yang kita habiskan bersama, aku ini seorang Onee-chan saat ada saudara lainnya, bukan? Putri sulung ? Aku sedang dalam posisi yang mengharuskanku untuk bertindak dengan tanggung jawab."
"Y-ya, kau benar."
"Itu sebabnya saat hanya ada kita berdua, aku ingin dimanjakan oleh Nii-chan sebanyak mungkin ..."
Isi hati seorang gadis sangatlah rumit, tetapi tidak serumit hati kecil Tomomi.
"Kau tidak ingin aku membuatmu menjadi adikku, tapi kau ingin dimanjakan olehku ... jadi itu maksudmu?."
"Jika Nii-chan tidak keberatan dengan itu, aku siap membalas pertandingan menggelitik  atau bertanding meminum soda sekali teguk. Aku sudah menyiapkan banyak pertandingan."
"Tapi bukannya kau ingin dimanja?"
Tomomi mengerutkan bibirnya dan memutar tubuhnya.
"Aku hanya ingin Nii-chan memperhatikan diriku! Tapi, dimanja bukanlah satu-satunya hal yang aku inginkan. Aku sendiri tidak tahu perasaanku. Layar Statusku telah menunjukkan bahwa aku dalam keadaan 'bingung' untuk sementara waktu sekarang."
Dia membuat wajah bermasalah dan mengangkat alisnya.
"Te-tenang. Pertama-tama, ambil napas dalam-dalam."
* Suu ... haa ... suu ... haa! * , Bahkan saat Dia mengambil napas dalam-dalam Tomomi terus gelisah.
"Aku belum memenangkan pertandingan apapun, tapi apa aku boleh meminta sesuatu dari Nii-chan?"
"Selama itu sesuatu yang bisa aku lakukan."
"A-Aku ingin pangkuan bantal."
Jika dia sudah setenang itu, maka tak masalah. Saat aku mengangguk, Tomomi melompat dan jatuh tepat di sebelahku, dia meletakkan kepalanya di atas pangkuanku.
"Jadi ini yang namanya pangkuan bantal Nii-chan, rasanya sedikit tinggi."

Aku menanggapinya dengan candaan.
"Memang, Kelihatannya penyesuaian ketinggiannya kurang bagus."
Meski kepalanya di atas pangkuanku, Tomomi membiarkan semua kekuatan di tubuhnya melemas.
"Apa kau merasa tenang?"
"Rasanya nyaman sekali, Nii-chan. Umm ... Nii-chan, apa kau tahu tentang Papa?"
"’Papa’ maksudmu ... tentang Jinya-san?"
Kesadaranku tentang beliau sebagai ayahku cukup ambigu ... mungkin itulah alasanku memanggilnya 'Jinya-san'.
Untuk Tomomi Taishido, Jinya juga ayahnya.
"Yup. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Apa kamu pernah, Nii-chan?"
"Ya, pernah. Tapi, aku tidak tahu kalau beliau adalah ayahku. Seorang paman baik yang terkadang datang bermain ... itulah yang kurasakan."
"Hee. Jadi Papa orang yang baik ya."
"Ia mendengarkan semua permintaanku ... tapi saat aku mengingat itu, rasanya seperti bukan seperti seorang ayah. Sebaliknya, rasanya lebih seperti tukang sihir atau Santa Claus."
"Apa-apaan itu? Aku tahu kalau identitas asli Santa Claus adalah Papa, tapi untuk identitas asli Papa adalah Santa Claus?"
"Itu perumpamaan yang aneh, tapi memang seperti itu kesannya. Memang rasanya samar, tapi gambaran seorang ayah yang aku miliki adalah orang yang kuat dan menakutkan. Tapi, Jinya-san jauh dari gambaran itu ..."
Tomomi menanggapi dengan "Hmmm"  penuh emosi. Aku terus bercerita.
"Lebih penting lagi, apa kau benar-benar tidak pernah bertemu dengannya?"
"Iya."
Dia mengangguk.
"Omong-omong, apa yang kau lakukan sebelum  datang ke sini? Kau tidak pernah datang ke sini untuk bertemu Jinya-san, ‘kan?"
"Yeah. By the way, aku selalu berada di rumah saudara Mama. Aku tidak ingat dengan baik, tapi tampaknya aku ini anak yang bermasalah ... itulah yang aku pikirkan sekarang. Lagipula, kerabatku terasa seperti orang asing ... mereka bukan keluargaku."
Ketika Tomomi bergumam dengan nada depresi, aku mulai membelai kepalanya.
"Hei! Nii-chan, itu pelanggaran!"
"Ma-maaf. Jadi, Kau ingin digelitik?"
"Bukan itu maksudku ... aku hanya terkejut karena itu mendadak sekali. Umm ... aku tak keberatan kalau kamu terus melakukan itu. Gunakan serangan kejutan semua yang Nii-chan punya! Aku menerima tantanganmu!"
Tomomi mengalihkan wajahnya saat ia berbaring di pangkuanku, tapi itu bukanlah nada seseorang yang sedang marah.
Lalu, Dia berkata lagi.
"Nii-chan, ceritakan lebih banyak tentang Papa."
"Walau kau bertanya padaku, aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan ..."
Tomomi sama sekali tidak mengetahui apapun tentang Taishido Jinya, mungkin hal ini juga berlaku pada Selene, Sayuri, Yuuki serta Mika. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi Beliau hanya bertemu denganku, putra sulungnya ... Dia adalah seorang ayah yang buruk.
"Apa pun tak masalah. Sudah berapa kali kamu bertemu?"
"Sekitar sebulan sekali."
"Apa yang kamu lakukan saat bertemu Papa?"
Fakta bahwa hanya aku yang diberi perlakuan istimewa menusuk ke dadaku seperti jarum. Sepertinya Tomomi menebak apa yang aku pikir dan berkata dengan ceria.
"Kamu tidak perlu merasa bersalah karena diriku. Aku sendiri yang menanyakannya."
Aku merasa lega di dalam pikiranku.
"Umm ... kami pergi keluar untuk makan bersama-sama. Selain itu, Ia membawaku ke mall dan membelikanku beberapa mainan. Seperti yang sudah aku bilang, Ia seperti Santa Claus yang datang sekali dalam sebulan. Ia mendengarkan apa pun permintaan egoisku."
"Apa Ia orang yang baik?"
"Ya, Ia adalah orang yang lembut."
"Begitu ya..."
Tomomi membalas dengan nada kesepian.
"Dengar, aku juga ... kita juga diberi dukungan, bukan hanya Nii-chan yang istimewa."
Dia mengkhawatirkan tentang diriku.
"Hei Tomomi, mengenai dukungan dan semua yang sudah ada . Aku pikir kita perlu berbicara dengan Murasaki-san."
Dia mendongakkan kepalanya dan berbalik menatapku.
"Kalau begitu, ayo pergi sekarang, Nii-chan!"
"Sekarang?"
"Jika kita pergi, lebih cepat lebih baik."
"Kau benar. Kalau begitu, ayo pergi."
Aku bangkit dari sofa, Tomomi yang ada di sampingku menggeleng dengan penuh semangat.
"Aku takkan membiarkan Nii-chan pergi sendiri."
"Kau akan membantuku untuk membujuknya?"
"Yup. Karena aku ini ‘kan putri sulung. Karena aku sejajar dengan putra sulung, Kau dapat mengandalkanku. Aku ingin meminjamkan kekuatanku untuk Nii-chan."
Dia mengatakan begitu bangga dan sombong sambil menepuk dadanya. Aku mengangguk sambil mengalihkan tatapanku  dari tonjolan yang mengeluarkan suara *boing*.
"Maaf ... tidak, terima kasih Tomomi. Ini sangat menggembirakan."
"Jika aku tidak salah, dia ada di kamar 202."
"Eh? Kenapa kau bisa tahu  kamar Murasaki-san?"
"Umm, ya! Aku mendengarnya dari Mika. Ayo segera ke sana, Nii-chan?"
"Tapi apa ini tak apa-apa? Hari ini adalah giliranmu, Tomomi, bukannya kau ... ingin dimanjakan?"
"Ngga apa-apa, ngga apa-apa. Ayo kita selesaikan pembicaraan cepat dan selama Nii-chan mempedulikanku itu semua okaay ."
Meski begitu, dia tidak mau menjadi adikku …... bukan...
Tanganku ditarik oleh Tomomi, dan kami meninggalkan ruangan bersama-sama.

uuuu

Setelah turun ke lantai dua dengan lift, kami berdiri di depan kamar 202 yang ada di sebelah ruangan Mika. Tentu saja hari ini, kunci elektrikku tidak bereaksi ke kamar 201 atau 202.
Tomomi dan aku menyilangkan tangan tepat di depan pintu.
"Jenis penyergapan seperti apa yang bagus, Nii-chan?"
"Heyy, siapa juga yang mau nyergap ... apa kita tidak bisa membunyikan bel pintu dengan normal?"
"Tapi kita tidak bisa memberi kejutan jika seperti itu kan? Kalau kita menyerangnya dari depan, kita bisa menyerang pertahanannya. Kita perlu menyerang musuh dari sudut yang tidak diharapkan dan mendorong untuk menang!"
Teori pendekatan taktis miliknya. Baginya bisa memikirkan gagasan seperti itu, dia benar-benar seorang gamer pro ...  aku merasa terkesan.
Ada beberapa poin yang benar mengenai apa yang dikatakan Tomomi.
Untuk menerobos penjagaan Murasaki-san, kita mungkin perlu mengambil tindakan khusus. Tapi, akan lebih baik lagi jika kita tidak menyinggung perasaan dirinya.
Tomomi mengintip ke kamera interkom.
"Aku punya ide."
"Sebelum kita menjalankannya, apa kau bisa jelaskan idemu itu?"
"Fakta bahwa Nii-chan mungkin akan datang sudah dalam dugaan Murasaki-san. Pertama, aku akan memanggil Murasaki-san sendiri. Nii-chan akan berjongkok di depan pintu sehingga Nii-chan tidak kelihatan di kamera."
"Oh-ho, aku paham. Terus?"
"Aku akan memanggil Murasaki-san dengan mengatakan 'Ada sesuatu yang ingin kubicarakan'. Saat Murasaki-san membuka pintu, Nii-chan akan muncul. Dan kemudian, Nii-chan akan meletakkan kaki di celah pintu sehingga tidak bisa ditutup."
"Tapi bukannya itu berarti, Murasaki-san yang sedang terkejut akan menutup pintu dan kakiku akan terluka?"
"Tahan itu, Nii-chan. Ada adegan seperti itu di film dan game detektif. Jika kamu mencemaskan sedikit rasa sakit, maka semuanya akan TAMAT. Jika Nii-chan tidak ingin melakukannya, bagaimana kalau aku saja yang melakukannya?"
"Ba-Baiklah. Ayo lakukan rencana itu."
Aku berjongkok di dekat dinding sebelah kanan pintu masuk dan bersembunyi di titik buta pintu, kakiku sudah bersiaga.
Di bawah interphone, Tomomi menurunkan tubuhnya. Kami akan terlihat seperti orang yang mencurigakan jika ada orang lain yang melihat adegan ini.
"Baiklah, Ayo bersiap Nii-chan."
Tomomi menekan tombol interphone, tapi tidak ada jawaban. Dia mungkin tidak ada di dalam, atau mungkin dia tidak ingin menjawab setelah melihat wajah Tomomi dari kamera.
Saat aku masih memikirkan itu, pintu kamar 202 tiba-tiba terbuka dan Murasaki-san melangkah keluar.
Terlebih, dia setengah telanjang.
Tubuhnya hanya ditutupi dengan handuk tipis. Rambutnya yang sebagian basah tidak ditutupi dengan apa pun. Di kulitnya, tetesan air yang meluncur bisa terlihat.
Aroma lembut sabun bisa tercium darinya.
Tampaknya, Murasaki-san bergegas keluar dari kamar mandi untuk menjawab. Sekarang dia mengangkat suaranya panik.
"Apa yang terjadi Mika-sa ..."
Garis pandang Murasaki-san telah menangkap keberadaanku.
Sejak nama Mika muncul, dan Murasaki-san menurunkan tatapannya ... itu berarti dia salah paham dan berpikir kalau yang memanggilnya adalah Mika.
Dia melihat kalau aku sedang berjongkok di sudut yang nampak seakan aku mencoba melihat pantatnya.
"KYYAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa"

"Maaf, aku minta maaf! Ini … umm, eh, Cuma salah paham!"
Aku juga ikut berteriak.
"Eh, err, Murasaki-san, Nii-chan memiliki sesuatu untuk dibicarakan!"
Murasaki-san kehilangan ketenangannya dan berusaha menutup pintu. Tomomi juga merasa bingung dan dia berusaha menahan pintu agar tidak bisa ditutup Murasaki-san.
"Tunggu Murasaki-san! Tolong dengarkan dulu apa yang Nii-chan katakan!"
"Tiiidddaaaaaaaaaaaaaaakkkkkk!"
Pada awalnya Murasaki-san mencoba untuk menutup pintu dengan satu tangan, tapi kemudian menggunakan keduanya. Dan saat itulah ... handuk yang melilit tubuhnya mulai terlepas.
Tepat sebelum pintu ditutup dengan bunyi keras, penampilan Murasaki-san yang mirip seperti bayi yang baru dilahirkan telah terbakar kuat ke dalam ingatanku.
Semenit kemudian, Tomomi dan aku melihat smartphone-ku saat e-mail dari Murasaki-san mengatakan 'Tunggu 10 menit.'.
Tepat sepuluh menit kemudian, Murasaki-san muncul di depan kami dengan rambut yang kering dan mengenakan jas.
Dia mengenakan kacamata tanpa bingkai. Begitu ya, jadi dia biasanya memakai lensa kontak.
Meski begitu, dia sangat tenang seakan teriakannya beberapa waktu yang lalu tak pernah terjadi.
Murasaki-san mengangguk ringan.
"Aku minta maaf atas gangguan tadi."
Aku menjawab dengan panik.
"A-Aku juga meminta maaf. Harap jangan dipikirkan."
Ah, apa yang sudah aku katakan. Murasaki-san tidak berekspresi dan wajahnya seperti topeng noh. Dia mengundang Tomomi dan aku untuk masuk ke dalam.
"Kamu memiliki sesuatu yang ingin dibicarakan. Apa bisa diceritakan lebih rinci?"
"Maaf mengganggu."
"Nii-chan, Kamu tadi melihat Murasaki-san dalam keadaan telanjang, bukan?"
"H-hei! Apa yang kau katakan ..."
Tomomi menyikutku, tatapannya terlihat mengarah ke wajah Murasaki-san.
Ekspresinya tidak berubah sama sekali, Setelah meyakinkan itu, Tomomi melemaskan bahunya dengan santai.
Sepertinya di sepuluh menit tadi, Murasaki-san sudah memasuki mode penuh penjagaan.
Kami berjalan ke ruang tamu. Hanya ada peralatan dan furnitur sederhana, bahkan tidak ada TV di sana.
Langit di luar jendela ditutupi dengan awan tebal, Ruangan itu remang-remang.
Murasaki-san menyalakan lampu, Tomomi dan aku duduk di sofa berdampingan. Setelah aku duduk, Murasaki-san mulai menatap wajahku.
"Apa urusanmu."
"Um, tentang sebelumnya ... aku minta maaf."
"Apa maksudmu?"
Kata-katanya tidak menunjukkan kalau dia marah, tapi Murasaki-san tampak dingin dan jauh. Tomomi sekali lagi menjelaskan dengan lancang.
"Maksud Nii-chan, fakta kalau Ia melihat Murasaki-san telanjang."
Tomomi mungkin mencoba untuk membuat marah Murasaki-san.
Tapi Murasaki-san langsung membalas tanpa jeda sedikitpun.
"Itu kecerobohanku. Aku yakin kalau Mika datang untuk bermain ... tidak, aku memiliki pemikiran yang keliru bahwa ada masalah yang mendesak dan segera membutuhkan bantuanku."
Penampilannya tidak berubah, tapi Murasaki-san mungkin ... gemetaran.
"Ayo Nii-chan, kembali ke topik utama!"
Tomomi mengedipkan mata kepadaku, sepertinya dia melihat keadaan aneh Murasaki-san juga.
"Umm, Murasaki-san. Apa kau bisa memberitahu kami mengenai situasi ini? Meski sekarang sudah melewati batas waktu dua minggu, aku masih belum memutuskan untuk memilih siapa yang akan jadi adikku. Seharusnya dukungan yang diberikan sudah berhenti dan semuanya akan berpisah, bukan? Mengapa hal itu tidak terjadi?"
Murasaki-san menatapku sejenak.
"Aku tidak bisa menjawab itu."
Marah karena Dia menolak untuk menjawab, Tomomi mengangkat alisnya.
"Kenapa tidak bisa menjawab?"
"Aku tidak bisa mengungkapkan wasiat almarhum."
Sekali lagi, ini karena apa yang dikatakan di wasiat ......
Saat aku memikirkan tentang hal itu, aku mengingat ketika pertama kali mendengar tentang hal itu, aku merasa kewalahan dengan kata-kata ini.
Surat wasiat macam apa yang sudah Taishido Jinya tinggalkan?
Tomomi mulai merasa tidak sabaran.
"Kalau begitu, kita bisa tetap seperti ini selamanya?"
"Aku tidak bisa menjawab itu."
Sementara Tomomi mengucapkan kata-kata ini dengan bersemangat, Murasaki-san membalasnya seolah-olah dia adalah dinding es.
Suasana mulai memanas dan tampaknya bisa meledak kapan saja. Aku juga merasa kesal saat hanya mendengar jawaban 'Aku tidak bisa menjawab itu’, tapi itu juga fakta kalau kami bisa hidup seperti ini berkat dirinya.
Dan bahwa kita bisa menjadi seperti sekarang, juga berkat Murasaki-san yang mempersiapkan segalanya.
"Kenapa kamu tidak mau menjawabnya!"
Ketika Tomomi gemetar karena marah, aku menepuk-nepuk lembut bahunya untuk menenangkannya.
Seharusnya aku yang marah.
Tapi aku tidak bisa. Aku tidak berpikir kalau Murasaki-san adalah orang yang dingin. Dia menyukai Mika, meski keliru mengenai Mika, dia langsung melangakah keluar untuk menemuinya meski sedang berada di kamar mandi.
"Tomomi, Murasaki-san menjalani tugasnya untuk melindungi kerahasiaan. Aku pikir dia takkan mengatakannya sekarang."
Murasaki-san tidak bereaksi terhadap kata-kataku. Dia tidak membenarkan atau membantah. Itu tampak seperti ada 'sesuatu' yang mengikat mulut Murasaki-san. Tomomi hanya bisa mendesah.
"Nii-chan juga harus marah padanya."
Tomomi menunduk dan mengucapkan itu. Murasaki-san berbalik ke arahku sekali lagi.
"... Maaf, Tolong pergi sekarang."
Dia menunduk meminta maaf.
Rencana kita datang kesini adalah untuk memeriksa apakah kita bisa membuatnya bicara untuk memperbolehkan kita menghabiskan waktu lebih lama. Tidak, bahkan jika dia ingin mengungkapkan hal itu, aku tidak memiliki jaminan dia akan melakukannya.
Aku berdiri dari sofa.
"Um, kalau begitu ... aku akan memberitahu apa yang kurasakan. Mustahil bagiku untuk memilih satu orang. Jika aku harus memilih antara harta dan adik, aku akan memilih adik. Namun, karena aku seorang siswa SMA yang tidak memiliki uang ... itu sebabnya, Jujur saja. aku tahu kalau ini keegoisanku. Tapi setidaknya tolong jangan hilangkan dukungan untuk semua adikku."
"Aku harap kamu bisa meninggalkan ruangan ini."
Sepertinya tidak ada yang aku bisa harapkan lagi. Murasaki-san sekali lagi terdiam dan tertunduk.
*****
Tomomi langsung menggembungkan pipinya seusai meninggalkan kamar 202.
"Nii-chan, kenapa kau membantu Murasaki-san! Apa kau senang karena melihat tubuh telanjang dewasanya?"
"Kau salah! Itu kecelakaan!"
"Hhmmp ... hey, mungkinkah Nii-chan lebih menyukai gadis yang lebih tua? Apa gadis yang lebih muda tidak tertarik? Apa usia yang sama masih masuk di zona aman?"
"Mengapa kau mendadak bertanya begitu?"
"Omong-omong, bagaimana teman sekelas masa kecilmu itu?"
"I-Ini tidak ada hubungannya dengan Mariko, ‘kan?"
Begitu aku berbicara nama Mariko, Tomomi menjadi lebih cemberut. Jangan tersinggung hanya karena aku tidak memberitahumu.
"Hmph! Oh iya, Nii-chan! Ayo kita makan burger untuk menghibur diri kita sendiri! Aku dengar ada menu baru di sana."
Menu baru yang dia bicarakan pasti burger pedas. Hanya mengingat itu saja sudah membuat bibirku membengkak. Apalagi makan selama dua hari berturut-turut, bibirku tak bisa menahannya.
"Maafkan aku tentang itu Tomomi. Sebenarnya, aku sudah makan itu kemarin bersama Selene. Itu benar-benar sulit. Makan dua hari berturut-turut  sedikit ..."
"Jadi Nii-chan benar-benar pergi kencan dengan Selene ?!"
"Karena Selene sedikit hikkikomori, aku ingin membuat dia ke luar untuk sementara waktu."
"Begitu ya ... Kamu bukan hanya Nii-chan-ku. Yup! Kalau begitu, ayo pergi ke sebuah restoran keluarga, dan bermain monhun dengan ponsel kita sampai tengah malam!" (TN : Monster Hunter)
"Aku tidak akan bermain denganmu, tapi aku tak keberatan menemanimu ke sebuah restoran keluarga."
Lagipula, kami berdua tidak ada yang bisa memasak.
Ada restoran keluarga bergaya Italia yang disebut 'Saesulia' di dekat halte bus. daging doria dan minuman di sana harganya lumayan murah.
"Kencan bersama Nii-chan, kencan, kencan! Menyenangkan sekali~ aku sangat senang~ !!"
Tomomi dan aku turun ke lantai pertama. Kami pergi ke luar melalui pintu masuk lobi, dan kakiku berhenti sesaat.
Angin kencang berhembus dari luar pintu masuk. Langit berubah menjadi putih sesaat dan suara gemuruh keras datang dari jauh.
Sepertinya ada petir. Itu besar dan dekat sekali.
Seolah sebagai pertanda, hujan mulai turun dari awan yang tebal. Saat hujan deras terus menyentuh tanah, aku langsung berpaling untuk melihat wajah Tomomi.
"Bagaimana kalau nanti saja?"
"Kapan?"
“Misalnya ... minggu depan."
Tomomi menggeleng dengan penuh semangat.
"Ngga, Ngga, Ngga, NGGA MAAUUUUU! Aku ingin hadiah karena sudah bekerja sama dengan Nii-chan hari ini !!"
"Tapi cuacanya hujan begini, dan layanan antar pun mustahil juga ... hhmm gawat nih."
"Nii-chan bodoh! Aku ingin pergi kencan juga! Ayo ambil payung dan pergi!"
"Kalau pakai payung nantinya tertiup angin."
Tiba-tiba nada suara Tomomi mulai mengencang.
"NII-CHAN BODOH! KAMU BISA MAKAN SENDIRIAN SAJA SANA!"
"H-hei Tomomi!"
Tomomi langsung berubah dari modus Onee-chan  menjadi modus adik ... atau lebih tepatnya, mode anak manja. Dia masuk ke dalam lift dan menekan tombol, pintu lift langsung ditutup.
Tanpa aku sadari, aku sudah tertinggal di aula pintu masuk. Jujur, aku tak berpikir Tomomi akan bertingkah seperti itu. Aku punya firasat buruk tentang ini. Aku harus mengejarnya!
Aku berlari menaiki tangga menuju lantai enam. Jantungku berdegup kencang, kakiku mulai terasa sangat berat karena aku mendadak berlari.
Namun, aku terlambat, tidak bisa mendahului lift.
Aku lalu beralih menuju ke kamar 601 dengan napas ngos-ngosan. Bahkan jika itu terkunci dari dalam, kunci elektrik masih bisa membuka pintu ruangan Tomomi, jadi tak ada gunanya untuk lari. Tapi kupikir hal itu sudah terlambat.
Aku mencoba memanggil Tomomi melalui interphone tapi tidak ada balasan.
Aku membuka pintu ... atau lebih tepatnya mencoba. Pintu berhenti setelah membuka sedikit. Ada kunci rantai yang terpasang dari dalam.
Tomomi pasti sangat marah. Aku mencoba untuk memanggilnya melalui pintu yang terbuka sedikit.
"Heey Tomomi! Tomomi-chan! Tomomi-san! Tomomi-oneechan!"
Tidak ada balasan. Saat aku berpikir untuk menyerah, ada suara gemuruh yang mirip petir dari dalam ruangan. Sepertinya dia mulai bermain game.
Suaraku pasti tenggelam dalam berisiknya suara tembakan.
Tidak ada balasan saat aku mengiriminya email dari smartphone-ku. Sepertinya  akan menjadi gangguan bagi tetangga jika aku meninggalkan pintu terbuka.
Aku menyerah dan menutup pintu. Aku benar-benar tertinggal di luar tanpa mengetahui  mengapa hal ini bisa terjadi.
Untuk sementara waktu, aku kembali ke lorong pintu masuk di lantai pertama, dan melalui pintu depan yang terbuat dari kaca, aku melihat di luar dengan linglung. Aku mencari spanduk dan papan iklan untuk toko yang bisa kita kunjungi.
Aku mencoba mengirim pesan ke Tomomi sekali lagi.
Tapi apa yang harus aku katakan untuk memperbaiki suasana hatinya?
Rasanya akan bagus jika aku bisa menulis 'Ayo pergi ke restoran keluarga sekarang!' untuk menerobos badai nya kemarahan, tapi aku tidak bisa melakukannya di hari yang penuh angin dan guntur.




close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama