“Bagaimana denganya? Watarase
Mamizu. ”
Keesokan harinya, usai sekolah,
Kayama dan aku sedang makan es krim di depan minimarket dalam perjalanan pulang
saat dia tiba-tiba bertanya padaku pertanyaan ini.Dia yang membayar es krimku,
seolah-olah sebagai imbalan atas apa yang telah aku lakukan. Aku dengan
linglung mengingat peristiwa kemarin saat aku menjilat es krimku.
“Yah, dia benar-benar cantik,”
jawabku, berpikir bahwa ini bukanlah yang ingin Kayama dengar.
“Bagaimana penyakitnya?” Tanya
Kayama.
“Siapa yang tahu?” Kataku,
bahkan aku sendiri mempertanyakan apa ini tidak masalah untuk mengatakan
sesuatu seperti ini. “Kayama, apa kau mengenalnya?”
“Di masa lalu, sedikit,” kata
Kayama ambigu.
“Kalau dipikir-pikir lagi, apa
orang tuanya bercerai?” tanyaku, karena sedikit penasaran tentang hal itu.
“Yeah, mungkin,” kata Kayama. “Dulu,
nama keluarganya adalah Fukami.”
Kami tidak bisa makan es krim
selamanya, jadi setelah itu, kami pindah ke stasiun dan naik kereta.
Hanya ada satu kursi kosong,
jadi aku yang duduk. Kayama berpegangan dengan dengan pegangan yg menggelantung
dan dengan lesu menatap ke luar jendela.
“Aku punya permintaan satu lagi
,” katanya.
Di luar jendela, hijaunya
pepohonan dan daerah pemukiman bisa terlihat.
“Apa bisa kau menemuinya sekali
lagi?”
“Hah?”
“Tanyakan padanya kapan
penyakitnya akan membaik.”
Apa
yang orang ini katakan? pikirku. aku sudah merasa kebingungan saat
Ia memintaku untuk kembali ke kamar rumah sakit itu, tapi sekarang aku tidak
tahu apa yang dia pikirkan.
“Tanya sendiri saja sana,”
kataku, sedikit muak.
Selama percakapan ini, kereta
tiba di stasiun yang biasa Kayama gunakan.
“Dan jangan sebutkan namaku ke
Watarase Mamizu.” Dengan kata-kata terakhir itu, Kayama turun dari kereta dan
pergi tanpa kembali.
“Oi, tunggu. Apa sebenarnya
maksdumu? ”aku berteriak padanya.
Pada saat berikutnya, pintu
kereta ditutup dengan desisan yang menyerupai karbon dioksida yang dilepaskan
dari sebuah minuman bersoda dan kereta mulai bergerak.
… Seperti biasa, aku tidak tahu
apa yang Ia pikirkan
uuu
Ketika aku pergi ke kamar rumah
sakit, Watarase Mamizu tidak ada di ruangannya.
Tempat tidurnya kosong.
“Watarase Mamizu sedang melakukan
pemeriksaan,” kata seseorang.
Aku buru-buru berbalik ke arah sumber
suara itu datang dan melihat seorang wanita tua yang tampak baik berbicara padaku.
Dia tidak tahu kapan Mamizu
akan kembali, tapi karena aku sudah datang jauh-jauh ke sini, aku memutuskan
untuk menunggu sebentar.
Bola salju ada di meja samping
tempat tidur.
Aku mengambilnya dan mengguncangnya,
meniru cara yang dilakukan Mamizu kemarin.
Salju berjatuhan di dalam Snow
globe. Merasa ada semacam rahasia tersembunyi di dalamnya, aku menatapnya untuk
beberapa waktu. Tentu saja, tidak peduli berapa lama aku melihatnya, tidak ada
yang berubah.
Aku mencoba terus menggoyangkan
Snow globe seperti orang gila. Ada badai salju di dalamnya. Terbawa suasana,
aku mengguncangnya dengan keras.
Di saat berikutnya, tanganku
licin, dan…..
Snow globe meluncur bebas dari
peganganku dan jatuh , jatuh secara vertikal dan menghantam lantai kamar rumah
sakit.
Prangggg!
Suara yang keras bergema.
Sekarang
aku harus cepat pergi, pikirku dengan putus asa.
“Oh, itu kamu, Takuya-kun.”
Suara Mamizu terdengar dari
belakangku, dan aku berbalik karena terkejut.
Sungguh waktu yang buruk.
“Ah.”
Sedikit terlambat, dia melihat
pecahan kaca di kakiku. puing puing Snow globe, hancur berkeping-keping dan
tersebar di lantai. Aku bisa dengan jelas melihat ekspresi suramnya
“Apa kamu baik baik saja?
Takuya-kun, apakah kamu terluka? ”Tanyanya sambil bergegas, terlihat kesal.
“Aku baik-baik saja, tapi … Aku
benar-benar minta maaf,” kataku. Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
Mamizu mengulurkan tangan ke
arah pecahan kaca.
“Aduh!” Dia tersentak.
Sepertinya serpihan itu
menyeset jarinya.Beberapa saat kemudian, cairan merah menembus kulitnya dan
mengalir keluar.
“Tenang,” kataku buru-buru.
“aku akan pergi dan membawakanmu plaster
sekarang. Aku akan membersihkan ini, jadi tetap di tempat tidurmu. ”
Mamizu merangkak tanpa kata ke
tempat tidurnya dan duduk dengan punggungnya bersandar di dinding.
Aku membawa plester dari ruang
perawat dan menyerahkannya kepada Mamizu. Dan kemudian aku dengan-diam
mengumpulkan pecahan kaca.
Setelah membersihkan sebagian
besar serpihan kaca, aku pergi untuk melempar pecahan gelas ke tempat sampah di
luar kamar rumah sakit.
Saat aku kembali, Mamizu
menatap kosong pada isi Snow globe. Dia sedang memegang nya, yang hanya tinggal
dasarnya saja dan rumah kayu mini yang tersisa, di mana salju tidak lagi jatuh.
“Mau gimana lagi. Segala
sesuatu yang memiliki bentuk akhirnya rusak.. rasanya seperti tidak ada makhluk
yang tidak mati. “Dia meletakkan benda itu ke meja samping tempat tidur.
“Mungkin lebih baik kalau itu rusak,” katanya.
Suaranya entah bagaimana
terdengar seperti dia menekan emosinya.
“Kenapa kau berkata seperti itu?”
Aku bertanya, meski akulah orang yang memecahkan bola salju itu.
“Karena aku merasa lega bisa
meninggal tanpa memiliki sesuatu yang penting bagiku,” katanya. Itu jawaban
sangat aneh. “bicaralah, Takuya-kun, berapa lama lagi aku harus hidup?”
Bahkan jika dia menanyakan itu
padaku, aku sama sekali tidak tahu. Jujur saja, aku belum pernah mendengar ada
kasus orang dengan penyakit luminesensi yang berumur panjang. Tapi setidaknya
dari penampilan, dia tidak tampak seperti orang dengan penyakit yang tak
tersembuhkan.
“Aku tidak tahu,” jawabku,
sambil terus memikirkannya.
“Harapan hidupku yang tersisa
adalah nol,” kata Mamizu. Suaranya benar-benar natural. “Aku seperti hantu.
Sekitar satu tahun lalu, aku diberi tahu bahwa aku memiliki sisa waktu satu
tahun, dan satu tahun berlalu seperti biasa … sebenarnya, aku seharusnya sudah
meninggal.Meski begitu, aku cukup sehat. Aku ingin tahu apa maksud nya ini? ”
Caranya berbicara seolah-olah
dia berbicara tentang orang lain.
Mengapa dia mengatakan ini
padaku, seseorang yang baru saja dia temui?Aku merasa heran.
Pada saat itu, aku merasa
gelisah di dalam diriku.
Aku benar-benar tidak tahu
mengapa aku merasa sangat kecewa. Emosi apa ini? Bahkan setelah memikirkannya, aku tidak tahu
emosi apa yang kurasakan ini.
uuu
Bahkan setelah kembali ke
rumah, aku masih memikirkan Watarase Mamizu. Aku berbaring di sudut ruang tamu,
di depan butsudan*, dan terus berpikir.
(TLN: butsudan adalah altar kecil Budha yang biasa ada di
rumah-rumah.)
Aku ngga paham. nggak paham apa
yang ada di dalam pikirkannya. Tidak peduli berapa banyak aku berpikir, aku
bahkan tidak bisa menebaknya.
Dia masih remaja.
Kebanyakan orang merasa putus
asa saat mereka akan mati. Mereka menjadi pesimis. Mereka merasa tak berdaya.
Dan kemudian mereka menerima nasib mereka dan tersiksa oleh perasaan tidak
berdaya.Mereka menjadi hampir pikun. aku merasa itu seperti ketika kakekku
melewati usia delapan puluh tahun dan meninggal.
Tapi cara Mamizu berbicara
terdengar bagiku seolah-olah dia ingin mati.
Kenapa bisa begitu? Aku merasa
penasaran.
Dan kemudian, karena aku merasa
seperti itu, akupun menyalakan dupa dan membunyikan benda seperti mangkuk yang
terbuat dari logam yang namanya aku tidak tahu.
Di depan butsudan, ada foto
kakak perempuanku, tersenyum dengan seragam pelaut.
Okada Meiko. Lima belas tahun
pada saat kematiannya.
Kakak perempuanku tertabrak mobil
dan meninggal ketika aku masih kelas 1 SMP.
Tanpa kusadari, aku sudah
menjadi siswa SMA, sama seperti Meiko.
Seperti apa ketika Meiko
meninggal?
Apa yang dipikirkannya pada
saat saat terakhir?
Mendadak, aku memikirkan hal
ini.
Hei,
Meiko.
Aku
bertemu dengan gadis yang bernama Watarase Mamizu. Dia terlihat lemah, tapi
sepertinya dia sama sekali tidak takut mati.
Tapi
kau tahu. tetap saja.
Seperti
apa rasanya bagimu, Meiko? Aku bertanya dalam diam, tapi tidak ada
tanggapan dari kakak perempuanku di foto itu. Itu memang sudah aku duga.
Sudah waktunya tidur, dan meski
aku sudah berbarng di tempat tidurku, aku tidak bisa tidur nyenyak malam itu.
Entah kenapa, wajah Watarase Mamizu selalu muncul dalam pikiranku dan tidak
pernah hilang.
“Aku
ingin tahu kapan aku akan mati?”
Suaranya masih bergema di dalam
otakku. Bagaikan lirik lagu yang aku sukai atau salah satu lagu komersil aneh
yang tersangkut di kepalaku, suaranya berulang tanpa henti.
uuu
Keesokan harinya, ketika tiba
di sekolah dan membuka tasku, sekotak Almond
Crush Pocky muncul dari situ.
Apa
yang harus aku lakukan dengan ini? pikirku.
Karena kejadian itu , aku
kehilangan kesempatan untuk memberikannya pada Mamizu.
Setelah terus berpikir dan
merenungkan ini, aku memutuskan untuk pergi ke sana sekali lagi setelah pulang
sekolah, hanya dengan tujuan untuk memberikan ini padanya.
Aku bahkan mempertimbangkan
caraku bisa sampai di sana.
Aku memikirkan bagaimana jika
mengunjungi rumah sakit dua hari berturut-turut mungkin menimbulkan masalah ,
dan bagaimana jika Mamizu mungkin tidak ingin melihat wajahku lagi setelah aku
memecahkan sesuatu yang sangat berharga baginya.
Setelah dipikir-pikir lagi,
rasanya aneh. Akan lebih baik jika dia marah dengan padaku waktu itu. aku akan
merasa lebih baik jika dia membentak dan meluapkan amarahnya padaku. aku
merasakan sakit yang tidak mengenakkan di perutku.
Kenapa aku mencoba untuk
terlibat dengannya, sampai harus mengalami perasaan-perasaan ini?
Aku bahkan merasa aneh. Aku heran kenapa aku melakukan ini,
pikirku.
Itu mungkin … Aku yakin itu
karena dia mirip dengan kakakku, Meiko.
Wajah mereka sama sekali tidak
mirip. Kepribadian mereka juga sangat berbeda. Tapi meski aku tidak bisa
mengungkapkannya dengan kata-kata, ada sesuatu yang mirip antara mereka.Cara
terdekat untuk menggambarkannya adalah atmosfer di sekitar mereka mirip. Saat
itu, Meiko mirip dengan Watarase Mamizu.
Ada sesuatu yang tidak pernah
aku mengerti tentang kematian kakak perempuanku
Aku punya firasat bahwa mungkin
aku bisa memahaminya jika aku menghabiskan waktu dengan Mamizu.
Aku berhenti di depan sebuah
ruangan dan menarik napas dalam-dalam. aku menghirup dalam-dalam dan
menghembuskannya dengan saksama.
Dan kemudian akhirnya
menguatkan tekadku dan masuk.
Sama seperti saat pertama kali
aku datang ke sini, Watarase Mamizu berada di tempat tidur paling jauh di dalam
kamar bersama ini. aku melihatnya sedang menatap notebook dan menulis sesuatu.
Itu notebook B5 merek terbaru. terbuka di atas meja rumah sakit yang memiliki
rol panjang dan tipis yang melekat padanya, dan menulis sesuatu . Dengan
pandangan menyamping dari wajah seriusnya, sulit untuk memanggilnya. Aku
sejenak ragu . Dan kemudian, seolah menyadari kehadiranku, dia mendongak dan
menatap wajahku.
“Jika kamu di sini, seharusnya
katakan sesuatu,” katanya. Dia menatapku dengan ekspresi curiga.
“Apa yang kau tulis?” Aku
bertanya.
Dia tampak normal. Perasaan
yang aku rasakan kemarin ketika kami berpisah, perasaan bahwa dia bisa hancur
kapan saja jika disentuh, telah menghilang. Bukan, mungkin karena itu, aku
merasakan semacam jarak di antara kami.
“Rahasia.” Dia mengangkat buku
catatan itu sehingga sampulnya menghadapku, seolah untuk menyembunyikan isinya.
“Baiklah,” kataku.
Yah, itu mungkin buku harian
atau semacamnya. Aku tidak akan mengejar topik itu , dan dengan lembut
meletakkan Pocky yang kubawa di ata meja.
“Wow, ini Almond Crush!” Mamizu
mengangkat Pocky dengan mata yang berbinar-binar.
“Boleh aku makan sekarang?” Dia
bertanya padaku. Saat aku mengangguk, dia membuka kemasannya dengan rapi dan
menggigit salah satu stik Pocky dengan sebuah kegentingan kecil. “Ini sangat
berbeda dari yang biasanya,” katanya.
Aku ingin tahu apa dia sangat
menyukainya sampai-sampai tersenyum riang begitu.
“Aku akan memberitahumu
sedikit,” katanya.
Untuk sesaat, aku tidak tahu
apa yang dia bicarakan, tapi aku segera menyadari bahwa yang dimaksud adalah
notebook tadi.
“Aku membuat daftar hal yang
ingin aku lakukan sebelum meninggal.”
Itu … sesuatu yang pernah aku
dengar sebelumnya. Sebelum kau mati, kau akan melihat kilas balik kehidupanmu
dan pada akhirnya, kau ingin menyelesaikan hal yang telah kau tinggalkan dan
memenuhi hasrat mu. Itu cerita yang umum, pikirku. Hal-hal seperti reuni yang
emosional, atau ingin bertemu orang terkenal.
“Selama tes kemarin, aku tanya
ke dokter. ‘Berapa lama lagi aku harus
hidup?’ Dan beliau membuat ekspresi yang rumit dan mengatakan sesuatu
seperti, ‘Saya sendiri tidak
tahu, tapi tampaknya kamu bisa bertahan setengah tahun lagi.’ Dasar
dokter yang tidak berguna, bukan? aku ingin tahu apa yang dia pikirkan tentang
hidup seorang manusia? Ngomong-ngomong, kupikir aku sebaiknya menggunakan waktu
berharga yang aku miliki dengan cara yang paling seberharga mungkin. ” Mamizu
mengatakan semua ini sekaligus, dan kemudian, di saat berikutnya, dia sedikit
mengerutkan kening.
“Tapi, kupikir itu mustahil.”
“Kenapa?” Tanyaku merasa
penasaran.
“Aku tidak boleh pergi keluar
rumah sakit. Kondisiku sangat buruk. Aku sudah diberitahu dengan tegas bahwa
aku dilarang pergi keluar ”
Pada saat itu, sebuah ide
tiba-tiba terpikir olehku.
Itu sama sekali bukan pemikiran
yang mengagumkan.
Aku hanya ingin tahu.
Apa yang tertulis di buku
catatan itu?
Entah kenapa, aku merasa sangat
penasaran.
Apa yang ingin dilakukan
Watarase Mamizu sebelum dia meninggal?
“Bagaimana kalau aku
membantumu?” Celetukku .
Mamizu menatapku, terkejut.
“Mengapa?”
“Aku ingin menebus
kesalahanku karena sudah memecahkan Snow globe-mu. aku tahu itu bukan
sesuatu yang bisa dibatalkan. Tapi aku merasa seperti kata ‘maaf’ saja tidak
cukup. Aku merasa itu terlalu datar.aku tidak tahu bagaimana mengatakannya
dengan benar, tapi …… apa pun itu, aku akan melakukan apapun jika itu adalah
sesuatu yang bisa aku lakukan. ”
“Aku ragu, apa itu beneran.”
Setelah diam sejenak, Mamizu membuka mulutnya lagi. “Apa kamu benar-benar mau
melakukannya?”
Nada suaranya sudah agak tinggi.
Dia berbicara seolah-olah dia sedang mengujiku.
“Pastinya. aku berjanji,
”kataku penuh semangat.
“Ah,” katanya. Dia menatapku,
matanya tiba-tiba terbuka lebar.”Sesuatu yang bagus baru saja terlintas dalam
pikiranku.”
Aku ingin tahu apa yang ada di
otaknya saat ekspresinya berubah dengan cepat. Ekspresinya yang sukar telah
berubah sepenuhnya, dan sekarang seperti langit yang berawan baru saja
dibersihkan.
“Katakan, apakah kamu mau
dengar?” Katanya.
Pada saat itu, aku merasakan
firasat aneh.
Jika
aku mendengarkannya berbicara lebih jauh, aku tidak akan bisa kembali, kan?
pikirku.
… Meski begitu, seolah-olah
terpesona oleh tatapannya, aku memberinya respon yang sederhana.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Dengan kejadian ini,
hubungan aneh antara diriku dan Watarase Mamizu dimulai.