XxxX
“Aku berpikir untuk menyuruhmu
melakukan ini, Takuya-kun,” kata Mamizu, tertawa sedikit malu. Senyumnya
terlihat kekanak-kanakan.
“… Hah?”
Aku tidak bisa menerima apa
yang dia katakan.
“Aku ingin kamu menggantikanku
melakukan hal-hal yang ingin aku lakukan sebelum aku meninggal . Dan kemudian
kamu datang ke sini dan memberi tahuku kesanmu tentang pengalaman-pengalaman
itu. ”
“Itu gila …” kataku, heran. Ada
seratus tanda tanya mengambang di dalam kepalaku.
Apa gunanya itu? Jika itu aku,
aku pasti merasa kesal jika ada orang lain melakukan hal-hal yang ingin
kulakukan tepat di depan mataku, pikirku. Tapi sepertinya Mamizu tidak berpikir
begitu.
“Lagi pula, apa boleh buat,
kan?Aku tidak diizinkan keluar. Tidak ada jalan lain. Bukankah kamu pikir itu
ide yang bagus? ”Kata Mamizu, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Dia mungkin ingin melakukan
hal-hal ini sendiri. Dia akan mempertimbangkan itu dulu. Tapi fakta bahwa ada
beberapa keadaan yang mencegahnya melakukan hal itu ,dengan cara, sesuatu yang
dapat aku pahami.
“… Yah, aku mengerti apa yang
ingin kamu katakan. aku hanya harus melakukan apa yang ingin kamu lakukan,
bukan? Jadi, ceritakan padaku apa yang ingin kau lakukan, ” kataku seraya merenungkan
idenya.
“Bagus sekali.” Tampak bahagia
karena suatu alasan, Mamizu tersenyum.
“Tidak baik memulai dengan yang
berat. aku kira kita akan melakukan nya dengan yang ringan terlebih dahulu. Aku
bertanya-tanya mana yang harus aku pilih? ”Katanya, membuka buku catatannya dan
menatapnya dengan tatapan serius.
Dan kemudian dia tiba-tiba
tersenyum. “Baiklah, aku sudah punya permintaan …”
Sejujurnya, aku hanya punya
firasat buruk tentang ini
“Aku selalu ingin pergi ke
taman hiburan sebelum aku meninggal.”
Menurut Mamizu, dia hanya
pernah sekali ke taman hiburan ketika dia masih kecil, bersama orang tuanya.
Dia tertarik dengan taman hiburan seperti sekarang karena dia lebih sadar
tentang dunia di sekelilingnya.
Karena itu adalah sesuatu yang
ingin dia lakukan sebelum dia meninggal, aku mengharapkan sesuatu yang lebih
spektakuler. aku sudah siap untuk sesuatu seperti salah satu mimpinya untuk
masa depan yang belum pernah terpenuhi. Tapi keinginannya seperti anak kecil,
seperti seseorang di kelas menengah kebawah. Jadi Aku sedikit kecewa pada
awalnya.
“Hah? … Itu artinya … ”Berpikir
tentang hal itu dan mengingat fakta bahwa orang yang melakukan ini adalah aku,
aku merasa bingung.
“Jadi Takuya-kun yang akan
pergi ke taman hiburan untuk menggantikan diriku.”
“Tidak, tunggu sebentar! … Kau
bercanda kan?”
“Aku serius, loh?” Kata Mamizu
tanpa tanda-tanda rasa malu, dan kemudian tertawa nakal.
uuu
Seminggu kemudian, untuk
beberapa alasan, aku datang ke taman hiburan yang terkenal di luar prefektur.
Tentu saja, sendirian.
Betapa menyedihkannya seorang
pria seusiaku harus datang ke taman hiburan sendirian?
Taman hiburan adalah tempat
yang harusnya dikunjungi oleh keluarga dan kekasih.Ini adalah fakta yang tak
terbantahkan. Tidak ada yang mau datang ke sini sendirian.
Dan ini adalah Golden week *.
Ada lebih banyak orang, orang, dan orang-orang, sejauh mata memandang.Tentu
saja, mereka berkelompok, seperti pasangan, keluarga, dan teman. Tentu saja,
aku tidak bisa menemukan siapa pun yang datang sendirian seperti diriku.
(TN : golden week adalah periode di akhir bulan April hingga minggu
pertama bulan Mei di Jepang yang memiliki serangkaian hari libur resmi.
Normalnya antara 29 April sampe 5 mei)
Dan malangnya, aku terlalu
mencolok. Yah, Itu sudah bisa diduga. Tidak aneh jika aku terlalu banyak
menarik perhatian. Orang-orang yang lewat di dekat ku bisa melihat ekspresi
gelap di wajahku sebelum akhirnya pergi.Ada sesekali orang yang dengan
terang-terangan mencibirku, dan orang-orang nakal menunjuk dan tertawa. aku
benar-benar menjadi pusat perhatian.
Aku ini bukan orang gila!
Aku ingin meneriakkannya dengan
pengeras suara. Apa di sini ada tempat untuk membeli toa? apa mungkin karyawan
di sana tau tempatnya?
Maaf, aku ingin membeli toa, di
mana aku bisa membelinya?
Tunggu! aku bukan orang yang
mencurigakan. aku tidak gila! Tunggu!
Namun, aku punya rencana. aku
datang ke sini bukan untuk bermain. Yah, memang bermain sih, tapi ini bukan
hanya demi diriku.
Tujuan pertamaku adalah rollercoaster.
Dalam suasana suram, aku
membeli tiket dan berbaris untuk roller
coaster. Sudah satu jam menunggu . Ah, aku ingin pulang. Aku sudah
benar-benar muak dengan ini.
Kebetulan, aku benci naik
wahana. aku pernah satu kali waktu kecil, dan tidak pernah lagi sejak itu. Aku
tidak mengerti tujuan mereka.Apa menyenangkannya tentang mengendarai mesin yang
terbuka saat meluncur di tempat tinggi dengan kecepatan yang gila? Aku tidak
mengerti sama sekali. Bukan karena aku takut naik , pasti bukan, tapi …
bagaimana pun, aku tidak ingin menaikinya jika aku punya pilihan.
uuu
Aku ngga bakal mau menaikinya
lagi.
Itu adalah alat bermain
terburuk yang pernah dibuat dalam sejarah kemanusiaan, pikirku.
Setelah turun dari roller coaster, aku berjalan perlahan,
merasakan rasa lelah yang tak bisa di gambarkan. Perutku mual. Aku merasa ingin
membuang roti panggang yang kumakan tadi pagi. Aku merasa sakit.Semangatku
berada di titik terendah sepanjang waktu.
Meski begitu, urusanku di sini
belum selesai.
Aku terus melanjutkan, menuju
toko yang telah ditentukan Mamizu. Itu adalah sebuah kafe di dalam taman
hiburan yang kebanyakan menjual manisan.Setelah mengantri sekitar tiga puluh
menit, aku bisa masuk . Tampaknya dengan semua yang ada di sini, waktu yang kau
habiskan mengantri lebih lama dari waktu yang kau habiskan untuk menikmati
makanan di sini. 95 persen mereka yang berbaris adalah para pasangan.
Ada banyak karyawan berjalan di
sekitar toko, mengenakan pakaian terbuka yang dirancang untuk menekankan pada
dada mereka. Seragam ini dikatakan salah satu dari dua spesialisasi dari toko
ini, dan banyak yang menggemari toko ini karena seragam karyawannya. Salah satu
karyawan membawa menu ke arahku, tapi tanpa melihatnya, aku sudah memutuskan
pesananku seolah meludahkan kata-kata.
“Tolong beri aku parfait ‘Our First Love’!”
Bagian dalam toko menjadi bising.Mereka
begitu berisik sampai-sampai aku ingin bertanya kepada mereka apa yang membuat
mereka begitu ribut. Seorang pria sendirian, di toko yang penuh dengan pasangan,
memesan parfait First Love. Parfait ini adalah menu andalan dari toko ini.
“Apa-apaan dengan orang itu?”
“Dia berbahaya.”
“Dia benar-benar berbahaya.”
Aku bisa mendengar bahwa semua
orang berbisik tentang diriku. aku melihat ke langit-langit dan memejamkan
mata. aku mematikan kesadaranku sebanyak yang aku bisa.
Hukuman macam apa ini?
Aku ingin menghilang, aku ingin
menghilang, aku ingin menghilang.
Ketika mengulangi kalimat ini
berulang-ulang untuk diri sendiri di kepalaku. Parfait First Love pun tiba.
Sejumlah besar saus stroberi
telah dituangkan ke parfait raksasa. Ada banyak wafer yang dimasukkan ke
dalamnya seolah-olah membuatnya terlihat lebih hidup, dan sepotong cokelat
berbentuk hati diabadikan di tengahnya. Sepertinya cukup untuk dua atau tiga
orang.
Apa aku harus makan ini
sendirian …?
Aku mendengar bunyi cekrek dari kamera ponsel.
Aku berbalik dan terkejut bunyi
apa itu lalu melihat seorang pasangan di kursi belakangku, mengambil fotoku.
Aku melototi mereka diam-diam, tetapi itu tidak terlalu mengancam.
Omong kosong. Ini benar-benar
omong kosong.
Bahkan ketika aku memikirkan
ini, aku juga mengambil foto parfait .Kebetulan, harga parfait 1.500 yen.Benar-benar payah, pikirku. Pada
akhirnya, aku memakannya sendiri, karena aku pikir itu akan mubazir jika tidak
dimakan. Saat memakan nya, tawa cekikikan di sekitarku tidak pernah berhenti.
uuu
“Takuya-kun, kamu yang terbaik!
Ahahahahaha, Perutku sakit!”
Watarase Mamizu tertawa
terbahak-bahak setelah melihat foto parfait First Love dan mendengar tentang
ceritaku di taman hiburan. Dia tertawa begitu keras sehingga aku takut apakah
itu tidak menggangu orang lain di ruangan ini.
“Lalu, lalu? Apa yang kamu
lakukan seterusnya? “Tanyanya.
“Aku pergi ke rumah hantu dan
mendapat kejutan oleh para hantu, terkejut oleh anak-anak di komedi putar,
kemudian merinding melihat para pasangan di bianglala, dan kemudian aku
pulang,” kataku padanya dengan kesal.
“Bagaimana perasaanmu? Apa itu
menyenangkan? ”
“Menyenangkan apanya. aku pikir
akan lebih baik jika rudal nuklir jatuh di taman hiburan itu. ”
Setelah mendengar itu, Mamizu
tertawa terbahak-bahak sekali lagi. Jadi, dia adalah seseorang yang tertawa
dengan jujur seperti ini, pikirku, sedikit terkejut.
“Aku mengerti, aku mengerti,
terima kasih,” katanya. “Aku rasa taman hiburan bukanlah tempat yang seharusnya
kamu datangi sendiri.”
“Ya iyalah…”
Aku ingin bilang , “kau
seharusnya sudah tahu itu, ‘kan?” Tapi sebelum membuka mulutku, Mamizu mulai
berbicara lagi.
“Kalau begitu, tentang
permintaanku selanjutnya,” katanya, sembari menyalakan TV di kamar. Setiap
tempat tidur di kamar bersama ini memiliki TV, tapi aku belum pernah melihat
Mamizu menontonya sampai sekarang.
Setelah membolak-balik saluran
untuk sementara waktu, Dia menemukan program berita malam.
“Yang ini, yang ini!” Mamizu
menunjuk ke layar TV, seolah-olah bersemangat tentang sesuatu.
“Aku ingin mencoba menunggu di
antrean itu sepanjang malam,” kata Mamizu.
… Aku memutuskan untuk
mengabaikannya dan pulang.
“Tunggu! Tunggu, Takuya-kun. ”
“Aku benar-benar tidak mau
melakukan itu!”
“Lihat ini dulu.” Mamizu
membuka laci di samping tempat tidurnya dan mengeluarkan ponsel. Itu tampak
sangat tua; itu adalah ponsel jiplak model lama yang berwarna putih namun
warnanya sudah memudar. “aku masih menggunakan ponsel model begini. aku sudah
menggunakan ini selama empat tahun, sejak sebelum aku dirawat di rumah sakit.
Apa kamu tidak merasa kasihan padaku? ”
Memang benar, jarang sekali ada
orang yang masih menggunakan ponsel model lama begitu.
“Aku ingin mencoba menggunakan
smartphone sebelum aku mati,” katanya dengan sedih.
“… Tapi itu cukup mahal, loh,”
kataku. “Apa kau punya uang?”
“Ta-dah.” Mamizu mengeluarkan
buku tabungan dari laci lain.
“Apa itu?” Aku bertanya.
“Tabungan uang Tahun Baru.”
Jadi
ada ya orang yang menabung uang itu, pikirku.
“Keluargaku ,seperti kakek dan
nenek memberiku setiap tahun, tapi di tempat seperti ini, aku jarang
menggunakannya. Jadi, aku menyimpannya. ”
Aku melihat buku tabungan
Mamizu yang diserahkan padaku dan melihat bahwa memang ada cukup banyak uang.
“Gunakan itu. aku akan memberi
tahumu PIN nya ”katanya, sambil memberi ku kartu tunai juga.
(TN: Kartu tunai semacam kartu kredit)
“Tunggu sebentar,” kataku dengan
terburu-buru. “Seharusnya kau tidak boleh memberitahu nomor PIN-mu pada orang
lain, kan?”
“Kenapa?” Tanya Mamizu,
menatapku dengan bingung.
“Karena bisa saja disalahgunakan.”
“Apa kamu akan
menyalahgunakannya, Takuya-kun?”
“Ehh…”
Aku tidak bisa menjawabnya, tapi
aku merasa dia melakukan ini dengan sengaja.
“Tidak masalah kalau itu kamu,
Takuya-kun.”
Dengan pernyataan tak berdasar
ini, Mamizu mendorong buku tabungan itu ke arahku.
uuu
Pada waktu larut malam, saat
aku hendak meninggalkan rumah, ibuku memanggil dan menghentikan diriku.
“Kamu mau pergi kemana malam-malam
begini? Apa mau bertemu seseorang? ”Ibuku menatapku dengan ekspresi curiga.
Rasanya terlalu menjengkelkan untuk
dijelaskan. Aku sedang mencoba mengejar kereta terakhir.
“Aku mau main sebentar,”
kataku.
“Itulah yang dikatakan Meiko saat
dia pergi.” Ibuku menatapku dengan tatapan serius. “Takuya, kamu takkan mati,
kan?”
Ibuku mengatakan kata-kata gila
ini padaku. Tapi ini bukan pertama kalinya dia mengatakan hal semacam ini.
“Tidak mungkin aku mati,”
jawabku, dengan ekspresi muak.
“ Takuya. Jika kamu mati dengan
cara yang aneh juga, aku akan … ”
Aku tidak tahan lagi
mendengarnya.
“Meiko hanya mengalami kecelakaan
mobil, kan?”
“Tapi…”
Ibuku mencoba mengatakan
sesuatu, tapi aku tidak ingin mendengarnya lagi.
“Aku baik-baik saja,” kataku.
Aku segera menghentikan
percakapan ini dan pergi keluar.
Aku naik kereta dan menuju
antrean untuk smartphone yang diminta Mamizu.
Aku cukup kedinginan menunggu
di antrean sepanjang malam, meski ini musim semi. Tampaknya ada banyak orang di
dunia ini yang punya banyak waktu luang, ada banyak orang yang mengantri di
jalanan distrik bisnis. Sendirian, aku menggigil ketika menunggu pagi datang. Aku
sempat memikirkan kembali tingkah laku ibuku sejak Meiko meninggal.
Sejak Meiko meninggal, entah
kenapa, ibu selalu memiliki kekhawatiran yang aneh jika aku akan mati juga.
“Ada topan, jadi jangan pergi
ke sekolah hari ini.”
Saat aku menanyakan alasannya,
dia serius memberikan jawaban seperti,
“Bagaimana jika kamu tertiup
angin, lalu kepalamu terbentur sesuatu dan mati?”
Atau,
“Bagaimana jika mobil
tergelincir karena hujan dan melaju ke arah mu?”
Serius, jangan terlalu lebay
deh. Pikirku
“Bagaimana jika kamu makan
sashimi selama musim panas dan mati karena keracunan makanan?”
“Bagaimana kalau kamu tertidur
di kamar mandi dan tenggelam?”
“Jika kamu memakai pakaian
hitam, kamu akan terbunuh oleh sengatan lebah, kan?”
Dan begitulah, ibuku terlalu
mencemaskan pertanda kematian dalam hal-hal yang sepele.
Ada waktu dimana ibuku sering
mengunjungi seorang spiritualis yang cerdik. Dia membuatku ikut dengannya.
Alasannya adalah sekitar setengah tahun sebelum Meiko meninggal dalam
kecelakaan lalu lintas, pacarnya pada saat itu meninggal dalam kecelakaan lalu
lintas dengan cara yang sama. Ibuku telah memikirkan nya dengan serius bahwa
dia telah dirasuki oleh roh jahatnya.Singkatnya, ibuku menjadi sedikit
gila.Meski tidak mengalami keguguran, dia diberitahu bahwa ia dirasuki oleh roh
janin yang keguguran, dan mempercayai hal itu.
Pikiran ibuku sedikit rusak.
Di masa lalu, aku pernah
dipaksa untuk menghadiri bimbingan konseling. Setelah Meiko meninggal, akupun
cukup tertekan. Tampaknya ini telah membuat ibuku khawatir. Bagaimana jika aku
menjadi sakit jiwa dan bunuh diri?
Apa
kamu pernah berpikir kalau kamu ingin mati?
Apakah
tidurmu nyenyak?
Bagaimana
selera makanmu?
Apa
ada sesuatu yang mengganggumu belakangan ini?
Aku menjawab semuanya dengan
“Aku baik-baik saja, bu.” aku memastikan untuk terus bertingkah ceria selama
waktu seperti itu.
Aku baik-baik saja.
Aku normal.
Tidak ada masalah yang terjadi.
Dengan begitu, aku dibebaskan,
tapi … walau begitu, sepertinya ibuku masih meragukanku.
Apakah
anak ini juga akan mati dalam waktu dekat?
Sepertinya pikiran semacam itu
selalu ada di benak ibuku.
Memang benar bahwa kepribadianku
menjadi sedikit pendiam setelah kematian Meiko. aku ingat tidak banyak
berbicara dengan keluargaku setelah dia meninggal.
Tapi bukankah memang seharusnya
begitu? Setidaknya, itulah yang aku pikirkan.
Jika aku mulai tertawa lagi
setelah kematian kakak perempuanku, bukannya itu menjadi pertanda bahwa aku sudah gila?
Aku harap ibuku sendiri yang
harus pergi ke bimbingan konseling.
uuu
Mamizu bereaksi berlebihan saat
aku membawakanya smartphone yang aku beli.
“Yay! aku akhirnya bagian dari
peradaban ini juga. ”
Sebelum menyerahkan kepadanya,
aku mencoba memberitahu betapa melelahkannya mengantri sepanjang malam, lebih
dari kebencian terhadap apa pun. Tapi saat aku masih di tengah penjelasan,
Mamizu mulai membuka bungkus smartphonenya.
“Oi … Bukannya kau tertarik
dengan mengantri sepanjang malam, kau cuma pengen smartphone-nya aja, ‘kan?”
“tidak juga, kok?” Kata Mamizu
tersenyum sembari memegang smartphone di depan matanya. “Wow,” dia berdecak
kagum, matanya berbinar-binar.
“Dengan ini, akan lebih mudah
untuk berhubungan denganmu, kan, Takuya-kun?” Ucapnya dengan gembira.
Aku benar-benar terkejut.
Setelah itu, Mamizu memintaku
untuk menunjukkan cara menggunakan fungsi dasar, dan aku mencatat nomor ku di
sana.
Beberapa hari kemudian,
pendaftaran ponsel Mamizu yang dia minta ke ibunya untuk diurus telah selesai,
dan smartphone-nya akhirnya terhubung ke internet. Lalu, ada satu pesan yang
dikirim darinya.
>
Terima kasih
Itu saja yang tertulis di
dalamnya.
Mungkinkah dia terlalu malu
untuk mengatakannya sendiri? Tanpa ragu-ragu,
aku membalasnya dengan, “Sama-sama.”
uuuu
Saat makan siang di sekolah,
entah kenapa, Kayama memegang perlengkapan Othello, dan mengajakku bermain sambil makan. Sebelum aku bisa mencoba menolak,
Ia segera di kursi depan mejaku dan mulai menyiapkan papan Othello dan
mengambil bento-nya.
Pada akhirnya, aku tidak punya
pilihan selain menjadi lawan Kayama sambil makan roti yang aku beli sebelumnya.
“Okada. Kapan pertama kali kau
naksir? ”
Kayama bertanya tiba-tiba, di
tengah-tengah permainan Othello kami.
“4 SD. Gadis kursi sebelahku, ”
Jawabku.
“kalau aku kelas 6.. Jadi, apa
yang terjadi selanjutnya? ”
Aku samar-samar mengingat
wajahnya. aku tidak tahu di mana atau apa yang dia lakukan.
“Yah, aku sudah berhenti peduli
padanya,” kataku.
Aku bahkan tidak mendekatinya
dengan cara khusus atau menembaknya; hubungan kami dan cinta samarku telah
berakhir secara alami saat kenaikan kelas. Tapi aku pikir itulah kisah cinta
pertama bagi kebanyakan orang.
“Kau tahu, aku pikir hal-hal
kecil tidak benar-benar berubah. Hal-hal seperti makanan favorit kita, cara
kita makan, berapa banyak tisu yang kita gunakan ketika kita meniup hidung
kita, ” kata Kayama sembari memakan bentonya.
“Kamu menggunakan satu tisu,
kan?”
“Aku dua.”
Kayama mengambil kesempatan. Pion
putihku semuanya terbalik.
“Tapi menurutku semakin penting
perasaan itu, maka semakin mudah mereka terbalik, seperti pion Othello ini,”
kata Kayama.
Aku sama sekali tidak mengerti
apa yang Ia katakan.
“Tapi kau tahu, aku sebenarnya
benci itu,” lanjutnya.
Dia berbicara seperti ini dari
waktu ke waktu. Dengan kata lain, aku tidak tahu apa yang Ia coba katakan.
“… Kalau dipikir-pikir , aku baru-baru
ini mengunjungi Watarase Mamizu lagi, seperti yang kau sarankan,” kataku.
Saat aku mengatakan itu,
tangannya yang memegang sumpit berhenti sesaat. Dan kemudian Ia menatap
wajahku.
“Apa ?” kataku.
“… Lalu?” Tanya Kayama.
“Yah, dia kelihatan sehat. Aku
tidak tahu rinciannya, tapi sepertinya dia takkan meninggal dalam waktu dekat”
Aku berpikir untuk menjelaskan
berbagai hal, tapi memutuskan untuk tidak melakukannya. Fakta bahwa aku pernah
bertemu dengannya berkali-kali setelah itu, dan daftar hal-hal yang ingin
Mamizu lakukan sebelum dia meninggal. aku tidak tahu apakah itu baik-baik saja
untuk menceritakannnya pada orang lain.
Dan aku sedikit marah pada
Kayama, yang terus menyembunyikan alasan untuk membuatku pergi dan menemui
Mamizu. Aku juga tidak berpikir kalau aku punya kewajiban untuk
memberitahunya.Dan faktor yang paling penting adalah bahwa menjelaskan semua
hal yang aneh dan tidak bisa dimengerti ini akan merepotkan.
“Kayama, apa ada sesuatu yang
ingin kau tanyakan padanya?”
“Kalau begitu, tiga ukurannya.”
“Tanyakan padanya sendiri sana.”
Kayama memenangkan permainan
Othello ini. Meski Ia sendiri yang mengajak, tapi ia kehilangan minat di tengah
permainan dan berdiri sebelum berakhir.
“Apa kau tidak ingin pergi melihatnya?”
Tanyaku padanya saat ia hendak pegi.
“… Belum waktunya,” katanya
setelah berpikir sejenak. “Lagian, aku tidak kekurangan wanita sekarang.”
tambahnya.
“Apa kau berencana untuk
mengincarnya?” Aku bertanya sambil tertawa. aku kira Ia sedang bercanda.
Tapi Kayama menatapku diam
untuk sesaat tanpa membuat pernyataan lagi, dan kemudian kembali ke tempat
duduknya sendiri, pada akhirnya ia tidak mengatakan apa-apa lagi .
Apa-apaan dengan sikapnya itu?
aku terheran, menemukan ini semakin aneh.
Permainan Othello :