Chapter 01 – Siapa namamu, Senpai?
uSudut Pandang si Senpai
u
Saat
aku hendak mengeluarkan kartu pass kereta
dari kantongku untuk bisa melewati gerbang tiket di stasiun, ada seseorang yang
memanggilku dari belakang.
“Anoo….permisi…..Senpai,
kamu menjatuhkan ini.”
Aku?
Menjatuhkan sesuatu?
Saat
ini aku sedang memegang kartu pass
keretaku, aku juga sudah memasukkan buku identitas siswa ke dalam tasku, dan
smartphone-ku masih ada di kantong. Jadi, aku tak merasa menjatuhkan apapun.
Tapi,
suara itu pasti memanggilku. Jadi, aku menoleh ke belakang.
Di
sana aku melihat tangan kurus mengulurkan sesuatu benda hitam kepadaku
Ternyata
itu adalah salah satu pasang dari earphone
kesukaanku. Mungkin aku menjatuhkannya saat memasukkannya dengan
sembarangan ke dalam kantong.
“Ah,
itu memang punyaku. Terima kasih banyak.”
Jika
aku kehilangan ini, memang akan sangat mengganggu. Lagipula, percuma saja
mencari benda kecil seperti ini di stasiun kereta yang luas dan aku harus
menanggung beberapa ketidaknyamanan jika aku tidak memilikinya. Earphone cadangan yang kudapat bersamaan
dengan earphone ini tidak sesuai
ukuran, jadi menggunakannya sebagai pengganti akan mengubah kenyamananku.
Aku
mengambil earphone tersebut dengan
hati-hati, agar memastikan supaya aku takkan menjatuhkannya lagi.
“Sama-sama,
Senpai.”
Ngomong-ngomong,
dari tadi orang ini terus memanggilku “Senpai”.
Saat
aku mendongak, tatapanku bertemu dengan tatapan gadis yang memungut barangku
yang jatuh.
“Karena
aku adik kelasnya Senpai, kamu tidak perlu berbicara seformal itu, tau?”
Dia
memiringkan kepalanya ke samping, dan kata-katanya membuktikan
kecurigaanku. Dia adalah seseorang yang aku kenal.
Kenapa,
kau bilang? Karena dia memakai seragam sekolah yang sama denganku.
vvvv
Untuk
bisa mencapai sekolahku, ada dua rute yang tersedia , yang mana masing-masing rute
tersebut menggunakan stasiun kereta yang berbeda.
Misalnya
saja rute gerbang depan. Karena jaraknya lebih pendek, sebagian besar
murid akan menggunakan rute ini.
Rute
lainnya adalah melalui gerbang belakang yang mana menjadi cara tercepat untuk
mencapai pintu keluar sekolah, tetapi rute ini sama sekali tidak populer. Para murid harus berjalan
dulu dan melewati naik turunan, jadi tak ada yang menggunakannya.
Dan
bagiku, aku menggunakan rute yang terakhir. Tidak ada peralihan dari
stasiun terdekat ke rumahku, jadi aku harus puas dengan mengambil rute ini.
Ketika
aku memasuki sekolah April lalu dan mengetahui kalau tidak ada teman sekelasku
yang menggunakan rute yang sama, aku menjadi sangat sedih. Tapi, aku
segera terbiasa.
Aku
menemukan solusi untuk mengisi kesepianku dengan perangkat praktis, yang
biasanya disebut sebagai smartphone. Aku bisa berkonsentrasi membaca buku
kesukaanku di kereta, dan jika aku lelah membaca, aku bisa bermain dengan
smartphone-ku. Karena aku menggunakan earphone
peredam bising, suara deru kereta tidak terlalu menggangguku.
Akan
tetapi, pada hari upacara pembukaan pada bulan April tahun ini, aku sangat
senang ketika melihat seseorang dengan seragam SMA yang sama di stasiun dekat
rumahku. Akhirnya, aku tidak sendirian lagi.
Tapi
kemudian, aku juga terkejut ketika melihat sosok itu mengenakan blazer baru dan
menggendong tas sekolah baru sambil menunggu di pintu kereta sebelah posisiku
yang biasanya.
Begitu
kehidupan sehari-hari dimulai, pengalaman emosional tersebut berubah menjadi
kenangan semata. Dia berada satu tahun di bawahku, jadi kami takkan bisa
berada di kelas yang sama. Karena aku tak pernah melihatnya di kegiatan
klub dan komite , dia menjadi orang asing yang pergi ke sekolah yang sama
denganku.
Segera
perasaan kegembiraan yang kurasakan memudar, dan kembali menjalani rutinitas
bacaanku yang biasa sambil mendengarkan musik di earphone-ku.
Yah,
ada sesuatu yang berubah juga. Setiap kali aku mengangkat kepala untuk
memeriksa sudah di stasiun mana aku sekarang atau ketika aku melihat akhir bab
dari bacaanku, sudah menjadi kebiasaanku untuk memeriksa apakah dia naik kereta
hari itu atau tidak.
Aku
sama sekali tidak tahu namanya. Bisa saja dia adalah murid yang berasal
dari luar negeri atau satu tahun di bawahku.
Hanya
itu yang kuketahui tentang dirinya.
uSudut Pandang si Kouhai
u
Akhirnya
aku mendapat kesempatan untuk berbicara dengannya secara alami. Jika aku
melewatkan kesempatan ini, aku merasa kalau aku takkan punya kesempatan lagi untuk
berbicara dengan orang ini selama sisa hidupku. Itu sebabnya, aku takkan
membiarkan Ia menyelonong begitu saja.
Enggak
ada murid lain yang menggunakan rute ini ke sekolah selain senpai yang satu
ini.
Sekarang,
kami sedang berdiri di sebelah mesin penjual otomatis tepat di luar gerbang
tiket.
Senpai
membelikanku jus yang mungkin sebagai tanda terima kasihnya, jadi aku menerimanya
dengan senang hati. Ia membuka tutup kalengnya, membuat suara 'pushuu'.
“Umm,
aku sudah benar memanggilmu sebagai 'Senpai',
‘kan?”
“Tapi
namaku bukan “Senpai”, sih. Tapi
jika kau merujuk pada senior yang bersekolah di SMA yang sama denganmu, kupikir
kau sudah benar.”
Ya,
bagaimanapun juga, kami memakai seragam yang sama. Kami juga naik kereta
yang sama di stasiun yang sama di pagi hari, dan turun di stasiun yang sama
pula.
“Syukurlah
~”
Ketika
aku tersenyum padanya, Senpai memasang ekspresi yang tidak menyenangkan karena
suatu alasan. Ehhh, apa senyumku terlihat aneh?
“Lalu,
ada apa, Kouhai-chan?”
“Ah,
julukan itu kedengarannya bagus! Tapi namaku juga bukan “Kouhai”. ”
Senpai
meminum jus buahnya sekali tegukan dan memasukkannya ke tempat sampah, lalu Ia
mengambil tasnya yang diletakkan di samping kakinya.
Aku
bahkan belum membuka kalengku ...
“Aku
sudah mengucapkan terima kasih mengenai earphone
tadi. Jika tidak ada urusan lain, aku akan pulang sekarang.”
“Wah,
wah, wah! Tunggu dulu sebentar!”
Senpai
mengerutkan alisnya, dan perlahan membalikkan badannya.
“Err,
itu ……”
Jika
aku melewatkan kesempatanku di sini, semuanya akan berakhir. Itulah yang
dikatakan instingku sekarang
“Enggak
ada murid lain di sekolah kita yang menggunakan kereta ini, Jalur Hamakyu, ‘kan?”
[TN : Jalur Hamakyu,
http://hamakyu.xii.jp/ ]
“Ya,
terus?”
“Saat
kita berangkat di stasiun ini, cuma ada aku dan Senpai yang berasal dari
sekolah yang sama, ‘kan?”
“Jadi?”
“Ayo
kita berbincang-bicang lagi! Karena kita memiliki kesamaan, bukannya terasa
canggung kalau kita tidak saling mengobrol satu sama lain!”
“Itu
saja?”
Alis
Senpai sedikit terangkat, dan Ia membuat ekspresi terkejut.
Mungkin,
sedikit dorongan lagi?
“Ada
sepuluh juta orang di Jepang, dan tujuh miliar orang di dunia. Aku ingin berbicara
dengan semua orang, tapi itu rasanya mustahil. Oleh karena itu――”
Aku
berdehem, dan melanjutkan.
“Aku
ingin berbicara dengan semua orang yang terlihat mudah didekati, sebanyak
mungkin.”
uSudut Pandang si Senpai
u
Kouhai-chan
adalah orang yang memungut earphone-ku.
Aku
benar-benar berterima kasih atas bantuannya, tetapi seharusnya sudah berakhir
begitu saja.
Kami
adalah Senpai dan Kouhai dari sekolah yang sama, dengan
perbedaan satu yahun.
Karena
kami memiliki hubungan yang tipis, setidaknya aku harus berterima kasih
padanya, membelikannya jus, dan mengakhirinya seperti itu.
Seharusnya
sudah berakhir, akan tetapi――
Tampaknya
dia ingin terlibat denganku. Dia seperti seseorang di SNS yang akan
mengoceh tentang banyak hal setelah bilang “Maafkan
aku untuk membalas meski aku bukan temanmu.”,
Kemudian dilanjutkan dengan mengatakan “Apa
kau bisa mengikutiku jika mungkin?”, Atau sesuatu
seperti itu . [TN: Ini adalah kebiasaan
orang jepang sebelum membalas tweet seseorang yang bukan teman mereka (Follower
/ Following).]
“Itu
sebabnya! Ayo kita berbincang-bincang lagi, oke? Masih ada sekitaran
30 menit sebelum mencapai sekolah kita setiap hari. Bukannya itu sia-sia saja
jika kita cuma duduk dan tidak melakukan apa-apa!”
“Lagi
pula apa yang harus kita bicarakan?”
“Mengobrol
masalah apa saja ‘kan bisa?”
“Yah,
aku tidak tahu apa-apa tentang Kouhai-chan, sih?”
Saat
aku bilang begitu, aku bisa melihat kedua matanya berbinar-binar.
Aku
merasa kalau aku seharusnya tidak mengatakan kalimat ini, seolah-olah dia telah
menunggu momen itu.
“Nah,
senpai, kamu selalu membaca buku, ‘kan?”
Dia
menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain. Apa-apaan dia ini?
“Ya. Karena
duduk di kereta itu membosankan, iya ‘kan?”
“Kenapa
kamu membaca buku? Apa kamu tidak bisa membaca dari smarthphone-mu?”
Smartphone? Mana
mungkin.
“Jika
dari smartphone, aku cuma bisa mendapatkan informasi dari kisaran yang aku
tahu. Aku suka sensasi mempelajari sesuatu yang “belum aku ketahui”,
dan membaca buku adalah pilihan terbaik untuk mengalaminya.”
“Hee…”
Walau
aku setahun lebih tua darinya, tapi dengan panggilan “Senpai”,
aku merasa kata-kataku terdengar agak indah.
Setidaknya,
gadis di hadapanku ini sepertinya mengagumi kata-kataku.
“Aku
selalu merasa bosan di kereta.”
“Kalau
begitu, kau tinggal membaca buku saja.”
Dia
menghela nafas, dan melanjutkan.
“Aku
merasa mabuk.”
“Bagaimana
bisa kau merasa mabuk karena buku?”
“Bukan
itu! Bukan buku-bukunya, tapi mabuk perjalanan! Bukannya sudah
jelas?”
Aku
jarang mabuk, jadi aku bisa membaca di kereta atau kapal tanpa khawatir. Aku
benar-benar berterima kasih atas gen orang tuaku!
“Jika
kamu benar-benar ingin berterima kasih kepadaku, lalu jadilah rekan
pembicaraanku saat kita pergi ke sekolah!”
“Tidak
mungkin, bukannya tadi sudah kubilang, tapi aku tidak tahu—”
Mata
Kouhai-chan bersinar lagi.
“Karena
kamu tidak tahu, jadi ayo kita mengobrol. Senpai, Senpai tadi bilang suka
mengetahui sesuatu yang tidak diketahui, itu sebabnya kamu membaca buku, ‘kan?”
Aku
tertipu.
Aku
benar-benar ketipu.
“Aku
ingin mengetahui tentang Senpai juga. Apa kamu mau memberi tahuku tentang
dirimu?”
Uwahhh,
sungguh menjengkelkan.
“Yeah……”
“Bagus,
kamu sudah mengatakannya. Senpai punya sifat baik karena cepat mengakui
kekalahanmu.”
“Itu
bukan karena aku kalah dari Kouhai-chan. Aku baru saja kalah dari
kata-kataku sendiri.”
“Bukannya
itu sama saja?”
“Lupakan
saja……”
Selamat
tinggal, waktu perjalan sekolahku yang tenang dan damai……...
u
Sudut Pandang si Kouhai
u
Yosh . Skakmat.
Dengan
begini, kamu tidak bisa melarikan diri lagi, oke? Aku akan membuatmu
menghabiskan waktu perjalanan yang membosankan ini bersama denganku mulai
besok.
“Lalu,
Senpai. Tolong jaga aku mulai sekarang setiap hari ♪”
Sebagai
bonus, aku akan memberimu kedipan mata.
Begini-begini,
aku punya kepercayaan diri pada penampilanku.
“Iya……”
Ia
tampak sangat kesal karena Kouhai-nya sendiri menyudutkannya dalam perdebatan,
dia menajawabku tanpa fokus pada percakapan tadi.
Ini
adalah kesempatan lain!
“Senpai. Aku
ingin tahu lebih banyak tentang Senpai. Aku yakin Senpai juga ingin tahu
tentang diriku yang tidak kamu kenal ‘kan?. Karena itu, ayo kita buat
janji.”
“Janji?”
“Ya,
Janji. Ayo kita saling bertanya satu pertanyaan sehari. Dan juga,
kita harus menjawab pertanyaan itu dengan jujur, tak peduli apapun
pertanyaannya.”
“Hee…”
Seperti
yang kuduga, Ia benar-benar kelelahan karena stres, dan sekarang Ia menjawabku
dengan jawaban setengah hati.
Aku
tak boleh melewatkan kesempatan ini sekarang. Karena kesempatan seperti
ini takkan pernah datang lagi.
“Bagus. Ayo
kita lakukan janji kelingking!”
“Eh,
tunggu, aku tidak benar-benar fokus pada isi janjinya, entah bagaimana aku
punya firasat buruk !?”
Janji
kelingking, janji kelingking. Aku bersumpah kalau aku berbohong, aku akan
menelan seribu jarum ke mulutku.
Dengan
begini, kontrak sudah selesai dilaksanakan. Aku tidak menerima keberatan
atau pendapat lain.
vvvv
“Baiklah,
Senpai, siapa namamu?”
Meskipun
aku tak berpikir kalau aku akan memanggilnya dengan panggilan selain “Senpai”,
tapi sebagai basa-basi, pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah ini.
“Kau
... Kau bahkan tidak tahu itu, tapi kau masih berani menghampiriku ……”
“Tapi
Senpai juga tidak tahu namaku, ‘kan?”
“Yah
emang sih…...”
“Meskipun
kita berada di kereta yang sama sejak April, bukannya itu terlalu kejam?”
“Maafkan
aku, aku benar-benar minta maaf, oke?”
“Jadi?”
Aku
mendesaknya untuk memberitahukan namanya.
“Ahh. Namaku
Iguchi Keita. “Keita”
berasal dari gabungan kanji 'kebahagiaan
(慶)' dan 'tebal (太)'.”
“Hee. Itu
benar-benar terdengar seperti nama yang cukup bagus, ya.”
“Meski
kau memujiku, caramu berbicara membuatku merasa gelisah! Ini sangat
menjengkelkan!”
“Ahh,
namaku Yoneyama Maharu. Tolong jaga aku mulai sekarang, Senpai!”
“Ya……”
Nah
sekarang. Mungkin untuk hari ini hanya begini saja sudah cukup memuaskan.
Aku
membungkuk sopan pada Senpai dan mulai berjalan pulang menuju rumahku.
“Senpai,
terima kasih untuk jusnya. Sampai jumpa besok!”
Aku
benar-benar menantikan besok pagi.
Hal
yang kuketahui tentang Senpai-ku, nomor ①
Tampaknya,
namanya adalah “Iguchi Keita”.
Novel sebelah mahiru. Ini maharu. Nama² kek gitu pasaran kah?
BalasHapus