Sachiusukei Bishoujo Chapter 22


Chapter 22

Satsuki tiba di kamar Amane dengan nampan penuh hidangan makan malam.
Ini adalah hari pertama penskorsan. Tidak ada tanda-tanda Amane bersedia keluar dari kamarnya. Makan siang kemarin juga sama sekali tidak terjamah. 
Karena ayah mereka menyuruhnya, Satsuki mengantarkan makanan untuk Amane, bahkan jika dia tidak mau makan. Tidak ada yang bisa memaksanya untuk makan. Tetap saja, Satsuki tidak akan menentang ayahnya, terutama tidak karena makan dan pakaiannya berasal dari penghasilan ayahnya.
Amane tersandung di kamarnya setelah Satsuki mengetuk pintunya.
“Aku sudah membawakanmu makanan untukmu.”
“... tinggalkan saja di sana. Dan jangan lupa untuk membersihkan setelah itu. "
Satsuki meletakkan makanan kakaknya di lantai dekat pintu, tepat seperti yang diperintahkan padanya. 
Dalam sekejap, pintu  terbuka ke dalam. Amane meraih Satsuki dan menariknya dalam sebelum dia bisa bereaksi dan mengunci pintunya.
Satsuki tidak bisa melarikan diri. Kenangan kekejaman membanjiri pikirannya.
“Ah… hi.”
Amane meraih kerah Satsuki dan menindihnya ke tanah. 
Lampu langit-langit membuat bayangan gelap di wajah Amane. 
Dia tampak seperti hantu. Dendam yang dia pendam selama bertahun-tahun ini membakar matanya, sekarang tak bernyawa. Seringai sombong yang selalu menghias wajahnya sekarang digantikan dengan wajah kosong tanpa ekspresi. Rambutnya yang acak-acakan menambah wajah menakutkannya.
“Ini salahmu.”
“Huh ...?”
“Ini salahmu dan Tooru itu, atau apa pun namanya.”
Ah, dia menyalahkan orang lain lagi. Dia benar-benar tidak dewasa sama sekali. Kekuasaan terornya hanya bisa menuntunnya sejauh ini.
Pada awalnya, Satsuki merasa ketakutan. Tapi semakin dia melihat perasaan Amane, Satsuki mulai menjadi lebih tenang. Kemudian, wajah Tooru muncul di benak Satsuki. 
Apa yang akan Tooru lakukan dalam situasi ini? Bagaimana seseorang yang baik hati seperti Ia mengatasi prediksi seperti ini? 
Bahkan dengan kakak perempuannya yang menindihnya, Satsuki menarik napas dalam-dalam.
“Apa kamu takut?”
“Apa ...?”
Dia berbicara dengan ramah, sama seperti halnya Tooru berbicara dengannya.
Satsuki selalu terlalu takut untuk memahami kata-kata kakaknya. Amane tidak banyak bicara dan harga dirinya tidak akan membiarkannya menunjukkan kelemahan di sekolah juga.
Tapi sekarang, Amane benar-benar kelelahan. Bahkan Satsuki tahu bahwa ayah mereka dengan keras memarahi Amane karena merusak reputasinya sendiri.
“Apa kamu takut karena kamu kehilangan posisi?”
“Apa maksudmu, dasar keparat?!”
Amane melepaskan cengkeramannya pada Satsuki dan menampar wajahnya. Namun, Satsuki menatap lurus padanya. 
Satsuki memang lemah. Tapi jika Tooru dan yang lainnya berhasil menjatuhkan Amane, Satsuki juga tidak bisa terus diam seperti ini.
“Aku tidak akan menyerah lagi. Aku takkan menyerah padamu.”
“Bahkan kamu akan ...!”
“Tidak ... sampai sekarang, aku terlalu takut padamu. Aku merasa menyesal kerena tidak bisa menghentikanmu membully Tooru. Aku pikir itu tidak apa-apa dengan semua penyesalan, semua kesedihan. Aku pikir aku baik-baik saja dengan semua yang kamu hancurkan.”
Amane menelan ludah, menerima semua keberanian Satsuki. 
Mengingat saat-saat indah. Mengingat betapa menyedihkannya ditaklukkan oleh Amane. Dan ingat bagaimana kamu tidak sendirian lagi.
Satsuki selalu sendirian selama dia bisa ingat. Ibunya telah hancur, dan ayahnya hanya menghidupi keluarganya hanya dengan uang. Kakaknya selalu membully-nya karena memang sudah biasa. 
Tidak aneh kalau dia membenci itu semua, tapi Satsuki tidak punya perasaan seperti itu. Dia tidak bisa membenci orang tua dan saudaranya, tidak peduli bagaimana pun mereka. 
Sampai SMP, dia tidak punya keinginan untuk hidup. Dia hanya wadah kosong dalam bentuk manusia yang hidup. Dia bertahan pengabaian orang tuanya dan semua pelecehan Amane.
Tapi setelah dipanggil oleh kakaknya pada hari bersalju itu, Satsuki diselamatkan. Selamat dari kesengsaraannya, keinginannya untuk mengakhiri segalanya. Diselamatkan oleh Tooru. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi jika dia tidak pernah menerima kehangatan syal itu. 
Itulah sebabnya,  giliran Satsuki. Sekarang giliran Satsuki untuk menjadi berani, dan giliran Amane untuk diam.
“Amane. Aku tidak membencimu tapi aku juga tidak menyukaimu.”
Amane benar-benar terdiam setelah mendengar kata-kata itu. Dia sepertinya belum pernah mendengar Satsuki berbicara dengan penuh percaya diri.
“Jadi, kenapa kamu tidak menghentikan ini? Semua ini. Kita berdua tahu kita takkan pernah menjadi teman. Tapi, jika kamu menghentikannya, kami bisa menjadi saudara kandung yang normal. Itulah yang aku inginkan.”
Amane tetap diam. Ada sesuatu dalam benaknya, tetapi sepertinya dia tidak marah. 
Satsuki menunggu jawabannya. Dia ingin Amane setuju. 
Kemudian, bahu Amane mulai bergetar. Tidak aneh kalau itu membuatnya tertawa.
Satsuki memejamkan matanya karena dia tidak bisa melewatinya. Kemudian, sesuatu menampar wajahnya. Dia pelan-pelan membuka matanya untuk melihat kepalan Amane.
“Hah. Setelah bertahun-tahun ... apa yang harus aku lakukan ...”
Mendengar nada kekalahannya untuk pertama kalinya, Satsuki mengulurkan tangannya ke pipi Amane. Kemudian, dia menyentuhnya dengan sangat lembut. Sepertinya Amane tidak menepis tangannya. 
Amane menundukkan kepalanya, air mata mengalir dari wajahnya. Itu bukan air mata sukacita, tapi kemungkinan air mata penyesalan. Dia tidak bisa menerima kebaikan yang ditunjukkan oleh adik perempuannya, bahkan setelah semua pelecehan, semua kekejaman yang pernah dia lakukan. Tetesan air mata jatuh ke pakaian Satsuki.
“... kamu mungkin punya kunci cadangannya, ‘kan? Pergi saja.”
“Amane ...”
“Aku tidak punya kepercayaan atau pengaruh lagi. Tidak ada yang akan percaya padaku lagi. Selamat. Kamu menang, aku kalah, jadi keluar dari sini! ”
Dia menjerit dari lubuk hatinya.
Mungkin Amane hanya ingin dipahami. Dia kasar karena dia tidak pernah dimarahi untuk melakukan hal sebaliknya. Dia adalah orang yang menyedihkan yang hanya tahu bagaimana menjadi kasar. 
Satsuki hanya melihat dengan matanya pada jam. waktunya hampir jam 7:00. Tooru hampir menyelesaikan perkerjaan sambilannya.
Satsuki kembali menatap Amane. Amane kemudian turun dari adiknya dan duduk dengan tak berdaya di tanah. Sepertinya dia tidak berniat menghentikan Satsuki. 
Satsuki kemudian berdiri dan menuju ke kamarnya tanpa melihat kembali pada Amane.

uuuu

Tooru menyelesaikan pekerjaan pada waktu yang hampir sama setiap hari. Baru setelah Satsuki mencarinya, Ia menyadari kalau dia duduk di dekat pintu apartemennya. Matanya melebar dan bergegas mendekat.
“Satsuki! Apa yang sedang kau lakukan duduk di sini ...? Kau seharusnya membuka kunci pintu dan menunggu di dalam.”
“Oh ... aku terlalu sibuk memikirkanmu. Aku lupa kalau aku memilikinya. ”
Satsuki tertawa kecil saat Tooru sedikit tersipu. 
Tooru selalu tersipu setiap kali dia mengatakan hal seperti itu. Dia tahu dia tidak benar-benar tertarik padanya, tapi dia masih berpikir kalau Tooru itu lucu.
Sebaliknya, Satsuki menyukai Tooru. Bukan sebagai teman sekolah, tapi sebagai lawan jenis. Pada awalnya, dia hanya menganggapnya sebagai teman, tapi tanpa dia sadari, dia mendapati dirinya tertarik pada kebaikannya dan kehangatannya. 
Satsuki merasa jantungnya berdetak sangat kencang setiap kali dia bersamanya.
“Ayo, masuk ke dalam. Akhir-akhir ini cuacanya agak dingin.”
Satsuki juga menyukai sikap perhatiannya. Tooru meletakkan tangannya di bahu Satsuki dan membawanya masuk. Jantungnya berdebar kencang. 
Setiap kali Tooru menyentuhnya, Satsuki melayang seolah-olah dia punya sayap, seolah-olah dia menari di udara.
Ketika mereka melangkah masuk, Tooru menyalakan lampu. Itu adalah pemandangan yang biasa. Setelah melewati dapur ada ruang tamu. Meski pintu kamar ditutup, kamar yang rapi dan bersih ada di sana menunggu mereka. 
Mereka membuka pintu dan memasuki ruang tamu. Meski dia merasa nyeri jika dia duduk di karpet putih terlalu lama, dia tidak membencinya.
Satsuki duduk tepat di hadapan Tooru karena suatu alasan. Itu adalah kehangatan yang menenangkan di mana mereka terhubung satu sama lain.
Ia sepertinya tidak terlalu nyaman dekat dengan seorang gadis, tapi Satsuki merasa aman dan tentram. Apa yang segera terungkap akan membentuk masa depan Tooru.
Satsuki menghirup napas dalam-dalam sebelum menatap langsung mata Tooru. Ada perbedaan antara tinggi mereka, jadi tentu saja, Tooru juga melihat ke bawah untuk bertemu tatapan matanya.
“Ada apa, Satsuki? Apa sesuatu terjadi?”
Tooru sangat prihatin tentang dirinya. Kehangatannya telah membantunya berkali-kali, seolah-olah Ia adalah cahaya kehidupannya.
“Aku berbicara dengan kakakku sebelum datang ke sini.” 
“Apa ... ?! Apa kau baik-baik saja?! Dia tidak menyakitimu, ‘kan? ”
Tooru mencengkeram bahu Satsuki dan dengan ringan mendorongnya. Itu menunjukkan betapa perhatiannya Tooru kepada Satsuki.
“... dia bilang dia akan berhenti.” 
“Berhenti apa?” 
“Segalanya. Dia akan berhenti menyiksaku dan membullymu. Tidak perlu takut padanya lagi.”
“Lalu ...”
Tidak heran kalau Tooru merasa terkejut. Amane sudah membully-nya selama berbulan-bulan. Kenapa dia berhenti dengan mudah begitu saja?
Tapi Satsuki mengerti kenapa. Dia telah mendapat pukulan terakhir dari orang yang selemah Satsuki yang berdiri di hadapannya. Mungkin terutama karena Amane selalu jadi orang yang di atas, harga dirinya sekarang hancur. Tidak ada jalan kembali dari itu selama dia masih SMA. 
Satsuki juga bertekad untuk tidak menyerah pada pembullyan Amane. Dia mungkin tidak bisa berkutik jika musuhnya adalah seorang lelaki, tetapi Amane tidak. Selama Satsuki memiliki keinginan untuk melakukannya, dia dapat menentang kakaknya.
“Iya. Kami menyelesaikan perbedaan kami. Dia mungkin akan melakukan kekerasan denganku selama kita masih di bawah atap yang sama, tapi begitu aku lulus SMA dan kuliah, kita akan menjadi orang asing. Dia mungkin takkan lagi memasuki hidupku.”
“Apa sesederhana itu? Hidup sendirian itu tidak mudah, tahu.”
Meskipun Tooru mungkin memiliki pengalaman lebih dari itu, Satsuki menggelengkan kepalanya padanya. Dia tidak sendirian sekarang. Itulah yang Tooru ajarkan padanya.
“Tooru.”
“Hmm?” 
“Aku menyukaimu.”
“Aku tahu.”
“Tidak, bukan seperti itu ...”
Dia mengambil nafas pelan-pelan sebelum menatap Tooru langsung ke matanya. 
Terus terang, rasanya agak menakutkan baginya. Tapi dia percaya bahwa jika dia tidak memberitahunya langsung, perasaan Satsuki takkan pernah bisa tersampaikan padanya.
“Aku menyukaimu, Tooru, aku meyukaimu lebih dari seorang teman.”
Mata Tooru melebar. Persis seperti yang diharapkan, Satsuki terkikik.
Tooru adalah cowok yang baik. Dia tidak memandang gadis dengan pandangan seperti itu. Tidak peduli bagaimana Jun dan Akane mengaturnya, tak peduli seberapa mudah Amane, Tooru takkan bertindak berdasarkan itu. Mungkin tidak aneh untuk memanggilnya sedikit tidak peka. 
Itulah mengapa dia harus membuat Tooru mengerti.
Satsuki berlutut. Kemudian, dia dengan ringan mendekatkan bibirnya ke bibir Tooru dan menciumnya. 
Persis seperti yang diharapkan lagi, wajah Tooru menegang dan berubah menjadi merah seperti tomat. Satsuki menatapnya dengan penuh kasih sayang dan berbicara langsung dari hatinya.
“Aku tahu kamu tidak memandangku dengan hubungan seperti itu. Tapi ciuman itu untukku. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku tahu aku menyukaimu dan aku tidak bisa berhenti melakukannya.”
Tooru diam-diam mendengarkan. Ia tidak mencoba untuk melucu, Ia juga tidak menolaknya. Ia hanya mendengarkan pernyataan Satsuki.
“Awalnya, kita hanya berteman. Tapi sekarang, aku sudah sangat menyukaimu. Aku tidak bisa membayangkan masa depan tanpamu.” 
“Satsuki ...”
“Jadi, kumohon ...”
Satsuki berseri lebih cerah dari sebelumnya.
“... tetaplah bersamaku.”
Mana mungkin Tooru mengharapkan semua ini terjadi hanya karena meminjam syalnya. Hal yang sama berlaku untuk Satsuki. Yang bisa sia lakukan hanyalah menunggu jawaban dari Tooru.
Tooru melihat ke atas dan melihat ke bawah, berpikir. Lalu — Ia menyentuhkan jarinya ke bibir Satsuki.
“Kau menciumku ... kan?”
“Ya.”
“Kau, Satsuki.”
“Ya.”
Tooru menggumamkan pertanyaan demi pertanyaan dan Satsuki menjawabnya dengan penuh kasih sayang. 
Setelah mengklarifikasi beberapa hal, Tooru perlahan membungkuk untuk memeluk Satsuki. Lengannya gemetaran. Ia benar-benar tidak memiliki pengalaman dengan perempuan sama sekali , pikir Satsuki. 
Dia membalas pelukannya dan membelai punggungnya. Tooru sedikit tersentak tetapi tidak menolaknya. 
Kemudian, Satsuki mendengar suara Tooru tepat di samping telinganya.
“Satsuki.”
“Ya.”
“Aku ... masih tidak tahu apa aku bisa mengatakan aku juga menyukaimu. Tapi aku benar-benar senang mendengar apa yang kau katakan. Jujur.”
Dia tahu kalau Tooru berkata jujur. Dia tahu Tooru mencoba yang terbaik untuk tidak melukai perasaannya.
“Aku hanya seorang siswa SMA. Aku tidak tahu apa artinya bersama seseorang. Tapi ... jika aku bisa bersamamu, aku merasa aku bisa menghadapi dunia.”
Tooru dengan hati-hati mengucapkan kata-katanya dan air mata Satsuki tumpah.
“Tooru ...”
"Jadi, tolong ... tolong tetaplah bersamaku juga.”
Air matanya menetes dari pipinya lagi. Satsuki memeluk erat Tooru dan diam-diam menangis di pundaknya saat Tooru dengan lembut menepuk punggungnya. 
Mereka berdua saling berpelukan sampai Satsuki berhenti menangis.


close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama