Otonari no Tenshi-sama Chapter 131 Bahasa Indonesia

Chapter 131

 

Mereka beristirahat, Amane lalu pergi membeli minuman, dan melihat Mahiru didekati oleh dua cowok.

Itu sebabnya aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.

Meski pengunjung hari ini tidak terlalu ramai, tapi Amane harus mengantri di stand makanan saat membeli minuman. Seperti yang diduga, Mahiru sedang dirayu oleh cowok.

Mereka mungkin takkan mengajaknya pergi dengan paksa karena berada di tempat terbuka, tapi Amane merasa jengkel sebagai pacarnya.

Mahiru jelas-jelas menunjukkan keengganannya. Tampaknya dia tidak menunjukkan senyum ala tenshi di hadapan cowok yang tidak dia kenal ini.

Wajah tanpa ekspresi itu, ditambah dengan rashguard, tidak menunjukkan celah, dan Amane menghela nafas karenanya.

… Kalian tidak bisa mendapatkan pacar karena kalian tidak bisa memahami betapa tidak sukanya dia sekarang.

Ngomong-ngomong, menurut Itsuki, “Orang-orang yang merayu gadis sambil mengabaikan reaksi si gadis dan mencoba untuk memaksakan diri sama sekali tidak populer, dan itu cuma berakhir menjadi canggung." Amane juga setuju dengan  pernyataan itu.

Bagaimanapun juga, Mahiru mengenakan rashguard cowok, yang entah bagaimana mereka lewatkan, atau mungkin mereka kurang pengertian.

Mahiru sedang duduk di bangku, di mana mereka setuju untuk bertemu. Dia tidak bisa lari dari dua cowok yang mencoba merayunya, karena dia tidak bisa bergerak sampai Amane kembali.

Amane memutuskan untuk meminta maaf padanya dengan 'maaf sudah membuatmu menunggu', dan bergegas menuju Mahiru.

“Maaf membuatmu menunggu.”

Sembari membawa minuman, Ia berbicara dengan Mahiru, yang sedang menunggu di bangku, dan Mahiru langsung terlihat gembira. Para perayu benar-benar menyebabkan banyak masalah baginya.

Dua cowok perayu tampak tercengang melihat ekspresi Mahiru berubah seperti menjadi orang yang berbeda, seolah disergap, dan melihat ke arah Amane.

Begitu mereka melihat penampilannya, mereka menunjukkan rasa superioritas yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena penampilan biasa Amane.

Lagipula, mana mungkin Ia bisa muncul dengan rambut yang di-wax. Amane sudah berusaha menata rambutnya, tapi tidak terlihat semenarik saat Ia menggunakan pomade.

“Maaf, aku sedang bersamanya. Tolong jangan mengundangnya.”

Amane tidak keberatan dengan tatapan cemooh mereka, karena Ia sudah terbiasa dihina dan diremehkan. Sebaliknya, dia menunjukkan senyuman kepada orang asing, dan senyuman mereka menjadi keji.

“Denganmu? Serius? Kau pikir kau pantas dengannya? ”

“Cowok suram sepertimu benar-benar bisa membawanya… hei, yang benar saja.”

Maaf karena sudah menjadi cowok yang suram, pikirnya. Memang benar bahwa penampilannya tidak menonjol, dan Amane tidak ingin membantahnya.

Namun, mereka bukanlah tandingannya. Mahiru memiliki penampilan yang polos, elegan, dan cantik. Cowok-cowok sembrono yang sembarangan melemparkan jala mereka ke tempat lain setelah merayu gadis-gadis tidak mungkin cocok untuknya.

Amane tidak menimbulkan masalah, dan bertanya-tanya apakah Ia harus membantah pernyataan mereka sambil mencoba untuk tidak membuat mereka marah. Saat Amane sibuk memikirkan cara keluar dari situasi genting, Mahiru tiba-tiba tertawa.

Amane tiba-tiba melihat ke arahnya, dan melihat Mahiru menutupi mulutnya dengan anggun.

“Jika kita ingin bertanya apakah Ia ceria atau muram, menurutku Amane-kun lebih cenderung suram.”

“Kau tertawa…?”

“Aku tahu kalau Ia tidak ceria, karena Ia orangnya kalem dan tenang.”

Amane tidak tahu apa yang ingin dikatakan Mahiru, jadi Ia mengawasinya diam-diam. Kemudian, Mahiru melihat kea rah dua cowok perayu untuk pertama kalinya.

Tidak ada niat baik, hanya ada sensasi dingin yang menggigil.

… Apa dia marah?

Mahiru benci saat Amane diremehkan, dan jelas tidak punya perasaan pada cowok-cowok ini. Dia sepertinya meremehkan mereka.

“Tapi dengan asumsi Ia suram, memangnya ada masalah?”

Mahiru tidak terdengar marah saat mengatakan itu.

Namun, dia terdengar seolah-olah tidak ada masalah, dan cowok yang berusaha merayunya tidak bisa berkata-kata.

“Aku menyukainya, jadi tidak peduli apakah Ia suram atau ceria. Aku suka dengan kepribadian, penampilan, dan temperamennya, semua hal tentang dirinya, dan sifatnya hanya sepele.”

Mahiru berkata dengan tegas, dan berbalik ke arah Amane, dan tersenyum.

Jantung Amane berdetak kencang begitu Ia melihat senyum Mahiru yang tidak akan pernah ditampilkan kepada mereka. Ia merasa mencolok karena Ia tidak pernah mengharapkan Mahiru untuk menyatakan cintanya secara terbuka, tapi yang lebih penting, hatinya merasa sangat gembira.

“Akan sangat bagus jika kalian bisa bertemu dengan wanita luar biasa yang berpikir demikian di masa depan, Onii-san.”

Ringkasnya, dan tidak menunjukkan senyum madu dan coklat yang meleleh dan dicampur aduk, melainkan senyum Tenshi yang biasa ditampilkan kepada orang asing. Mereka hanya bisa menatap kosong ke arah Mahiru.

Wajah kedua cowok itu memerah, mungkin karena senyum Mahiru yang terlalu mempesona.

“Ah, tidak, erm…”

“Hei, Onii-san, lihat ke sebelah sana.” 

Sementara mereka tergagap dan mencoba untuk mengatakan sesuatu ke Mahiru, Amane dengan acuh tak acuh melambaikan tangan mereka, dan menunjuk ke tempat lain.

Mereka melihat ke arah yang ditunjuk Amane, dek pengawas, tempat seorang pria sedang mengawasi mereka.

Fasilitas keamanan di kolam ini ditempatkan dengan baik, dengan penjaga kolam mengawasi setiap sudut. Tugas utama mereka adalah mengingatkan orang untuk tidak main-main di tepi air, untuk mencegah kecelakaan, tapi tentu saja, mereka akan mengawasi orang-orang yang mencurigakan juga.

Penjaga kolam sudah menyadari mereka sejak Mahiru diganggu, dan sering melirik ke arah mereka.

Begitu mereka memperhatikan penjaga kolam menatap mereka, mereka menatap canggung, dan buru-buru pergi.

Mereka berani berbicara dengan sosok yang tak terjangkau yang jelas-jelas membawa pacarnya, namun begitu malu-malu tentang ini. Tidak heran kalau Amane tertawa terbahak-bahak.

Mereka berdua akhirnya ditinggalkan sendirian, dan Amane duduk di sebelah Mahiru.

“Maaf aku terlambat.”

Pertama-tama, Ia harus meminta maaf.

Bagaimanapun juga, Mahiru didekati karena Amane meninggalkannya sendirian, yang mana membuat mood-nya memburuk.

“Aku baik-baik saja. Di sana harus mengantri, bukan? Ini sering terjadi saat aku sendirian.”

“… Meski kau bilang begitu, tapi itu masih salahku karena meninggalkanmu sendirian. Kurasa kau pasti merasa takut.”

“Tidak kok, karena mereka bisa berkomunikasi dengan baik.”

Sebenarnya, aku pikir orang-orang itu hanya khawatir tentang bagaimana orang lain akan memkaung mereka.

Percakapan mungkin akan berlangsung sedikit lebih lama jika bukan karena penjaga kolam. Amane bermaksud untuk menyeret tangan Mahiru dan pergi jika situasinya terlalu merepotkan, tapi karena mereka pergi lebih dulu, Amane tidak punya keluhaan apapun.

Amane menyerahkan jus jeruk yang diinginkan Mahiru, dan menyesap soda jeruk nipis yang Ia pesan melalui sedotan.

“… Kau tidak merasa takut?”

“Ketimbang itu, aku merasa mood bagusku sedang rusak.”

“Maaf, tolong jangan khawatir tentang itu.”

“Ini bukan salahmu, Amane-kun ... tentu saja, izinkan aku mencoba minumanmu.”

Itu membuat kita impas, Mahiru menunjuk pada soda lemon-lime Amane, dan tersenyum nakal. Aku akan menyerahkannya padamu, Amane tersenyum kecut, dan menyerahkan cangkir itu padanya.

Mahiru membuat candan supaya Amane tidak merasa terlalu bersalah, dan Ia benar-benar merasakan betapa menyesalnya dirinya, bersama dengan keanggunannya.

Mahiru tidak bertanya apa-apa lagi tentang kejadian itu, menerima soda, dan menyesapnya… dan Mahiru tiba-tiba mengerutkan kening, matanya berkaca-kaca.

Rasa asam karbonat sedikit mengejutkannya, tapi seharusnya tidak cukup untuk membuatnya bereaksi berlebihan. Amane bisa meminumnya dengan normal, tapi sepertinya tidak untuk Mahiru.

“Ah, apa rasanya aneh?”

“… Tidak, aku hampir kurang suka minuman bersoda… ini sangat menyengat.”

Mata Mahiru agak lembab, mungkin karena terlalu merangsang lidah. Biasanya, dia akan minum air, teh, kopi, atau jus buah yang diperas. Amane belum pernah melihatnya meminum minuman bersoda.

Dia tidak terlalu takut pada makanan pedas, tapi sepertinya dia tidak bisa menahan kegelisahan seperti itu.

“Menurutku seseorang yang tidak pernah meminum minuman bersoda harus minum sesuatu yang sekasar ini ... kenapa kau justru meminum ini?”

Kau seharusnya sudah menduga ini, ujar Amane sambil mengambil soda dari Mahiru, lalu mengelus-elus kepalanya. Matanya yang lembab karena gelisah, menatap Amane.

“... Aku ingin mencicipinya bersamamu, Amane-kun.”

Begitu mendengar gumaman kecil ini, Amane hampir menjatuhkan sodanya, tapi  berhasil mencegah tragedi itu.

… Pacarku benar-benar luar biasa imut.

Kata 'luar biasa' mungkin terdengar meremehkan, tapi sebenarnya itu adalah kata pujian yang lumayan tinggi. Amane merasa itu tak tertahankan.

Ekspresi dan gesture tubuh Mahiru saja sudah menggemaskan, dan ditambah pula dia mengatakan kalau dia ingin berbagi sesuatu. Jelas saja Amane ingin berteriak kencang untuk melepaskan rasa gatal yang menggelitik hatinya.

Bagaimanapun, karena Mahiru terlalu menggemaskan, Amane tidak berani melihat wajahnya secara langsung, dan hanya memegang tangannya, memalingkan wajahnya ke tempat lain. Mahiru kemudian mengunci sikunya, dan bersandar pada Amane.

“… Aku ingin jus jerukmu juga.”

“Fufu, tentu.”

Amane melihat ke tempat lain saat dia mengistirahatkan sikunya di pagar bangku, dan tidak melihat ke arah Mahiru yang terkekeh.

Oleh karena itu, Ia tidak pernah menyadari mereka mendekat.

“Yo, Nyonya yang imut dan mas-mas herbivora di sana, bagaimana kalau kalian bermain bersama kami?”

Mahiru dan Amane mendengar suara sembrono yang terdengar tidak asing, yang tidak mereka duga di tempat ini.




close

9 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama