Chapter 01 —2 gadis SMA
Sekarang adalah akhir dari liburan
Golden Week bersama dengan turbulensi yang menyertainya. Sesuatu terjadi pada
hari tertentu di bulan Mei pukul 10:38 malam.
Aku tertegun dengan smartphone menempel
di telingaku. Suara pria di ujung seberang telepon adalah orang tuaku; Ia
mungkin baru saja memberitahuku sesuatu yang mengejutkan, tapi info tersebut
terlalu mendadak sehingga otakku tidak dapat memprosesnya.
“Ada apa, Yah? Aku tidak bisa
mendengarmu.” Aku berbicara dengan ragu-ragu.
“Hm? Apa sinyalnya lagi buruk? Kau
sudah tahu tentang sepupumu Kanon, ‘kan? Dia putri Bibi Shouko. Aku ingin kamu
merawatnya untuk sementara waktu.”
“…………………………”
Aku hanya bisa terdiam.
Tawa khas acara TV bisa terdengar
dan mendominasi kesunyian dalam ruangan. Permintaannya membuatku terkejut.
☆☆☆☆
“Haaah ……”
Aku menghela napas segera
setelah menutup telepon. Sambil merosot di sandaran sofa, aku meneguk birku
yang setengah kosong saat mendengarkan suara pembawa acara berita. Itu sangat
mengerikan, karena birnya sudah tidak dingin dan karbonasinya hilang. Menole ke
samping, aku melihat jam dinding, dan melihat bahwa sekarang baru lewat pukul
11 malam.
Sekali lagi, aku teringat
dengan percakapan yang terjadi sebelumnya. Ayahku tidak pernah meneleponku pada
malam hari sebelumnya jadi firasat tidak enak terlintas dalam benakku. Awalnya,
aku penasaran apakah kondisi ibuku yang dirawat di rumah sakit semakin memburuk.
Namun, beliau justru memberi tahuku sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan.
Menyadari situasinya, aku mencoba mengistirahatkan kepalaku di pangkuan tangan.
Jadi, aku menerima permintaan
Ayah.
Meski aku tidak punya alasan
kuat untuk menolak, tapi kepalaku masih memikirkannya. “Hidup bersama dengan
gadis SMA, huh. Tidak mungkin…"
Kurachi Kanon.
Meski dia adalah sepupuku, aku
sendiri tidak terlalu mengenalnya.
Bibi Shoko, ibunya, adalah
seorang ibu yang sibuk dengan pekerjaan dan jarang berkunjung. Kanon tidak
pernah meninggalkan banyak kesan dalam diriku selain gadis kecil yang bersembunyi di belakang
ibunya, yang dengan lembut mengucapkan salam.
Jika aku mengingatnya dengan
benar, terakhir kali aku melihatnya adalah pada Hari Tahun Baru, 8 tahun yang
lalu. Bibi Shoko memberiku hadiah untuk merayakan kelulusanku. Dia memang pernah
menyebutkan kalau Kanon sudah kelas tiga SD saat itu ... ya, itu cocok - dia
sekarang duduk di bangku SMA.
“Kanon seharusnya berkunjung
hari ini,… Ternyata, Shouko-san pergi dan belum pulang selama tiga hari. Dia
berharap aku tahu dimana dia. Sepertinya dia juga sering melakukan itu sehingga
Kanon tidak peduli tentang itu. Namun, seorang gadis yang tinggal sendirian
adalah sebuah masalah. Kazuki, ibumu saat ini di rumah sakit dan aku
menghabiskan waktu luang bersamanya jadi terus terang saja, aku tidak bisa
menjadi walinya. Sekarang, aku ingin kamu menjaganya. Selain itu, sekolah Kanon
lebih dekat dengan apartemenmu ketimbang di sini.”
Bibiku tiba-tiba menghilang.
Berbagai pertanyaan seperti mengapa atau apakah ada laporan orang hilang yang
telah diisi muncul di benakku, tetapi aku tidak sempat bertanya. Tidak, ini
lebih seperti aku tidak diberi waktu untuk bertanya.
“Pokoknya, aku perlu
beres-beres…”
Tinggal bersama dengan seorang
gadis SMA membawa implikasi bahwa aku perlu beres-beres sampai larut malam.
Karena aku tidak mengharapkan siapapun untuk mengunjungiku, kamarku jadi berantakan.
Mengingat waktu, aku tidak bisa melakukan pembersihan menyeluruh, tapi
setidaknya aku bisa membuang kaleng dan sampah kosong yang berserakan di
sekitar meja dan kompor.
Satu per satu aku mengumpulkan
kaleng, lalu menaruhnya ke dalam plastik kresek. Rasanya merepotkan menangani
wadah makanan kosong karena ukurannya yang besar, dan sekarang aku menyesal
menggunakan semua kantong sampah beberapa hari yang lalu dan tidak segera
menggantinya.
☆☆☆☆
Keesokan paginya, aku baru saja
selesai memakai dasi ketika intercom pintu berdering. Aku menghabiskan waktu
sekitar satu jam untuk bersih-bersih tadi malam sehingga aku hanya tidur
sedikit dari biasanya, tapi ada alasan yang lebih besar mengapa aku tidak bisa
tidur nyenyak.
Aku menenangkan suaraku dan
menjawab—
“Iya?”
“Errrr… apa benar ini kediaman
Komamura-san?” Aku bisa mendengar kebingungan dari suaranya, mungkin karena aku
belum memperkenalkan diri.
“Benar. Dan kamu…? ”
“Kanon.”
Meskipun suaranya lebih dewasa
sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar, tidak diragukan lagi itu adalah
suara Kanon. Terus terang, aku agak skeptis dengan permintaan tadi malam, dan
menduga kalau itu hanya halusinasi yang disebabkan oleh keadaanku yang mabuk, tapi
ternyata itu kenyataan.
Namun, tidak ada kamera di
interkomku. Ini hanya komunikasi dua arah melalui suara.
“Ayah sudah memberitahuku.
Tunggu dulu sebentar, aku akan membukakan pintunya.”
Setelah mematikan interkom dan
segera menuju ke pintu, aku menarik napas dalam-dalam saat memutar kunci.
Seharusnya tidak masalah. Aku sudah
mengepel lantai sepanjang malam jadi seharusnya tidak ada masalah. Aku
bertanya-tanya mengapa aku repot-repot jika menurutnya ruangan itu tidak cukup
baik karena sudah terlambat bagiku untuk melakukan apa pun.
Saat aku mendorong pintu, aku
melihat seorang gadis berpakaian seragam berdiri di sana. Dia memiliki
perawakan mungil dan mengenakan blazer hijau tua yang melengkapi rambutnya yang
berwarna cerah. Tidak peduli bagaimana aku melihatnya, dia adalah sosok gadis
SMA modern. Penampilannya yang ada di dalam ingatanku berbeda dari yang berdiri
di depanku. Sejujurnya, aku sedikit terkejut. Ya, dia adalah seorang gadis SMA,
Kamu tidak bisa tidak ingin berdandan dengan cara yang berbeda.
Meski begitu, seragamnya ...
Aku ingin tahu mengapa mataku selalu
tertarik dengan seragam anak SMA.
“Ahh, uhm, sudah lama tidak
bertemu, Pak.”
Dengan gugup, tatapan Kanon
jelalatan dan membuat salam canggung. Ketika
gugup, orang lain pun akan ikutan gugup.
Baiklah kalau begitu! Sekarang
waktunya di mana aku menunjukkan martabatku sebagai orang dewasa. Meski begitu,
aku sendiri tidak pernah menyadarinya sampai sekarang. “Masuk saja dulu. Kamu
perlu menaruh barang bawaanmu.”
Bagus,
pikirku, kata-kataku tidak terlalu keras dan gagap. Mengikuti di belakangku,
Kanon ikut masuk ke dalam. Sesaat aku merasakan kerutan alis, meskipun aku
tidak tahu kenapa.
Dia melepas sepatunya dan
menatanya dengan benar.
“Pertama, barang bawaanmu. Kamu
bisa menaruhnya sesukamu untuk saat ini. ”
“…Baik.”
Sambil bergumam, dia mengikutiku
tepat setelahnya. Apa dia menyadari kalau aku bersikap sok? Saat dia memasuki
ruangan, rasanya dia membuang formalitasnya dan itu membuatku sedikit kesal.
Seperti yang diharapkan dari seorang gadis SMA.
Mengintip kopernya, aku
perhatikan kalau isinya hanya terdiri dari tas Boston dan tas sekolahnya yang
menurutku terbilang sedikit untuk gadis seusianya. Dia pasti membawa bawaan seminimal
mungkin.
“Apa kamu sudah sarapan?”
“Aku membeli roti dari toko
swalayan di depan stasiun."
Balasannya lebih blak-blakan
dari sebelumnya.
Apa dia bersikap waspada padaku?
Sejujurnya, aku bahkan tidak tahu bagaimana memperlakukan gadis seusiaku. Aku
cuma memiliki adik laki-laki, dan ketika aku masih jadi anak sekolahan, aku
tidak dapat berhubungan dengan percakapan kakak perempuan teman sekelasku.
Namun, meski dia anak SMA, dia masih tetap anggota keluarga.
Aku akan terbiasa nanti.
Mungkin.
Bagaimanapun, aku merasa lega
dengan jawaban Kanon. Satu-satunya hal yang mendekati dianggap sarapan di sini
adalah sepotong roti. Selain itu, yang ada di kulkasku hanya air mineral,
kaleng bir murah, telur, kimchi, dan cumi kering. Aku juga tahu bahwa tidak
baik membiarkan siswa makan kimchi dan cumi-cumi di pagi hari.
Tatapan mataku bertemu dengan
mata Kanon. Dia menatapku dalam diam. Dia kemudian mengamati ruangan dan
akhirnya menatapku lagi. Matanya sama sekali tidak hangat. Nyatanya,
pandangannya terasa agak tajam.
“Apa ada masalah?”
Apa dia melihat sesuatu yang
tidak menyenangkan? Aku yakin aku telah melakukan yang terbaik untuk
bersih-bersih tadi malam, jadi dia tidak akan melihat sesuatu yang aneh.
Seharusnya cuma ada furnitur biasa dan barang-barang rumah tangga biasa,
menurutku.
“…Bukan apa-apa.”
Dia lalu membuang muka, seolah-olah
memberi kesan “Aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan padamu". Aku tidak
mengerti. Berurusan dengan gadis SMA memang sulit.
Tiba-tiba aku memikirkan waktu,
jadi aku melihat ke jam.
… Aku harus mulai pergi
sekarang atau aku akan ketinggalan kereta.
“Sudah waktunya aku pergi
kerja. Apa kamu tahu jalan menuju ke sekolahmu dari sini? Mau ke stasiun
bersama? ”
“Tidak, terima kasih, aku punya
smartphone. Itu saja sudah cukup bagiku.”
Jawabannya menunjukkan ketidakpedulian
saat dia membawa jarinya ke layar smartphone. Melihat bagaimana dia berhasil
mengayunkan jarinya, dia mungkin lebih akrab dengan operasinya daripada aku. Aku
hanya menggunakan milikku untuk permainannya dan panggilan telepon sesekali
dari rekan kerjaku.
“Aku rasa itu saja. Mari kita
bahas secara detailnya setelah aku pulang dari kerja. Meski begitu, aku mungkin
akan pulang terlambat jadi aku akan memberikanmu kunci duplikatnya.”
Aku memberinya duplikat yang aku
lihat saat aku membersihkan tadi malam.
“…Terima kasih.”
Kata-kata terima kasihnya
memberiku sedikit perasaan lembut. Dia segera menaruh kunci di dompetnya,
kemungkinan besar supaya tidak akan hilang.
“Sampai jumpa lagi, mari kita
bicarakan lagi setelah aku pulang.”
“…Ya.”
Setelah percakapan singkat itu,
aku memunggungi Kanon dan meninggalkan rumah. Bisakah aku bergaul dengan Kanon
jika terus begini? Perasaan cemas yang tiba-tiba menyerangku, mau tidak mau aku
memikirkannya sekarang.
Aku mungkin harus kembali
secepat mungkin jika waktu mengizinkan. Lagipula, ini bukan waktu yang sibuk
bagiku. Aku memantapkan tekadku saat aku berjalan melewati lorong.
Sinar mentari pagi menyinari
separuh tubuhku. Langit hari ini terlihat cerah, tetapi prakiraan cuaca
mengatakan kalau hujan akan turun pada sore hari. Tidak masalah jika aku pulang
sebelum itu. Aku segera mengabaikan pemikiran tentang cuaca saat aku menekan
tombol lift.
☆☆☆☆☆
Sekarang sudah jam 5 sore. Suara
alarm yang menandakan akhir pekerjaan bergema di seluruh kantor. Aku sudah
membereskan mejaku dan berdiri saat alarm berbunyi.
“Hei, Komamura. Gimana kalau
kita pergi minum-minnum nanti? ” Rekan kerjaku, Isobe, bertanya sambil menguap.
“Tidak, aku mau langsung pulang
saja.”
Aku mungkin bisa ikut jika aku
tidak punya rencana sebelumnya, tapi Kanon seharusnya sudah menunggu aku di
rumah. Aku sudah memutuskan pagi ini untuk pulang jika pekerjaan sudah selesai.
“Kurasa apa boleh buat.
Sepertinya kamu sudah siap untuk pergi. Sampai jumpa besok.”
Sambil bersandar di kursinya,
dia mengulurkan tangannya dan melambai selamat tinggal. Dia berhenti menekanku
karena alasan ketika aku menolaknya terlalu banyak. Dia mungkin juga
menganggapku sebagai orang yang murung, meskipun aku tidak setuju dengan itu.
Namun, aku tidak mengatakan tidak hanya karena aku tidak ingin bergabung
dengannya. Tapi jika aku memberi tahu dia alasannya, akan sulit bagi aku untuk
menjelaskannya.
Aku segera meninggalkan area
kantor tanpa menoleh ke belakang.
☆☆☆☆☆
Kereta di malam hari sangatlah
sesak, tidak seperti pagi ini. Tampaknya ada perjalanan yang terhenti karena
kecelakaan. Karena itu, jumlah penumpang yang menunggu bertambah. Meski ini
bukan jam sibuk pagi hari, ada cukup banyak tubuh yang bisa disentuh dan
berdesak-desakan. Ada juga orang-orang yang mengobrol dan itu membuat suasana
gerbong cukup berisik.
Aku mencengkeram tali tasku
ketika aku menatap iklan obat sakit kepala ketika gerbong tersentak. Seorang pria
paruh baya yang berada di depanku tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan itu
membuat kepalanya menyenggol kacamataku, sedikit tidak sejajar. Aku segera
memperbaikinya dengan satu tangan.
Pria ini tidak menunjukkan tanda-tanda
melihat ke belakang atau meminta maaf. Itu membuatku sedikit kesal. Mengatakan
sesuatu yang tidak perlu hanya akan menyebabkan seseorang terjebak dalam
keadaan yang aneh. Aku tidak ingin terlibat dalam masalah apa pun.
Aku menenangkan diri, dan
mencoba melihat kembali iklan di depanku lagi, tapi…
(…
Hm?)
Aku merasa tidak nyaman.
Ini adalah sesuatu yang
biasanya aku abaikan, sesuatu yang
sangat sepele, tetapi ada sesuatu yang memberitahuku bahwa bukan hanya itu.
Di depan pria paruh baya yang
menyenggol kacamataku, ada seorang gadis muda yang menghadap jauh darinya.
Dengan tubuh dan tangannya di dekat pintu masuk, itu menciptakan perasaan
suasana yang sedikit sempit. Ini adalah skenario yang cukup umum yang biasa
kamu lihat saat kereta ramai.
Namun, ekspresinya menunjukkan
sebaliknya.
(Jangan
bilang…?)
Aku melihat pria di depanku
lagi. Jaraknya dengan gadis itu terlihat sangat dekat. Berhubung jumlah
penumpang cukup padat, keadaan berdempet memang tidak bisa dihindari tapi meski
begitu… apa yang membuatku tidak nyaman karena…
“Pelecehan seksual?”
Tapi aku tidak bisa melihat
tangannya dari tempatku berdiri. Pria besar di sampingnya bertindak sebagai
tembok yang sempurna.
Apa yang harus aku lakukan?
Tidak.
Aku tidak bisa melakukan
apapun. Mungkin saja aku salah mengira mengenai hal lain. Jika itu masalahnya, aku
menjerumuskan pria itu kematian sosial yang tidak pantas. Ada juga kemungkinan
dia akan mengamuk.
Benar, aku akan berpura-pura
tidak melihatnya—
Tapi tatapan mataku bertatapan
dengannya pada saat yang tepat.
Dia adalah seorang gadis di
sebelah pintu kaca. Ekspresinya tegang dan sepertinya dia akan mengeluh. Pada
saat itu, wajah dan balasan jujur Kanon
muncul di benakku. Gadis itu tampaknya seumuran dengannya.
……………………
Apa itu lima detik? Sepuluh?
Atau mungkin tiga puluh. Aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu tetapi aku
jadi semakin khawatir.
Semakin lama waktu berlalu,
semakin besar perasaan ingin membantunya.
Apa yang akan aku lakukan jika
dia adalah Kanon?
Apa aku akan menolongnya tanpa
ragu-ragu?
Aku melihat ke pintu kaca lagi.
Dia menutup matanya seolah-olah dia sedang melawan.
Orang ini pasti penjahat
kelamin, tidak diragukan lagi.
Aku memutuskan untuk meraih
bahu pria itu.
“—Hah?!”
Bahunya gemetar saat Ia balas
menatapku. Matanya terbuka lebar dan menatapku dengan heran. Ketakutan di
matanya terlihat jelas, Ia mungkin mengira tidak akan tertangkap.
Tapi kemudian—
Kereta itu berhenti dengan
bunyi gedebuk. Sentakan itu hampir menjatuhkanku, membuatku melepaskan
cengkeramanku pada bahu pria itu.
Sial. Kami sampai di stasiun!
Segera setelah pintu terbuka,
gadis itu bergegas maju ke peron dengan tergesa-gesa. Setelah itu, pria itu
turun dari kereta untuk melarikan diri.
Aku pun berusaha mengejarnya.
Sayangnya, stasiun itu penuh
sesak dengan orang-orang yang bergegas untuk pulang. Dia dengan mudah melewati
kerumunan dan dalam waktu singkat menghilang. Aku mencoba untuk mengikutinya tapi
seolah-olah diberi aba-aba, banyak orang keluar dari kereta yang baru saja tiba
sehingga aku tidak dapat bergerak cepat. Sekarang jadi mustahil untuk
mengejarnya.
“Keparat!”
Aku berteriak dengan kesal.
Aku membiarkannya kabur…
Tapi apa-apaan dengan pria itu?
Larinya terlalu cepat, apa Ia sudah terbiasa?
Aku teringat tentang gadis itu.
Dia masih berdiri di tengah stasiun, tertegun. Dilihat dari wajahnya yang
pucat, aku yakin pria itu pasti penjahat pelecehan seksual.
Memang benar bahwa paha dapat dilihat
dari celana pendeknya, tapi masuk akal untuk mengetahui bahwa itu adalah
sesuatu yang dapat disentuh tanpa persetujuan.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Aku memanggilnya. Bahunya
gemetar karena terkejut sebelum dia menoleh padaku.
“Ah?! Ah, i-ya. ”
“Aku bisa saja salah sangka
tapi… apa pria tadi menyentuhmu?”
“Ya… Ia menyentuhku… jadi
pelecehan seksual memang ada, ya…?”
Rasa bersalah melandaku. Jika aku
mencengkramnya dengan kuat, aku bisa menangkapnya dan menyerahkannya kepada
petugas stasiun.
“Apa kamu ingin melaporkan
karakteristik pria tadi itu ke polisi? Aku bisa memberikan kesaksiannya. ”
“Eh ?! Tidak, tidak apa-apa,
sungguh. ”
“Tapi—”
“Saya sangat berterima kasih
karena sudah menolong. Ini adalah pertama kalinya yang pernah terjadi pada saya
jadi saya kebingungan ... tapi saya pasti akan berbicara lain kali!”
“Kamu mungkin tidak bisa mendapatkan
pertolongan lain kali.”
“It-Itu mungkin benar, tapi ...
Uhm, tidak apa-apa, Anda tidak perlu melaporkannya! Ini beneran baik-baik saja!
”
Dia bersikeras tentang itu
karena suatu alasan. Meski dia baik-baik saja dengan itu, wanita lain mungkin
tidak dan…
Tapi, tidak ada alasan bagiku,
orang asing, untuk melangkah sejauh ini. Haruskah aku mematuhi permintaannya
dan tidak memberi tahu petugas stasiun? Tapi rasanya sedikit tidak enak buat
hatiku.
“Jika kamu mengatakan itu lebih
jauh maka ... Aku akan berhenti.”
Hukuman karma pasti akan datang
untuk pria tua itu, cepat atau lambat.
Setelah menyerahkan semuanya
kepada Tuhan, aku antri lagi. Secara alami, kereta tempatku naik telah pergi,
jadi aku harus menunggu kereta berikutnya. Ngomong-ngomong, aku harus cepat
pulang. Aku benar-benar lupa bahwa Kanon sedang menungguku.
“Eh? Uhm, Anda tidak turun di
stasiun ini? ”
“Ya.”
“Jadi bukan hanya imajinasiku
saja yang membuat pandangan mata kita bertemu melalui kaca ... Terima kasih
telah melakukan yang terbaik demi aku.” Rambut sebahunya tergerai saat dia
menundukkan kepalanya. Aku tidak benar-benar bisa membantunya, jadi dia tidak
perlu berterima kasih kepadaku. Rasanya menjadi agak tidak nyaman, jadi aku hanya
bisa menyentuh bagian belakang leherku sebagai tanggapan.
“Dan, uhm, aku tidak ingin bersikap
kurang ajar atau apa pun, tapi aku ingin meminta bantuanmu ...”
“Oh? Apa kamu ingin pergi ke
petugas stasiun?”
“Tidak, bukan itu…”
Dia kemudian mengatupkan kedua
tangannya di depan dadanya dan—
“Er… hanya untuk hari ini saja
sudah cukup. Bolhkah aku tinggal bersamamu malam ini…? ” Dengan mata berair,
dia membuat permintaan yang tidak terbaca.
“—Hah?”
Aku tidak sengaja meringis saat
mendengar permintaannya.
☆☆☆☆
Pada saat aku keluar dari
stasiun, langit sudah benar-benar gelap. Saat aku bergegas pulang, gadis tadi
mengikuti di belakangku.
Aku belum berhasil lepas
darinya sejak saat itu. Aku tidak dapat memanfaatkan kerumunan karena jumlah
penumpang di stasiun lebih sedikit daripada di tempat lain. Aku mencoba berlari
sepanjang jalan, tapi karena aku menggunakan banyak energi secara tiba-tiba,
daya tahan tubuhku tidak dapat mengimbangi dan dia akhirnya menyusul aku.
Terakhir kali aku berolahraga
ketika aku masih menjadi mahasiswa dan itu membuat aku merasa sedikit sedih
dengan tenagaku yang menurun. Aku kira aku tidak bisa berlari secepat itu lagi.
Akhir-akhir ini, aku terlalu banyak minum bir dan mengalami sedikit perut
buncit… Aku merasa seolah-olah aku perlahan-lahan berubah menjadi orang tua.
Aku kembali menatapnya untuk menghilangkan
kenyataan yang menyedihkan.
“Menurutku, lebih baik jika
kamu pulang ke rumahmu…”
“Aku tidak sudi pulang le rumah
itu.” Jawab gadis itu.
… Dia memang benar-benar
sesuatu, oke. Aku telah mengatakan hal yang sama sejak awal, dan jawabannya
tidak pernah berubah.
Aku akan membawanya ke kantor
polisi dan akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya karena aku bisa dengan
mudah membayangkan keadaan akan berubah jadi berbeda jika dia menuduhku
menganiayanya atau aku memintanya untuk melakukan tindakan seksual atau bahkan
jika dia mengatakanku berbohong. Meski, menurutku dia bukan tipe orang yang
melakukan itu, tapi siapapun tidak akan
pernah tahu sepenuhnya berdasarkan penampilannya saja. Aku tidak akan terkejut
jika dia benar-benar punya kepribadian yang berbanding terbalik dari
penampilannya.
Aku atau gadis muda.
Aku tidak perlu berpikir dua
kali di pihak siapa yang akan polisi pilih. Aku pikir masyarakat Jepang bisa
memperlakukan pria dengan lebih baik tetapi… kenyataan memang sangat kejam, ya?
Bagaimanapun juga ini adalah
masalah. Bagaimana caraku lepas darinya? Haruskah aku mencoba berlari dengan
kecepatan penuh lagi? Saat aku merenungkannya, aku merasakan sensasi dingin
turun di kepalaku jadi aku melihat ke langit. Oh iya. Malam ini seharusnya hujan
...
“... Semisalnya, apa yang akan
kamu lakukan jika kamu tidak bertemu denganku malam ini?” Keingintahuanku
membuatku jadi lebih tenang jadi aku mencoba mendengarkannya.
“Hmm. Mungkin tidur di taman
atau di bawah jembatan di suatu tempat? ” Dia menyatakan dengan acuh tak acuh.
“Jadi, itu berarti kamu takkan
bertanya pada pria lain, kan? Katakan padaku. Dari semua orang, mengapa kamu
menanyakan hal ini kepadaku?”
“Jika aku harus mengatakan
alasannya… firasatku mengatakan kalau kamu adalah orang yang baik. Lagi pula,
dengan sedikit kontak mata, Kamu tahu kalau aku sedang terdesak dan masih
membantuku. Ditambah pula, kacamatamu membuatku berpikir kalau kamu orang yang
sungguh-sungguh. ”
“Yah, walaupun itu benar…
bagaimana aku harus mengatakan ini… firasatmu mungkin bisa salah salah.” Aku
menindaklanjuti dengan menghela nafas.
Aku tidak tahu apakah aku akan
menganggapnya sebagai kecerobohan atau kenaifan.
Bukannya aku merasa sedih
mendengar seorang gadis SMA mengatakan bahwa aku “terlihat seperti orang baik”,
tapi ini dan itu adalah dua masalah yang berbeda. Apa dia tidak pernah melihat
berita tentang gadis di bawah umur menjadi korban? Tidaklah aneh jika dia
terjebak dalam kasus semacam itu kapan saja, jadi aku agak bingung dengan ide
yang sepenuhnya terlintas dalam pikirannya.
“Ngomong-ngomong, berapa
umurmu?”
“Aku? Aku berusia 16 tahun,
kelas 2 SMA.”
Jadi dia duduk di kelas 2.
Kupikir dia sedikit lebih berpihak pada ………
Tidak. Sekarang bukan waktunya
untuk mengingat sesuatu.
“Gadis SMA kabur dari rumah?
Bukannya kamu sedikit terlambat untuk fase pemberontakan? "
“Itu… mungkin begitu. Aku sudah
terlalu lama menahannya dan sekarang aku tidak tahan lagi ...”
“Apa kamu sering dimarahi atau
sesuatu?”
“Ini sesuatu yang penting…
sesuatu yang terkait dengan mimpiku… telah dibuang.” Usai mengatakan demikian,
senyum mencela diri sendiri terlihat di bibirnya.
Hatiku tergerak sejenak. Aku
merasa seolah-olah hal-hal yang aku kubur jauh di dalam hatiku telah disentuh.
Dengan waktu seperti itu, kami
sudah sampai di depan kompleks apartemenku.
Hujannya cukup deras untuk
membasahi bahuku.
“Uhm… bahkan di depan pintu masuk
pun seharusnya baik-baik saja, aku bisa tidur di sana. Bahkan jika itu hanya
satu mal—”
“Siapa namamu?”
“Eh?”
“Nama.”
“Eh? Uhm, namaku Himari.”
“Baiklah, Himari. Kamu boleh
menginap di tempatku hanya untuk malam ini. Tapi hanya untuk malam ini. Yup,
cuma malam ini. Jika aku mengusirmu dalam cuaca hujan dan lamu terkena
pneumonia atau sesuatu karena aku membiarkanmu basah kuyup, aku tidak akan bisa
beristirahat dengan tenang. Jadi menginaplah. Tidak ada alasan lain. Aku akan
mengizinkanmu tinggal hanya untuk malam ini.”
Aku bersikeras dengan
pernyataanku jadi mudah-mudahan hal itu dapat menyampaikan maksudku.
Meskipun wajah bingung Himari
membeku untuk beberapa saat, dia akhirnya membungkuk dengan senyum lebar.
“Hanya malam ini saja tidak
apa-apa bagiku! Terima kasih banyak! Ini sangat membantu! Uh, …? ”
“Komamura.”
Himari terkikik karena suatu
alasan.
“…Apa ada yang salah?”
“Tidak ada. Hanya saja, firasatku
benar. Komamura-san ternyata orang yang baik ~ ”
Aku tidak tahu seperti apa
ekspresiku saat ini, tetapi aku mungkin terlihat getir sama seperti saat aku memakan
labu untuk pertama kalinya.
☆☆☆☆
Himari dan aku berdiri membeku
di ambang pintu.
Aku tidak pernah merasa lebih
muak pada kecerobohanku sendiri daripada saat ini.
Mengapa aku tidak kepikiran
kalau Kanon dan Himari mungkin akan bertemu…?
Tidak. Bukankah terlalu banyak
anomali yang terjadi padaku dalam satu hari?
Seperti tokoroten yang ditekan,
mau tidak mau aku melupakan acara pagi ini…
Lebih buruk lagi, aku hanya
ingat Kanon sekali ketika aku berada di stasiun.
Kanon tertegun untuk beberapa
saat. Dengan keraguan tertulis di seluruh wajahnya, dia menatapku dengan tidak
percaya dan mengucapkan kalimat pendek.
“Apa dia pacarmu? … Apa kamu
seorang lolicon? ”
Kata-kata itu menusuk hatiku
jauh lebih nyelekit dari yang kuharapkan. Tapi seolah-olah dia ingin membuat
situasi semakin jauh, Himari juga membuka mulutnya—
“Mungkinkah dia pacarmu yang
tinggal serumah? Eh? Tapi seragamnya… Anak SMA? Eh? Kamu punya selera seperti
itu, Komamura-san…? ”
“Dia bukan pacarku, oke? Kamu
berdua tenang dan dengarkan. Tak satu pun dari kalian adalah pacarku. Ini
hanyalah rangkaian peristiwa yang tidak bisa dihindari, hanya kebetulan belaka.
Tenanglah dulu, oke?”
Tidak, aku setidaknya orang
paling tenang di ruangan ini. Tapi bagaimana aku bisa ketika aku dicurigai sebagai
seorang lolicon? Seleraku adalah wanita dewasa dengan sedikit keseksian dan
terlihat bagus dengan stoking hitam, seseorang yang terlihat seperti
memanjakanku akan menjadi crème de la crème. Mereka berdua secara langsung
berlawanan dengan itu.
Tidak, jika aku ditahan di
bawah todongan senjata dan mengatakan bahwa masa muda adalah faktor negatif
maka itu bukan aku—
Tunggu, apa sih yang
kupikirkan?
Dan mengapa aku bahkan
memikirkan adegan di mana seorang pria tertangkap basah selingkuh?
Apa yang sedang aku lakukan?
… Sial, aku tidak tahu.
“Mari semua masuk ke dalam
sekarang dan aku akan menjelaskannya, oke?”
Aku tidak tahu apakah
pernyataan jujurku berhasil atau tidak, tetapi Kanon masih tercengang ketika aku
mendorong mereka untuk masuk.
Akulah yang memiliki tempat ini,
namun aku mendapat kesan bahwa peran kami telah dibalik.
☆☆☆☆
“……………”
Setelah aku selesai menjelaskan
detailnya, keheningan pun melanda. Oh ya, karena aku tidak punya cukup kursi
untuk tiga orang, kami semua berdiri. Tak perlu dikatakan, berdiri di rumah mu
sendiri berbicara dengan orang lain adalah pengalaman yang aneh.
“Jadi, kamu melupakan aku.”
Kanon bergumam dengan nada merajuk.
“Aku minta maaf…”
Tidak ada yang bisa dilakukan
selain meminta maaf. Tak seorang pun akan merasa senang diberitahu bahwa keberadaan
mereka telah dilupakan. Apalagi Kanon baru datang pagi ini. Ini adalah hari
pertamanya di lingkungan yang benar-benar baru. Meskipun ini yang pertama
bagiku juga…
Namun jika sepupuku mengatakan
bahwa mereka melupakanku maka aku akan marah.
“Uhm… maaf… kurasa aku harus—”
Mungkin itu menjadi tidak nyaman baginya jadi dia mulai mundur dengan tenang.
Lalu-
Kruyuuuuuuuukkkkk
Dengungan perut lapar yang
nyaring bergema.
Pemilik suara itu langsung
terlihat. Itu karena wajah Kanon menjadi merah padam dan membuang muka.
Lapar, ya…? Ini mengingatkan aku
kalau aku juga cukup lapar.
“Aku… Aku lapar tapi ……” Dia
berkata, sambil cemberut.
Aku tersentak mendengar
kata-katanya, melompat telah sepenuhnya meleset dari pikiranku. Itu semua
karena Himari tapi aku tidak akan membuat alasan apapun— Aku tahu aku tidak
punya makanan yang layak di sini sejak pagi.
“Maaf, aku benar-benar lupa
tentang bahan makanan ... Aku akan memesan
pizza, apa tidak apa-apa?”
“Tidak, tidak. Jika tidak ada
makanan maka tidak bisa dihindari. Aku bisa pergi berbelanja sekarang tapi…
tidak ada supermarket atau toko swalayan di dekat sini, bukan? ”
Ya. Lingkungan ini seluruhnya
merupakan area pemukiman. Butuh waktu 20 menit untuk pergi ke toko terdekat
dengan berjalan kaki.
Pada dasarnya, ini adalah 40
menit untuk bolak-balik.
Makanya harga sewanya relatif
murah. Jadi, meski adikku sudah pergi, aku masih bisa tinggal di apartemen
1LDK.
“Di luar sedang deras dan
sejujurnya, itu akan merepotkan juga. Terus, ketika aku memeriksa isi kulkas
tidak ada yang bisa digunakan untuk makan. ”
“Eh…? Kamu sudah memeriksa isi
kulkas?”
“Karena kamu terlalu lama untuk
pulang. Aku merasa lapar jadi aku pikir aku harus memasak sesuatu.”
“Aku ... aku benar-benar maaf
tentang itu.”
“Maaf…”
Himari mengikuti dan meminta
maaf.
“Kamu tidak perlu meminta maaf
lagi… Aku hanya ingin makan sesuatu sekarang. Cepatlah dengan pesanan.”
Atas dorongan Kanon, aku
mengeluarkan pamflet pizza yang telah aku simpan dan membukanya. Aku biasanya
membuangnya segera setelah ada di kotak surat, tetapi aku telah menyisihkan
salah satunya seminggu yang lalu, berpikir aku harus setidaknya menyimpannya.
Aku menepuk punggungku atas
manuverku yang luar biasa.
“Aku belum pernah makan pizza
sebelumnya…”
Mau tak mau aku terpaku pada
gumaman Kanon.
“Benarkah? Tidak pernah sekali
pun…?”
“Ya.”
Begitu ya. Memang benar tidak
mudah untuk masuk ke dalam situasi seperti ini.
“Kalau begitu kamu bebas
memilih untuk merayakan pizza pertamamu.”
“… Terima kasih”
Dan Kanon tertarik pada… pizza
mewah termahal, di mana kamu dapat menikmati semua rasa populer sekaligus.
Bukannya gadis ini terlalu
melebihkan kekuatan finansial seorang pegawai? Aku belum pernah memesan sesuatu
seperti itu sebelumnya.
☆☆☆☆
Setelah pindah ke ruang tamu,
kami melakukan perkenalan diri sekali lagi sambil menunggu pizza datang. Koper
Kanon, yang ditinggalkan di ruang makan pagi ini, kini diletakkan di samping
sofa. Di samping kopernya sendiri, Kanon sedang duduk di lantai, lutut
terangkat dan disatukan.
Aku hampir bisa melihat bagian
dalam roknya, jadi aku segera membuang muka dan duduk di sofa. Aku berharap dia
bisa lebih berhati-hati tetapi berhenti segera setelah aku merasa ini bukan
waktu yang tepat untuk menunjukkannya.
“Err… Himari, kan?”
Saat Kanon memanggil namanya, Himari,
yang duduk bersimpuh menghadapnya, bergetar karena terkejut.
“Uhm, y-ya.”
“Kenapa kamu lari dari rumah?”
Pertanyaan yang terlalu
blak-blakan. Apakah ini kemampuan bercakap-cakap seorang gadis SMA?
“Emm… kamu tahu, aku memiliki
imppian yang ingin kuraih tapi orang tuaku menentangnya. Aku tidak pernah
mendengarkan mereka untuk waktu yang lama, jadi aku tidak pernah akur dengan orang
tuaku sejak SMP… ”
Ngomong-ngomong, dia mengatakan
bahwa alat yang terkait dengan mimpinya telah dibuang.
“Dan tahun depan, ada ujian masuk
universitas. Orang tuaku ingin aku berhenti mengejar impianku, tetapi aku tidak
mau… Jadi aku mengabaikan mereka dan bekerja keras untuk mewujudkan impianku
tetapi— ”
“Ngomong-ngomong, apa impianmu?”
“Eh? Uhm… aku ingin menjadi
ilustrator… ”Himari berbisik pada dirinya sendiri dan menunduk malu.
Wajah Kanon menunjukkan
kekaguman. Seolah-olah dia tidak mengerti, namun dia tahu itu adalah hal yang
hebat. Aku berada di posisi yang sama dengannya. Namun, aku tahu bahwa menjadi
ilustrator bukanlah pekerjaan yang stabil.
“Ba-bagaimanapun juga... mereka
tidak setuju dengan itu, jadi mereka membuang koleksi alatku tanpa izin. Alatku
bukan hanya alat analog seperti kuas dan cat, tetapi juga tablet gambarku… ”
“Cukup buruk untuk tidak
meminta izin tetapi membuangnya? Mereka kejam sekali …! ”
Meskipun mereka adalah orang tua,
membuang barang-barang anak seenaknya sudah pasti tindakan berlebihan.
Jika ini terjadi pada pasutri,
maka akan menyebabkan perceraian. Aku pernah melihat kejadian yang serupa di
internet.
“Itu sangat tiba-tiba, dan
titik kritisnya ... jadi aku pergi."
“Begitu rupanya... jadi itu
sebabnya kamu berkeliaran tanpa tujuan.”
“A-Aku sebenarnya mau menyewa
kamar sendiri! Aku sudah menabung banyak uang Tahun Baru! Aku akan membuktikan
kepada mereka bahwa aku bisa melakukannya dengan upayaku sendiri. Aku pergi ke
agen real estat tetapi… aku diberi tahu bahwa anak di bawah umur membutuhkan
izin dari orang tua mereka… ”
“Ah…”
Himari terlihat seperti gadis
penurut tapi dia terlihat tegas. Meski begitu, dia kekurangan sesuatu. Sungguh
memalukan.
“Aku tinggal di hotel untuk
sementara waktu tapi akhirnya menghabiskan semua uangku dalam waktu singkat.
Dan di kereta, aku bertanya-tanya apa yang harus aku lakukan sejak saat itu… ”
“Dan di sanalah kita bertemu.”
Himari mengangguk.
“Mulai sekarang, apa rencanamu
ke depan?”
“Hm?”
Sekali lagi, pertanyaan Kanon
sangat mudah dicerna. Itu adalah sesuatu yang ingin aku katakan, jadi di satu
sisi, itu membantu.
“Kamu tidak punya tempat
tujuan, ‘kan? Apa kamu ingin kembali? ”
“A-Aku ingin menghindari itu
dengan cara apa pun…”
“Tapi kamu masih di bawah umur.
Tidak peduli seberapa besar kamu tidak menyukai orang tuamu, bukannya ini masih
pilihan yang lebih baik untuk pulang? ”
“A-aku mengerti itu. Aku bahkan
tidak tahu seberapa besar aku sebagai anak-anak sampai sekarang… Aku bahkan
tidak tahu bahwa aku tidak dapat menyewa kamar sendiri. ”
Aku tidak tahu apakah
kemarahannya ditujukan kepadaku atau mungkin dirinya sendiri. Himari
menggembungkan pipinya. Aku ingin mengatakan bahwa melakukan hal semacam itulah
yang menunjukkan kalau dia masih anak-anak. Namun, aku menahan diri untuk tidak
mengatakan apa pun yang akan mempengaruhi suasana hatinya lebih jauh.
“Tapi aku masih belum mau
pulang… Aku tidak bisa memaksa diriku untuk pulang… hanya memikirkannya saja
sudah sangat menyakitkan bagiku…”
“Lalu, bagaimana kalau tinggal
di sini sebentar?”
“Eh?”
“Ha?!”
Kata-kata Kanon mengejutkanku
bahkan lebih dari Himari.
“Tunggu, kenapa kamu memutuskan
seenaknya sendiri?”
“Bukankah kamu yang membawanya
kembali ke sini?” balas Kanon.
“Emang sih tapi ... aku hanya
merasa kasihan padanya menghabiskan malam di luar di tengah hujan.”
“Bukankah itu yang biasa
dikatakan orang lain kepada polisi saat mereka tertangkap?”
“ACK!”
Dia benar.
Terlepas dari situasinya,
faktanya adalah aku membawa pulang gadis di bawah umur. Ini merupakan kejahatan
dalam pandangan masyarakat saat ini.
“Jika laporan orang hilang
diajukan, dan polisi menemukannya bersamaku—”
Hal-hal yang tidak ingin aku
pikirkan terus mengemuka. Rasa dingin langsung menyebar ke seluruh tubuhku.
“Ah, menurutku tidak apa-apa.
Keluargaku lebih peduli tentang menjaga reputasi ... Aku rasa orang tuaku tidak
tahan jika tersiar kabar bahwa aku melarikan diri. "
“Tidak, keluarga macam apa itu…”
“Yah, itu ... aku tidak bisa
mengatakan, maaf ...” Dia menunduk, tampak kesakitan.
Apa dia seorang ojou-sama dari
keluarga kaya? Dia bukan putri seorang politikus atau semacamnya, iya ‘kan?
Ini semakin berbahaya.
Apa aku benar-benar akan
baik-baik saja?
“Ba-bagaimanapun juga, ini
hampir tidak layak diberitakan."
“Kalau begitu kamu harus tetap
di sini.”
Mengapa Kanon terus memutuskan
sendiri? Ini rumahku, tahu?
Aku hendak menyuarakan
keluhanku, ketika Kanon memukulku .
“Aku belum pernah tinggal dengan
seorang laki-laki sebelumnya… Jadi mungkin itu akan membuatku merasa lebih
tenang dan bahagia karena ada Himari…”
Itu sebenarnya bisa jadi
perasaan Kaname yang sebenarnya. Dia tidak melihat ke arahku. Apakah itu
caranya mengatakan maaf?
Aku menutup mulutku ketika aku
akan berbicara lagi.
Keluarga Kanon selalu hanya
terdiri dari dia dan ibunya. Bibiku tidak pernah menikah lagi. Dengan kata
lain, dia tidak pernah mengalami bagaimana rasanya hidup dengan seorang pria.
Dan sekarang dia tinggal bersama sepupunya yang bahkan hampir tidak dia kenal
dan usia yang mendekati kepala 3.
Ini adalah perubahan lingkungan
yang dramatis untuk Kanon. Ini adalah pertama kalinya kecemasan Kanon
benar-benar menghantamku. Seseorang dapat dengan mudah membayangkannya hanya
dengan sedikit imajinasi.
Apa itu alasan diblaik sikap
dinginnya pagi ini?
Dan layaknya seperti sudah
menjadi takdir, Kanon dan Himari memiliki usia yang sama. Apakah menerima
Himari lebih baik untuk Kanon?
“Aku mengerti perasaan kalian,
tapi ... kalian tahu ... Jika tersiar kabar bahwa kalian ada di sini maka aku
akan ...”
“Secara alami, aku akan bekerja
sama sepenuhnya sehingga tidak akan pernah ketahuan.” Kanon mengajukan
usulannya.
“A-aku juga!” Himari ikut
menimpali.
Keduanya mencondongkan tubuh ke
depan sebanyak yang mereka bisa. Aku tanpa sadar mengerutkan alis. Tapi, tidak
mungkin aku bisa menemukan solusi yang akan memuaskan semua orang dalam
sekejap—
“... Yah, jika kalian berdua
bersikeras sampai sejauh itu maka tidak ada yang membantunya, kurasa ...”
Wajah mereka berbinar mendengar
jawabanku, dan mereka berdua saling tersenyum. Mereka memiliki usia yang sebaya,
jadi ada pemahaman diam-diam yang tidak akan pernah aku ketahui.
“Tolong jangan khawatir. Aku
tidak akan pernah membiarkan Komamura-san menjadi kriminal! ”
Jika ada orang dewasa yang benar-benar
diyakinkan akan hal itu, maka mereka pasti benar-benar orang yang terlalu santai
atau hanya orang bego.
Tapi sepertinya aku entah
bagaimana menjadi orang bodoh.
Baiklah, menurutku mengubah jumlah
orang yang tinggal denganku dari satu menjadi dua akan banyak mengubah ...
Atau setidaknya aku ingin
berpikir seperti itu.
Tapi sejujurnya, meskipun itu
hanya sedikit, sebagian kecil dari diriku tertarik dengan prospek itu.
Tinggal bersama dengan dua
gadis SMA…
Jika adik laki-lakiku ada di
sini, dia akan membuat lelucon seperti "Di
mana aku bisa mendapatkan eroge semacam ini ?!" pada situasi tersebut. Aku
merasa bahwa kehidupan biasaku akan berubah secara drastis.
Maka, kehidupanku bersama dua gadis SMA dimulai.
<<=Sebelumnya | Selanjutnya=>>
Bisa dibilang sial atau beruntung ya buat si mc?
BalasHapuskalo ketahuan awto jadi kriminal ini mah 😂
BalasHapus