Chapter 6 — 21 Juni (Selasa)
Pasti ada masalah signifikan
dengan gravitasi bumi saat ini. Karena rasanya aliran waktu jauh lebih lambat
dari biasanya, aku yakin hal itu. Jika ada seseorang yang memberitahuku kalau
ini adalah fenomena yang mengubah kenyataan yang disebabkan oleh kemajuan standar
ilmiah umat manusia, maka aku mungkin benar-benar mempercayainya dan sebagai
hasilnya, aku akan menjadi seorang aktivis pencinta lingkungan.
Jam pelajaran di kelas akhirnya
selesai, setelah aku merasa kalau waktunya tidak pernah mengalir dengan benar.
Dengan kata lain, sudah waktunya untuk ujian susulan. Karena besok adalah
upacara penutupan, semua yang kami diskusikan di kelas masuk ke telinga kiri dan
keluar dari telinga kananku. Aku bahkan tidak ingat apa yang aku bicarakan
dengan Maru saat istirahat, apalagi rasa roti yang aku makan. Aku menahan
keinginan untuk segera bertanya pada Ayase-san tentang hasilnya, dan aku tetap
sendirian di kelas sampai akhirnya tersadar.
… Tidak, lebih dari ini pasti
terlalu banyak ikut campur tangan. Aku hanya akan merepotkannya. Selama
beberapa hari terakhir ini, aku mencoba yang terbaik membantunya sehingga
Ayase-san bisa melakukan yang terbaik untuk ujian susulannya. Meski begitu,
buru-buru menanyakan hasilnya merupakan tindakan yang kurang ajar. Lagipula, aku
akan menemuinya di rumah. Bukannya aku cuma bisa melihatnya di sekolah, jadi
tidak perlu terburu-buru.
“Aku juga ada shift kerja, jadi
waktunya untuk pulang.” Setelah kepalaku sedikit tenang, aku menggumamkan kata-kata
ini pada diriku sendiri di ruang kelas yang kosong.
Tentu saja, aku jarang
berbicara kepada diriku sendiri seperti itu, tapi aku harus meninggalkan kelas
ini. Merasa sedikit malu, aku mengambil tas dan meninggalkan area sekolah.
Pada
akhirnya, bahkan selama bekerja, aku sama sekali tidak bisa
fokus, dan
berakibat buruk. Aku membuat kesalahan
saat memeriksa
daftar, dan membuat kesalahan khas pemula lainnya, yang mana hal itu tidak pernah terjadi sejak aku mulai bekerja di sini.
Sudah lama sejak aku harus meminta maaf kepada pelanggan.
“Kouhai-kun, kamu baik-baik saja?”
“…Mungkin. Aku akan pulang sekarang.”
Bahkan
saat Yomiuri-senpai menanyaiku dengan sedikit khawatir, aku hanya memberikan respon singkat, tidak lebih. Tentu saja, aku
tahu bahwa aku harus sedikit lebih berhati-hati saat bersepeda ke rumah, dan untungnya aku
berhasil sampai di rumah dengan selamat. Meski begitu, aku mendapati diriku
menggenjot
pedalku dengan cepat, hampir seperti
berusaha pulang secepat mungkin. Kenapa ya? Aku bahkan tidak begitu penasaran
dengan hasil ujianku sendiri.
Dengan
pemikiran ini di benakku, aku tiba di kompleks apartemen, menuju lift, dan
menuju ke
ruang apartemenku sendiri.
Krek!
Ketika
aku menarik daun pintu, rasanya
bahuku hampir lunglai, dan suara tumpul mencapai telingaku. Pintu yang
seharusnya terbuka tidak bergerak satu inci pun, kunci itu mencegahku
membukanya. Aneh sekali, pikirku.
Setiap
kali aku kembali dari bekerja sambilan, Ayase-san akan membiarkan pintu depan terbuka. Dia
selalu memberitahuku untuk
membawa
kunci sendiri untuk membantu mencegah
kejahatan, tapi pintu masuk ke kompleks apartemen ini sudah memiliki kunci otomatis, yang membuatnya hampir
mustahil
ada orang yang tidak berwenang bisa masuk, dan itu hanya akan terlalu merepotkan kedua belah pihak jika harus membunyikan bel karena aku
lupa kunciku atau kehilangannya. Kami berdua sepakat kalau
cara ini jauh lebih efisien.
Pada
akhirnya, sepertinya dia cuma bersikap
lebih perhatian padaku, tidak memaksaku
untuk mengingat untuk membawa kunci untuk membuka kunci pintu setelah berkerja keras ..… tapi itu mungkin cuma imajinasiku saja. Pokoknya,
pintunya terkunci, jadi aku mengeluarkan kunciku dan membukanya. Sepertinya
kuncinya sendiri berfungsi.
“Aku
pulang …… Ayase-san?” Aku memanggilnya saat melangkah masuk.
Bagian
dalam apartemen sangat
gelap gulita. Aku menyalakan lampu dan berjalan menyusuri lorong menuju ruang
tamu. Sampai aku menyalakan lampu di sana, hari sudah gelap juga. Aku tidak
dapat melihat kehadiran siapapun kecuali diriku. Saat aku mengintip ke dalam dapur, tidak ada jejak
orang lain yang sedang makan malam, maupun persiapan untuk memasak. Aku berasumsi kalau dia mungkin sedang tidur, jadi aku pergi ke kamarnya,
tetapi pintunya tertutup, jadi aku tidak bisa memeriksanya.
Ketika
aku memeriksa rak sepatu di pintu masuk, sepatunya tidak ditemukan di mana pun.
Tentu saja, begitu juga milik Akiko-san
atau Ayahku. Itu artinya,
sekarang hanya aku satu-satunya orang di
rumah. Ketika aku memeriksa jam, waktu menunjukkan pukul jam setengah 9 malam. Ayase-san tidak pernah keluar selarut ini sekalipun.
Belakang punggungku langsung
bergidik. Bagaimana jika ujiannya
sangat buruk sampai-sampai dia sangat terkejut? Mungkin karena pengaruh film roman tertentu dengan akhir tragis yang baru-baru
ini aku tonton, tetapi pikiranku langsung sampai pada
kesimpulan yang paling buruk. Aku ingin percaya kalau dia setidaknya aman. Namun, kepribadiannya yang suka memendam
perasaan bahkan mungkin berisiko
bagi keselematannya sendiri. Alasanku kenapa gelisah sepanjang hari dan ingin tahu bagaimana ujiannya, mungkin terkait dengan
perasaan ini.
Proses
pemikiran rasional yang menyeluruh dan hampir patologis. Membenci wataknya
sendiri, dia ingin menjaga fleksibilitas ke tingkat yang berubah menjadi tidak
normal. Penyangkalan diri seperti ini jelas tidak sehat. Dari sudut pandang dan metodenya dalam melakukan sesuatu, mengandalkan Narasaka-san atau aku untuk studinya adalah hal yang
mustahil. Sekarang, apa yang akan terjadi jika, setelah dia memaksakan tubuhnya sedemikian rupa, hasil ujiannya masih
belum cukup baik?
“……!”
Bahkan
sebelum berpikir tentang apa yang sedang aku lakukan, aku sudah mengiriminya pesan LINE.
'Kamu sekarang ada di mana?'
Tentu
saja, isi
pesan ini sangat konyol. Demi menjamin hubungan keluarga yang mulus dengan Ayase-san,
ini adalah kata-kata yang tidak pernah ingin aku gunakan. Tetapi, dalam situasi
ini, kata-kata tersebut
adalah satu-satunya yang dapat aku andalkan, tidak peduli seberapa besar aku membencinya. Aku
tidak ingin menyesali apapun, jadi meski harus mempermalukan diriku sendiri, aku tidak peduli sama sekali.
Lima
detik — Sepuluh detik — Lima belas detik — Lalu satu menit. Dia bahkan tidak
membaca pesan itu. Tidak ada perubahan yang ditampilkan di layar aplikasi
LINE-ku.
Ini percuma. Aku sudah tidak
sabar menunggu. Aku tidak bisa berdiam diri. Aku berlari keluar, buru-buru
memasang sepatuku, membanting pintu dengan kekuatan yang tidak aku harapkan dari
diriku sendiri, dan berlari menyusuri lorong apartemen. Aku menekan tombol
untuk memanggil lift, yang berada di lantai dasar, dan menunggu. Tap, tap. Aku mendapati diriku
menepuk-nepuk kakiku di tanah. Sungguh menggelikan betapa gugupnya diriku.
Semakin lama waktu yang dibutuhkan lift untuk mencapai lantai ini, semakin
cepat aku menghentakkan kakiku di tanah.
Aku sadar kalau aku terlalu
banyak dipengaruhi oleh novel, dan terlalu banyak menonton film. Kaum muda saat
ini diejek karena sesuatu seperti mabuk rasa kepahlawanan yang samar-samar.
Kenyataannya, perkembangan tragis seperti itu hampir tidak pernah terjadi.
Namun, ada benarnya kalau hampir 200 siswa SMA setiap tahun memilih untuk bunuh
diri. Orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak berkaitan akan
mempertanyakan alasan kenapa mereka melakukannya, tapi bagi orangnya sendiri,
ada alasan yang cukup kuat sampai membuat mereka menyerah pada kehidupan.
Ini 'hanya' 200 dari tiga jutaan anak SMA di seluruh penjuru Jepang. Hanya
sebagian kecil dari total yang begitu banyak. Tapi jika berargumen, apa
Ayase-san benar-benar seseorang yang merupakan bagian dari mayoritas? Jelas
tidak. Mungkin aku merasa seperti ini karena hampir tidak memiliki pengalaman berurusan
dengan orang asing, tapi kepribadian dan tindakannya tampak berbeda. Sampai
tingkat di mana bergabung dengan barisan 200 orang takkan terlalu aneh.
Ding! Bunyi
tanda lift sampai menyadarkanku dari pikiran yang panik. Liftnya tiba. Pintu
lift pun terbuka, dan ketika aku hendak bergegas masuk, aku hampir menabrak
orang yang melangkah keluar.
“Woaah.”
“Ah…”
Kami berdua mencoba menghindar
satu sama lain, itulah sebabnya kami akhirnya mengambil jarak dengan pose aneh.
Pihak lain bergerak mundur lebih jauh ke dalam lift, dan aku mengambil jalan
memutar ke samping, melangkah ke dalam juga. Akhirnya, kami berdua berakhir di
lift. Kami berdua memperbaiki postur tubuh kami, dan saat kami memastikan wajah
satu sama lain, mulut kami terbuka karena terkejut.
“Um… Ayase… san?”
“Asamura-kun? Kamu mau pergi
kemana malam-malam begini? ”
Orang yang berdiri lebih dalam
di lift adalah seorang gadis SMA, dengan tas pelajarnya di satu tangan, dan tas
belanjaan di tangan lainnya, masih mengenakan seragam sekolah. Gadis ini, Ayase-san,
menatapku dengan kaget.
“Ahh, yah, um, kamu tahu,
bagaimana bilangnya, ya?”
Kata-kata yang ingin kuucapkan
tersangkut di tenggorokanku. Aku tidak dapat mengatakan kepadanya kalau aku
terlalu dipengaruhi oleh film yang mendorongku untuk bertingkah seperti
pahlawan, dan aku sangat mengkhawatirkannya. Yang kudengar hanyalah suara pintu
lift tertutup, seolah-olah sedang meledekku.
Itu benar, sama halnya dengan
sikap Ayase-san yang cuek dan datar di depanku bukanlah karakter adik perempuan
dari beberapa dunia fiksi, insiden dalam dunia fiksi hampir tak pernah terjadi
dalam kenyataan, itulah yang membedakan antara dunia fiksi dan realita. Adegan
romantis si protagonis yang berlari menyelamatkan tokoh wanita takkan pernah
terjadi di dunia ini. Kenyataan ini bukanlah yang ditawarkan di lantai
tertinggi gedung bertingkat tinggi dengan pemandangan indah, atau di bukit
kecil dengan pemandaungan malam yang indah, melainkan bagian dalam lift yang
membosankan di apartemen tempat kami berdua tinggal.
“Kamu tidak di rumah, dan aku
juga tidak bisa menghubungimu. Kupikir ujiannya sangat buruk sampai-sampai kamu
menangis sendiri… ”Aku berbicara dengan hati-hati.
Mengakui bahwa aku khawatir hidupnya
dalam bahaya akan membuatku merasa malu seumur hidup.
“Ahaha, jadi aku membuatmu
khawatir. Aku minta maaf kalau soal itu.” Ayase-san sedikit mencibir dan
meminta maaf.
Dan kemudian dia menundukkan
wajahnya sedikit.
“Ujiannya, ya? Sejujurnya…
hasilnya tidak terlalu bagus, kurasa. ”
“Hah?”
Jadi itu sebabnya dia keluar
selama ini? Saat aku mulai memikirkan itu, Ayase-san meletakkan tas belanjanya,
membuka tas pelajarnya, dan mengambil selembar kertas — nilai 94 poin. Jika aku
ingat dengan benar, KKM supaya bisa lulus adalah 80.
“Jadi kamu lulus. Jangan
menakut-nakutiku seperti itu.”
“Kamu mendapat nilai 96, ‘kan? Aku
tidak bisa menang, jadi aku sedikit frustrasi.”
“Jadi itu yang kamu maksud? Ya
ampun.”
Ayase-san cemberut karena
kesal, tapi aku hanya bisa menghela nafas lega. Tetap saja, dia ingin
mengalahkan nilaiku dalam mata pelajaran yang sangat kurang dia kuasai. Jalan
pemikiran Ayase-san benar-benar berbeda.
“Aku minta maaf karena sudah
membuatmu khawatir. Aku sedang berbelanja ... di toko yang berbeda dari
biasanya.” Dia mengangkat tas belanjaan yang dia taruh di lantai dan memamerkannya.
Tas belanjaan itu mempunyai
logo sebuah toserba di Shibuya.
“Kamu pergi jauh-jauh ke
toserba?”
“Yup. Ada diskon untuk bahan-bahan
premium, lebih murah daripada di supermarket. Jangan khawatir, meski aku
membeli makanan yang lebih murah, tapi kualitasnya tidak akan menurun. ”
“Aku berharap tidak kurang
darimu.”
“Bagaimanapun juga, aku adalah
ibu rumah tangga sementara, jadi hanya itu yang bisa kulakukan.”
“Sungguh penyebutan gelar yang
aneh.”
“Aku pikir ini mungkin gelar
terbaik untuk apa rasanya ini. Aku tidak berencana hanya melakukan pekerjaan rumah
selama waktu senggangku, tapi saat ini, aku pada dasarnya melakukan pekerjaan
sebagai ibu rumah tangga.”
“Memang masuk akal sih.”
Karena itu, aku tidak pernah
berpikir akan mendengar Ayase-san menggunakan istilah yang persis seperti itu.
Rasanya seperti aku sedang berbicara dengan Yomiuri-senpai, jadi aku lebih
memilih semacam petunjuk. Kemudian lagi, bahkan jika aku siap secara mental, Senpai
masih menjadi lawan bicara yang sulit untuk dihadapi.
“Tapi kenapa kamu repot-repot pergi
ke toserba segala? Ingin mencoba merayakan keberhasilanmu dalam ujian susulan?
”
“50 poin. Setengahnya benar. ”
“Jadi apa jawaban yang benar?”
“Ini caraku berterima kasih
padamu, Asamura-kun… Cara mengucapkan seperti itu mungkin membuatku terdengar
merendahkan, tapi sesekali aku ingin jujur .” Ayase-san memalingkan pandangannya sambil
bergumam.
“Aku tidak melakukan sesuatu
yang pantas mendapat balas budi. Itu hanya bagian dari kesepakatan kita. Aku
tidak benar-benar dapat mengabulkan sebagian dari keinginanmu.”
“Hanya untuk ujian yang satu
ini, kamu melakukan banyak hal untukku. Kamu menemukan musik BGM yang membantu
meningkatkan efisiensi belajarku, membantuku menemukan cara untuk mempelajari
masalah Jepang Modern-ku. Kamu bahkan membuat makan malam kemarin. ”
“Kamu hampir membuat makanan
untukku setiap hari selama sebulan terakhir, jadi yang kemarin masih belum
setimpal.”
“Sudah kubilang, aku lebih suka
menjadi sisi pemberi ketimbang jadi penerima. Seorang pekerja bank terkenal
pernah berkata untuk membalas budi secara dobel, ‘kan?”
“Bukannya istilah itu digunakan
dalam konteks balas dendam?”
“Satu-satunya pembeda cuma
antara kepositifan dan kenegatifan. Pada akhirnya, itu sama saja dengan balas
dendam. Aku ingin kamu menikmati sesuatu yang sangat enak hari ini. ”
“Ayase-san…”
Dia benar-benar jujur. Dari
sudut pandangku, aku harus memikirkan lebih banyak lagi untuk benar-benar
membalas atas semua yang sudah dia lakukan. Tapi Ayase-san malah mencoba
membalas budi balik. Seberapa banyak yang harus aku lakukan untuk mengakhiri
timbal balik tanpa akhir dari adik tiriku ini dan membuatnya menerima sesuatu
dari kakak tirinya? Tentu saja, dari sudut pandang kakak yang selalu direpotkan
oleh adiknya, ini mungkin masalah yang cukup bagus untuk dimiliki, tapi memang
begitulah adanya.
Selagi aku berpikir sendiri,
Ayase-san angkat bicara, tapi nadanya turun dibandingkan sebelumnya.
“Atau ... kamu memang tidak mau
bergantung pada orang lain kecuali mereka adalah Senpai yang lebih tua darimu?”
“Hah?” Aku membalas dengan
suara tercengang, tidak dapat memahami kata-kata yang baru saja aku dengar.
Tentu saja, hanya ada satu nama
yang muncul di kepalaku ketika mendengar 'Senpai
yang lebih tua': Yomiuri Shiori, Senpai dari tempat kerja sambilanku.
……Hah? Kenapa ya. Sesuatu yang
kabur seperti perasaan suram mulai muncul dari lubuk hatiku. Aku tidak begitu
mengerti kenapa, tapi hanya melihat ekspresi Ayase-san membuatku merasa
canggung.
“Yomiuri-senpai? Kenapa kamu
mengungkit-ungkit Senpai sekarang?”
“Dia orang yang kamu percayai
dan andalkan, Asamura-kun. Sejauh yang aku tahu, cuma dia satu-satunya.”
“Maksudku, kita memiliki banyak
shift bersama di tempat kerja.”
Semakin banyak aku berbicara,
semakin kering tenggorokanku. Meski aku hanya mengatakan yang sebenarnya, tapi
entah kenapa membuatku merasa seperti sedang berbohong. Aku menggelengkan
kepala. Apa yang sedang kupikirkan? Apa ini semacam efek samping dari
mengkhawatirkan Ayase-san? Jantungku berdebar tidak nyaman. Untuk sesaat, pemikiran
bodoh lainnya muncul di kepalaku. Mungkin
aku karakter dalam film yang sebentar lagi akan mati. Kondisi mentalku
tidak berdaya, aku tahu.
“Kamu bisa mengandalkanku. Sama
seperti kamu mengandalkan orang itu di tempat kerja. Kamu bisa mengandalkanku
di rumah. Bagaimana kalau kamu menganggap ini permintaan egois dari adik
perempuanmu?” Ayase-san dengan lembut memiringkan kepalanya, bertingkah seperti
beneran adik perempuan.
Aku terkejut melihat sikap
nakal yang datang darinya, tapi pemikiran tentang permintaan ini yang lebih
altruistis dari apapun membuatku tersenyum masam. Tapi, sebagai kakak, di
sinilah aku harus mengalah.
“Jadi untuk hari ini, jika aku
menerima masakan dengan jujur, itu akan menjadi misi yang jelas?”
“Ya, aku akan senang jika kamu
melakukannya.” Balas Ayase-san, mengangguk dengan sikap puas.
Secara pribadi, aku berpikir
itu agak aneh, mengalah namun merasa bahagia dengan tanggapan positifku. Tapi
ini kenyataan, bukan cerita fiksi, itulah kenapa sebab dan akibat tidak
digambarkan dengan begitu jelas. Niat kami tidak tertulis secara terbuka dalam
gelembung teks di beberapa manga. Sama seperti objek buatan manusia dan objek
alam yang dapat menciptakan dikotomi yang terdistorsi, perasaan yang tidak
sesuai inilah yang membuat realitas terasa seperti kenyataan.
“… Mau sampai berapa lama kita
akan berdiri di sini?”
“Aku tau. Aku senang tidak ada
orang lain yang memanggil lift.”
Lift tetap berada di posisi yang sama sepanjang waktu, membuatnya tampak seperti kami mencoba menjahili orang lain. Mengingat situasi konyol dan rahasia yang kami alami ini, kami berdua tertawa, dan berhasil melepaskan diri dari batasan kami dengan menekan satu tombol. Fakta bahwa kami tidak bertengkar juga hanya menekankan kenyataan yang kami alami.
Kami lalu memasuki ruang
apartemen, dan ketika Ayase-san mulai mempersiapkan makan malam, sebuah
pertanyaan muncul di benakku.
“Oh iya, ada satu hal lagi yang
ingin aku tanyakan.”
“Apa itu?”
“Aku mengirimimu pesan LINE.
Kenapa kamu tidak membalasnya?”
“Ah, itu.” Ayase-san berbicara
seperti tidak ada yang istimewa, mengeluarkan smartphone-nya.
Sepertinya kehabisan baterai.
Layar tetap hitam bahkan setelah dia menekan tombol di atasnya.
“Aku kecanduan musik lofi hip
hop setelah mendengarkannya sambil belajar. Jadi karena kelamaan
mendengarkannya, aku tidk sadar kalau baterai-nya hampir habis.”
“Ahh… jadi itu alasannya.”
Seperti yang diharapkan,
kenyataan itu membosankan. Dan semuanya terlalu membosankan.
Bila aku benar-benar tenang
pada saat itu, aku akan menyadari kebohongan yang dia katakan kepadaku, dan
alasan kegundahan yang mengganggu hatiku. Aku pikir alasan mengapa proses
berpikir tenangku benar-benar terhenti ialah karena ditimpa dengan rasa lega.
Malam itu, tepat sebelum aku
tertidur, keraguan ini muncul kembali di benakku, tetapi karena aku telah
menyia-nyiakan kesempatanku untuk bertanya, kebenaran yang seharusnya aku
ketahui tenggelam lebih dalam ke jurang yang dalam. Satu-satunya cara untuk
menemukan jawabannya adalah dengan membaca buku harian Ayase-san.
Toko toserba di Shibuya lebih
jauh dari supermarket di lingkungan kita. Tapi, meski memperhitungkan hal itu, bukannya dia masih agak terlambat karena baru pulang jam 9:30 malam?
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>
Maling teriak maling.
BalasHapusKok perasaan saya kurang enak ya?
BalasHapusNgelonte mungkin?
BalasHapusJam 9.30 menurut gw dah kemalaman untuk perempuan pulang dari sekolah........ Hmmm mencurigakan
BalasHapus