Chapter 5 — 20 Juli (Senin)
Hari ini merupakan Senin pagi
di minggu baru. Saat memasuki ruang kelas, aku bisa merasakan tenagaku berangsur-angsur
meninggalkan tubuhku. Semua pemandangan di sekeliling tampak seperti film hitam
putih bagiku. Aku bisa mendengar sedikit cuplikan dari percakapan teman sekelas,
tetapi suara mereka tampak jauh lebih pelan dari sebelumnya. Suasana santai
memenuhi seisi kelas.
Alasannya sederhana. Di tengah
minggu ini, liburan musim panas akan dimulai. Beda dengan mentalitas minggu depan adalah libur musim panas
yang terjadi pekan lalu. Ujian akhir semester telah usai, dan liburan musim
panas tepat di depan mata.
Sementara aku mengamati
berlalunya waktu di dalam kelas yang bergerak sedikit lebih lambat dari
biasanya, seorang murid laki-laki berjalan dengan lamban ke dalam ruangan.
“Pagi, Maru. Latihan pagi pasti
terasa berat, ya.”
“Yo, Asamura ...” Baik suaranya
dan bahkan ekspresinya tampak kelelahan.
Meski tidak banyak klub
olahraga sekolah kita yang bertanding di tingkat nasional, ada banyak di antara
mereka yang berupaya cukup untuk setidaknya mencapai tingkat kewilayahan. Teman
baikku, Maru Tomokazu mempertahankan posisi kompetitif di klub bisbol, itulah
sebabnya Ia melakukan latihan pagi dan sore hampir setiap hari. Biasanya, Ia
tidak selelah seperti penampilannya saat ini, jadi mungkin ada hal lain yang
telah terjadi.
“Kamu mirip seperti pohon yang
mengering tanpa tenagamu yang biasa di sana. Apa yang terjadi?”
“Kami kalah di pertandingan
kedua di babak penyisihan lokal.”
“Jadi, kamu sedikit depresi ya.”
“Tidak terlalu. Hanya saja itu
menandakan kalau latihan akan menjadi lebih keras selama liburan musim panas.”
“Bukan sebaliknya? Biasanya, kamu
akan berlatih lebih keras jika berhasil lolos dalam sebuah turnamen. ”
“Bahkan jika kamu mempraktikkan
semuanya, masih ada batasan sampai seberapa banyak keterampilan sebenarnya yang
dapat kamu peroleh dalam waktu singkat. Kamu bisa beristirahat untuk
memperbaiki kondisi fisikmu, kamu dapat menghindari risiko atau cedera dari
latihan, hal semacam itu. Mereka jarang benar-benar berusaha keras dalam hal latihan
selama turnamen besar.”
“Begitu rupanya. Kedengarannya
memang logis. ”
“Memang… Mm.” Maru duduk di
kursinya dengan lesu, dan mengamati bagian dalam kelas dengan mata menyipit.
Sambil menyaksikan teman
sekelas kita membuat rencana liburan musim panas di tengah suasana yang lesu
ini, Maru bergumam.
“Pasti menyenangkan bisa
menikmati liburan musim panas.”
“Apa kamu tipe orang yang akan
iri tentang itu, Maru?”
“Tentu saja. Waktu senggangmu
merupakan keberuntungan terbesar yang dapat kamu miliki. Tapi yah, aku sendiri yang
memutuskan untuk menghabiskan waktuku di klub bisbol, jadi aku tidak bisa
mengeluh.”
“Lantas, apa yang membuatmu
iri?”
“Aku tidak punya banyak waktu
untuk mengunjungi bioskop. Ada banyak judul film bagus yang keluar selama
liburan musim panas, mencoba menargetkan waktu luang yang dimiliki para
keluarga dan pasangan muda. Karena aku terjebak dalam latihan, aku tidak dapat
menikmatinya.” Maru menghela nafas panjang. Itu membuatku secara mental
terkekeh, karena ini sangat mirip dengannya.
Aku tidak tahu bagaimana
perasaan seseorang yang sangat ingin menonton film karena latihannya lambat
selama turnamen besar, tapi begitulah sosok yang bernaman Maru Tomokazu. Proses
berpikirnya selalu sedikit berbeda dari akal sehat.
“Ada banyak film yang sudah aku
nantikan juga.”
“Seperti 'Azure Night’s Interval'?”
“Hah? Itu sih film penguras air
mata yang standar, bruh. Mungkin
bagus untuk gadis yang menginginkan bagian depresi harian mereka, atau pasangan
yang membutuhkan alasan untuk bermesraan di depan umum, tapi seorang maniak
film seperti aku, mana puas dengan hal seperti itu.”
“Kamu serius menilai begitu tanpa
melihatnya dulu? Itu membuatmu gagal menjadi penggemar film. Biar kuberitahu
kalau film itu cukup bagus.”
“Tunggu, kamu sudah melihatnya,
Asamura?”
Ah,
aku keceplosan. Akan buruk jika dia bertanya padaku Mengapa? Dengan siapa? Dalam situasi apa ?,
jadi aku harus memilih kata-kataku dengan hati-hati.
“Aku tertarik dengan sumbernya
karena pernah melihatnya di tempat kerja, jadi aku menontonnya sendiri setelah
bekerja.”
“Asamura….. kamu pergi berkencan,
‘kan?”
“Hah? Tunggu, apa yang kamu
bicarakan? ”
“Aku bahkan tidak bertanya,
tapi kamu buru-buru menyebutkan kalau kamu pergi sendiri. Kamu selalu bertindak
sendirian, jadi kamu tidak perlu menjelaskannya.”
“Memangnya kamu ini apa?
Semacam detektif? Kamu terlalu banyak membaca.” Aku mencoba untuk tetap tenang,
tapi aku bisa merasakan keringat dingin mengalir di pipiku.
Maru menatapku melalui kacamatanya
seperti burung pemangsa yang melihat makanan berikutnya. Rasanya seperti Ia
menatap langsung ke dalam jiwaku, yang mana membuatku merasa sangat tidak
nyaman. Hal itu membuatku berpikir bahwa mungkin lebih baik aku mengaku saja
kalau aku menonton film dengan Yomiuri-senpai. Apa ini yang dirasakan para
penjahat saat sedang terpojok? Namun, Maru tidak memiliki bukti konkret
mengenai masalah ini.
“Dengan Narasaka, Ayase, dan
sekarang… Asamura, bukannya kamu terlalu frustrasi secara seksual?”
“Sudah kubilang kalau kamu itu salah
paham.”
“Yang benar? Aku pernah
mendengar laporan orang yang mengatakan kalau kamu sering berbicara dengan
Narasaka di sana-sini. Kapan itu, di depan ruang perpustakaan beberapa waktu
yang lalu?”
“Hah, apa, aku sedang
dibuntuti? Rasanya agak menakutkan sampai kamu bisa tahu tentang itu.”
“Orang-orang memiliki mata di
mana-mana. Dosa-dosamu akan terungkap.”
'Dinding
memiliki telinga', 'pintu geser memiliki mata'; 'Kehendak orang yang akan
berbicara' — ini semua adalah ungkapan yang tiba-tiba terdengar jauh
lebih kredibel dari sebelumnya.
“Kupikir itu terlalu berlebihan
sampai menyebutnya dosa segala, padahal aku cuma mengobrol biasa saja dengan
Narasaka-san.”
“Bagi cowok yang jatuh cinta
padanya, itu termasuk kejahatan serius ... Kamu tidak menonton film bersamanya,
‘kan?”
“Aku tidak pergi dengan ……
siapa-siapa.”
Aku hendak mengatakan 'dengan Narasaka-san', tapi aku segera
mengoreksinya. Sebagai tanggapan, Maru mendecakkan lidahnya. Sungguh cara yang
menakutkan untuk menjebakku menjawab pertanyaan dengan cara yang Ia inginkan.
Orang ini terlalu berbahaya.
“Yah, kamu tahu sendirilah.
Jika kamu terbangun ingin mengalami cinta sensual, tinggal beritahu aku saja.
Aku adalah orang nomor satu dalam hal hubungan antarmanusia, dan aku akan
mendukung cintamu sebanyak yang aku bisa.” Ia menunjukkan giginya yang putih
dan sehat sambil tersenyum dan mengacungkan jempol.
Sejujurnya, kecerdasan Maru
cukup mengesankan untuk membuat segala musuh menjadi temannya, tetapi aku sama
sekali tidak merasa nyaman menjadikannya sebagai sekutu.
“Jika itu memang yang terjadi,
aku akan mengandalkanmu.”
“Woke.”
Ketika aku memberikan tanggapan
singkat, Maru tidak menunjukkan niat untuk menanyaiku lebih jauh. Berkat
kepekaan dan pengetahuannya tentang manusia, Ia pastinya tahu kalau aku
benar-benar pergi ke bioskop bersama orang lain, tapi ketimbang memuaskan rasa
penasarannya, Ia justru lebih memprioritaskan perasaanku sendiri tentang
masalah tersebut. Mengetahui kapan harus tidak mengorek lebih lanjut merupakan
salah satu sifat kedewasaanya. Ia benar-benar teman yang baik.
… Meski mengatakan itu langsung
di hadapannya pasti akan sangat canggung, jadi aku takkan melakukan itu.
Jam pelajaran berakhir untuk
hari itu. Maru segera pergi untuk latihan bisbol, dan teman-teman lainnya
perlahan tapi pasti keluar dari kelas tidak lama setelah itu. Aku memperhatikan
mereka semua sembari tetap duduk di tempatku. Aku memegang smartphone,
menghabiskan waktu untuk melihat-lihat medsos atau membaca berita. Tak lama
kemudian, kelompok terakhir dari dua siswa, yang tetap tinggal mengobrol
tentang ini dan itu, akhirnya pergi juga, dan meninggalkanku sendirian di
kelas.
Panasnya terik musim panas
bertiup masuk dari jendela yang setengah terbuka, dan jangkrik yang berdengung di
kejauhan membuatku mengenang perasaan nostalgia. Aku rasa semua orang Jepang
memiliki perasaan ini dalam keadaan yang tepat. Mungkin orang Jepang memiliki
reaksi otomatis dalam gen mereka untuk mengenang kampung halaman segera setelah
musim panas tiba?
Atau begitulah aku berhipotesis
pada diriku sendiri, dan akhirnya berdiri dari tempat dudukku sambil menghela
nafas. Tentu saja, aku tidak sedang membuang-buang waktu. Sejak Ayase-san dan aku
menjadi saudara tiri, kami memutuskan kalau kami harus pulang pada waktu yang
berbeda. Karena kami berdua harus kembali ke rumah yang sama, jalan pulang kami
akan saling berpapasan. Jika kami akhirnya berjalan bersebelahan, itu akan
menjadi canggung, jadi aku ingin menghindari hal semacam itu.
… Namun, ternyata keputusan ini
justru mengkhianatiku di hari ini.
“Ah, Asamura-kuuuun!”
“Hah?”
Setelah aku memakai sepatu dan
hendak melangkah keluar meninggalkan gedung sekolah, ada seseorang yang memanggil
namaku. Saat berbalik, seorang gadis dengan warna rambut cerah menepuk
pundakku.
“Apa kabar? Kebetulan banget
bisa ketemu kamu di sini!”
“Narasaka-san?”
Siswi ini adalah Narasaka
Maaya. Dan di balik bahunya, aku bisa melihat siswi lain — Ayase-san. Hah?
Kenapa dia masih di sini? Kedua pertanyaan itu muncul di benakku, Narasaka-san
berbicara lagi.
“Ayo pulang bareng!”
“Eh… Um, kenapa?”
“Hah? Kenapa? Maksudku… karena
kita sudah di sini? ”
“Aku tidak tahu apa maksudnya
itu. Memangnya kamu pulang ke arah yang sama? ”
“Ya iyalah. Lagipula, aku mau
mengunjungi tempat Saki.”
“Hah?”
Aku melirik Ayase-san, mencari
penjelasan. Dia menepuk kedua tangannya untuk meminta maaf.
“Dia
akan mengajariku.”
“Ahh, begitu. Tapi… apa kamu
tak keberatan pulang bersamaku, Narasaka-san? ”
“Tentu saja. Kenapa pula aku
menentangnya?” seru Narasaka-san tanpa ragu sedikitpun.
Ratu para riajuu dengan seratus
teman memang punya mental berbeda. Sama sekali tidak ada rintangan psikologis
baginya untuk berbicara dengan lawan jenis. Memang benar kalau sepanjang
hidupku, aku tidak pernah memiliki banyak pengalaman seperti itu, tapi tidak jarang
sekelompok cowok dan cewek pulang bersama. Karena Ayase-san dan aku harus
menyembunyikan hubungan kami untuk menghindari kesalahpahaman, kekhawatiranku
jadi sia-sia.
“Karena kamu pergi ke tempat
yang sama, kita tidak perlu pulang pada waktu yang berbeda. Benar ‘kan, Saki? ”
“Yah, itu benar…” Ayase-san sempat
melirik ke arahku.
… Kurasa kali ini masuknya
pengecualian. Aku mengangguk pasrah, dan Ayase-san menghela nafas.
“Mungkin seharusnya aku tidak
bertanya pada Maaya.” gumamnya.
Setelah itu, kami bertiga
keluar dari gerbang sekolah. Kecanggungan berjalan pulang dengan dua gadis di sampingku
membuat tenggorokanku mengering. Aku tidak bisa menghilangkan kecemasan bahwa
seseorang mungkin mengawasi kita. Pada akhirnya, kesimpulan Narasaka-san lebih
akurat. Ketika kami melangkah keluar dari gerbang sekolah, kami masih menemui
beberapa siswa di sana-sini, tapi tidak ada yang menoleh ke arah kami, apalagi
menatap kami. Melihat satu cowok yang didampingi dua cewek di jalan pasti
sesuatu yang sangat normal sehingga mereka bahkan tidak memperhatikannya.
Maru pernah memberitahu kalau
ada seseorang yang melihatku mengobrol dengan Narasaka-san, tapi sekarang
karena kami bertiga dalam satu kelompok, kami mungkin tidak terlalu menonjol.
Setelah meninggalkan area sekolah, kami berjalan menyusuri jalan dari Shibuya
ke area Daikanyama, yang dikenal di daerah ini sebagai jalan 'Bukit Unik'. Meski jam sekolah sudah
usai, posisi matahari masih tetap tinggi, yang menyebabkan aspal mendidih.
Keringat mulai menumpuk di balik pakaianku, yang membuatku merasa sedikit
sedih.
Ayase-san berjalan di
sampingku, mengelap keringat di lehernya dengan sapu tangan. Meski dia manusia
normal sama seperti aku, tapi aku belum pernah melihatnya berkeringat atau
meringis, jadi aku merasa seperti tengah menemukan penemuan yang heboh.
Kemudian aku mendengar suara
elektronik, menyerupai sesuatu seperti cekrek.
Saat aku berbalik, aku melihat Narasaka-san berjalan sedikit di belakang kami,
menyeringai sendiri dengan smartphone di tangannya.
“Ah, jangan pedulikan aku.
Teruslah berjalan secara alami seperti itu! ”
“Apa kamu tadi memotretku? Meski
kamu itu temanku, aku tetap tak akan mengizinkan foto candid.” ujar Ayase-san.
“Tidak, tidak, tidak, tidak
sama sekali kok~ Aku cuma merekam video. Benar-benar berbeda.”
“Intinya masih sama. Berikan
itu padaku. Aku akan menghapusnya.”
“Ahhhhh! Jangan mengambilnya
darikuuuuu! Smartphone-kuuuuuuu! ” Narasaka-san berteriak memohon, tapi
Ayase-san mengambilnya tanpa ragu-ragu.
Dia memeriksa melalui rol
kamera dan menghapus videonya.
“Kamu benar-benar benci difoto,
Saki. Tidak perlu ngambek segala. Toh, aku tetap akan menghapusnya ~ ”
“Tetep enggak mau. Aku tidak
menyukainya. Jika kamu memutuskan untuk tidak menghapusnya, aku harus
mengomelimu. Itu payah, dan aku tidak ingin meragukanmu, jadi aku akan
menghapus semuanya sendiri. ”
“Aku dalam masalah besar,
Asamura-kun! Saki membully-ku dengan logika!”
Kenapa kamu berharap kalau aku
membantumu? Aku tidak keberatan bergabung dalam percakapanmu, tetapi setidaknya
lakukan saat topiknya sedikit lebih nyaman. Tentu saja, jawabanku sudah
ditentukan sebelumnya.
“Kali ini aku berpihak pada Ayase-san.”
“Dasar pengkhianat, Onii-chan!
Kamu tidak perlu setuju dengannya hanya karena kamu mirip satu sama lain
sebagai saudara! ”
“Aku tidak ingat pernah menjadi
sekutumu, dan bisa tidak kamu berhenti memanggilku 'Onii-chan'?”
Panggilan semacam itu harusnya
dikatakan kepada saudara yang memiliki hubungan darah. Tentu saja, karena kami
tidak punya ikatan darah, kami sangat berbeda satu sama lain, tapi berkat kami
tinggal bersama, aku merasa perasaan nilai dan kebiasaan kami mulai sedikit
tumpang tindih. Mungkin itu yang dia bicarakan?
“Lagian, kamu sendiri yang
tidak masuk akal . Mengapa kamu mendadak mengambil video? ”
“Kupikir kalian berdua berjalan
bersebelahan akan membuat heboh jagat maya. Bagaimana jika kamu menjadi
pasangan YouTuber? 'Seorang gadis berambut
pirang dan seorang anak antisosial menjadi saudara tiri', atau sesuatu
seperti itu? Ini pasti akan menjadi viral.”
“Mana mungkin kami melakukan
itu. Lagian mana mungkin ada orang yang suka menonton itu.” Ayase-san berkata
tanpa ragu, dan aku pun mengangguk.
“Aku pun setuju… dan,
Narasaka-san, meski yang kamu bilang itu benar, mengatakan 'antisosial' langsung di depan wajahku rasanya cukup menyakitkan
tahu.”
“Ah, jangan salah paham dulu, aku
bilang begitu bukan bermaksud untuk menghinamu, kok. Aku baru saja melihat
banyak tag ‘Bad Boy’ di Insta, dan
semuanya sangat tampan dan sangat populer di kalangan gadis-gadis.”
“Sekarang kamu menyebutku
sangat tampan? Kedengarannya sangat mencurigakan.”
“Ahhhh, yang itu kamu salah. Kamu
pada dasarnya bukan cowok tampan, tapi kamu pasti akan menjadi viral jika kami
merias wajahmu, lihat.”
Aku merasa apapun omongannya
pasti terasa nyelekit di hati. Aku yakin Narasaka-san tidak punya niatan buruk,
tapi sangat sulit untuk memilah makna di balik ucapannya.
“Juga, ada banyak sekali.
Banyak orang menonton live streaming pasangan YouTuber ini. Tidak, justru sangat
banyak. Sulit untuk mendapatkan banyak pemirsa saat ini karena begitu banyak
orang yang melakukannya, tapi jarang-jarang ada saudara tiri yang melakukan
streaming langsung bersama! Ayo coba menghasilkan bayak uang dengan pendapatan
iklan untuk membeli rumah mewah!”
“Pendapatan iklan……kamu bisa
mendapatkan uang?”
Ayase-san menunjukkan sedikit
ketertarikan begitu mendengar kata uang muncul dalam ocehan bersemangat
Narasaka-san.
“Tentu saja! Begitu kamu sudah populer, uang
akan mengalir deras masuk ke rekeningmu!”
“Mengalir deras…”
“Tunggu, Narasaka-san,
Ayase-san, tenanglah dulu.”
Aku segera menghentikan kedua
gadis itu, yang tiba-tiba mulai membicarakan masalah youtube. Aku tahu kalau
aku seharusnya tidak mengganggu mereka saat mereka mengobrol, tetapi aku akan
merasa bersalah jika tetap diam saat mereka mengejar mimpi fatamorgana.
“Ada banyak orang yang
mengupload video seperti itu, para artis dan bahkan perusahaan juga ikut
bergabung. Dunia ini tidak begitu baik sampai bisa membuatmu jadi terkenal
dengan mudah. … Setidaknya itulah yang dikatakan seseorang yang akrab dengan
Internet dalam video mereka. ”
Ketika Ayase-san memintaku untuk
mencari pekerjaan sambilan dengan bayaran tinggi, aku melihat-lihat video
semacam ini dan pendapatan iklan yang kamu dapatkan darinya. Orang-orang yang
sukses memang bisa menghasilkan banyak uang, dan peringkat untuk menjadi streamer sangat tinggi dalam jajak
pendapat tentang apa yang diinginkan oleh anak SD ketika mereka besar nanti.
Namun, tak peduli secerah apa kamu bersinar untuk sementara, industri ini
merupakan industri yang kejam dan keras, ke titik di mana semuanya bergantung
pada jumlah viewers. Perlahan-lahan
itu menggerogotimu, lalu membuatmu frustrasi dan tertekan.
Hal yang sama berlaku pada
pasangan Youtubers, meski kamu melakukan streaming pasangan, ada sejumlah potensi
masalah yang tidak dapat kamu hindari justru karena premis itu.
“Bahkan jika kamu berhasil, untuk
bisa terus-menerus mencapai kesuksesan jauh lebih sulit dari kelihatannya. Kamu
pasti sudah sering mendengar cerita tentang hal semacam itu akhir-akhir ini.
Pasangan tersebut putus, dan channel yang mereka bangun bersama langsung
berantakan.”
“Maksudku, itu ada benarnya
juga, tapi itulah sebabnya aku mengatakan ini.”
“Hah?”
“Tidak seperti mereka yang
pacaran, kalian berdua ‘kan bersaudara, jadi kalian tidak akan putus! Ini akan
menjadi channel dimana orang-orang dapat melihat kalian saling merayu dan
bermesraan! Mungkinkah ada jenis hubungan yang lebih hebat dari itu !? Aku
bilang tidak!”
“Apa yang kamu katakan ada
benarnya juga…”
“Itu takkan pernah terjadi.
Asamura-kun, kenapa kamu tiba-tiba membiarkan dirimu dipengaruhi olehnya? ”
“Maaf.”
Ayase-san menatap tajam ke
arahku, dan aku segera meminta maaf. Mereka yang berhasil menganjurkan agar kamu
bergerak cepat ketika menghadapi tantangan, tetapi aku merasa kata-kata ini
jauh lebih akurat ketika kamu gagal dalam suatu hal. Jika kamu merasa sedikit merasa
tidak nyaman, singkirkan harga dirimu dan cepatlah meminta maaf. Aku ingin
hidup dengan moto 'Minta Maaf dalam
Sekejap'. Mungkin saja ini terdengar kontradiktif, karena ketidakpuasan dan
menggerutu adalah cara kerja beberapa percakapan.
Ayase-san menyisir rambutnya
dengan jari, lalu menghela nafas sambil melanjutkan.
“Mana mungkin kami melakukan
itu. Lagipula, hal begitu tak akan benar-benar berhasil.”
“Aku yakin itu akan berhasil!
Baik kamu dan Asamura-kun benar-benar pintar. ”
“Kedengarannya bukan seperti
pujian karena itu datang darimu, Maaya. Kamu mendapatkan nilai keseluruhan
lebih bagus ketimbang kami berdua. ”
“Tidak, tidak, tidak, aku tidak
berbicara tentang ujian. Bagaimana aku mengatakannya… sesuatu yang mirip
seperti kecerdasan Zhuge Liang! ”
“Masih tidak mungkin. Bahkan
jika kami beneran mencoba melakukannya, kami tidak tahu berapa banyak waktu
yang dibutuhkan, dan aku akan kehilangan waktuku untuk belajar.”
“Garing bangeeettt. Aku jamin kalau
kamu pasti akan populer. Dan yang lebih penting, aku ingin melihat kalian
berdua bermesra-mesraan! ”
“Jadi itu semua untuk
keuntunganmu sendiri. Sudah berulang kali aku bilang kalau kami bukan seperti
itu.”
“Bagaimanapun, itu tidak akan
pernah berhasil. Ada lebih banyak masalah di luar konteks itu juga.”
Saat ini, satu-satunya orang di
sekolah yang tahu tentang hubungan Ayase-san dan aku hanyalah Narasaka-san.
Jika kami benar-benar bisa sukses dengan channel kami, pada dasarnya hal itu
akan diungkapkan kepada semua orang. Dan, kami ini bersaudara, jadi bagaimana
kami menjelaskan kepada Ayahku dan Akiko-san bila kami bertingkah seperti orang
pacaran di depan kamera?
Kamu
harus ingat kalau Ayase-san itu punya paras cantik, logis, selalu perhatian,
dan tahu betul kapan menjaga jarak saat kamu membutuhkannya, jadi sangat nyaman
bisa tinggal bareng dengannya. Jika ada hubungan cinta yang tumbuh dari ini,
mungkin akan berakhir dengan suka cita dan kebahagiaan.
Walaupun begitu, dia adalah
saudara tiriku. Dan ini bukanlah dunia fiksi, melainkan kenyataan. Dia saudara
tiriku yang asli. Aku bahkan tidak dapat melihat opsi lain selain membuat
keadaan tetap normal seperti saat ini.
“Begitu ya, sangat disayangkan.
Nah, kamu tidak harus menjadi YouTuber. Kamu bisa mencoba apa saja! Menemukan
sesuatu yang kamu kuasai dapat menghasilkan pekerjaan dengan gaji tinggi, lho! Kamu
harus mencoba Insta, Asamura-kun. ”
“Kenapa? Aku tidak punya keahlian
untuk mengambil foto bergaya.”
“Kamu tinggal mengupload foto
yang bagus dengan tag ‘Bad Boy ’! Aku
yakin itu sempurna untukmu!”
“Tidak, terima kasih.” Atau
begitulah yang aku katakan sambil membelakangi dia, tapi aku justru mengunduh
aplikasi Insta di smartphone-ku.
Sementara Narasaka-san dan
Ayase-san berjalan di depan, aku mengikuti di belakang mereka sembari membuat
akun Insta-ku. Aku dipandu melalui layar tutorial dan membuat profil. Jika ini
benar-benar dapat membuatmu populer dengan cepat dan efisien, dan bisa
menghasilkan uang dengan mudah, maka aku pasti akan memberitahu Ayase-san
tentang hal ini.
… Tapi dalam perjalanan pulang,
berkat sinyal internet yang buruk, aku tidak tahu pengguna mana yang populer
saat ini. Aku sudah berusaha keras untuk membuat akun, tetapi aku merasa kalau
akun ini akan membusuk seiring berjalannya waktu.
Kami akhirnya tiba di apartemen.
Saat aku membuka pintu apartemen, otot-ototku yang tegang mulai mengendur, dan aku
bisa merasakan jari-jariku tiba-tiba terasa ringan seakan-akan telah meletakkan
sesuatu yang berat yang terpaksa aku bawa. Berjalan pulang dengan ditemani dua
gadis sangat berbeda dari rutinitasku yang biasa. Percuma saja kalau ada yang
menyuruhku untuk bersikap rileks.
Untuk mencegah Narasaka-san
tidak sengaja masuk ke kamarku, aku mengunci pintu kamarku. Aku menyalakan AC,
melepaskan dasi, dan melepas seragamku. Udara dingin yang bertiup di tubuhku
yang basah kuyup memang terasa nyaman, tapi aku menahan diri untuk tidak
sembarangan mengatakan sesuatu dengan suara keras.
Sekarang, Narasaka-san ada di
sini. Bahkan jika aku mengatakan sesuatu yang memalukan, Ayase-san akan mengabaikannya
karena sikap perhatiannya, tapi aku tidak ingin orang asing mendengarnya.
Setelah memikirkan itu, aku jadi menyadari sesuatu. Aku secara alami telah
menetapkan label 'orang asing' kepada
seseorang. Pada dasarnya, itu membutuhkan premis bahwa ada jenis orang asing
lain di luar sana.
Ayase-san adalah orang asing,
dan ada orang asing lain yang berbeda darinya. Kenyataan bahwa aku membuat
perbedaan ini berarti dia secara bertahap semakin dekat untuk menjadi 'keluarga', ‘kan?
Aku selesai mengganti seragam
dan berjalan keluar dari kamar. Saat pergi ke dapur untuk mengambil minuman, aku
melihat Ayase-san di ruang tamu, sedang menatap buku pelajarannya, dengan
Narasaka-san mengajarinya. Ayase-san masih mengenakan seragamnya, mungkin
karena pertimbangan untuk temannya.
Keduanya memasang ekspresi
serius. Bahkan setelah bercanda dalam perjalanan pulang, Narasaka-san kini
rajin mengajari Ayase-san. Aku diam-diam membuka kulkas, dan menuangkan teh
barley ke cangkir. Aku lalu membawanya kembali ke kamarku dengan jalan
perlahan-lahan supaya tidak menggangu belajar mereka.
Aku duduk bersila di depan meja,
meletakkan cangkir di depanku, dan memencet aplikasi manga di smartphone-ku.
Karena aku sangat sibuk dengan ujian, aku tidak punya banyak waktu untuk
mengikuti manga apa yang aku baca, jadi aku menggunakan waktu itu sekarang
untuk mengejar seri manga yang sudah ku bookmark.
Karena hari ini tidak ada kerjaan sambilan, jadi aku punya banyak waktu luang
yang berharga untuk diriku sendiri.
Setelah sekitaran satu jam, aku
sudah selesai mengejar sebagian besar seri yang ingin aku baca. Aku
mempertimbangkan untuk memeriksa seri baru yang direkomendasikan Maru, dan akan
mengetuk tombol pencarian ketika jariku berhenti. Di kiri atas layar, aku
melihat waktunya menunjukkan angka 17:00.
Kupikir sudah waktunya
melakukan persiapan untuk makan malam, jadi aku berdiri dengan smartphone di
tangan. Biasanya itu adalah tugas Ayase-san, tapi karena besok dia ada ujian
susulan, dia perlu belajar sebanyak mungkin. Aku menuju ke ruang tamu, dan
Ayase-san mengangkat kepalanya.
“Ah, maaf, sudah waktunya, ‘kan?
Boleh aku membuat sesuatu yang tak akan memakan banyak waktu hari ini? ”
“Jangan khawatir, aku akan
melakukan sesuatunya sendiri. Kamu bisa terus belajar. ”
“Eh. Benarkah…?”
Aku mencoba membuat senyum
meyakinkan saat memasuki dapur, dan Ayase-san merilekskan postur tubuhnya
karena tadi dia berusaha ingin berdiri.
“Aku sedang libur dari kerjaan
sambilanku, jadi jangan khawatirkan masalah itu. Kamu bisa melanjutkan dan
fokuslah pada belajarmu.”
“... Terima kasih, itu sangat
membantu.” Suaranya sedikit ragu, tapi dia berterima kasih padaku dengan benar.
Narasaka-san menyaksikan
percakapan kami, meletakkan telapak tangannya di bawah dagunya seperti seorang
detektif yang menganalisis sebuah TKP, dan menyipitkan matanya seperti seekor
kucing yang penasaran.
“Bagus sekali. Kamu punya aura
seperti suami yang luar biasa, Asamura-kun. ”
“Karakter seperti apa yang kamu
peragakan sekarang?”
“Kritikus seni!”
“Aku tidak mengerti sama sekali.”
Sambil mengadakan percakapan yang
sangat ngaco dan tidak bertukar informasi nyata sedikitpun, aku kemudian membuka
situs resep. Saat aku sendirian sebelumnya, aku selalu membuat kari instan dari
bubuk, tapi aku memeriksa isi rak kami untuk memastikannya. Aku menemukan
sebuah paket di sana yang sebenarnya aku beli sebelum Ayase-san dan Akiko-san
bergabung dengan kami, dengan tulisan warna merah tua ‘Ekstra pedas’ tertulis di atasnya.
Karena mereka sudah mengurus
sebagian besar masakan sejak mereka pindah, jumlah makanan instan atau
microwave yang kami makan sudah menurun drastis. Pada dasarnya, aku tidak tahu
seberapa baik dia menangani makanan pedas. Ketika aku mengingat kembali saat
mereka berdua memasak, mereka tidak pernah menggunakan apa pun yang pedas.
Mereka bahkan membuat hidangan yang lebih mengandalkan rempah-rempah untuk
menghasilkan rasa yang manis dan gurih, jadi aku mengira kalau mereka tidak
suka makanan yang pedas-pedas.
Tentu saja, ini tidak akan
menjadi masalah jika aku bisa bertanya padanya tentang kesukaannya. Namun,
karena Narasaka-san ada di sini, aku ragu untuk bertanya terus terang padanya.
Ada pepatah 'Lidah anak-anak', yang
digunakan untuk mengolok-olok orang yang tidak suka makanan pedas. Menyatakan
kesukaan atau ketidaksukaanmu terhadap makanan pedas bisa menyebabkan menyakiti
harga diri orang lain tergantung dari situasinya.
Jadi tidak ada kari malam ini.
Sebaliknya, aku akan mengandalkan kebijaksanaan ibu rumah tangga terhebat dalam
sejarah — dan menggunakan salah satu berkah terbesar dunia, Internet, untuk
mencari resep lainnya.
“Baiklah, aku mau milih yang
ini.” Aku memutuskan resep dan mulai mengerjakannya.
Peringatan spoiler: semuanya
berakhir dengan kegagalan. Yah, tidak juga sih. Ini bahkan tidak bisa disebut
kesuksesan atau kegagalan. Aku terlalu melebih-lebihkan kemampuan memasakku
sendiri, yang secara praktis tidak ada. Setiap istilah dalam resep itu sukar
dimengerti. Apa-apaan maksudnya tepung kue? Apa itu berbeda dengan tepung
terigu? Bumbui sesuai selera? Proses macam apa itu? Siapkan hot plate*? Aku bahkan tidak tahu
bagaimana kamu seharusnya memanaskan piring. Rebus selama lima hingga sepuluh
menit? Seberapa tidak tepatnya sih kamu itu? Bagaimana kamu bisa tahu kalau
masakannya sudah selesai? (TN : Hot plate di sini maksudnya alat memasak hot plate,
tapi si Asamura salah mengira kalo itu “piring panas”, yaiyalah kalo diartikan
secara literally mah, search aja di google alat masak hot plate)
Seperti yang seharusnya aku duga,
pengetahuan dasar memasakku terlalu rendah. Aku bahkan tidak bisa membaca resep
dengan benar. Aku merasa resep ini jauh lebih rumit daripada ujian Jepang
Modern yang dihadapi Ayase-san. Untuk saat ini, aku akan memasak nasi dulu.
Bahkan aku tahu cara mencuci beras dan menaruhnya di rice cooker. Skenario
terburuk, aku bisa menyajikan nasi dengan tsukudani dan menyembunyikan
ketidakmampuanku.
Aku menunda kerja keras sampai
nanti dan fokus pada apa yang bisa aku
lakukan. Setelah memutuskan begitu, aku mulai mencuci beras. Tentu saja, aku
tahu bahwa pada dasarnya aku melarikan diri dari kenyataan. Ahh, air dinginnya
terasa segar di tanganku.
Setelah aku selesai, aku
menyiapkan penanak nasi, dan ada seseorang yang masuk ke dapur.
“Asamura-kuuuun~”
“Narasaka-san? Ada beberapa
minuman di kulkas, jadi kamu bisa mengambilnya sendiri kalau haus.”
“Aku datang ke sini untuk
memeriksamu, Asamura-kun ~ Bukannya kamu sedang kesulitan?”
“Apa kamu memasang kamera di
suatu tempat di sini?” Aku melihat sekeliling dapur.
“Aku tidak memata-mataimu, kok!
Aku baru menyadari kamu sedang memasak nasi, jadi kupikir kamu mungkin
mengalami kesulitan. ”
“Ap-Apa itu tidak normal ...
memasak nasi duluan?”
“Tergantung keluarganya, sih.
Dalam keluargaku, kami mengurus lauk pauk dan yang lainnya di akhir.”
“Begitu rupanya ... Tapi
sejujurnya, ini cukup memalukan untuk diakui.”
Aku mengibarkan bendera putih
dan menjelaskan semuanya padanya. Yaitu, kalau aku melihat resepnya dan
berpikir aku mungkin bisa memasaknya, lalu berakhir seperti orang bego karena aku
bahkan tidak mengerti sebagian besar kata yang tertulis di atasnya — Ya,
menjelaskan itu akan memakan waktu terlalu lama , jadi aku hanya bilang kalau aku
ingin memulai dengan sesuatu yang bahkan aku pahami. Narasaka-san menggumamkan 'Begitu ya ~' dengan anggukan, lalu kembali
ke ruang tamu.
“Hei, Saki, kamu bisa melakukan
sisanya dengan beberapa pengulangan, ‘kan?”
“Ya, terima kasih.”
“Hebat, kalau begitu kamu bisa
melawan pertempuran ini sendirian! Aku akan membantu Asamura-kun memasak. ”
“Eh? Maksudku, tentu, tapi… Aku
tidak bisa memaksamu untuk mengurus itu.”
“Jangan pedulikan aku. Saatnya
Maaya-chan menunjukkan kekuatan waifuable-nya,
fufufufu ~ ”
“Be-Begitu ya. Aku akan
menantikan hasilnya.” Ayase-san menatapku dengan bingung.
Tentu saja, ekspresiku sama
bingungnya.
“Baiklah, saatnya mengajari Onii-san
yang pemula dalam memasak bagaimana cara memegang kendali! Aku menantikan
bimbinganmu!”
“Ah… Y-Ya.”
Narasaka-san menggulung
setengah lengannya lebih jauh untuk memperlihatkan kedua lengannya. Dia
mendekatiku dengan penuh keyakinan dan semangat, jadi aku hanya bisa
mengangguk. Biasanya aku yang harusnya meminta bimbingan, tetapi aku bahkan
tidak punya waktu untuk menunjukkannya.
“Kalau begitu, mari kita mulai.
Apa tujuan dasarmu untuk hidangan ini? "
“Tujuan…? Aku tidak terlalu
tahu, tapi aku menginginkan sesuatu yang akan membuat kepala Ayase-san bekerja
dengan baik selama ujiannya besok. Jadi sesuatu dengan banyak nutrisi dan
protein.”
“Okee~. Daging babi asam manis
mungkin bisa menjadi pilihan yang terbaik. Coba aku lihat… Ah, ketemu. ” Dia
membuka pintu kulkas dan mengeluarkan beberapa daging babi.
Sebuah pertanyaan muncul di
benakku.
“Hah? Apa kita punya daging
untuk babi asam manis di sana? Bukannya kamu menggunakan jenis daging yang
empuk untuk itu? ”
“Ya. Memang lebih gampang pakai
jenis daging begitu. Tapi bagian iga juga sama enaknya. Banyak resep yang
benar-benar menggunakannya. ”
Ketika aku mencari resep dengan
itu, aku menemukan banyak resep daging babi asam manis yang menggunakan bagian
iga.
“Yang penting adalah caramu
memotong daging.” Narasaka-san membusungkan dadanya seperti seorang guru yang
sedang mengajar muridnya, tapi kali ini aku tidak bisa membalasnya.
Faktanya, keterampilan memasak
Narasaka-san sangat sempurna. Dia mengeluarkan bahan dan bumbu dari dalam
kulkas tanpa melihat resepnya, menunjukkan kemajuan luar biasa dengan cepat.
Setelah itu, dia membersihkan daging dan bahan-bahannya, sambil mengajariku
setiap langkahnya.
Alasan dia bisa mengajar pemula
macam aku tanpa masalah ialah karena dia mahir sampai ke hal yang terkecil. Dia
menunjukkan kepadaku secara langsung apa yang penting untuk dipertimbangkan
sehingga aku bisa melakukannya sendiri.
“Kamu hebat sekali,
Narasaka-san. Kamu hampir seperti guru tata boga saja.”
“Emangnya kamu tidak bisa
memberikan pujian yang lebih keren? Mungkin mirip koki papan atas yang baru
saja kembali dari Prancis gitu? ”
“Tapi itu akan kehilangan
bagian tentang dirimu menjadi guru yang baik.”
“Oh iya, benar juga!”
Narasaka-san tertawa lepas. “Tapi kamu juga luar biasa, Asamura-kun. Kamu
mempelajari segalanya dengan sangat cepat. Itu membuatku ingin mengajarimu
lebih banyak lagi.”
“Menurutku itu karena kemampuanmu
untuk mengajar ... sekarang aku mulai kepikiran, Ayase-san adalah koki yang
hebat, juga ... Apa aku cuma satu-satunya orang di angkatan kita yang tidak
bisa memasak?” Suaraku dipenuhi ketegangan memikirkan diriku yang paling tak
berguna dari semua orang. Mempertimbangkan kalau yang dijadikan patokan hanya
dua individu, hal ini tidak memiliki banyak nilai statistik, tetapi peluangnya
tidak nol.
“Ahaha, aku ragu ~ Aku tahu
kalau ini kedengarannya seperti menyombongkan diri. Tapi menurutku, aku cukup
ahli dalam hal memasak.”
Secuil kecemasanku terpental
jauh-jauh berkat tawa ceria Narasaka-san… Syukurlah. Aku menemukan diriku
menghela nafas lega karena dapat menghindari cedera serius pada harga diriku.
“Aku punya banyak adik
laki-laki. Karena orang tua kami selalu bekerja, aku harus mengurus pekerjaan
rumah. Ibu ada di rumah hari ini, jadi itu sebabnya aku bisa mengunjungi tempat
Saki, tapi hal itu sendiri cukup langka.”
“Itu jadi mengingatkanku, kamu
datang ke sini bulan lalu juga ... Tapi tidak pernah berkunjung lagi sejak saat
itu.”
“Ya. Aku kira sebulan sekali
adalah batasnya.”
Hanya bisa menikmati satu hari
bebas dalam sebulan pasti sulit bagi siswi SMA seusianya. Belum lagi nilainya.
Dia bahkan lebih pintar dari Maru, atau dia pekerja yang lebih keras dari yang
aku kira. Karena keceriaan dan energinya yang tinggi, aku selalu menganggap dia
orang aneh, tapi sepertinya aku perlu mengevaluasi kembali asumsi itu.
“Jujur saja, Asamura-kun, apa
beneran tidak terjadi apa-apa antara kamu dan Saki?” Dia tiba-tiba bertanya.
Dia telah selesai menyiapkan bahan-bahan untuk daging babi asam manis dan
menyiapkan miso untuk sup miso, terus mengajariku cara memasaknya sepanjang
waktu.
“Kalau beneran ada pasti
bakalan buruk, ‘kan?”
“Maksudku, kalian berdua bisa
dibilang orang asing. Tidak ada hubungan darah dan sejenisnya.”
“Selama kita memiliki koneksi
dalam daftar keluarga, itu sama sekali tidak baik. Lagian, kenapa kamu begitu
penasaran mengenai hubunganku dengan Ayase-san?”
“Kenapa ya? … Itu pertanyaan
yang cukup sulit untuk dijawab. Aku cuma merasa kalau Saki telah berubah. ”
“Bukannya itu cuma perasaanmu
saja?”
“Benar, ya? Bagaimana kamu bisa
memiliki pendapat tanpa memiliki kesan pribadi tentang sesuatu? ”
“… Kurasa kamu ada benarnya
juga.”
Dia mengalahkan argumenku
dengan perasaan dan emosinya. Hanya orang dengan kemampuan komunikasi yang
lemah seperti aku yang membutuhkan penyesuaian logis. Seseorang seperti
Narasaka-san mungkin tidak perlu menyesuaikan diri sama sekali. Dia hanya
bekerja dengan intuisi dan bereaksi terhadap percakapan.
“Misalnya saja, Saki
akhir-akhir ini menggunakan lebih banyak parfum. Apa kamu tahu hal itu?”
“Aku tidak tahu.”
“Terima kasih Tuhan. Jika kamu
beneran tahu, itu akan sangat menjijikkan. ”
“Bisa tidak jangan menanyakan
pertanyaan jebakan seperti itu?”
Aku senang karena menjawab
dengan benar pada kali pertama. Tentu saja, aku sadar akan gadis-gadis yang
sebaya denganku, terutama seseorang yang bisa dibilang orang asing yang tinggal
serumah, tetapi aku tidak akan menatapnya sepanjang waktu, apalagi menyadari
seperti apa bau badannya.
“Jadi, apa yang ingin kamu
ceritakan tentang berapa banyak parfum yang dia kenakan?”
“Sekarang sudah masuk musim
panas, ‘kan? Kamu mulai berkeringat hanya karena berjalan sebentar saja, jadi
ini musim yang merepotkan bagi kami para gadis. Karena kita tidak ingin berbau
tidak sedap karena keringat, kita memakai lebih banyak parfum, menggunakan
banyak tisu keringat, dan menggunakan sampo dengan aroma yang lebih kuat. Gadis
melakukan banyak hal…. Setidaknya bagi gadis yang sedang tertarik pada lawan
jenis.”
“Begitu ya.”
“Tahun lalu, Saki paling banter
cuma menggunakan tisu, doang. Lagipula, dia tidak pernah banyak berkeringat,
jadi menggunakan tisu saja sudah cukup. ”
“Jadi maksudmu dia menggunakan
lebih banyak di tahun ini.”
“Benar! rasanya seperti dia
menggunakan semua yang dia miliki! Tindakannya pasti dipengaruhi karena ada seseorang
yang dia minati! Atau begitulah kesimpulan dari, Detektif Swasta Maaya-chan,
berdasarkan intuisinya, Watson-kun!”
“Hah.”
“Apa maksudmu dengan 'Hah' !? Kamu tidak merasakan apa-apa
setelah mendengar kalau ada gadis secantik itu mungkin menaruh perhatian padamu
!? ”
“Bahkan jika kamu mengatakan
itu ... maksudku, masuk akal jika dia menaruh perhatian padaku ...”
“Tuh, ‘kan! Aku tahu itu dalam
artian romantis!”
“Sekali lagi, tidak.” Aku
menyangkal pernyataannya sebelum dia menjadi lebih kegirangan. “Dia tinggal
dengan lawan jenis yang selama ini seperti orang asing baginya, jadi tentu saja
dia akan mengkawatrikan bau badannya. Dia mencoba untuk tidak bersikap kasar
padaku.”
Aku pun demikian. Saat hanya
ada aku dan Ayahku yang tinggal di sini, aku bisa berjalan di sekitar apartemen
dengan rambut acak-acakan, mata sepet, dan piyama bau iler tanpa masalah. Tapi
itu tidak berlaku lagi. Karena Ayase-san dan Akiko-san ada di sini. Karena selalu
ada kemungkinan untuk dilihat oleh kedua wanita ini, aku tidak punya cukup
keberanian untuk menunjukkan diri aku dengan penampilan yang ceroboh. Itulah
yang baru-baru ini kupikirkan.
“Huh ~ kurasa itu benar ~”
“Kamu akan merasakan hal yang
sama bila ada di posisinya, Narasaka-san.”
“Hmm… Ah.” Dia cemberut dan
melirik ke ruang tamu, tapi menarik napas saat melihat sesuatu.
Dia dengan lembut
menyolek-nyolek sampingku dengan sikunya dan berbicara dengan suara yang
energik.
“Apa kamu baru saja melihatnya?
Saki melihat ke arah sini, lho.”
“Jangan bohong, deh?” Aku lalu
melirik ke ruang tamu.
Karena itu, tatapan Ayase-san
dan tatapanku saling bertemu. Mulutnya terbuka sedetik, dan dia buru-buru mengalihkan
pandangannya setelah itu. Selain reaksi aneh itu, baik ekspresi maupun warna
wajahnya tidak berubah. Dia hanya melihat buku referensi yang ada di depannya
lagi.
“Mungkin dia baru saja mendengar
kita membicarakannya? Lagipula suaramu cukup keras, Narasaka-san. ”
“Ehhh? Aku berpikir kalau itu
adalah tatapan CINTA.”
“Iye iye, terus saja bergosip
begitu. Bahkan seseorang sebaik dia akan bosan denganmu kalau kamu terus
begitu.”
“Ini memalukan, tapi dia selalu
kesal padaku, jadi semakin mengganggunya tidak akan mengubah apapun ~”
“Lalu mengapa kamu mencoba membuatnya
semakin kesal?”
Aku benar-benar tidak mengerti
sikap riajuu yang satu ini. Dia bukan orang jahat, tapi terkadang tindakannya
terlalu berlebihan. Selagi aku memikirkan itu, sup miso selesai dimasak, begitu
pula persiapan kami untuk makan malam. Saat melihat waktunya, sudah setengah jam 6 sore,
dan penanak nasi mengeluarkan suara yang menandakan kalau nasi sudah matang.
“Waktu yang passsssss. Dengan
begini selesai sudah acara memasak bersama Maaya. ” Dia mengatakan 'Waktu yang pas' dengan intonasi yang
aneh, melepas celemek Ayase-san yang telah dia pakai selama ini, dan menuju ke
ruang tamu. “Belajarnya ditunda. Kembalikan nutrisimu, Letnan Kolonel Saki.”
Serunya, dia lalu melompat ke punggung Ayase-san dan menempel padanya.
Ayase-san pasti sedang mendengarkan
musik. Dia melepaskan earbud-nya, berbicara dengan nada kesal.
“Kenapa kamu memberiku peringkat
di akhir? … Tapi makasih. Aku merasa tidak enakan karena sampai membuatmu
memasakkan makan malam meski kamu seorang tamu.”
“Santai aja, santai aja. Kurasa
sudah waktunya untuk pulang.”
“Hah? Kamu tak akan makan
bersama kami? "
“Mamah mengurus semuanya di
rumah, tapi setidaknya aku harus makan malam bersama mereka. Aku ingin
menikmati makanannya saat aku bisa.” Karena dia bisa mengatakan itu dengan senyuman
di wajahnya, mereka pasti keluarga yang bahagia.
Bagi seseorang seperti diriku
yang tumbuh besar sambil melihat kedua orang tuaku selalu bertengkar, dia
terlihat begitu menyilaukan hingga membuatku ingin menutup mataku. Dia
mengemasi barang-barangnya dengan kecepatan seperti tentara dan keluar dari
ruang tamu dengan ucapan 'Sampai jumpa
~'. Tepat saat dia melewatiku di pintu depan, dia menyeringai dan mendekat
untuk berbisik dengan suara yang hanya bisa aku dengar.
“Aku akan memberimu waktu
berduaan dengan Saki~”
“Sekali lagi, kami bukan…”
“Pokoknya, bye-bye ~”
Aku mencoba untuk membantahnya,
tapi aku tidak diberi kesempatan untuk melakukannya, dan dia hanya melenggang
keluar pintu dengan tangannya melambai ke arahku. Aku berdiri di pintu dengan linglung,
mengawasinya. Ayase-san berdiri dan mendekatiku dengan tatapan bertanya-tanya.
“Apa yang salah? Apa dia
memberitahumu sesuatu yang aneh? ”
“Tidak, bukan apa-apa. Hanya
saja…”
“Hanya apa?”
“Menurutku dia gadis yang
aneh.”
“Memang.”
Dia benar-benar setuju
denganku? Sejujurnya ini mungkin pertama kalinya kami berbagi begitu banyak
empati sejak kami mulai hidup bersama.
“Ah, enak.”
Waktu menunjukkan jam 7 malam.
Pada akhirnya, kami berdua akhirnya makan malam berduaaan lagi. Ayase-san
memasukkan sepotong daging babi asam manis ke dalam mulutnya, dan matanya
terbuka lebar. Daripada kesenangan 'Heck
yeah!'yang memenuhi dadaku, aku justru merasa lega lebih dari apapun.
“Aku senang kamu menyukainya.”
“Aku merasa kamu memilih babi
asam manis karena mempertimbangkan sesuatu.”
“… Kamu terlalu cepat tanggap.”
Kurasa seseorang yang memasak
setiap hari dapat mengambil niat di balik pilihan menu.
“Terima kasih. Aku sangat
senang.”
“Sama-sama. Yah meski,
Narasaka-san lah yang paling pantas mendapatkan ucapan terima kasih.”
“Maaya membuat semua ini?”
“Sejujurnya, akulah yang
membuatnya. Dia mengajariku setiap langkah-langkahnya dengan sabar, tapi dia
membuatku mengurus bagian utama… Aku benar-benar merasa dia memiliki cukup
bakat untuk menjadi seorang guru. ”
“Setuju. Jika itu aku, aku akan
mengurus semuanya jika orang lain terlalu lama.”
“Benar, ‘kan? Aku rasa itu akan
menjadi pilihan yang lebih aman juga.”
Namun Narasaka-san tetap
telaten sampai akhir. Aku merasa dia akan menjadi guru SD yang hebat, atau
mempertimbangkan nilainya, bahkan menjadi guru di SMP maupun SMA. Hatiku terasa
hangat saat membayangkan Narasaka-san mengasuh anak-anak dengan senyuman.
“Bagaimana hasil belajarmu?”
“Terima kasih atas bantuanmu, aku
memecahkan semua pertanyaan ujian coba-coba buatan Maaya.”
“Aku senang mendengarnya.”
“Begitu aku memberitahu Maaya
tentang metode belajarku untuk mengisi soal bahasa Jepang Modern, dia berteriak
'Bukannya melakukan hal berbelit-belit
seperti itu benar-benar tidak efisien?'.”
“Yah pastinya, itu mungkin salah
satu metode belajar yang lebih memakan waktu.”
Meski kamu tidak dapat memahami
betul teks di hadapanmu, selama kamu memahami isinya pada tingkat yang paling
mendasar, kamu dapat memecahkannya. Namun, cara memecahkan masalah ini paling
bermanfaat bagi mereka yang punya banyak pengetahuan, tetapi itu hanya berhasil
jika ada jawaban pasti untuk pertanyaan yang dapat dipahami sebagian besar
orang.
Setiap tingkat pemikiran yang
menyeluruh dan rasional sama saja dengan kurangnya fleksibilitas. Karena
Ayase-san adalah tipe orang seperti itu, jika dia menemukan pertanyaan yang
memungkinkan jawaban ambigu, dia mungkin akan membeku secara otomatis. Itulah
sebabnya cara berbelit-belit begini adalah satu-satunya cara baginya untuk
berhasil lulus dalam ujian susulan bahasa Jepang Modern nanti, tanpa memaksanya
untuk menerima jawaban yang tidak jelas.
Sebelumnya, Ayase-san memuji
fleksibilitas temannya, Narasaka Maaya-san. Dia menghubungkan ini sebagai
alasan dia sangat populer di kelas. Mereka mengatakan bahwa orang tertarik pada
orang yang sifatnya sangat berlawanan dengan mereka. Itu akan menjelaskan
mengapa Ayase-san sangat akrab dengan Narasaka-san. Dan bukan hanya itu. Ini
juga menunjukkan bahwa dia menerima keragaman di tingkat mental. Dia tidak
bergantung pada stereotip, melainkan memiliki sikap yang memungkinkan
percakapan yang sesuai.
Kupikir ini karena pengaruh Ayahnya,
karena dia telah melihat ibunya ditekan secara mental olehnya, tapi mungkin bukan
itu saja. Semua pernyaan ini hanyalah asumsiku sendiri. Aku tidak dapat
memastikan hal ini secara langsung, jadi itulah kesimpulanku sebagai pengamat
luar.
Jika aku harus menebak, dia
berjuang dan melawan: Melawan darah ayahnyayang mengalir dalam dirinya, sosok yang
tidak bisa dia hormati. Jalan pemikirannya kokoh, tapi juga kaku. Dia tidak
mentolerir yang namanya ketidakjelasan, hanya mengizinkan hitam dan putih,
menyetujui segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, yang mendorongnya ke
kecenderungan ingin melakukan semuanya sendiri.
Itu sebabnya, untuk menjaga kelenturan
yang tegas ini, dia memakai baju besi tebal ini… Tentu saja, ini semua hanyalah
dugaanku semata.
“Tidak perlu khawatir. Semuanya
baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja untuk ujian yang sebenarnya besok.”
“…Begitu ya.”
Ayase-san memasang senyum
meyakinkan. Dia pasti sudah menebak alasan kenapa aku tiba-tiba menjadi diam.
Karena aku tidak bisa memberitahunya tentang apa yang sedang kupikirkan
sekarang, aku tidak punya banyak bukti untuk itu juga.
“Aku yakin kamu bisa
melakukannya, Ayase-san.”
“Terima kasih, Asamura-kun. Seperti
kata pepatah : Manusia hanya bisa berencana dan berusaha, tapi tetap Tuhan yang
menentukan.” Ayase-san mencengkeram sumpitnya dengan erat dan membawa lebih
banyak daging babi ke mulutnya. “Lezat.”
Sampai kami selesai makan malam,
dia terus mengulanginya sendiri, berterima kasih kepadaku dan memuji kalau
makanannya enak.
Ujian penentuannya diadakan
besok. Apakah dia mampu mencapai kebebasan untuk liburan musim panas, atau dia akan
dibatasi oleh kelas tambahan? Kesimpulannya sudah dekat. Anehnya, terlepas dari
kenyataan bahwa ini sama sekali bukan masalahku, rasanya nasibku sendiri juga
ikut bergantung pada peristiwa ini. Tapi aku mengubur perasaan arogan ini dan
berharap yang terbaik untuk saudari tiriku ini.
—Berusahalah
yang terbaik, Ayase-san.
Noice gan, tapi mungkin lebih tepat kalau disebut "jealousy is the best spicy to add in drama" alias bumbu cemburu, dengan catatan yang boleh ngelakuin itu hanya MC, bukan si FMC tentunya. lol.
BalasHapus