Gimai Seikatsu Vol.2 Chapter 05 Bahasa Indonesia

Chapter 5 — 20 Juli (Senin)

 

Hari ini merupakan Senin pagi di minggu baru. Saat memasuki ruang kelas, aku bisa merasakan tenagaku berangsur-angsur meninggalkan tubuhku. Semua pemandangan di sekeliling tampak seperti film hitam putih bagiku. Aku bisa mendengar sedikit cuplikan dari percakapan teman sekelas, tetapi suara mereka tampak jauh lebih pelan dari sebelumnya. Suasana santai memenuhi seisi kelas.

Alasannya sederhana. Di tengah minggu ini, liburan musim panas akan dimulai. Beda dengan mentalitas minggu depan adalah libur musim panas yang terjadi pekan lalu. Ujian akhir semester telah usai, dan liburan musim panas tepat di depan mata.

Sementara aku mengamati berlalunya waktu di dalam kelas yang bergerak sedikit lebih lambat dari biasanya, seorang murid laki-laki berjalan dengan lamban ke dalam ruangan.

“Pagi, Maru. Latihan pagi pasti terasa berat, ya.”

“Yo, Asamura ...” Baik suaranya dan bahkan ekspresinya tampak kelelahan.

Meski tidak banyak klub olahraga sekolah kita yang bertanding di tingkat nasional, ada banyak di antara mereka yang berupaya cukup untuk setidaknya mencapai tingkat kewilayahan. Teman baikku, Maru Tomokazu mempertahankan posisi kompetitif di klub bisbol, itulah sebabnya Ia melakukan latihan pagi dan sore hampir setiap hari. Biasanya, Ia tidak selelah seperti penampilannya saat ini, jadi mungkin ada hal lain yang telah terjadi.

“Kamu mirip seperti pohon yang mengering tanpa tenagamu yang biasa di sana. Apa yang terjadi?”

“Kami kalah di pertandingan kedua di babak penyisihan lokal.”

“Jadi, kamu sedikit depresi ya.”

“Tidak terlalu. Hanya saja itu menandakan kalau latihan akan menjadi lebih keras selama liburan musim panas.”

“Bukan sebaliknya? Biasanya, kamu akan berlatih lebih keras jika berhasil lolos dalam sebuah turnamen. ”

“Bahkan jika kamu mempraktikkan semuanya, masih ada batasan sampai seberapa banyak keterampilan sebenarnya yang dapat kamu peroleh dalam waktu singkat. Kamu bisa beristirahat untuk memperbaiki kondisi fisikmu, kamu dapat menghindari risiko atau cedera dari latihan, hal semacam itu. Mereka jarang benar-benar berusaha keras dalam hal latihan selama turnamen besar.”

“Begitu rupanya. Kedengarannya memang logis. ”

“Memang… Mm.” Maru duduk di kursinya dengan lesu, dan mengamati bagian dalam kelas dengan mata menyipit.

Sambil menyaksikan teman sekelas kita membuat rencana liburan musim panas di tengah suasana yang lesu ini, Maru bergumam.

“Pasti menyenangkan bisa menikmati liburan musim panas.”

“Apa kamu tipe orang yang akan iri tentang itu, Maru?”

“Tentu saja. Waktu senggangmu merupakan keberuntungan terbesar yang dapat kamu miliki. Tapi yah, aku sendiri yang memutuskan untuk menghabiskan waktuku di klub bisbol, jadi aku tidak bisa mengeluh.”

“Lantas, apa yang membuatmu iri?”

“Aku tidak punya banyak waktu untuk mengunjungi bioskop. Ada banyak judul film bagus yang keluar selama liburan musim panas, mencoba menargetkan waktu luang yang dimiliki para keluarga dan pasangan muda. Karena aku terjebak dalam latihan, aku tidak dapat menikmatinya.” Maru menghela nafas panjang. Itu membuatku secara mental terkekeh, karena ini sangat mirip dengannya.

Aku tidak tahu bagaimana perasaan seseorang yang sangat ingin menonton film karena latihannya lambat selama turnamen besar, tapi begitulah sosok yang bernaman Maru Tomokazu. Proses berpikirnya selalu sedikit berbeda dari akal sehat.

“Ada banyak film yang sudah aku nantikan juga.”

“Seperti 'Azure Night’s Interval'?”

“Hah? Itu sih film penguras air mata yang standar, bruh. Mungkin bagus untuk gadis yang menginginkan bagian depresi harian mereka, atau pasangan yang membutuhkan alasan untuk bermesraan di depan umum, tapi seorang maniak film seperti aku, mana puas dengan hal seperti itu.”

“Kamu serius menilai begitu tanpa melihatnya dulu? Itu membuatmu gagal menjadi penggemar film. Biar kuberitahu kalau film itu cukup bagus.”

“Tunggu, kamu sudah melihatnya, Asamura?”

Ah, aku keceplosan. Akan buruk jika dia bertanya padaku Mengapa? Dengan siapa? Dalam situasi apa ?, jadi aku harus memilih kata-kataku dengan hati-hati.

“Aku tertarik dengan sumbernya karena pernah melihatnya di tempat kerja, jadi aku menontonnya sendiri setelah bekerja.”

“Asamura….. kamu pergi berkencan, ‘kan?”

“Hah? Tunggu, apa yang kamu bicarakan? ”

“Aku bahkan tidak bertanya, tapi kamu buru-buru menyebutkan kalau kamu pergi sendiri. Kamu selalu bertindak sendirian, jadi kamu tidak perlu menjelaskannya.”

“Memangnya kamu ini apa? Semacam detektif? Kamu terlalu banyak membaca.” Aku mencoba untuk tetap tenang, tapi aku bisa merasakan keringat dingin mengalir di pipiku.

Maru menatapku melalui kacamatanya seperti burung pemangsa yang melihat makanan berikutnya. Rasanya seperti Ia menatap langsung ke dalam jiwaku, yang mana membuatku merasa sangat tidak nyaman. Hal itu membuatku berpikir bahwa mungkin lebih baik aku mengaku saja kalau aku menonton film dengan Yomiuri-senpai. Apa ini yang dirasakan para penjahat saat sedang terpojok? Namun, Maru tidak memiliki bukti konkret mengenai masalah ini.

“Dengan Narasaka, Ayase, dan sekarang… Asamura, bukannya kamu terlalu frustrasi secara seksual?”

“Sudah kubilang kalau kamu itu salah paham.”

“Yang benar? Aku pernah mendengar laporan orang yang mengatakan kalau kamu sering berbicara dengan Narasaka di sana-sini. Kapan itu, di depan ruang perpustakaan beberapa waktu yang lalu?”

“Hah, apa, aku sedang dibuntuti? Rasanya agak menakutkan sampai kamu bisa tahu tentang itu.”

“Orang-orang memiliki mata di mana-mana. Dosa-dosamu akan terungkap.”

'Dinding memiliki telinga', 'pintu geser memiliki mata'; 'Kehendak orang yang akan berbicara' — ini semua adalah ungkapan yang tiba-tiba terdengar jauh lebih kredibel dari sebelumnya.

“Kupikir itu terlalu berlebihan sampai menyebutnya dosa segala, padahal aku cuma mengobrol biasa saja dengan Narasaka-san.”

“Bagi cowok yang jatuh cinta padanya, itu termasuk kejahatan serius ... Kamu tidak menonton film bersamanya, ‘kan?”

“Aku tidak pergi dengan …… siapa-siapa.”

Aku hendak mengatakan 'dengan Narasaka-san', tapi aku segera mengoreksinya. Sebagai tanggapan, Maru mendecakkan lidahnya. Sungguh cara yang menakutkan untuk menjebakku menjawab pertanyaan dengan cara yang Ia inginkan. Orang ini terlalu berbahaya.

“Yah, kamu tahu sendirilah. Jika kamu terbangun ingin mengalami cinta sensual, tinggal beritahu aku saja. Aku adalah orang nomor satu dalam hal hubungan antarmanusia, dan aku akan mendukung cintamu sebanyak yang aku bisa.” Ia menunjukkan giginya yang putih dan sehat sambil tersenyum dan mengacungkan jempol.

Sejujurnya, kecerdasan Maru cukup mengesankan untuk membuat segala musuh menjadi temannya, tetapi aku sama sekali tidak merasa nyaman menjadikannya sebagai sekutu.

“Jika itu memang yang terjadi, aku akan mengandalkanmu.”

“Woke.”

Ketika aku memberikan tanggapan singkat, Maru tidak menunjukkan niat untuk menanyaiku lebih jauh. Berkat kepekaan dan pengetahuannya tentang manusia, Ia pastinya tahu kalau aku benar-benar pergi ke bioskop bersama orang lain, tapi ketimbang memuaskan rasa penasarannya, Ia justru lebih memprioritaskan perasaanku sendiri tentang masalah tersebut. Mengetahui kapan harus tidak mengorek lebih lanjut merupakan salah satu sifat kedewasaanya. Ia benar-benar teman yang baik.

… Meski mengatakan itu langsung di hadapannya pasti akan sangat canggung, jadi aku takkan melakukan itu.

Jam pelajaran berakhir untuk hari itu. Maru segera pergi untuk latihan bisbol, dan teman-teman lainnya perlahan tapi pasti keluar dari kelas tidak lama setelah itu. Aku memperhatikan mereka semua sembari tetap duduk di tempatku. Aku memegang smartphone, menghabiskan waktu untuk melihat-lihat medsos atau membaca berita. Tak lama kemudian, kelompok terakhir dari dua siswa, yang tetap tinggal mengobrol tentang ini dan itu, akhirnya pergi juga, dan meninggalkanku sendirian di kelas.

Panasnya terik musim panas bertiup masuk dari jendela yang setengah terbuka, dan jangkrik yang berdengung di kejauhan membuatku mengenang perasaan nostalgia. Aku rasa semua orang Jepang memiliki perasaan ini dalam keadaan yang tepat. Mungkin orang Jepang memiliki reaksi otomatis dalam gen mereka untuk mengenang kampung halaman segera setelah musim panas tiba?

Atau begitulah aku berhipotesis pada diriku sendiri, dan akhirnya berdiri dari tempat dudukku sambil menghela nafas. Tentu saja, aku tidak sedang membuang-buang waktu. Sejak Ayase-san dan aku menjadi saudara tiri, kami memutuskan kalau kami harus pulang pada waktu yang berbeda. Karena kami berdua harus kembali ke rumah yang sama, jalan pulang kami akan saling berpapasan. Jika kami akhirnya berjalan bersebelahan, itu akan menjadi canggung, jadi aku ingin menghindari hal semacam itu.

… Namun, ternyata keputusan ini justru mengkhianatiku di hari ini.

“Ah, Asamura-kuuuun!”

“Hah?”

Setelah aku memakai sepatu dan hendak melangkah keluar meninggalkan gedung sekolah, ada seseorang yang memanggil namaku. Saat berbalik, seorang gadis dengan warna rambut cerah menepuk pundakku.

“Apa kabar? Kebetulan banget bisa ketemu kamu di sini!”

“Narasaka-san?”

Siswi ini adalah Narasaka Maaya. Dan di balik bahunya, aku bisa melihat siswi lain — Ayase-san. Hah? Kenapa dia masih di sini? Kedua pertanyaan itu muncul di benakku, Narasaka-san berbicara lagi.

“Ayo pulang bareng!”

“Eh… Um, kenapa?”

“Hah? Kenapa? Maksudku… karena kita sudah di sini? ”

“Aku tidak tahu apa maksudnya itu. Memangnya kamu pulang ke arah yang sama? ”

“Ya iyalah. Lagipula, aku mau mengunjungi tempat Saki.”

“Hah?”

Aku melirik Ayase-san, mencari penjelasan. Dia menepuk kedua tangannya untuk meminta maaf.

“Dia akan mengajariku.”                              

“Ahh, begitu. Tapi… apa kamu tak keberatan pulang bersamaku, Narasaka-san? ”

“Tentu saja. Kenapa pula aku menentangnya?” seru Narasaka-san tanpa ragu sedikitpun.

Ratu para riajuu dengan seratus teman memang punya mental berbeda. Sama sekali tidak ada rintangan psikologis baginya untuk berbicara dengan lawan jenis. Memang benar kalau sepanjang hidupku, aku tidak pernah memiliki banyak pengalaman seperti itu, tapi tidak jarang sekelompok cowok dan cewek pulang bersama. Karena Ayase-san dan aku harus menyembunyikan hubungan kami untuk menghindari kesalahpahaman, kekhawatiranku jadi sia-sia.

“Karena kamu pergi ke tempat yang sama, kita tidak perlu pulang pada waktu yang berbeda. Benar ‘kan, Saki? ”

“Yah, itu benar…” Ayase-san sempat melirik ke arahku.

… Kurasa kali ini masuknya pengecualian. Aku mengangguk pasrah, dan Ayase-san menghela nafas.

“Mungkin seharusnya aku tidak bertanya pada Maaya.” gumamnya.

Setelah itu, kami bertiga keluar dari gerbang sekolah. Kecanggungan berjalan pulang dengan dua gadis di sampingku membuat tenggorokanku mengering. Aku tidak bisa menghilangkan kecemasan bahwa seseorang mungkin mengawasi kita. Pada akhirnya, kesimpulan Narasaka-san lebih akurat. Ketika kami melangkah keluar dari gerbang sekolah, kami masih menemui beberapa siswa di sana-sini, tapi tidak ada yang menoleh ke arah kami, apalagi menatap kami. Melihat satu cowok yang didampingi dua cewek di jalan pasti sesuatu yang sangat normal sehingga mereka bahkan tidak memperhatikannya.

Maru pernah memberitahu kalau ada seseorang yang melihatku mengobrol dengan Narasaka-san, tapi sekarang karena kami bertiga dalam satu kelompok, kami mungkin tidak terlalu menonjol. Setelah meninggalkan area sekolah, kami berjalan menyusuri jalan dari Shibuya ke area Daikanyama, yang dikenal di daerah ini sebagai jalan 'Bukit Unik'. Meski jam sekolah sudah usai, posisi matahari masih tetap tinggi, yang menyebabkan aspal mendidih. Keringat mulai menumpuk di balik pakaianku, yang membuatku merasa sedikit sedih.

Ayase-san berjalan di sampingku, mengelap keringat di lehernya dengan sapu tangan. Meski dia manusia normal sama seperti aku, tapi aku belum pernah melihatnya berkeringat atau meringis, jadi aku merasa seperti tengah menemukan penemuan yang heboh.

Kemudian aku mendengar suara elektronik, menyerupai sesuatu seperti cekrek. Saat aku berbalik, aku melihat Narasaka-san berjalan sedikit di belakang kami, menyeringai sendiri dengan smartphone di tangannya.

“Ah, jangan pedulikan aku. Teruslah berjalan secara alami seperti itu! ”

“Apa kamu tadi memotretku? Meski kamu itu temanku, aku tetap tak akan mengizinkan foto candid.” ujar Ayase-san.

“Tidak, tidak, tidak, tidak sama sekali kok~ Aku cuma merekam video. Benar-benar berbeda.”

“Intinya masih sama. Berikan itu padaku. Aku akan menghapusnya.”

“Ahhhhh! Jangan mengambilnya darikuuuuu! Smartphone-kuuuuuuu! ” Narasaka-san berteriak memohon, tapi Ayase-san mengambilnya tanpa ragu-ragu.

Dia memeriksa melalui rol kamera dan menghapus videonya.

“Kamu benar-benar benci difoto, Saki. Tidak perlu ngambek segala. Toh, aku tetap akan menghapusnya ~ ”

“Tetep enggak mau. Aku tidak menyukainya. Jika kamu memutuskan untuk tidak menghapusnya, aku harus mengomelimu. Itu payah, dan aku tidak ingin meragukanmu, jadi aku akan menghapus semuanya sendiri. ”

“Aku dalam masalah besar, Asamura-kun! Saki membully-ku dengan logika!”

Kenapa kamu berharap kalau aku membantumu? Aku tidak keberatan bergabung dalam percakapanmu, tetapi setidaknya lakukan saat topiknya sedikit lebih nyaman. Tentu saja, jawabanku sudah ditentukan sebelumnya.

“Kali ini aku berpihak pada Ayase-san.”

“Dasar pengkhianat, Onii-chan! Kamu tidak perlu setuju dengannya hanya karena kamu mirip satu sama lain sebagai saudara! ”

“Aku tidak ingat pernah menjadi sekutumu, dan bisa tidak kamu berhenti memanggilku 'Onii-chan'?”

Panggilan semacam itu harusnya dikatakan kepada saudara yang memiliki hubungan darah. Tentu saja, karena kami tidak punya ikatan darah, kami sangat berbeda satu sama lain, tapi berkat kami tinggal bersama, aku merasa perasaan nilai dan kebiasaan kami mulai sedikit tumpang tindih. Mungkin itu yang dia bicarakan?

“Lagian, kamu sendiri yang tidak masuk akal . Mengapa kamu mendadak mengambil video? ”

“Kupikir kalian berdua berjalan bersebelahan akan membuat heboh jagat maya. Bagaimana jika kamu menjadi pasangan YouTuber? 'Seorang gadis berambut pirang dan seorang anak antisosial menjadi saudara tiri', atau sesuatu seperti itu? Ini pasti akan menjadi viral.”

“Mana mungkin kami melakukan itu. Lagian mana mungkin ada orang yang suka menonton itu.” Ayase-san berkata tanpa ragu, dan aku pun mengangguk.

“Aku pun setuju… dan, Narasaka-san, meski yang kamu bilang itu benar, mengatakan 'antisosial' langsung di depan wajahku rasanya cukup menyakitkan tahu.”

“Ah, jangan salah paham dulu, aku bilang begitu bukan bermaksud untuk menghinamu, kok. Aku baru saja melihat banyak tag ‘Bad Boy’ di Insta, dan semuanya sangat tampan dan sangat populer di kalangan gadis-gadis.”

“Sekarang kamu menyebutku sangat tampan? Kedengarannya sangat mencurigakan.”

“Ahhhh, yang itu kamu salah. Kamu pada dasarnya bukan cowok tampan, tapi kamu pasti akan menjadi viral jika kami merias wajahmu, lihat.”

Aku merasa apapun omongannya pasti terasa nyelekit di hati. Aku yakin Narasaka-san tidak punya niatan buruk, tapi sangat sulit untuk memilah makna di balik ucapannya.

“Juga, ada banyak sekali. Banyak orang menonton live streaming pasangan YouTuber ini. Tidak, justru sangat banyak. Sulit untuk mendapatkan banyak pemirsa saat ini karena begitu banyak orang yang melakukannya, tapi jarang-jarang ada saudara tiri yang melakukan streaming langsung bersama! Ayo coba menghasilkan bayak uang dengan pendapatan iklan untuk membeli rumah mewah!”

“Pendapatan iklan……kamu bisa mendapatkan uang?”

Ayase-san menunjukkan sedikit ketertarikan begitu mendengar kata uang muncul dalam ocehan bersemangat Narasaka-san.

 “Tentu saja! Begitu kamu sudah populer, uang akan mengalir deras masuk ke rekeningmu!”

“Mengalir deras…”

“Tunggu, Narasaka-san, Ayase-san, tenanglah dulu.”

Aku segera menghentikan kedua gadis itu, yang tiba-tiba mulai membicarakan masalah youtube. Aku tahu kalau aku seharusnya tidak mengganggu mereka saat mereka mengobrol, tetapi aku akan merasa bersalah jika tetap diam saat mereka mengejar mimpi fatamorgana.

“Ada banyak orang yang mengupload video seperti itu, para artis dan bahkan perusahaan juga ikut bergabung. Dunia ini tidak begitu baik sampai bisa membuatmu jadi terkenal dengan mudah. … Setidaknya itulah yang dikatakan seseorang yang akrab dengan Internet dalam video mereka. ”

Ketika Ayase-san memintaku untuk mencari pekerjaan sambilan dengan bayaran tinggi, aku melihat-lihat video semacam ini dan pendapatan iklan yang kamu dapatkan darinya. Orang-orang yang sukses memang bisa menghasilkan banyak uang, dan peringkat untuk menjadi streamer sangat tinggi dalam jajak pendapat tentang apa yang diinginkan oleh anak SD ketika mereka besar nanti. Namun, tak peduli secerah apa kamu bersinar untuk sementara, industri ini merupakan industri yang kejam dan keras, ke titik di mana semuanya bergantung pada jumlah viewers. Perlahan-lahan itu menggerogotimu, lalu membuatmu frustrasi dan tertekan.

Hal yang sama berlaku pada pasangan Youtubers, meski kamu melakukan streaming pasangan, ada sejumlah potensi masalah yang tidak dapat kamu hindari justru karena premis itu.

“Bahkan jika kamu berhasil, untuk bisa terus-menerus mencapai kesuksesan jauh lebih sulit dari kelihatannya. Kamu pasti sudah sering mendengar cerita tentang hal semacam itu akhir-akhir ini. Pasangan tersebut putus, dan channel yang mereka bangun bersama langsung berantakan.”

“Maksudku, itu ada benarnya juga, tapi itulah sebabnya aku mengatakan ini.”

“Hah?”

“Tidak seperti mereka yang pacaran, kalian berdua ‘kan bersaudara, jadi kalian tidak akan putus! Ini akan menjadi channel dimana orang-orang dapat melihat kalian saling merayu dan bermesraan! Mungkinkah ada jenis hubungan yang lebih hebat dari itu !? Aku bilang tidak!”

“Apa yang kamu katakan ada benarnya juga…”

“Itu takkan pernah terjadi. Asamura-kun, kenapa kamu tiba-tiba membiarkan dirimu dipengaruhi olehnya? ”

“Maaf.”

Ayase-san menatap tajam ke arahku, dan aku segera meminta maaf. Mereka yang berhasil menganjurkan agar kamu bergerak cepat ketika menghadapi tantangan, tetapi aku merasa kata-kata ini jauh lebih akurat ketika kamu gagal dalam suatu hal. Jika kamu merasa sedikit merasa tidak nyaman, singkirkan harga dirimu dan cepatlah meminta maaf. Aku ingin hidup dengan moto 'Minta Maaf dalam Sekejap'. Mungkin saja ini terdengar kontradiktif, karena ketidakpuasan dan menggerutu adalah cara kerja beberapa percakapan.

Ayase-san menyisir rambutnya dengan jari, lalu menghela nafas sambil melanjutkan.

“Mana mungkin kami melakukan itu. Lagipula, hal begitu tak akan benar-benar berhasil.”

“Aku yakin itu akan berhasil! Baik kamu dan Asamura-kun benar-benar pintar. ”

“Kedengarannya bukan seperti pujian karena itu datang darimu, Maaya. Kamu mendapatkan nilai keseluruhan lebih bagus ketimbang kami berdua. ”

“Tidak, tidak, tidak, aku tidak berbicara tentang ujian. Bagaimana aku mengatakannya… sesuatu yang mirip seperti kecerdasan Zhuge Liang! ”

“Masih tidak mungkin. Bahkan jika kami beneran mencoba melakukannya, kami tidak tahu berapa banyak waktu yang dibutuhkan, dan aku akan kehilangan waktuku untuk belajar.”

“Garing bangeeettt. Aku jamin kalau kamu pasti akan populer. Dan yang lebih penting, aku ingin melihat kalian berdua bermesra-mesraan! ”

“Jadi itu semua untuk keuntunganmu sendiri. Sudah berulang kali aku bilang kalau kami bukan seperti itu.”

“Bagaimanapun, itu tidak akan pernah berhasil. Ada lebih banyak masalah di luar konteks itu juga.”

Saat ini, satu-satunya orang di sekolah yang tahu tentang hubungan Ayase-san dan aku hanyalah Narasaka-san. Jika kami benar-benar bisa sukses dengan channel kami, pada dasarnya hal itu akan diungkapkan kepada semua orang. Dan, kami ini bersaudara, jadi bagaimana kami menjelaskan kepada Ayahku dan Akiko-san bila kami bertingkah seperti orang pacaran di depan kamera?

Kamu harus ingat kalau Ayase-san itu punya paras cantik, logis, selalu perhatian, dan tahu betul kapan menjaga jarak saat kamu membutuhkannya, jadi sangat nyaman bisa tinggal bareng dengannya. Jika ada hubungan cinta yang tumbuh dari ini, mungkin akan berakhir dengan suka cita dan kebahagiaan.

Walaupun begitu, dia adalah saudara tiriku. Dan ini bukanlah dunia fiksi, melainkan kenyataan. Dia saudara tiriku yang asli. Aku bahkan tidak dapat melihat opsi lain selain membuat keadaan tetap normal seperti saat ini.

“Begitu ya, sangat disayangkan. Nah, kamu tidak harus menjadi YouTuber. Kamu bisa mencoba apa saja! Menemukan sesuatu yang kamu kuasai dapat menghasilkan pekerjaan dengan gaji tinggi, lho! Kamu harus mencoba Insta, Asamura-kun. ”

“Kenapa? Aku tidak punya keahlian untuk mengambil foto bergaya.”

“Kamu tinggal mengupload foto yang bagus dengan tag ‘Bad Boy ’! Aku yakin itu sempurna untukmu!”

“Tidak, terima kasih.” Atau begitulah yang aku katakan sambil membelakangi dia, tapi aku justru mengunduh aplikasi Insta di smartphone-ku.

Sementara Narasaka-san dan Ayase-san berjalan di depan, aku mengikuti di belakang mereka sembari membuat akun Insta-ku. Aku dipandu melalui layar tutorial dan membuat profil. Jika ini benar-benar dapat membuatmu populer dengan cepat dan efisien, dan bisa menghasilkan uang dengan mudah, maka aku pasti akan memberitahu Ayase-san tentang hal ini.

… Tapi dalam perjalanan pulang, berkat sinyal internet yang buruk, aku tidak tahu pengguna mana yang populer saat ini. Aku sudah berusaha keras untuk membuat akun, tetapi aku merasa kalau akun ini akan membusuk seiring berjalannya waktu.

Kami akhirnya tiba di apartemen. Saat aku membuka pintu apartemen, otot-ototku yang tegang mulai mengendur, dan aku bisa merasakan jari-jariku tiba-tiba terasa ringan seakan-akan telah meletakkan sesuatu yang berat yang terpaksa aku bawa. Berjalan pulang dengan ditemani dua gadis sangat berbeda dari rutinitasku yang biasa. Percuma saja kalau ada yang menyuruhku untuk bersikap rileks.

Untuk mencegah Narasaka-san tidak sengaja masuk ke kamarku, aku mengunci pintu kamarku. Aku menyalakan AC, melepaskan dasi, dan melepas seragamku. Udara dingin yang bertiup di tubuhku yang basah kuyup memang terasa nyaman, tapi aku menahan diri untuk tidak sembarangan mengatakan sesuatu dengan suara keras.

Sekarang, Narasaka-san ada di sini. Bahkan jika aku mengatakan sesuatu yang memalukan, Ayase-san akan mengabaikannya karena sikap perhatiannya, tapi aku tidak ingin orang asing mendengarnya. Setelah memikirkan itu, aku jadi menyadari sesuatu. Aku secara alami telah menetapkan label 'orang asing' kepada seseorang. Pada dasarnya, itu membutuhkan premis bahwa ada jenis orang asing lain di luar sana.

Ayase-san adalah orang asing, dan ada orang asing lain yang berbeda darinya. Kenyataan bahwa aku membuat perbedaan ini berarti dia secara bertahap semakin dekat untuk menjadi 'keluarga', ‘kan?

Aku selesai mengganti seragam dan berjalan keluar dari kamar. Saat pergi ke dapur untuk mengambil minuman, aku melihat Ayase-san di ruang tamu, sedang menatap buku pelajarannya, dengan Narasaka-san mengajarinya. Ayase-san masih mengenakan seragamnya, mungkin karena pertimbangan untuk temannya.

Keduanya memasang ekspresi serius. Bahkan setelah bercanda dalam perjalanan pulang, Narasaka-san kini rajin mengajari Ayase-san. Aku diam-diam membuka kulkas, dan menuangkan teh barley ke cangkir. Aku lalu membawanya kembali ke kamarku dengan jalan perlahan-lahan supaya tidak menggangu belajar mereka.

Aku duduk bersila di depan meja, meletakkan cangkir di depanku, dan memencet aplikasi manga di smartphone-ku. Karena aku sangat sibuk dengan ujian, aku tidak punya banyak waktu untuk mengikuti manga apa yang aku baca, jadi aku menggunakan waktu itu sekarang untuk mengejar seri manga yang sudah ku bookmark. Karena hari ini tidak ada kerjaan sambilan, jadi aku punya banyak waktu luang yang berharga untuk diriku sendiri.

Setelah sekitaran satu jam, aku sudah selesai mengejar sebagian besar seri yang ingin aku baca. Aku mempertimbangkan untuk memeriksa seri baru yang direkomendasikan Maru, dan akan mengetuk tombol pencarian ketika jariku berhenti. Di kiri atas layar, aku melihat waktunya menunjukkan angka 17:00.

Kupikir sudah waktunya melakukan persiapan untuk makan malam, jadi aku berdiri dengan smartphone di tangan. Biasanya itu adalah tugas Ayase-san, tapi karena besok dia ada ujian susulan, dia perlu belajar sebanyak mungkin. Aku menuju ke ruang tamu, dan Ayase-san mengangkat kepalanya.

“Ah, maaf, sudah waktunya, ‘kan? Boleh aku membuat sesuatu yang tak akan memakan banyak waktu hari ini? ”

“Jangan khawatir, aku akan melakukan sesuatunya sendiri. Kamu bisa terus belajar. ”

“Eh. Benarkah…?”

Aku mencoba membuat senyum meyakinkan saat memasuki dapur, dan Ayase-san merilekskan postur tubuhnya karena tadi dia berusaha ingin berdiri.

“Aku sedang libur dari kerjaan sambilanku, jadi jangan khawatirkan masalah itu. Kamu bisa melanjutkan dan fokuslah pada belajarmu.”

“... Terima kasih, itu sangat membantu.” Suaranya sedikit ragu, tapi dia berterima kasih padaku dengan benar.

Narasaka-san menyaksikan percakapan kami, meletakkan telapak tangannya di bawah dagunya seperti seorang detektif yang menganalisis sebuah TKP, dan menyipitkan matanya seperti seekor kucing yang penasaran.

“Bagus sekali. Kamu punya aura seperti suami yang luar biasa, Asamura-kun. ”

“Karakter seperti apa yang kamu peragakan sekarang?”

“Kritikus seni!”

“Aku tidak mengerti sama sekali.”

Sambil mengadakan percakapan yang sangat ngaco dan tidak bertukar informasi nyata sedikitpun, aku kemudian membuka situs resep. Saat aku sendirian sebelumnya, aku selalu membuat kari instan dari bubuk, tapi aku memeriksa isi rak kami untuk memastikannya. Aku menemukan sebuah paket di sana yang sebenarnya aku beli sebelum Ayase-san dan Akiko-san bergabung dengan kami, dengan tulisan warna merah tua ‘Ekstra pedas’ tertulis di atasnya.

Karena mereka sudah mengurus sebagian besar masakan sejak mereka pindah, jumlah makanan instan atau microwave yang kami makan sudah menurun drastis. Pada dasarnya, aku tidak tahu seberapa baik dia menangani makanan pedas. Ketika aku mengingat kembali saat mereka berdua memasak, mereka tidak pernah menggunakan apa pun yang pedas. Mereka bahkan membuat hidangan yang lebih mengandalkan rempah-rempah untuk menghasilkan rasa yang manis dan gurih, jadi aku mengira kalau mereka tidak suka makanan yang pedas-pedas.

Tentu saja, ini tidak akan menjadi masalah jika aku bisa bertanya padanya tentang kesukaannya. Namun, karena Narasaka-san ada di sini, aku ragu untuk bertanya terus terang padanya. Ada pepatah 'Lidah anak-anak', yang digunakan untuk mengolok-olok orang yang tidak suka makanan pedas. Menyatakan kesukaan atau ketidaksukaanmu terhadap makanan pedas bisa menyebabkan menyakiti harga diri orang lain tergantung dari situasinya.

Jadi tidak ada kari malam ini. Sebaliknya, aku akan mengandalkan kebijaksanaan ibu rumah tangga terhebat dalam sejarah — dan menggunakan salah satu berkah terbesar dunia, Internet, untuk mencari resep lainnya.

“Baiklah, aku mau milih yang ini.” Aku memutuskan resep dan mulai mengerjakannya.

Peringatan spoiler: semuanya berakhir dengan kegagalan. Yah, tidak juga sih. Ini bahkan tidak bisa disebut kesuksesan atau kegagalan. Aku terlalu melebih-lebihkan kemampuan memasakku sendiri, yang secara praktis tidak ada. Setiap istilah dalam resep itu sukar dimengerti. Apa-apaan maksudnya tepung kue? Apa itu berbeda dengan tepung terigu? Bumbui sesuai selera? Proses macam apa itu? Siapkan hot plate*? Aku bahkan tidak tahu bagaimana kamu seharusnya memanaskan piring. Rebus selama lima hingga sepuluh menit? Seberapa tidak tepatnya sih kamu itu? Bagaimana kamu bisa tahu kalau masakannya sudah selesai? (TN : Hot plate di sini maksudnya alat memasak hot plate, tapi si Asamura salah mengira kalo itu “piring panas”, yaiyalah kalo diartikan secara literally mah, search aja di google alat masak hot plate)

Seperti yang seharusnya aku duga, pengetahuan dasar memasakku terlalu rendah. Aku bahkan tidak bisa membaca resep dengan benar. Aku merasa resep ini jauh lebih rumit daripada ujian Jepang Modern yang dihadapi Ayase-san. Untuk saat ini, aku akan memasak nasi dulu. Bahkan aku tahu cara mencuci beras dan menaruhnya di rice cooker. Skenario terburuk, aku bisa menyajikan nasi dengan tsukudani dan menyembunyikan ketidakmampuanku.

Aku menunda kerja keras sampai nanti dan fokus pada apa yang bisa aku lakukan. Setelah memutuskan begitu, aku mulai mencuci beras. Tentu saja, aku tahu bahwa pada dasarnya aku melarikan diri dari kenyataan. Ahh, air dinginnya terasa segar di tanganku.

Setelah aku selesai, aku menyiapkan penanak nasi, dan ada seseorang yang masuk ke dapur.

“Asamura-kuuuun~”

“Narasaka-san? Ada beberapa minuman di kulkas, jadi kamu bisa mengambilnya sendiri kalau haus.”

“Aku datang ke sini untuk memeriksamu, Asamura-kun ~ Bukannya kamu sedang kesulitan?”

“Apa kamu memasang kamera di suatu tempat di sini?” Aku melihat sekeliling dapur.

“Aku tidak memata-mataimu, kok! Aku baru menyadari kamu sedang memasak nasi, jadi kupikir kamu mungkin mengalami kesulitan. ”

“Ap-Apa itu tidak normal ... memasak nasi duluan?”

“Tergantung keluarganya, sih. Dalam keluargaku, kami mengurus lauk pauk dan yang lainnya di akhir.”

“Begitu rupanya ... Tapi sejujurnya, ini cukup memalukan untuk diakui.”

Aku mengibarkan bendera putih dan menjelaskan semuanya padanya. Yaitu, kalau aku melihat resepnya dan berpikir aku mungkin bisa memasaknya, lalu berakhir seperti orang bego karena aku bahkan tidak mengerti sebagian besar kata yang tertulis di atasnya — Ya, menjelaskan itu akan memakan waktu terlalu lama , jadi aku hanya bilang kalau aku ingin memulai dengan sesuatu yang bahkan aku pahami. Narasaka-san menggumamkan 'Begitu ya ~' dengan anggukan, lalu kembali ke ruang tamu.

“Hei, Saki, kamu bisa melakukan sisanya dengan beberapa pengulangan, ‘kan?”

“Ya, terima kasih.”

“Hebat, kalau begitu kamu bisa melawan pertempuran ini sendirian! Aku akan membantu Asamura-kun memasak. ”

“Eh? Maksudku, tentu, tapi… Aku tidak bisa memaksamu untuk mengurus itu.”

“Jangan pedulikan aku. Saatnya Maaya-chan menunjukkan kekuatan waifuable-nya, fufufufu ~ ”

“Be-Begitu ya. Aku akan menantikan hasilnya.” Ayase-san menatapku dengan bingung.

Tentu saja, ekspresiku sama bingungnya.

“Baiklah, saatnya mengajari Onii-san yang pemula dalam memasak bagaimana cara memegang kendali! Aku menantikan bimbinganmu!”

“Ah… Y-Ya.”

Narasaka-san menggulung setengah lengannya lebih jauh untuk memperlihatkan kedua lengannya. Dia mendekatiku dengan penuh keyakinan dan semangat, jadi aku hanya bisa mengangguk. Biasanya aku yang harusnya meminta bimbingan, tetapi aku bahkan tidak punya waktu untuk menunjukkannya.

“Kalau begitu, mari kita mulai. Apa tujuan dasarmu untuk hidangan ini? "

“Tujuan…? Aku tidak terlalu tahu, tapi aku menginginkan sesuatu yang akan membuat kepala Ayase-san bekerja dengan baik selama ujiannya besok. Jadi sesuatu dengan banyak nutrisi dan protein.”

“Okee~. Daging babi asam manis mungkin bisa menjadi pilihan yang terbaik. Coba aku lihat… Ah, ketemu. ” Dia membuka pintu kulkas dan mengeluarkan beberapa daging babi.

Sebuah pertanyaan muncul di benakku.

“Hah? Apa kita punya daging untuk babi asam manis di sana? Bukannya kamu menggunakan jenis daging yang empuk untuk itu? ”

“Ya. Memang lebih gampang pakai jenis daging begitu. Tapi bagian iga juga sama enaknya. Banyak resep yang benar-benar menggunakannya. ”

Ketika aku mencari resep dengan itu, aku menemukan banyak resep daging babi asam manis yang menggunakan bagian iga.

“Yang penting adalah caramu memotong daging.” Narasaka-san membusungkan dadanya seperti seorang guru yang sedang mengajar muridnya, tapi kali ini aku tidak bisa membalasnya.

Faktanya, keterampilan memasak Narasaka-san sangat sempurna. Dia mengeluarkan bahan dan bumbu dari dalam kulkas tanpa melihat resepnya, menunjukkan kemajuan luar biasa dengan cepat. Setelah itu, dia membersihkan daging dan bahan-bahannya, sambil mengajariku setiap langkahnya.

Alasan dia bisa mengajar pemula macam aku tanpa masalah ialah karena dia mahir sampai ke hal yang terkecil. Dia menunjukkan kepadaku secara langsung apa yang penting untuk dipertimbangkan sehingga aku bisa melakukannya sendiri.

“Kamu hebat sekali, Narasaka-san. Kamu hampir seperti guru tata boga saja.”

“Emangnya kamu tidak bisa memberikan pujian yang lebih keren? Mungkin mirip koki papan atas yang baru saja kembali dari Prancis gitu? ”

“Tapi itu akan kehilangan bagian tentang dirimu menjadi guru yang baik.”

“Oh iya, benar juga!” Narasaka-san tertawa lepas. “Tapi kamu juga luar biasa, Asamura-kun. Kamu mempelajari segalanya dengan sangat cepat. Itu membuatku ingin mengajarimu lebih banyak lagi.”

“Menurutku itu karena kemampuanmu untuk mengajar ... sekarang aku mulai kepikiran, Ayase-san adalah koki yang hebat, juga ... Apa aku cuma satu-satunya orang di angkatan kita yang tidak bisa memasak?” Suaraku dipenuhi ketegangan memikirkan diriku yang paling tak berguna dari semua orang. Mempertimbangkan kalau yang dijadikan patokan hanya dua individu, hal ini tidak memiliki banyak nilai statistik, tetapi peluangnya tidak nol.

“Ahaha, aku ragu ~ Aku tahu kalau ini kedengarannya seperti menyombongkan diri. Tapi menurutku, aku cukup ahli dalam hal memasak.”

Secuil kecemasanku terpental jauh-jauh berkat tawa ceria Narasaka-san… Syukurlah. Aku menemukan diriku menghela nafas lega karena dapat menghindari cedera serius pada harga diriku.

“Aku punya banyak adik laki-laki. Karena orang tua kami selalu bekerja, aku harus mengurus pekerjaan rumah. Ibu ada di rumah hari ini, jadi itu sebabnya aku bisa mengunjungi tempat Saki, tapi hal itu sendiri cukup langka.”

“Itu jadi mengingatkanku, kamu datang ke sini bulan lalu juga ... Tapi tidak pernah berkunjung lagi sejak saat itu.”

“Ya. Aku kira sebulan sekali adalah batasnya.”

Hanya bisa menikmati satu hari bebas dalam sebulan pasti sulit bagi siswi SMA seusianya. Belum lagi nilainya. Dia bahkan lebih pintar dari Maru, atau dia pekerja yang lebih keras dari yang aku kira. Karena keceriaan dan energinya yang tinggi, aku selalu menganggap dia orang aneh, tapi sepertinya aku perlu mengevaluasi kembali asumsi itu.

“Jujur saja, Asamura-kun, apa beneran tidak terjadi apa-apa antara kamu dan Saki?” Dia tiba-tiba bertanya. Dia telah selesai menyiapkan bahan-bahan untuk daging babi asam manis dan menyiapkan miso untuk sup miso, terus mengajariku cara memasaknya sepanjang waktu.

“Kalau beneran ada pasti bakalan buruk, ‘kan?”

“Maksudku, kalian berdua bisa dibilang orang asing. Tidak ada hubungan darah dan sejenisnya.”

“Selama kita memiliki koneksi dalam daftar keluarga, itu sama sekali tidak baik. Lagian, kenapa kamu begitu penasaran mengenai hubunganku dengan Ayase-san?”

“Kenapa ya? … Itu pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Aku cuma merasa kalau Saki telah berubah. ”

“Bukannya itu cuma perasaanmu saja?”

“Benar, ya? Bagaimana kamu bisa memiliki pendapat tanpa memiliki kesan pribadi tentang sesuatu? ”

“… Kurasa kamu ada benarnya juga.”

Dia mengalahkan argumenku dengan perasaan dan emosinya. Hanya orang dengan kemampuan komunikasi yang lemah seperti aku yang membutuhkan penyesuaian logis. Seseorang seperti Narasaka-san mungkin tidak perlu menyesuaikan diri sama sekali. Dia hanya bekerja dengan intuisi dan bereaksi terhadap percakapan.

“Misalnya saja, Saki akhir-akhir ini menggunakan lebih banyak parfum. Apa kamu tahu hal itu?”

“Aku tidak tahu.”

“Terima kasih Tuhan. Jika kamu beneran tahu, itu akan sangat menjijikkan. ”

“Bisa tidak jangan menanyakan pertanyaan jebakan seperti itu?”

Aku senang karena menjawab dengan benar pada kali pertama. Tentu saja, aku sadar akan gadis-gadis yang sebaya denganku, terutama seseorang yang bisa dibilang orang asing yang tinggal serumah, tetapi aku tidak akan menatapnya sepanjang waktu, apalagi menyadari seperti apa bau badannya.

“Jadi, apa yang ingin kamu ceritakan tentang berapa banyak parfum yang dia kenakan?”

“Sekarang sudah masuk musim panas, ‘kan? Kamu mulai berkeringat hanya karena berjalan sebentar saja, jadi ini musim yang merepotkan bagi kami para gadis. Karena kita tidak ingin berbau tidak sedap karena keringat, kita memakai lebih banyak parfum, menggunakan banyak tisu keringat, dan menggunakan sampo dengan aroma yang lebih kuat. Gadis melakukan banyak hal…. Setidaknya bagi gadis yang sedang tertarik pada lawan jenis.”

“Begitu ya.”

“Tahun lalu, Saki paling banter cuma menggunakan tisu, doang. Lagipula, dia tidak pernah banyak berkeringat, jadi menggunakan tisu saja sudah cukup. ”

“Jadi maksudmu dia menggunakan lebih banyak di tahun ini.”

“Benar! rasanya seperti dia menggunakan semua yang dia miliki! Tindakannya pasti dipengaruhi karena ada seseorang yang dia minati! Atau begitulah kesimpulan dari, Detektif Swasta Maaya-chan, berdasarkan intuisinya, Watson-kun!”

“Hah.”

“Apa maksudmu dengan 'Hah' !? Kamu tidak merasakan apa-apa setelah mendengar kalau ada gadis secantik itu mungkin menaruh perhatian padamu !? ”

“Bahkan jika kamu mengatakan itu ... maksudku, masuk akal jika dia menaruh perhatian padaku ...”

“Tuh, ‘kan! Aku tahu itu dalam artian romantis!”

“Sekali lagi, tidak.” Aku menyangkal pernyataannya sebelum dia menjadi lebih kegirangan. “Dia tinggal dengan lawan jenis yang selama ini seperti orang asing baginya, jadi tentu saja dia akan mengkawatrikan bau badannya. Dia mencoba untuk tidak bersikap kasar padaku.”

Aku pun demikian. Saat hanya ada aku dan Ayahku yang tinggal di sini, aku bisa berjalan di sekitar apartemen dengan rambut acak-acakan, mata sepet, dan piyama bau iler tanpa masalah. Tapi itu tidak berlaku lagi. Karena Ayase-san dan Akiko-san ada di sini. Karena selalu ada kemungkinan untuk dilihat oleh kedua wanita ini, aku tidak punya cukup keberanian untuk menunjukkan diri aku dengan penampilan yang ceroboh. Itulah yang baru-baru ini kupikirkan.

“Huh ~ kurasa itu benar ~”

“Kamu akan merasakan hal yang sama bila ada di posisinya, Narasaka-san.”

“Hmm… Ah.” Dia cemberut dan melirik ke ruang tamu, tapi menarik napas saat melihat sesuatu.

Dia dengan lembut menyolek-nyolek sampingku dengan sikunya dan berbicara dengan suara yang energik.

“Apa kamu baru saja melihatnya? Saki melihat ke arah sini, lho.”

“Jangan bohong, deh?” Aku lalu melirik ke ruang tamu.

Karena itu, tatapan Ayase-san dan tatapanku saling bertemu. Mulutnya terbuka sedetik, dan dia buru-buru mengalihkan pandangannya setelah itu. Selain reaksi aneh itu, baik ekspresi maupun warna wajahnya tidak berubah. Dia hanya melihat buku referensi yang ada di depannya lagi.

“Mungkin dia baru saja mendengar kita membicarakannya? Lagipula suaramu cukup keras, Narasaka-san. ”

“Ehhh? Aku berpikir kalau itu adalah tatapan CINTA.”

“Iye iye, terus saja bergosip begitu. Bahkan seseorang sebaik dia akan bosan denganmu kalau kamu terus begitu.”

“Ini memalukan, tapi dia selalu kesal padaku, jadi semakin mengganggunya tidak akan mengubah apapun ~”

“Lalu mengapa kamu mencoba membuatnya semakin kesal?”

Aku benar-benar tidak mengerti sikap riajuu yang satu ini. Dia bukan orang jahat, tapi terkadang tindakannya terlalu berlebihan. Selagi aku memikirkan itu, sup miso selesai dimasak, begitu pula persiapan kami untuk makan malam. Saat  melihat waktunya, sudah setengah jam 6 sore, dan penanak nasi mengeluarkan suara yang menandakan kalau nasi sudah matang.

“Waktu yang passsssss. Dengan begini selesai sudah acara memasak bersama Maaya. ” Dia mengatakan 'Waktu yang pas' dengan intonasi yang aneh, melepas celemek Ayase-san yang telah dia pakai selama ini, dan menuju ke ruang tamu. “Belajarnya ditunda. Kembalikan nutrisimu, Letnan Kolonel Saki.” Serunya, dia lalu melompat ke punggung Ayase-san dan menempel padanya.

Ayase-san pasti sedang mendengarkan musik. Dia melepaskan earbud-nya, berbicara dengan nada kesal.

“Kenapa kamu memberiku peringkat di akhir? … Tapi makasih. Aku merasa tidak enakan karena sampai membuatmu memasakkan makan malam meski kamu seorang tamu.”

“Santai aja, santai aja. Kurasa sudah waktunya untuk pulang.”

“Hah? Kamu tak akan makan bersama kami? "

“Mamah mengurus semuanya di rumah, tapi setidaknya aku harus makan malam bersama mereka. Aku ingin menikmati makanannya saat aku bisa.” Karena dia bisa mengatakan itu dengan senyuman di wajahnya, mereka pasti keluarga yang bahagia.

Bagi seseorang seperti diriku yang tumbuh besar sambil melihat kedua orang tuaku selalu bertengkar, dia terlihat begitu menyilaukan hingga membuatku ingin menutup mataku. Dia mengemasi barang-barangnya dengan kecepatan seperti tentara dan keluar dari ruang tamu dengan ucapan 'Sampai jumpa ~'. Tepat saat dia melewatiku di pintu depan, dia menyeringai dan mendekat untuk berbisik dengan suara yang hanya bisa aku dengar.

“Aku akan memberimu waktu berduaan dengan Saki~”

“Sekali lagi, kami bukan…”

“Pokoknya, bye-bye ~”

Aku mencoba untuk membantahnya, tapi aku tidak diberi kesempatan untuk melakukannya, dan dia hanya melenggang keluar pintu dengan tangannya melambai ke arahku. Aku berdiri di pintu dengan linglung, mengawasinya. Ayase-san berdiri dan mendekatiku dengan tatapan bertanya-tanya.

“Apa yang salah? Apa dia memberitahumu sesuatu yang aneh? ”

“Tidak, bukan apa-apa. Hanya saja…”

“Hanya apa?”

“Menurutku dia gadis yang aneh.”

“Memang.”

Dia benar-benar setuju denganku? Sejujurnya ini mungkin pertama kalinya kami berbagi begitu banyak empati sejak kami mulai hidup bersama.

“Ah, enak.”

Waktu menunjukkan jam 7 malam. Pada akhirnya, kami berdua akhirnya makan malam berduaaan lagi. Ayase-san memasukkan sepotong daging babi asam manis ke dalam mulutnya, dan matanya terbuka lebar. Daripada kesenangan 'Heck yeah!'yang memenuhi dadaku, aku justru merasa lega lebih dari apapun.

“Aku senang kamu menyukainya.”

“Aku merasa kamu memilih babi asam manis karena mempertimbangkan sesuatu.”

“… Kamu terlalu cepat tanggap.”

Kurasa seseorang yang memasak setiap hari dapat mengambil niat di balik pilihan menu.

“Terima kasih. Aku sangat senang.”

“Sama-sama. Yah meski, Narasaka-san lah yang paling pantas mendapatkan ucapan terima kasih.”

“Maaya membuat semua ini?”

“Sejujurnya, akulah yang membuatnya. Dia mengajariku setiap langkah-langkahnya dengan sabar, tapi dia membuatku mengurus bagian utama… Aku benar-benar merasa dia memiliki cukup bakat untuk menjadi seorang guru. ”

“Setuju. Jika itu aku, aku akan mengurus semuanya jika orang lain terlalu lama.”

“Benar, ‘kan? Aku rasa itu akan menjadi pilihan yang lebih aman juga.”

Namun Narasaka-san tetap telaten sampai akhir. Aku merasa dia akan menjadi guru SD yang hebat, atau mempertimbangkan nilainya, bahkan menjadi guru di SMP maupun SMA. Hatiku terasa hangat saat membayangkan Narasaka-san mengasuh anak-anak dengan senyuman.

“Bagaimana hasil belajarmu?”

“Terima kasih atas bantuanmu, aku memecahkan semua pertanyaan ujian coba-coba buatan Maaya.”

“Aku senang mendengarnya.”

“Begitu aku memberitahu Maaya tentang metode belajarku untuk mengisi soal bahasa Jepang Modern, dia berteriak 'Bukannya melakukan hal berbelit-belit seperti itu benar-benar tidak efisien?'.”

“Yah pastinya, itu mungkin salah satu metode belajar yang lebih memakan waktu.”

Meski kamu tidak dapat memahami betul teks di hadapanmu, selama kamu memahami isinya pada tingkat yang paling mendasar, kamu dapat memecahkannya. Namun, cara memecahkan masalah ini paling bermanfaat bagi mereka yang punya banyak pengetahuan, tetapi itu hanya berhasil jika ada jawaban pasti untuk pertanyaan yang dapat dipahami sebagian besar orang.

Setiap tingkat pemikiran yang menyeluruh dan rasional sama saja dengan kurangnya fleksibilitas. Karena Ayase-san adalah tipe orang seperti itu, jika dia menemukan pertanyaan yang memungkinkan jawaban ambigu, dia mungkin akan membeku secara otomatis. Itulah sebabnya cara berbelit-belit begini adalah satu-satunya cara baginya untuk berhasil lulus dalam ujian susulan bahasa Jepang Modern nanti, tanpa memaksanya untuk menerima jawaban yang tidak jelas.

Sebelumnya, Ayase-san memuji fleksibilitas temannya, Narasaka Maaya-san. Dia menghubungkan ini sebagai alasan dia sangat populer di kelas. Mereka mengatakan bahwa orang tertarik pada orang yang sifatnya sangat berlawanan dengan mereka. Itu akan menjelaskan mengapa Ayase-san sangat akrab dengan Narasaka-san. Dan bukan hanya itu. Ini juga menunjukkan bahwa dia menerima keragaman di tingkat mental. Dia tidak bergantung pada stereotip, melainkan memiliki sikap yang memungkinkan percakapan yang sesuai.

Kupikir ini karena pengaruh Ayahnya, karena dia telah melihat ibunya ditekan secara mental olehnya, tapi mungkin bukan itu saja. Semua pernyaan ini hanyalah asumsiku sendiri. Aku tidak dapat memastikan hal ini secara langsung, jadi itulah kesimpulanku sebagai pengamat luar.

Jika aku harus menebak, dia berjuang dan melawan: Melawan darah ayahnyayang mengalir dalam dirinya, sosok yang tidak bisa dia hormati. Jalan pemikirannya kokoh, tapi juga kaku. Dia tidak mentolerir yang namanya ketidakjelasan, hanya mengizinkan hitam dan putih, menyetujui segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, yang mendorongnya ke kecenderungan ingin melakukan semuanya sendiri.

Itu sebabnya, untuk menjaga kelenturan yang tegas ini, dia memakai baju besi tebal ini… Tentu saja, ini semua hanyalah dugaanku semata.

“Tidak perlu khawatir. Semuanya baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja untuk ujian yang sebenarnya besok.”

“…Begitu ya.”

Ayase-san memasang senyum meyakinkan. Dia pasti sudah menebak alasan kenapa aku tiba-tiba menjadi diam. Karena aku tidak bisa memberitahunya tentang apa yang sedang kupikirkan sekarang, aku tidak punya banyak bukti untuk itu juga.

“Aku yakin kamu bisa melakukannya, Ayase-san.”

“Terima kasih, Asamura-kun. Seperti kata pepatah : Manusia hanya bisa berencana dan berusaha, tapi tetap Tuhan yang menentukan.” Ayase-san mencengkeram sumpitnya dengan erat dan membawa lebih banyak daging babi ke mulutnya. “Lezat.”

Sampai kami selesai makan malam, dia terus mengulanginya sendiri, berterima kasih kepadaku dan memuji kalau makanannya enak.

Ujian penentuannya diadakan besok. Apakah dia mampu mencapai kebebasan untuk liburan musim panas, atau dia akan dibatasi oleh kelas tambahan? Kesimpulannya sudah dekat. Anehnya, terlepas dari kenyataan bahwa ini sama sekali bukan masalahku, rasanya nasibku sendiri juga ikut bergantung pada peristiwa ini. Tapi aku mengubur perasaan arogan ini dan berharap yang terbaik untuk saudari tiriku ini.

—Berusahalah yang terbaik, Ayase-san.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

  1. Noice gan, tapi mungkin lebih tepat kalau disebut "jealousy is the best spicy to add in drama" alias bumbu cemburu, dengan catatan yang boleh ngelakuin itu hanya MC, bukan si FMC tentunya. lol.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama