Tanin wo Yosetsukenai Chapter 10 Bahasa Indonesia

Chapter 10 —  Strategi

 

Aku tidak bisa mendengar bunyi apapun, rasanya seolah-olah telingaku rusak. Dunia terasa hening dan sunyi. Aku bisa merasakan napasku tersengal-sengal. Aku melirik ke telapak tanganku dan melihat kalau tidak ada yang berubah sejak saat itu.

Sensasi kepalan tanganku yang menjotos wajah seseorang. Perasaan menendang badan seseorang saat kamu mendorongnya dengan lutut. Dan rasa pencapaian yang tidak masuk akal yang aku rasakan ketika menghabisi lawanku.

Ini dia. Inilah yang dulu pernah aku rasakan.

Jantungku berdetak sangat kencang. Cucuran keringat membasahi wajahku, meski cuaca sekarang tidak terlalu panas. Aku merasa seperti panas membecah keluar dari dalam diriku.

Apa kamu akan kembali ke masa itu?

Aku bertanya pada diriku sendiri. Saat aku melihat ke arah cowok berandalan yang mengerang kesakitan, aku ketakutan dengan hal yang terngiang-ngiang di kepalaku. Itu karena ada sedikit rasa kegembiraan dalam pikiranku. Rasanya enak, pikirku sedikit.

Saat itulah aku kembali tersadar.

Aku harus pergi, pikirku. Aku melangkah mundur, bahuku membentur dinding yang kotor. Sebuah batu kecil menghantam tumitku. Bau tak sedap dari saluran pembuangan tercium hidungku. Aku melihat sekeliling untuk melihat apa ada orang lain yang mengawasi kami.

Satu-satunya orang di sini hanya ada aku dan cowok berandal yang meringkuk.

Aku bernafas lega. Polisi mungkin akan segera tiba. Aku harus keluar dari sini sebelum mereka sampai ke sini.

Aku berjalan ke arah berlawanan dari arah Saito dan Shindo pergi. Aku keluar dari gang, melewati jalan kecil, dan berjalan kembali ke jalan utama.

Ada jaring laba-laba di sekitar mataku. Aku menyingkitkannya dan memalingkan wajahku saat terus berjalan lebih cepat.

Pada saat berhadapan dengan geng berandalan tadi, aku seolah-olah tidak bisa mengenali diriku lagi. Aku  melupakan diriku sendiri. Rasanya seperti ada seseorang yang merasukiku, dan secara naluri mengambil alih ragaku sehingga aku harus mengalahkan para berandalan itu.

Kupikir aku sudah memutuskan untuk tidak pernah mengangkat tinjuku lagi. Tapi sekarang, tubuhku bergerak dengan sendirinya.

Setelah aku sampai di rumah, aku menemukan banyak sekali pesan di smartphone-ku. Shindo dan Saito terus-menerus mengajukan pertanyaan mengenai ke mana aku pergi dan apa yang terjadi padaku.

Mereka membawa beberapa polisi dari pos polisi, seperti yang sudah aku duga. Namun, di tempat kejadian cuma ada anak berandal yang meringkuk.

Kenji Saito: Aku kesulitan menjelaskan apa yang terjadi setelah itu. Orang yang tersungkur malah para berandalan, jadi pak polisi mencurigai kami seolah-olah kamilah pelakunya.

Naoya Ookusu: Aku minta maaf.

Untungnya, salah satu dari polisi itu pernah menangani anak berandalan tersebut, jadi Ia bisa memahami situasinya. Para berandalan itu tidak mengatakan apapun yang memalukan karena sudah dipukuli olehku, tapi Ia mengatakan kalau Ia tiba-tiba sakit perut.

Kenji Saito: Kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Kamu dan para berandalan lainnya pada pergi ke mana.

Aku sudah memutuskan jawabannya.

Naoya Ookusu: Ceritanya simpel. Ketika melihat salah satu dari mereka mulai mendadak kesakitan, mereka semua langsung panik. Aku memanfaatkan situasi tersebut dan langsung kabur. Aku pikir mereka keluar untuk meminta bantuan. Dan ketika mereka melihat polisi di sana, mereka mungkin berbalik.

Kenji Saito: Oh, begitu.

Saito sepertinya puas dengan jawaban itu. Ia tidak bertanya lebih lanjut.

Namun, aku segera menerima balasan skeptis dari Shindo.

Shindo Satoru: Aku penasaran, mengapa si berandal itu tiba-tiba sakit perut.

Naoya Ookusu: Entahlah, aku sendiri tidak tahu.

Shindo punya insting yang tajam meski Ia idiot. Sebagai perbandingan, isi kepala Saito kosong, jadi sangat mudah untuk mengelabuinya.

Shindo Satoru: Ya, tapi berkat Ookusu, aku bisa lolos. Terima kasih banyak.

Naoya Ookusu: Tidak, jangan khawatir. Bagaimanapun juga, kita berada dalam situasi di mana kita harus melarikan diri sendirian dan meminta bantuan polisi.

Shindo Satoru: Yah terlepas dari itu, untungnya kita semua aman.

Shindo mengirimi pesan ini, tampaknya telah berhenti meragukanku. Aku menghela nafas lega.

 

*****

 

Enami-san baru memasuki ruang kelas tepat saat jam pelajaran kedua berakhir.

Karena waktunya sudah memasuki jam istirahat dan Enami-san yang terlambat bukan kejadian langka, jadi tidak ada yang peduli sama sekali.

Aku melirik Enami-san untuk beberapa alasan.

Meski dia datang terlambat, dia sama sekali tidak terlihat terburu-buru. Seolah-olah dia berpikir kalau waktu sekarang merupakan waktu yang tepat berada di sekolah. Dia tidak terlihat mengantuk, dan seragam sekolah yang dikenakannya terlihat sangat modis.

Aku tidak tahu apa dia ketiduran atau tidak, tapi kurasa dia tidak terburu-buru untuk bangun pagi.

Pada saat yang sama, aku pikir dia masih terlihat cantik. Dia cuma duduk dan memandang ke luar jendela seolah-olah dia merasa bosan, tidak peduli dengan teman sekelasnya. Tapi ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku tertarik.

–Jika dia tersenyum, dia pasti terlihat manis.

Sampai sekarang, sejak naik ke kelas 2, jumlah di mana dia berangkat sekolah tepat waktu hanyalah enam kali di awal semester. Sejak saat itu, dia selalu datang terlambat hingga sekarang.

– Yah, kalau dipikir-pikir, dia sendiri tidak bolos sekolah.

Aku mencoba mengingat apa Enami-san pernah membolos, tapi selama yang aku ingat, dia selalu menghadiri pelajaran. Jika dia tidak berniat untuk sekolah, dia akan lebih sering absen. Mungkin, itulah alasan mengapa Sensei sangat memperhatikan Enami-san.

Saat aku melihat Nishikawa berjalan menuju tempat duduk Enami-san, aku membuang muka. Rasanya bakal canggung jika aku ketahuan menatapnya.

Aku mengalihkan pandangan ke depan dan melihat Hanasaki berdiri tepat di depanku.

”Ookusu-kun. Dari tadi kamu melihat Enami-san terus. ”

Rupanya, dia sudah berdiri di sana sejak beberapa waktu yang lalu. Aku terlalu sibuk melihat ke belakang untuk menyadarinya.

“Yah, karena masalah kemarin, sih.”

Karena aku sudah berjanji, aku perlu bekerja sama dengan Hanasaki untuk membujuk Enami-san. Tapi demi melakukan itu, kami membutuhkan lebih banyak informasi tentang Enami-san. Bagaimanapun juga, dia tidak mau mengobrol dengan siapa pun selain Nishikawa.

“Aku baru menyadarinya hari ini. Enami-san tidak pernah membolos atau malas-malasan.”

“Hah. Benar juga.”

Hanasaki sepertinya juga tidak menyadarinya. Aku yakin dia tidak menyadari fakta bahwa dia datang ke sekolah setiap hari karena citranya yang datang terlambat sudah melekat kuat.

“Jika memang itu masalahnya, kurasa aku memahami mengapa Shiroyama-sensei tidak bisa menyerah padanya, kau tahu. Ini bukannya dia ingin berhenti dari sekolah atau semacamnya, karena buktinya dia masih mau berangkat sekolah.”

“Tapi jika dia terus datang terlambat, dia mungkin akan disuruh mengulang satu tahun. Lagipula, aku tidak terlalu tahu apa yang Enami-san pikirkan. ”

“Ya, kamu benar,..”

Lalu Hanasaki berkata.

“Hei, bagaimana kalau kita mengadakan sesi belajar bersama dengan Enami-san dan yang lainnya?”

“Sesi belajar bersama?”

“Ya. Kebetulan ujian UTS ‘kan sebentar lagi. Jadi, ayo ajak dia belajar bersama kita. Jika begitu, mungkin Enami-san akan lebih terbuka kepada kita. ”

“Aku ragu apakah itu akan berhasil dengan baik.”

Dia tidak pernah terbuka kepada siapa pun sebelumnya. Jika kita mau melakukan ini, kita harus melakukan persiapan yang diperlukan dengan Nishikawa.

“Ayo kita coba dan lihat dulu hasilnya. Jika kita berhasil, selain bisa belajar banyak tapi kita juga bisa mengenal Enami-san, jadi kurasa hal itu patut dicoba. ”

Hal itu memang situasi yang saling menguntungkan. Kami tidak harus menunggu sampai ujian UTS selesai.

Kami kemudian sedikit membahas tentang cara mengajaknya sampai jam pelajaran ketiga dimulai.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi Selanjutnya=>>

close

1 Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama