Epilog — Buku Harian Ayase Saki?
—Ini
semua kenangan dari minggu lalu.
*****
Apa yang harus kulakukan?
Aku
terus melamun sembari menatap langit-langit kamar.
Sekarang…
sudah jam 4:36 pagi.
Karena
waktunya hampir jam 5 pagi di akhir Agustus, suasana di luar masih gelap gulita.
Aku
mungkin masih bisa tidur selama satu setengah jam lagi jika mau. Karena aku
tertidur dengan cepat karena sedang lelah, aku bangun lebih awal dari biasanya.
Dari
sudut mataku, aku bisa melihat tirai di depan jendela berjumbai. Aku menyalakan
AC supaya tidak kepanasan saat aku tidur, dan aku dapat menaikkan atau
menurunkannya tergantung pada suhu panasnya.
Dari
sela-sela tirai, aku bisa melihat langit malam Shibuya yang putih dari dekat
tepat sebelum waktu malam hampir berakhir.
Setelah
langiit tersbut berubah cerah, pasti suhunya akan panas lagi.
Aku
mulai berpikir.
Selama
satu bulan—Selama sebulan penuh, entah bagaimana aku berhasil menahannya, meski
dengan susah payah.
Aku
merasa frustrasi hanya memikirkan dirinya menciptakan kenangan di tempat lain
tanpa adanya aku. Aku merasa kesal dengan pemikiran bahwa ada seseorang yang
mungkin mengetahui lebih banyak tentang dirinya daripada ketimbang diriku.
Tidak,
aku bahkan tidak menyadari rasa frustrasiku sendiri. Yang aku rasakan hanyalah
perasaan suram dan samar di dadaku, tapi hanya itu saja.
Perasaan
apa ini?
Aku
menyadari emosi misterius ini, dan memberinya nama, sekitar sebulan yang lalu.
—Kecemburuan.
Aku
menulis kata itu di buku harianku.
Setelah
menulisnya, aku pun menyadari sesuatu.
Ia
selalu datar dan jujur dengan orang lain.
Itu
sebabnya Ia bersedia menyesuaikan diri denganku, yang memiliki kepribadian yang
menyusahkan. Ia menatapku tanpa prasangka. Ia menerima dan memuji kerja keras
dan usaha u yang tidak pernah aku tunjukkan kepada orang lain. Ia memahami
diriku.
Aku
ingin belajar lebih banyak mengenai dirinya. Aku ingin lebih memahami tentang
dirinya.
Asamura
Yuuta.
Aku
tertarik padanya.
Tapi
saat melihat Ibu dan Ayah terlihat begitu bahagia bersama, aku tidak bisa
mengambil risiko menghancurkan kebahagiaan itu, dan aku yakin Asamura-kun akan
kesulitan mengetahui perasaanku ini.
Aku
yakin begitu.
Itulah
yang aku pikirkan, itulah sebabnya aku memutuskan untuk memperlakukannya seperti
orang asing di tempat kerja.
“Asamura-san.”
Setiap
kali aku memanggilnya seperti orang asing yang baru kutemui, rasanya seperti jarak
di antara kami semakin menjauh, tapi jika bukan karena itu, aku mungkin lama-lama
akan menjadi lebih serakah.
Aku
berhasil melewati satu bulan penuh seperti itu.
*****
Aku
pikir semuanya mulai runtuh sejak waktu itu.
Hari
itu sama seperti waktu pagi lainnya, dan Asamura-kun menerima semacam bujukan
aneh dari Ibu. Dia mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi Ibu benar-benar pandai
membingungkan dan menyesatkan orang.
Yah,
kalau cuma itu sih baik-baik saja. Bukannya berarti Asamura-kun bisa selalu berada
di masa jayanya. Meski kupikir Ia biasanya akan sedikit lebih rasional.
Tapi
perkataan Ayah setelah itu benar-benar kejutan tak terduga. Belum lagi Ibu
bergabung, berbicara tentang bagaimana kami masih memanggil satu sama lain
dengan nama keluarga masing-masing. Apa maksudmu dengan 'Yuuta-niisan',?
Tunggu
sebentar.
Mana
mungkin aku bisa memanggilnya 'Yuuta'.
Itu mustahil. Tapi memangnya itu normal dilakukan antar saudara? Serius? Apa
semua adik perempuan di dunia ini memanggil kakak laki-laki mereka dengan nama
aslinya? Jujur saja, itu sulit dipercaya.
Ayah
juga ikut menimpali. Ia mengatakan kalau Ia memanggil Ibu dengan panggilan 'Ayase-san' sebelum mereka mulai
berpacaran. Kenapa Ia harus mengatakan itu, sih?
Mulai
sekarang, setiap kali Asamura-kun memanggilku 'Ayase-san', aku akan selalu diingatkan akan hal itu. 'Sebelum mereka mulai berpacaran,' tahu.
Berpacaran.
Kencan… di mana kamu pergi keluar dan bermain bersama, ‘kan? Tepat saat aku
memikirkan itu, Asamura-kun bertanya padaku tentang rencanaku untuk musim
panas.
Dengan
cara berbelit-beli, Ia bertanya apa aku punya rencana sesuatu dengan temanku.
Aku
langsung membalas 'Tidak' karena
refleks, tapi kenyataannya, Maaya telah mengundangku ke kolam renang. Belum
lagi dia menyuruhku untuk 'Ajak
Asamura-kun bersamamu'. Kolam renang terdengar bagus. Dan jauh lebih baik
lagi jika Asamura-kun bersamaku. Itulah yang kupikirkan.
Sejak
Maaya mengajakku, aku terlalu sibuk memikirkannya untuk membuat kemajuan dengan
studi ujianku. Aku bahkan tidak menyelesaikan setengah dari apa yang sudah kurencanakan.
Ada
satu hal lain yang kusadari. Begitu aku mulai memikirkan Asamura-kun, aku tidak
bisa berhenti memikirkannya. Hal itulah yang membuat belajarku berhenti total.
Aku
selalu ingin menjadi mandiri secepat mungkin supaya tidak membebani Ibu lagi.
Demi mewujudkan itu, menjaga nilaiku setinggi mungkin sangat diperlukan. Karena
aku tidak secerdas Asamura-kun, aku harus berusaha keras.
Itu
sebabnya aku awalnya memutuskan untuk menolak ajakan Maaya.
Aku
bahkan pergi ke kamar Asamura-kun cuma demi mengatakan itu.
Aku
meyakinkannya bahwa Maaya dan aku tidak begitu dekat sehingga kami akan bertemu
selama liburan musim panas. Aku senang Ia mempercayaiku. Aku tidak yakin apa
yang akan aku lakukan jika Ia terus menanyakan masalah ini.
Tapi
aku masih khawatir kalau Ia mungkin mengetahuinya. Aku takut kalau dia tahu
bahwa aku sedang panik. Lagipula, Asamura-kun sangat peka. Ia bisa cepat
menyadari hal-hal semacam ini.
Lagi
pula, Ia berhasil menemukan buku yang telah aku cari selama sepuluh menit dalam
beberapa detik.
Ia
sungguh luar biasa. Ia membuat pelanggan wanita itu benar-benar bahagia di hari
itu.
Tetapi orang lain mungkin menemukannya lebih
cepat, setidaknya itulah yang Ia
katakan padaku.
Orang
yang dimaksud—adalah Yomiuri Shiori-san.
Aku
benar-benar membenci diriku sendiri karena begitu picik, karena aku tidak ingin
mendengar pujian lagi mengenai dirinya.
Tapi
dalam perjalanan pulang, aku menyadari bahwa bahkan Asamura-kun bisa memiliki beberapa
hal yang tidak Ia sadari.
Mengetahui
sisi dirinya yang begitu cukup menyenangkan.
*****
Keesokan
harinya, AC di ruang tamu kami rusak.
Karena
aku buruk dengan panas, aku terus berdiam diri di kamarku hampir sepanjang
hari, setidaknya sampai aku harus pergi bekerja.
Aku
membiarkan AC di kamarku menyala, menyetel musik hip-hop lofi favoritku sambil
memakai headphone, dan mencoba mengejar ketertinggalanku untuk belajar.
Tapi
aku tidak bisa membuat kemajuan sama sekali.
Ketika
suhu panas mencapai puncaknya, aku meninggalkan rumah dan menuju ke kafe
terdekat sebelum tiba waktunya giliran kerjaku.
Aku
punya kupon diskon setengah harga untuk frappuccino yang populer, jadi aku
memutuskan untuk membelinya dan membaca beberapa buku. Atau lebih tepatnya,
buku yang direkomendasikan Asamura-kun kepadaku. Setelah beberapa waktu
berlalu, aku memutuskan kalau sudah waktunya untuk berangkat kerja, dan
kebetulan melihat Asamura-kun tengah duduk di kafe yang sama.
Secara
spontan, aku langsung memanggilnya.
Saat
melirik mejanya, aku melihat ada dua minuman terpisah, jadi aku pikir dia ada
di sini bersama orang lain, tapi ...
Setelah
percakapan singkat, aku melihat seorang anak laki-laki berkacamata berjalan ke
arah kami dari sudut mataku. Karena Ia mengenakan seragam Suisei, dan karena
aku tahu bahwa Ia cukup dekat dengan Asamura-kun, aku memutuskan untuk mengakhiri
percakapan dengannya dan segera pergi.
Karena
kami bertingkah seperti orang asing di sekolah, tidak lucu juga jika kami
ditemukan di sana.
Tapi
aku melihat bahwa orang yang bersamanya di sana adalah cowok lain.
Aku
merasa lega.
Adapun
giliran kerja setelah itu, cuma ada Asamura-kun, Yomiuri-san, dan aku... serta
karyawan tetap toko buku.
Setiap
kali aku melihat Yomiuri-san, dia akan memujiku. Tentang seberapa cepat aku
mempelajari pekerjaanku, tentang bagaimana aku memiliki bakat. Ini merepotkan
karena aku tahu dia serius. Lagipula, dia senior yang baik.
Dia
sangat dewasa, punya paras cantik, mudah diajak bicara, dan dia tahu bagaimana
merawat orang lain.
Saat
aku memikirkan bahwa dia selalu bersama Asamura-kun…
Malam
itu, dalam perjalanan pulang, Asamura-kun bertanya padaku.
Dia
bertanya apa Maaya mengundang kami ke kolam renang.
Jantungku
berhenti berdetak karena syok.
Bagaimana
Asamura-kun bisa mengetahui tentang itu?
Aku
benar-benar tidak ingat balasan yang aku berikan saat itu.
Jelas-jelas
aku jadi curiga padanya.
Sejenak,
aku berpikir kalau Maaya sudah menghubungi Asamura-kun secara langsung, meski
kemungkinan itu sangat mustahil karena mereka tidak memiliki minat yang sama
sama sekali, jika kamu berhent memikirkannya secara rasional.
Apa
Ia ingin pergi ke kolam renang?
Ia
mungkin akan marah padaku jika Ia tahu aku menolak bahkan tanpa bertanya
pendapatnya. Maksudku, aku ingin pergi ke kolam sendiri. Aku belum mengunjungi
kolam selama bertahun-tahun.
Tapi...
karena aku tidak membuat kemajuan apa pun dengan belajarku, aku tidak bisa
membiarkan diriku pergi.
“Begitu
ya. Kalau begitu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pergi, ‘kan?” (Karena aku tidak bisa keluar untuk bermain-main).
“Aku
tidak pergi.” (Aku tidak bisa pergi)
Aku
tahu betul kalau suaraku terdengar sangat dingin, tapi apa yang aku pikir benar-benar
berbeda.
Aku
pikir hatiku sudah mencapai batas.
Keesokan
paginya, karena aku tidak ingin melihat Asamura-kun, jadi aku bangun pagi-pagi.
Aku membuat sarapan sebelum Ia bangun, dan segera mengunci diri di kamarku.
Selama aku memberitahunya kalau sarapan sudah siap, seharusnya tidak ada
masalah.
Ia
sempat berterima kasih kepadaku melalui LINE. Tanpa menambahkan emoji apapun,
karena aku juga tidak menggunakannya. Ia menyesuaikan diri denganku, bahkan
sampai ke hal-hal yang terkecil.
Tapi
aku penasaran apa yang sebenarnya ingin Ia lakukan? Mungkin Ia benar-benar
mengirim banyak emoji dengan orang lain? Jika memang begitu, Ia mungkin tidak
perlu repot-repot melakukannya denganku?
Dengan
orang lain… Mungkin Yomiuri Shiori-san?
Mungkin
karena aku sedang melamun, aku butuh beberapa detik untuk mendengarnya mengetuk
pintuku.
Aku
melepas headphone-ku dengan panik dan membukanya dengan hati-hati.
Seperti
yang diharapkan, Asamura-kun berdiri di sisi lain pintu, dan sekali lagi Ia
bertanya padaku tentang ajakan kolam renang.
Alasan
kenapa aku selalu waspada dan menghindarinya karena aku tidak ingin mendengar
lebih banyak tentang itu. Dan meski begitu, untuk beberapa alasan, Asamura-kun
anehnya sedikit memaksa mengenai masalah itu.
Ia
bertanya padaku mengenai informasi kontak Maaya.
Mengapa
aku menanggapi seperti itu?
Mengapa
aku mengatakan sesuatu yang begitu dingin dan sulit dipercaya kepadanya?
Aku
tidak mau.
Aku
mengatakannya seperti anak kecil.
Saat
aku melihat ekspresi terkejut Asamura-kun, aku merasakan darah mengalir dari
tubuhku. Aku menyadari bahwa aku tidak berhak untuk bertindak seperti yang aku
lakukan.
Aku
mencoba menenangkan diri dengan susah payah.
Tidak
ada salahnya juga Ia bertanya padaku untuk meminta kontak Maaya. Lagipula,
Maaya juga mengundangnya. Bukannya aku bisa menolaknya begitu saja. Karena itu,
aku juga merasa tidak nyaman memberinya info kontak temanku tanpa
persetujuannya. Itulah yang aku katakan kepadanya, dan Asamura-kun menerima
alasan tersebut.
Aku
perlu bertanya kepada Maaya apa aku boleh memberikan info kontaknya kepada
Asamura-kun.
Tapi
dia masih dalam perjalanan liburannya.
Kurasa
aku cuma akan mengganggunya jika mengiriminya pesan di tengah kesenangannya
sendiri.
Tentu
saja, aku membuat membuat alasan pada saat itu.
*****
Hari
itu benar-benar yang terburuk. Aku yakin Asamura-kun tidak melakukannya dengan
sengaja, tapi Ia terus-menerus membuat hatiku gemetar ketakutan dan bimbang.
Lagipula, Ia datang bekerja bersama Yomiuri-senpai.
Aku
benci cuma memikirkannya, dan mulai membenci diriku sendiri karena mulai
memikirkan itu.
Meski
itu harusnya kebebasannya sendiri dengan siapa Ia bertemu dan apa yang Ia
lakukan.
Yomiuri
Shiori-san mempunyai rambut coklat-hitam panjang yang indah, dan berkat suasana
kalem dan dewasanya, bahkan aku sendiri mau tidak mau jadi mengaguminya juga, dan
menerima kenyataan bahwa dia sangat cocok untuk Asamura-kun.
Mungkin
Asamura-kun suka rambut panjang dan indah?
Maksudku,
aku sendiri memiliki rambut yang cukup panjang.
…Apa
sih yang aku pikirkan? Aku merasa seperti orang bodoh saja.
Aku
mulai merasa takut bertemu dengan Asamura-kun, jadi aku bilang aku ingin
membeli sesuatu setelah bekerja, dan memintanya pulang duluan tanpa menungguku.
Setelah
menyelesaikan perjalanan belanjaku dan sampai di rumah, Asamura-kun sedang
berdiri di dapur.
Aku
menyadari kalau aku pergi tanpa menyiapkan makan malam.
Dari
belakang, Ia tampak agak sedih karena suatu alasan. Saat berbalik, untuk
beberapa alasan Ia memegang nasi beku di tangannya, dan menatapku dengan
ekspresi bingung.
Aku
tidak tahu mengapa, tapi wajahnya bingungnya itu membuatku terkikik.
Asamura-kun
memiliki begitu sedikit pengetahuan tentang makanan yang terkadang sulit
dipercaya.
Ini
mungkin karena ibu kandungnya.
Dari
apa yang aku dengar dari Asamura-kun, setelah ayahnya menjadi Duda, Ia menyerah
pada masakan rumahan sama sekali. Lebih dari tidak mengingat apa-apa, atau
tidak bisa memasak, Ia menghindari semua hal yang berhubungan memasak. Di zaman
sekarang ini, kamu bisa bertahan tanpa harus memasak.
Namun
saat ini, Asamura-kun sedang berusaha keras untuk belajar. Membuat makan malam
bersama memang menyenangkan. Adanya Asamura-kun membantuku itu menyenangkan.
Hal itu membuatku merasa seperti kami sedang memasak bersama.
Tapi
begitu makan malam selesai, Ia bertanya lagi padaku.
Setelah
menghela nafas, Ia bertanya tentang kolam.
Apa-apaan
dengan helaan nafas itu? Aku merasa diriku jadi semakin gelisah.
Aku
tidak bisa menahan diri lagi, dan mengeluarkan smartphoneku untuk mencari nomor
Maaya.
Meski
aku belum meminta izin dari Maaya langsung.
Tapi
Asamura-kun segera menghentikanku. Ia mengatakan kalau sebenarnya Ia tidak
peduli dengan Maaya sama sekali.
Yang
ada justru Ia ingin aku bersenang-senang
di kolam renang.
Itu
tidak masuk akal.
Kenapa
Ia melakukan itu?
Itulah
yang aku tanyakan padanya.
Ia
lalu mengatakan kalau Ia mengkhawatirkanku. Ia bilang kalau aku harus sedikit
bersantai, dan sesekali bersenang-senang.
Tapi
aku harus belajar. Aku tidak bisa bermain-main terus.
Jika
tidak… Aku akan berakhir sebagai orang yang gagal.
Hari
itu, bahkan setelah jam 1 pagi berlalu, dan jam 2 pagi berlalu, aku tidak bisa
membuat kemajuan apa pun dengan belajarku. Aku terus memikirkan Asamura-kun dan
ucapannya bahkan setelah berbaring di tempat tidur.
Aku
penasaran mengapa Asamura-kun mengatakan hal seperti itu.
Sudah
dua bulan sejak aku pindah ke sini bersama Ibu. Aku ingat semua yang terjadi,
merenungkannya, dan mengingat apa yang Ia katakan sekali lagi.
Setelah
aku mematikan lampu di kamar, semua pikiran dan perasaanku menguap di udara
seperti fatamorgana.
Ketika
langit di balik tirai mulai cerah, akhirnya aku tertidur.
Apa
yang muncul di balik kelopak mataku adalah penampilan Asamura-kun yang menghela
nafas.
Kemudian
wajah ibuku sendiri tumpang tindih dengan wajahnya.
Ah.
Aku tahu wajah itu. Suatu ketika ketika aku masih SMP, Ibu mengajakku ke
pantai. Memikirkan tentang situasi keuangan yang kami alami saat itu, sepertinya
kami tidak mampu menanggung biasayanya, dan aku tidak ingin dia menyia-nyiakan
waktu luangnya yang berharga, jadi aku menolak, dan memberitahu kalau aku harus
belajar.
Ekspresi
yang dia buat saat itu tampak seperti dia bermasalah.
Aku
mencoba menahan diri demi Ibu, namun rasanya seolah-olah aku malah
menyakitinya, meski tidak tahu maksud di balik eksprsinya saat itu.
Badanku
cukup kelelahan sampai aku hilang kesadaran.
*****
Kelopak
mataku terbuka, dan aku benar-benar terbangun.
Aku
berganti pakaian dengan agak linglung, dan menyadari bahwa pikiranku telah
berhenti sepenuhnya.
Tunggu,
apa yang tadi aku pikirkan?
Ahh…
yah, terserahlah.
Tanpa
memikirkan apapun, aku selesai berganti pakaian, dan saat aku memasuki ruang
tamu, Asamura-kun sudah bangun. Tumben
sekali melihatnya bangun sepagi ini, pikirku, tetapi ketika aku memeriksa
jam, waktunya sudah sangat terlambat.
Aku
ingin cepat-cepat membuat sarapan, tapi Asamura-kun menghentikanku, dan melarangku
membuat makanan.
Aku
tidak bisa membiarkan Ia yang membuatnya.
Ini
kesalahanku. Aku tidak bisa menepati janji yang kita buat karena aku ketiduran.
Namun,
Asamura-kun mulai berdebat denganku seperti aku masih kecil.
Karena
aku masih mengantuk dan banyak melamun, aku tidak bisa membantah dengan baik,
jadi aku hanya melakukan apa yang diperintahkan, dan duduk di kursi.
Ia
memberiku roti panggang dengan mentega dan ham goreng.
Saat
mencium aroma roti dan daging, perutku mengeluarkan suara gemuruh samar. Aku
panik dan cemas kalau Ia mungkin mendengarnya. Baru kemudian aku menyadari
bahwa aku benar-benar lapar.
Saat
aku sedang menunggu Asamura-kun untuk duduk di kursinya, Ia tiba-tiba bertanya
padaku.
Ia
bertanya apa aku ingin susu panas. Sungguh pertanyaan yang aneh.
Ia
bertanya kepadaku di musim panas begini apa aku ingin minum susu panas.
Ia
memberitahu kalau meminum itu akan membantuku tidur lebih cepat. Begitu rupanya.
Jadi
Ia menghangatkan susu ini hanya demi diriku.
Sementara
aku mengunyah roti panggang, tubuhku perlahan-lahan mulai bangun sepenuhnya.
Setelah
selesai makan, aku melihat susu panas yang dibuat Asamura-kun untukku dan
menyesapnya.
Ah,
hangat sekali.
Udara
dari AC memang sejuk, tapi susunya membuatku merasa hangat dari dalam.
Aku
menghela nafas, dan merasa bahwa segalanya menjadi lebih ringan. Baik tubuhku
maupun kepalaku.
“Aku
sudah memikirkannya…”
Yah,
terserahlah.
“…Aku
tidak keberatan pergi ke kolam renang.”
Ketika
aku mengatakan apa yang ada di pikiranku, rasanya seperti beban berat mulai
diangkat dari dadaku.
Tapi
ada satu masalah.
Hari
kunjungan kolam renang yang Maaya rencanakan bertepatan dengan hari dimana
Asamura-kun dan aku mendapat giliran kerja.
Setelah
aku tidur sekitar dua jam, kami berdua berangkat kerja.
Asamura-kun
ingin bernegosiasi dengan manajer toko dengan harapan supaya kami bisa berganti
shift, dan tentu saja aku ingin ikut bergabung dengannya. Oleh karena itu,
Asamura-kun menyarankan agar kita berjalan bersama untuk bekerja, jadi Ia
berjalan di sampingku sambil menuntun sepedanya.
Satu-satunya
pengalaman sosial yang kumiliki cuma membantu Ibu di rumah, jadi wajar saja aku
merasa cemas apa kami benar-benar bisa meminta pergantian shift dengan mudah.
Asamura-kun
mengajariku beberapa tips dan trik untuk itu.
Mungkin
itu sebabnya semuanya berjalan cukup baik. Manajer toko menerima permintaan
kami, dan Asamura-kun dan aku berterima kasih padanya.
Sekali
lagi, aku menyadari betapa menakjubkannya Asamura-kun.
Jika
itu aku, aku tidak pernah bisa melakukannya.
Ia
mungkin lebih ahli dalam melakukan percakapan daripada yang Ia duga.
Saat
aku mengatakan itu kepadanya, Ia membalas kalau aku terlalu
melebih-lebihkannya. Ia berpendapat bahwa mereka mengharapkan sikap tulus, yang
mana membuatnya lebih mudah. Itu sebabnya komunikasi ini mudah dilakukan.
Ketika
Ia memberitahuku hal itu, semuanya jadi masuk akal.
Hal
ini merupakan cara lain untuk 'menyesuaikan'.
Begitu
pemikiran itu muncul di benakku, aku merasa lega. Negosiasi bukanlah memaksakan
keinginanmu sendiri pada orang lain. Sebaliknya, kamu harus mempertimbangkan
keadaan kedua belah pihak dan menyesuaikan diri dengan orang lain.
Jika
kamu ingin melakukan sesuatu demi kenyamananmu sendiri, kamu perlu mendengarkan
apa yang diinginkan orang lain. Hal ini mirip seperti menyesuaikan bobot pada
timbangan, dimana kamu perlu mencoba menemukan titik keseimbangannya.
Karena
aku memiliki kebiasaan memberi orang lain lebih banyak, aku tidak pernah punya
masalah dengan itu.
Aku
selalu condong ke sisi pemberi dalam hubungan timbal balik. Itulah yang selalu kupikirkan.
Pada dasarnya, aku merasa tidak masalah dengan memberi orang lain lebih banyak.
Jika
cuma itu yang diperlukan, aku mungkin bisa melakukan hal seperti Asamura-kun
juga.
Ketika
permintaan perubahan shift kami diterima, manajer toko menyuruh kami bekerja
sebaik mungkin pada hari itu.
Jika
cuma itu yang beliau inginkan, maka aku yakin kalau aku bisa menyanggupinya.
Tepat
setelah mendapatkan hasil ini, aku langsung menghubungi Maaya, dan
memberitahunya kalau aku dan Asamura-kun bisa ikut berpartisipasi.
Tidak
butuh waktu lama bagi Maaya untuk mengirim pesan balasan 'Yay!', dengan emote kucing lucu yang mengepalkan tinjunya ke
udara. Aku tersenyum masam, dan kemudian pesan panjang lainnya masuk.
Judulnya
kira-kira seperti ini:
'Menciptakan banyak kenangan musim panas’
Maaya
membuat sesuatu seperti ini saat sedang bepergian? Yah, terserahlah.
Keesokan
paginya… atau lebih tepatnya, kemarin pagi.
Asamura-kun
bilang kalau Ia cuma memiliki baju renang dari pelajaran olahraga, jadi Ia ragu
untuk memakainya. Jadi Ia mengatakan ingin membeli yang baru setelah giliran
kerja kami selesai.
Apa
yang harus kulakukan? Aku sebenarnya sudah punya baju renang. Saat membelinya
demi bisa digunakan untuk pelajaran renang di sekolah, aku menemukan model baju
renang yang lucu, jadi aku membelinya.
Saat
aku mendaftar ke SMA Suisei, situasi keuangan kami agak stabil (jika tidak, aku mungkin bahkan tidak bisa
mendaftar ke SMA Suisei), tetapi aku tidak ingin terlalu boros juga.
Karena
aku membelinya di musim panas saat masih kelas satu, waktunya sudah lewat setahun
penuh.
Tapi…
aku tidak pernah memakainya sekali pun sejak itu.
Aku
mencobanya pada hari sebelumnya ketika aku menerima pesan Maaya, tetapi
ukurannya sedikit ketat, dan modelnya tidak terlalu cocok dengan gayaku yang
sekarang.
Jadi
aku mencari pakaian renang online sampai tiba waktunya untuk bekerja. Karena aku
memperoleh uang dari kerja sambilan, aku bisa membeli sepasang baju renang.
Setelah
shift kami berakhir, aku bertanya pada Asamura-kun dimana Ia berencana membeli
baju renang.
Karena
department store yang ingin Ia kunjungi menjual model baju renang yang akan aku
beli, aku memutuskan untuk ikut bersamanya.
Begitu
kami sampai di lokasi yang dimaksud, aku tiba-tiba jadi penasaran dengan baju
renang apa yang mungkin dibeli Asamura-kun, tapi aku segera menggelengkan kepalaku,
menghilangkan pemikiran seperti itu dari dalam kepalaku.
Apa
gunanya memikirkan hal itu? Bukannya aku akan ikut selama kegiatan belanjanya.
Mana
mungkin aku bisa melakukan itu.
Jadi
aku menyarankan untuk berpisah di sana. Meski aku ragu kalau Ia menyadari bahwa
aku sedikit panik. Aku pikir tidak adil rasanya karena cuma aku saja yang
merasa sangat gugup, sedangkan Ia tetap terlihat tenang terlepas dari
segalanya.
*****
Akhirnya,
hari yang direncanakan pun tiba.
Rasanya
sungguh menyenangkan! Sangat menyenangkan! Asyik sekali!
Sudah
lama sekali sejak aku pergi ke kolam renang sampai-sampai aku hampir lupa
seperti apa rasanya!
Ada
begitu banyak wahana untuk dikunjungi, dan aku terus-menerus berenang!
Aku
bahkan berbicara sedikit dengan orang lain di sana, dan mengingat beberapa nama
mereka, tapi aku kurang pandai dalam berteman seperti itu.
Yang
ada justru aku buruk dalam membaca suasana hati, dan aku tidak suka berusaha
memeriahkan suasana.
Tapi
semuanya berjalan tanpa masalah hari ini.
Kupikir
itu juga berkat Asamura-kun yang bersamaku.
Sama
seperti diriku, Ia tidak menanggapi lelucon Maaya yang tidak masuk akal, tapi Ia
jauh lebih baik daripada diriku dalam berurusan dengan orang lain. Jika dia
ingin melakukan sesuatu, Ia bisa melakukannya dengan baik.
Tapi
Ia juga dengan jelas menyatakan apa yang tidak disukainya.
Itulah
salah satu bagian dari dirinya yang membuatku tertarik padanya.
Kami
berpisah di stasiun kereta Shinjuku.
Tepat
saat kami hendak pergi, Maaya memanggilnya.
Ia
ingin bertukar alamat kontak LINE, dan untuk beberapa alasan, Asamura-kun
melirikku.
Aku
tanpa sadar mengalihkan pandanganku.
Kenapa
Ia menatapku? Ia bebas melakukan apapun yang Ia mau.
Bagaimanapun
juga, itu haknya sendiri.
Saat
aku menoleh lagi, mereka sudah selesai saling tukar kontak, dan Asamura-kun
berterima kasih kepada Maaya.
Ketika
aku mendengar Ia mengatakan itu, aku juga menyadari betapa matangnya rencana
Maaya hari ini.
Narasaka
Maaya benar-benar orang yang mempunya hati yang besar untuk orang-orang di
sekitarnya, meski orangnya sendiri mempunyai badan kecil.
Sekali
lagi harus kuakui bahwa dia menyukai orang.
Dia
mempunyai banyak teman dan disukai banyak orang.
Aku
sendiri tidak cukup baik. Aku sangat ketat dalam memilih suka atau
ketidaksukaanku. Jika aku berpikir 'Aku
tidak menginginkan ini', aku hanya menekan tombol dan memutuskan segala
bentuk komunikasi.
Selain
itu, ketika aku berpikir untuk bermain dengan orang-orang itu lagi, aku sangat
membenci diriku sendiri karena tidak terlalu tertarik. Jujur saja, aku terlalu
intoleran.
Belum
lagi aku merasa takut kalau mereka akan mengetahui kalau aku sebenarnya tidak
suka diajak kemana-mana.
Aku
tidak ingin merusak suasana hati orang lain. Itu tidak adil sama sekali.
Bukannya orang lain melakukan kesalahan. Aku cuma tidak bisa menerimanya saja.
Itu
sebabnya, aku mengagumi Asamura-kun.
Saat
bermain di minigame yang disiapkan Maaya, Ia lebih fokus pada orang lain yang
bersenang-senang lebih ketimbang membuat dirinya menonjol. Ia memahami kerja
keras yang dilakukan orang lain.
Ia
sangat keren.
Meskipun
sepertinya tidak ada yang menyadari fakta itu.
Apa
cuma aku satu-satunya yang menyadarinya? Sekarang aku merasa sedikit bangga
tentang itu.
Tapi
aku takut.
Dalam
perjalanan pulang, Asamura-kun dan aku berjalan berdampingam.
Matahari
sudah mulai terbenam, dan semakin sulit untuk melihat ekspresinya.
Aku
yakin Ia juga tidak melihat wajahku.
Sekarang waktunya aku mengatakan itu, pikirku.
Bagiku,
Ia terlihat sangat mempesona, keren, dan mengagumkan.
Jadi…
Nii-san.
Tuturku
dengan suara sejelas mungkin.
Jantungku
berpacu kencang.
Aku
berharap Ia tidak menyadari bagaimana ujung jariku tampak bergetar.
Itu
benar, aku harus mengatakan pada diriku sendiri. Kami berdua bersaudara.
Namun,
jika aku meninggalkan semacam jarak tipis di antara kami, Ia mungkin akan
terluka. Ia sudah berusaha menjadi kakak yang dapat diandalkan, jadi ini adalah
keputusanku sendiri untuk membantu menjaga jarak yang sepantasnya di antara
kami berdua.
******
Kami
berdua sampai di apartemen dan memasuki ruang tamu.
Saat
aku melihat Asamura-kun menyantap makan malam yang aku buat, aku menyadari
kenapa Ibu selalu senang membuatkan makanan untukku.
Apa
aku membuat ekspresi semacam itu saat dia menyiapkan susu panas untukku?
Tapi
ini hanyalah kebahagiaan sebagai saudara tirinya. Itulah yang kukatakan pada
diriku sendiri. Aku memilih kata-kataku dengan hati-hati supaya Ia tidak menyadari
gejolak hatiku.
“Apa
kamu ingin nambah satu porsi sup miso lagi?”
Menanggapi
itu, Asamura-kun membalas..
“Tidak,
terima kasih. Rasanya seenak biasanya… Terima kasih, Ayase-san.”
Ketika
Ia mengatakan ini, aku merasakan tatapan kuat datang darinya, yang mana
membuatku tersipu sejenak, dan berpikir apa kegelisahanku diketahui olehnya.
Ia
tidak berbicara tentang rasa sup miso.
Aku
mungkin agak terlalu sadar diri. Atau mungkin sebuah hasrat yang membuatku
melalui ini.
Namun,
dalam tatapan Asamura-kun, aku merasa seperti melihat emosi yang aneh, hampir
seperti Ia menatapku seakan-akan aku ini bukan adik perempuannya, tapi seorang
gadis pada umumnya.
...Maaf,
Asamura-kun. Ini pasti hanya halusinasi yang dibuat-buat di dalam kepalaku, dan
kamu sebenarnya bukan tipe orang yang akan membuat kesalahan seperti itu.
Akan
tetapi, bagaimana jika?
Bagaimana
jika Asamura-kun benar-benar menyukaiku dalam artian romantis, dan jika Ia
memberitahuku tentang perasaannya, apa yang akan terjadi padaku?
Apa
aku bisa tetap teguh, dan menolaknya?
Aku
merasa takut.
Jika
cuma aku saja yang hancur secara sepihak, aku bisa menelan pahit-pahit perasaan
suram ini dan bertingkah seolah-olah perasaan tersebut tidak pernah ada sampai
perasaan itu menghilang.
Namun,
jika Asamura-kun mengambil langkah pertama, aku mungkin takkan sanggup
menanggungnya.
Aku
benar-benar akan hancur di bawah tekanan.
*****
Keesokan
harinya, alarm ponselku berdering dari samping bantal.
Sudah
waktunya bagiku untuk bangun.
Ayah
dan Ibu sudah berada di ruang tamu.
Sepertinya
mereka berdua mengambil cuti hari ini supaya kita bisa menghabiskan waktu
bersama sebagai keluarga, atau semacamnya.
Ketika
aku melihat Ibu tersenyum sambil mengatakan itu, aku menyadari bahwa saat ini
mungkin waktu yang paling membahagiakan yang pernah dia alami setelah sekian
lama.
Syukurlah.
Aku tidak ingin dia mengalami hal seperti itu lagi. Aku ingin dia mengalami
semua kebahagiaan yang tidak bisa dia rasakan sebelumnya.
Itulah
... sebabnya…..
Aku
akan—memendam dalam-dalam perasaanku sendiri.
Aku
tidak ingin menghancurkan kebahagiaan yang mereka miliki saat ini. Aku juga
tidak ingin merepotkan Asamura-kun.
Aku
hanya bisa berdoa supaya perasaanku ini tidak pernah ketahuan.
Aku
harus memotong rambutku.
Dengan
keputusan itu, aku segera memutuskan untuk bertindak.
Rambut
panjang dan indah Yomiuri Shiori-san merupakan salah satu bagian penting dari
pesonanya, dan aku yakin Asamura-kun pasti tertarik padanya.
Aku
tahu bahwa tidak ada yang bisa diselesaikan hanya dengan tindakan ini. Tapi
jika perbuatan kecil ini bisa membantu sedikit untuk mengamankan keharmonisan
hubungan kami, aku perlu melakukan segala upaya demi melakukannya.
Sejujurnya,
ini sungguh menggelikan.
Semua
yang berkaitan kefeminiman yang selama ini aku bantah, sekarang justru berbalik
menyerangku seperti kejadian klise.
Aku
selesai memotong rambutku dan pulang.
Aku
mengeluarkan buku harianku dari laci dan membaca ulang semuanya.
Aku
menyadari kalau aku menuliskan semua yang selama ini kurasakan dengan sangat
jujur.
Setiap
kata, setiap kalimat.
Ini
hanya…
Perasaanku
yang tertarik padanya sangat jelas tertuang ke dalam semua tulisan ini.
Tapi,
semua kenanganku selama seminggu terakhir ini tidak tertulis sedikitpun.
Itu
benar, ini adalah buku harian yang hanya ada di kepalaku.
Mengapa?
Alasannya sangat simpel.
Karena
aku tidak mau mengambil risiko Asamura-kun membaca apapun yang aku rasakan
selama seminggu terakhir.
Aku
menyadari bahaya besar dalam menulis buku harian dengan perasaan jujur ku. Jika
aku meninggalkan bukti tertulis, Ia mungkin menemukannya.
Aku
harus menyingkirkannya, dan memastikan bahwa aku tidak pernah meninggalkan bukti
tertulis mengenai perasaanku sendiri. Aku hanya akan mengenangnya di dalam
kepalaku.
Aku
perlu menyembunyikan perasaanku sebagai seorang gadis yang hatinya telah luluh
terhadap seorang cowok. Apa yang seharusnya aku lakukan, kehidupan apa yang
harus aku jalani, ialah bukan untuk bertindak sebagai seorang gadis, melainkan
sebagai seorang adik perempuan. Aku perlu berinteraksi dengannya sebagai
saudari tirinya.
Oleh karena itu, Keseharian sebagai saudari tiri* tidak membutuhkan buku harian lagi. (TN : Gimai Seikatsu)
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>