Chapter 20 — Menuruni bukit
Firasat burukku langsung
menjadi kenyataan.
Begitu dia melihatku, Enami-san
langsung menyimpan ponselnya dan mendekati kami dengan santai. Tubuhku tidak
bisa bergerak. Kakiku terpatri seolah-olah menyatu dengan tanah. Yang bisa aku
lakukan hanyalah melihat sosok Enami-san saat dia berjalan ke arah kami
selangkah demi selangkah, dan berpikir tentang apa yang harus aku lakukan.
Ketika sudah mendekatiku, dia
menghentikan langkah kakinya.
Suasananya mendadak menjadi
hening. Aku tidak dapat mendengar suara teriakan klub olahraga yang aku dengar
sebelumnya.
“Kamu lebih lama dari yang
kukira.”
Kata-kata itu ditujukan padaku.
Matanya tertuju lurus ke wajahku, bukan menatap Saito atau Shindo.
“…… Enami-san. ……? ”
“…… kenapa wajahmu terlalu
kaget begitu?”
Dasi di blazerku terasa lebih
ketat dari biasanya.
Di sisi lain, Saito dan Shindo
tampak lega karena mereka bukan menjadi sasaran. Mereka secara terang-terangan
menghembuskan napas dengan wajah lega.
Aku mencoba yang terbaik untuk
mengeluarkan suaraku.
“Apa yang kamu inginkan?”
“Apa yang kuinginkan? Aku cuma
ingin pulang bersamamu.”
“Kenapa ……?”
“Karena itu kelihatannya
menarik.”
Jadi ini maksud dibalik
perkataannya tadi siang yang mengatakan, "Sampai
jumpa nanti". Aku tidak tahu bagaimana "kritikan”-ku mempengaruhi
Enami-san, tapi aku yakin hal itu menjadi pemicu membuatnya penasaran padaku.
“Baiklah, kalau begitu, kami
akan menyerahkanmu padanya …….”
Saito dan Shindo dengan cepat
melarikan diri jauh-jauh dari Enami-san. Oi !.
Namun, mereka tidak
memperhatikan tatapanku yang mencela dan berjalan keluar dari gerbang utama.
Enami-san juga tidak terlalu memperhatikan mereka, hanya melirik ke samping
untuk melihat bahwa Saito dan Shindo telah menghilang.
Aku juga ingin pergi seperti
itu, tapi ……
“Kelihatan menarik, ya?”
Aku tidak bisa kabur begitu
saja dan mengabaikan orang yang ada di depanku.
“Itulah yang aku maksud.”
“…… Sudah berapa lama kamu
menungguku?”
Seingatku, Enami-san tidak
bergabung dalam klub manapun. Jadi akan aneh jika dia tidak pergi saat jam
pelajaran selesai di jam 3 sore.
“Kurasa sekitaran satu jam.”
Dia sudah mendengar kalau aku
memiliki kegiatan klub, jadi dia mungkin berpikir bahwa aku takkan langsung
pulang. Namun, rasanya bikin bulu kuduk berdiri saat membayangkan kalau
Enami-san terus menungguku di depan gerbang utama sampai sekarang.
“Selama satu jam? Kenapa ……? ”
“Bukannya tadi sudah kubilang.
Karena itu terlihat menarik. ”
Pokoknya, aku tahu kalau aku
tidak bisa terus seperti ini. Sepertinya Enami-san benar-benar mulai tertarik
padaku. Salam di pagi hari, kontak mata di kelas, percakapan saat makan siang,
semuanya bermula dari ketertarikan ini.
Aku menghela nafas.
“……. bisakah kamu melupakan
tentang apa yang aku katakan minggu lalu? Entah kenapa, aku tahu alasan dibalik
kejadian ini, dan aku benar-benar minta maaf. …… ”
“Bukankah saat makan siang tadi
sudah kubilang kalau aku tidak peduli tentang itu?”
“Iya sih, tapi…”
Bagaimana mungkin dia tidak
peduli? Aku tidak bisa memikirkan alasan lain mengapa dia merubah sikapnya
karena diriku.
Aku bingung apa yang harus aku
lakukan. Aku ingin Enami-san meninggalkan tempat ini secepat mungkin. Tetapi
setelah menunggu selama satu jam, aku merasa tidak enakan untuk mengakhiri
percakapan begitu cepat.
Untungnya tidak ada banyak
orang di depan gerbang saat ini. Karena waktunya sudah sore, murid-murid dari
klub langsung pulang telah meninggalkan sekolah, dan mereka yang melakukan
kegiatan klub masih berada di gedung sekolah.
“Di mana rumahmu?” tanyaku.
Keinginan rahasiaku untuk cepat-cepat
mengakhiri obrolan ini langsung hancur berkeping-keping.
“Ke arah sini.” Jawabnya seraya
menunjuk ke arah yang sama denganku, yang mana jalan menuruni bukit.
Wajah Enami tidak menunjukkan tanda-tanda
kesadaran diri. Raut mukanya tampak santai seolah sedang berbicara dengan
seorang kenalan lama.
Kurasa kali ini aku harus
menyerah. Sayangnya, aku tidak berani meninggalkan Enami-san dan pulang
sendirian. Tak peduli apa motif dan tujuannya, aku akan mengikuti keinginan
Enami-san untuk saat ini.
Kami melewati gerbang utama dan
menuruni bukit bersama.
Tentu saja, aku tidak tahu
harus berkata apa padanya. Aku belum pernah mengobrol dengan Enami-san
sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang dia suka atau apa yang dia pikirkan tentang
hidupnya. Mana mungkin aku tiba-tiba menemukan diriku sendirian dengannya dan
memulai percakapan.
Meski dia memintaku untuk
pulang bersamanya, Enami-san enggan untuk terbuka. Jadi suasananya sedikit
canggung.
Saat kami hampir sampai di
ujung lereng, Enami-san akhirnya berkata,
“Apa menurutmu sekolah itu
menyenangkan?”
Aku tidak mengerti niatnya,
tetapi aku sedikit lega ketika suasana canggung ini mulai mencair.
“Jika aku harus memilih antara
menyenangkan atau tidak, kupikir sekolah itu menyenangkan. Aku cukup menyukai
suasana kelas. "
“Benarkah?”
Suasana hening melanda lagi.
Enami-san bertanya padaku, tapi saat aku menjawab, responnya terlalu samar.
“Apa kamu tidak merasa
menyenangkan saat di sekolah, Enami-san?”
Aku pikir dia tidak menganggap
itu menyenangkan, karena dia selalu terlambat.
“…… Tidak terlalu.”
Aku tidak tahu jawaban
"tidak terlalu" tersebut memiliki arti yang positif atau negatif.
Enami-san bertanya lagi padaku.
“Apa kamu menikmati belajar?”
"Tidak terlalu…….”
Entah bagaimana, aku membalas
dengan kata-kata yang sama. Sejujurnya, aku tidak terlalu suka belajar, aku
melakukannya karena itu hal yang paling mudah untuk dilakukan.
Namun, aku tidak memiliki
kepercayaan diri untuk menyampaikan pesan seperti itu. Itu sebabnya, aku Cuma
bisa menanggapi dengan balasan, “Tidak terlalu.”.
“Hmmm…”
Enami-san masih memberikan
respon yang ambigu dan terus melangkah.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>